ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Peluncuran Survei “Pendekatan Feminis dalam Merespons Kasus Kekerasan Berbasis Gender Selama pandemic Covi-19”

24/2/2021

 
Jakarta (23/2), Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta meluncurkan hasil survei tentang Pendekatan Feminis dalam merespons Kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) Selama Pandemi Covid-19. Bersamaan dengan itu, pada kegiatan ini Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta juga meluncurkan website carilayanan.com. Sebuah platform yang dihadirkan sebagai upaya merespons tingginya laporan KBG di Indonesia. 
 
Dalam kesempatan tersebut Naila Rizqi Zakiah sebagai salah satu peneliti memaparkan bahwa Pandemi global COVID-19 yang terjadi di awal tahun 2020 ini telah memakan banyak korban kekerasan berbasis gender (KBG). KBG telah lama disebut sebagai fenomena shadow pandemic atau pandemi bayangan. Sekarang, setelah pandemi COVID-19 telah berlangsung selama lebih dari satu tahun, tren di seluruh dunia menunjukkan bahwa tingkat KBG, khususnya terhadap perempuan dan kelompok rentan, terus meningkat. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta merasa perlu adanya kajian tentang isu kebutuhan, tantangan, kendala, dan kesempatan yang berhubungan dengan pemberian informasi dan layanan terhadap penanganan kasus KBG selama pandemi COVID-19 di Indonesia. Maka dari itu, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta kemudian menjalankan penelitian dan menulis sebuah laporan (white paper) yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan advokasi pada pemerintah dan pihak terkait untuk dapat memberikan respons terhadap kasus kekerasan berbasis gender selama pandemi.
 
Naila memaparkan bahwa berdasarkan data Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, sebelum terjadinya pandemi tingkat KBG terhadap perempuan sudah tinggi setiap tahunnya, tetapi dengan adanya pandemi kerentanan tersebut semakin meningkat. Berdasarkan survei yang diketahui bahwa hampir dari 2/3 korban menyatakan bahwa mereka mengalami kekerasan, bukan kekerasan yang pertama melainkan kekerasan berulang dan berlapis.  Namun demikian, terdapat 22% responden korban yang mengatakan mereka terkena kekerasan untuk pertama kali pada saat pandemi. Naila menambahkan bahwa berdasarkan jenis-jenis kekerasan, kekerasan verbal adalah kekerasan yang paling banyak dihadapi oleh para korban selama masa pandemi. Jenis KBG yang dialami korban adalah 79% kekerasan verbal, 77% kekerasan psikis, 65% kekerasan seksual, 48% kekerasan online, 39% kekerasan fisik dan 14% kekerasan ekonomi.  Mayoritas korban KBG mengalami kekerasan berlapis dan pelakunya adalah orang yang dikenali oleh korban. Temuan lain survei ini adalah bahwa mayoritas responden yang mengalami KBG adalah mereka yang berasal dari kelompok rendah yaitu SMP. Artinya tingkat pendidikan rendah meningkatkan kerentanan seseorang mengalami KBG.  Selain itu survei ini mengungkapkan bahwa dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi, hanya sedikit korban yang melaporkan kekerasan yang dialami. 
 
Setelah acara peluncuran survei, Anindya Restuviani—Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta kemudian memperkenalkan website carilayanan.com sebagai salah satu upaya untuk merespons tingginya kasus KBG di Indonesia. Menurut Anindya, salah satu alasan rendahnya pelaporan kasus KBG adalah masih minimnya pengetahuan para korban soal lembaga pendamping di daerahnya. Untuk itu Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta menghadirkan website bernama carilayanan.com sebagai bentuk intervensi online yang diharapkan dapat  merespons tingginya kasus KBG.  Tujuan platrofm ini adalah menginformasikan kepada korban, layanan dampingan apa saja yang dapat mereka akses ketika mengalami KGB.  Anindya menyatakan tujuan dibuatnya website ini adalah untuk mengurangi dan merespons kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia. 
 
Dalam sesi tanggapan, Zuma—LBH Apik, mengapresiasi hasil survei yang diluncurkan oleh kegiatan ini. Menurut Zuma,  LBH Apik Jakarta sendiri seperti juga berbagai layanan lainnya  mengalami kegagapan dalam memberikan layanan saat pandemi. Salah satu persoalan yang kita hadapi adalah banyaknya lembaga rumah aman dari negara di tutup, sehingga rumah aman yang hadir adalah yang berasal dari inisiatif masyarakat sipil/individu. LBH Apik sendiri  merespons kondisi ini dengan menghadirkan layanan online.  Meski demikian memberikan layanan online memiliki tantangannya tersendiri, misalnya bagaimana para pendamping rentan dikenakan pasal UU ITE karena  menerima dan memberikan bukti KBG kepada institusi yang bersangkutan.  Artinya ada sejumlah kerentanan yang dihadapi para pendamping dalam memberikan layanan pendampingan online.
 
Mariana Amirudin—Komnas Perempuan, mengapresiasi kerja-kerja JFDG, menurut Mariana insiatif ini sangat penting dalam merespons persoalan KBG bagi para korban.  Menurut Mariana penting agar sejumlah layanan (SDM) diberdayakan agar memiliki perspektif korban. Beberapa saluran lain yang perlu dikembangkan lagi oleh webiste ini adalah pemberian layanan hukum, layanan psikis dan layanan rumah aman.  Tantangan kita adalah masih minimnya layanan yang menjawab kebutuhan rangkaian layanan  yang dibutuhkan oleh korban.  Menurut Mariana, penting agar kuantitas dan kualitas pengada layanan baik dari pemerintah dan dari masyarakat sipil terus ditingkatkan.
 
Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta menyimpulkan bahwa pandemi covid-19 memperparah kerentanan perempuan terhadap KBG, oleh sebab itu mereka merekomendasikan dua hal yaitu: pertama, pemerintah, lembaga layanan dan penegak hukum perlu melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai kekerasan berbasis gender untuk meningkatkan pengetahuan dan tingkat pelaporan. Kedua, Lembaga layanan dan penegak hukum perlu memberlakukan prosedur pelaporan yang lebih mudah. Ketiga, lembaga layanan dan penegak hukum perlu memahami keberagaman korban kekerasan. Dan terakhir, Pemerintah perlu memberikan dukungan secara keseluruhan kepada lembaga layanan pendampingan korban kekerasan (Abby Gina).

SAMBUTAN YAYASAN KURAWAL – Peluncuran Jurnal Perempuan 107 Perempuan dan Pandemi Covid-19

4/2/2021

 
SAMBUTAN YAYASAN KURAWAL
DARMAWAN TRIWIBOWO

Selamat siang.

Sebuah kehormatan bisa berada dalam forum ini untuk meluncurkan Jurnal Perempuan edisi 107: “Perempuan & Pandemi COVID-19” bersama dengan Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste.

Sebuah kesempatan yang berharga pula untuk bisa mendengar langsung pesan solidaritas yang disampaikan oleh H.E. Cameron MacKay.

Hal yang tidak boleh kita lupakan adalah, seperti yang pernah diungkapkan oleh mendiang Christopher Eric Hitchens, seorang jurnalis Inggris, “solidarity is an attitude of resistance”. Solidaritas ada untuk mendorong perlawanan.

Perlawanan terhadap kebencian, keserakahan, diskriminasi, kebohongan, disinformasi, represi, maupun pengabaian yang kerap terlihat begitu telanjang di masa pendemi ini.

Salah satu mitos yang sering kali didengungkan saat kita berbalah dengan wabah adalah bahwa kita mengarungi terpaan badai ini di dalam perahu yang sama.

Itu adalah bualan yang paling menyesatkan yang digunakan negara dan para pemilik kuasa untuk meredam gugatan terhadap ketimpangan dan kesenjangan.

Laporan CNN minggu lalu menunjukkan bahwa, di saat jutaan orang kehilangan pekerjaan dan kelompok minoritas terjerembab dalam kemiskinan, bilioner di Amerika Serikat secara kolektif telah meraup $1,1 triliun dan menjadi 40% lebih kaya semenjak pandemi. Tidak akan mengherankan jika fenomena yang sama telah terjadi di Indonesia.

Tidak, tuan dan nyonya, kita tidak berada dalam perahu yang sama. 

Masing-masing dari kita mengarungi badai ini dengan rakit yang berlainan. Malangnya, mereka yang rentan dan terpinggirkan (pekerja informal, kelompok miskin kota, para korban pemutusan hubungan kerja, kaum minoritas) acap kali  harus mengayuh dalam telatak yang paling repih.

Jurnal Perempuan Edisi 107 ini menggarisbawahi ketimpangan tersebut dengan melewa lampu sorot pada salah satu dari mereka : perempuan.

Perempuan membayar “ongkos” pandemi ini berlipat-kali dibandingkan laki-laki.

Sri Mulyani, mengutip laporan awal dari ADB-UN Women’s High-Level Roundtable pada 2020, dalam acara UN Women Asia Pacific WEPs Awards Ceremony in Indonesia beberapa waktu lalu menjelaskan perempuan kehilangan 50 persen jam kerjanya, sedangkan laki-laki hanya kehilangan 35 persen sehingga terjadi implikasi yang asimetris dari Covid-19, khususnya di sektor-sektor formal di Asia. Tak hanya itu, tingkat pendapatan dari 740 juta pekerja perempuan di sektor informal secara global juga berkurang sebesar 60 persen dalam bulan pertama setelah terjadinya Covid-19.  Sekitar 40 persen dari pekerja perempuan di seluruh dunia bekerja di sektor-sektor yang paling terdampak. Bahkan, 70 persen pekerja di sektor sosial dan layanan kesehatan merupakan perempuan sehingga mereka menjadi lebih rentan.

Tidak, tuan dan nyonya, kita tidak berada dalam perahu yang sama.

Namun, potongan-potongan pengetahuan yang disulam dalam Jurnal Perempuan Edisi 107 ini seharusnya hanya merupakan langkah awal untuk mengkonsolodasikan perlawanan serta mendorong perubahan.

Pengetahuan dan kesadaran harus dianjurkan ke dalam pestaka perbantahan publik, dibawa ke lorong-lorong kekuasaan, disuntikkan dalam percakapan di koridor-koridor pengambilan keputusan politik kepemerintahan. Bahkan, jika perlu, diteriakkan di jalanan.

Bagi kami, Yayasan Kurawal, itu adalah tantangan selanjutnya bagi Jurnal Perempuan, sekaligus manifestasi lanjutan dari solidaritas yang kita bicarakan siang ini.

Sebagai penutup, pada hari Selasa, 26 Januari 2021, kasus COVID-19 di Indonesia telah melampaui 1 juta kasus. Catatan terburuk di Asia Tenggara.
 
Menanggapi hal tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengajak semua pihak merenung.
Merenung. ME-RE-NUNG?

Satu juta kasus adalah saat kita marah dan melawan untuk mengubah keadaan.

Ketidakjujuran, pengabaian dan ketidakbecusan punya harga, dan dalam masa pandemi itu dibayar dengan nyawa.

Semoga pengetahuan yang kita himpun, percakapan yang kita lakukan, serta kesadaran yang kita peroleh hari ini terus bisa bergulir dan bergerak.

Panjang umur perlawanan!

Jakarta, 4 Februari 2021

Pidato Solidaritas Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste dalam Peluncuran Jurnal Perempuan 107 "Perempuan dan Pandemi Covid-19"

4/2/2021

 
Picture
Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste
H.E. Bapak Cameron MacKay
 
Good afternoon, bonjour, selamat siang!

Senang sekali saya dapat bergabung dengan Anda semua dalam acara peluncuran resmi Jurnal Perempuan edisi 107, yang tentu saja berfokus pada ‘Perempuan dan Pandemi COVID19’.

Setelah nyaris setahun pandemi ini berlangsung, jalan kita masih panjang.

Sementara semua orang menghadapi tantangan, perempuanlah yang terkena dampak paling tidak proporsional dan menanggung beban dampak ekonomi dan sosial COVID-19.

Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau berkata: “Pandemi telah menyoroti dan memperdalam ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang ada bagi perempuan di dalam masyarakat kita. Kita tahu bahwa dibutuhkan kerja keras untuk memperbaiki kesenjangan ini, yang akan bertambah buruk tanpa tindakan tegas. Sekarang, lebih dari sebelumnya, kita perlu memastikan bahwa perempuan mendapatkan dukungan sehingga kita tidak kehilangan kemajuan yang telah dibuat dalam beberapa tahun terakhir.”

Kita semua tahu beliau benar.

Lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang kehilangan pekerjaannya akibat pandemi, dan perempuanlah yang dipaksa untuk menanggung beban rumah tangga yang meningkat di rumah.  

58% perempuan di dalam sektor formal Indonesia, dan 71% di sektor informal, telah kehilangan pekerjaan mereka atau mengalami penurunan pendapatan. Kami melihat dampak yang sama di Kanada.

Bahkan di antara anak-anak kita melihat kesenjangan gender yang makin melebar – perkiraan menunjukkan bahwa ada tambahan 11 juta anak perempuan yang kemungkinan besar meninggalkan sekolah pada akhir krisis COVID.

Lembaga UN Women dan lainnya telah menunjukkan adanya “pandemi bayangan” berupa kekerasan yang meningkat terhadap perempuan di negara-negara di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, diperkirakan terjadi peningkatan 75% kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan selama pandemi. Dan situasinya serupa di negara saya.

Jurnal Perempuan tahun ini menyoroti semua kisah ini - dan menunjukkan banyak sekali kesulitan yang dihadapi oleh jutaan wanita dan anak perempuan di seluruh Indonesia karena krisis COVID.

Sayangnya, terlepas dari implikasi gender yang jelas dari pandemi, upaya tanggapan dan pemulihan di seluruh dunia masih belum cukup. Di Kanada, di Indonesia, dan di semua negara - Kita semua harus berbuat lebih baik.

Melibatkan perempuan dan anak perempuan dalam pengambilan keputusan tentang tindakan respon pandemi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dan prioritas mereka baik di negara maju dan berkembang.

Di Indonesia, Kanada bekerja sama dengan berbagai mitra untuk membantu mengurangi dampak pandemi ini pada mereka yang paling rentan dan miskin, terutama perempuan dan anak perempuan.

Kanada memberi dukungan langsung sebesar 2,35 juta dollar kepada Indonesia untuk penanggulangan pandemi termasuk 850 ribu dollar kepada UNICEF dan Palang Merah Indonesia untuk memberikan bantuan darurat dalam menanggapi COVID-19, serta tambahan 1,5 juta dollar melalui Proyek BERANI kami – dalam kemitraan dengan UNFPA dan UNICEF – untuk membantu menyediakan layanan kesehatan reproduksi seksual yang memadai, dan membantu melindungi bidan, ibu, dan anak selama pandemi COVID-19.

Melalui Canada Fund untuk Prakarsa Lokal, kami juga bekerja sama dengan mitra lokal untuk membantu perempuan korban kekerasan, dan melatih perempuan akar rumput agar dapat mengadvokasi anggaran untuk merespon COVID19 yang responsif gender di wilayah mereka.

Kami juga telah memberikan 1,5 juta dollar kepada BBC Media Action untuk memerangi penyebaran informasi dan mis-informasi COVID-19 di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Proyek ini akan mendukung pembuatan konten media untuk mengatasi "infodemi", memperkuat kapasitas media lokal, dan mendukung komunikasi yang efektif dalam bantuan kemanusiaan secara keseluruhan.

Kanada juga berkomitmen untuk mendukung akses global yang adil untuk vaksin COVID-19, dan telah memberikan dana yang cukup besar kepada Fasilitas COVAX dan Gavi, Aliansi Vaksin, untuk mendukungnya.

Saya bangga bahwa Menteri Pembangunan Internasional kami, Karina Gould, baru-baru ini bergabung dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Menteri Kesehatan Ethiopia Lia Tadesse - semuanya perempuan - sebagai ketua bersama COVAX Advance Market Commitment Engagement Group.

Grup ini akan mendukung partisipasi 92 negara berpenghasilan menengah ke bawah dan rendah di seluruh dunia dan memastikan akses mereka untuk vaksin COVID-19.

Saya berharap penelitian yang sangat baik dalam Jurnal Perempuan tahun ini akan menjadi pengingat yang berguna untuk selalu menempatkan perempuan dan anak perempuan pada pusat upaya kita dalam upaya pemulihan dari pandemi COVID-19.

Seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres: “Kesetaraan gender dan hak-hak perempuan sangat penting untuk melewati pandemi ini bersama, untuk pulih lebih cepat, dan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua orang.”

Terima kasih dan selamat berdiskusi.

Perempuan Berdaya Indonesia Maju, Refleksi Awal Tahun 2021: Quo Vadis Perempuan Indonesia

7/1/2021

 
Senin (4/1)  Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) mengadakan Webinar yang mengangkat tema “Perempuan Berdaya Indonesia Maju, Refleksi Awal Tahun 2021: Quo Vadis Perempuan Indonesia”. Kegiatan ini bertujuan mendiskusikan kiprah perempuan dalam berbagai bidang dalam kaitannya dengan penanganan Pandemi Covid-19.
 
Dalam pidato pembukaan, Diah Pitaloka—Ketua Presidium KPP-RI memaparkan peran sentral perempuan dalam pemulihan di tengah krisis pandemi ini. Menurut Diah Pitaloka, perempuan masih dihadapkan pada persoalan diskriminasi dan ketidakadilan gender. Ia berharap diskusi ini dapat menilai apakah pendekatan yang lebih berperspektif feminis telah digunakan di tengah kebijakan new normal di Indonesia.
 
Sri Mulyani, Menteri Keuangan saat ini, memaparkan dinamika yang muncul dalam pemulihan ekonomi perempuan dalam merespons Covid-19. Menurut Sri Mulyani, Covid-19 berdampak pada pelemahan ekonomi dalam jangka menengah dan jangka panjang. Hal-hal yang mengalami penurunan misalnya human capital, public investment, private investment dan produktivitas.  Untuk merespons kondisi pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan khusus (extra ordinary policy), yaitu Perpu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diesease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19;  Stimulus penanganan covid-19 dan melalui program Pemulihan Ekonomi—PEN), reopening policy (pemberian stimulus ekonomi) dan recovery & reform policy (akselerasi pemulihan ekonomi melalui keberlanjutan kebijakan pemuihan ekonomi dan  mendorong transformasi).
 
Menurut Sri Mulyani, akibat diskriminasi perempuan telah mengalami dampak tidak proporsional dalam menghadapi pandemi. Sebagai salah satu contoh, karena pembagian peran/ kerja gender banyak perempuan bekerja di sektor perawatan dan kesehatan. Akibatnya mereka memiliki risiko terpapar virus lebih tinggi.  Persoalan lain yang dihadapi oleh perempuan di saat pandemi adalah persoalan beban ganda dan peningkatan KDRT. Dengan demikian, Sri Mulyani menjelaskan bahwa berbagai rancangan  kebijakan saat ini bertujuan untuk memberikan benefit lebih besar bagi kelompok perempuan dan memastikan inklusifitas.    
 
“Seluruh program dukungan yang dilakukan oleh pemerintah secara langsung tidak langsung, targetnya adalah perempuan. PKH (Program Keluarga Harapan), Kartu Sembako, BLT (Bantuan Langsung Tunai) Dana Desa, Bantuan beras PKH, Bantuan tunai sembako non-PKH, diskon listrik dan lain sebagainya target penerima manfaat  adalah perempuan. PKH yang diberikan pada 10 juta rumah tangga, lebih dari 90% diterima oleh perempuan kepala keluarga, begitu juga bantuan terhadap UMKM yang sebagain besar dilakukan oleh perempuan”, ungkap Sri Mulyani. 
 
Menurut Sri Mulyani perempuan memiliki peran penting dalam mendorong perekonomian Indonesia. Menurut dia bila gender equality membaik maka ekonomi rumah tangga dan ekonomi negara menjadi lebih baik. 
 
Dalam webinar ini, Retno Marsudi-Menteri Luar Negeri, menyatakan tahun 2020 sebagai tahun yang berat bagi Indonesia dan bagi dunia. Ia memperkirakan bahwa di tahun 2021 persoalan pandemi masih akan mendominasi isu baik di dalam negeri maupun internasional. Retno menyatakan , saat ini fokus Kementerian Luar Negeri selain pada diplomasi kesehatan, juga dalam isu pengarusutamaan gender.  Kedua isu ini penting dalam politik luar negeri karena pandemi menimbulkan kerentanan baru bagi perdamaian yang berkelanjutan. Menurut Retno, World Food Programme, pada tahun 2020 telah mengestimasi lebih dari 270 juta manusia, termasuk perempuan dan anak perempuan akan mengalami kelaparan karena kombinasi antara konflik dan pandemi. Selain itu upaya menjaga perdamaian yang berkelanjutan juga terhambat dengan adanya kebijakan lock down yang diberlakukan disejumlah negara.
 
Narasumber terakhir, Ida Fauziyah-Menteri Ketenagakerjaan, memaparkan persoalan yang dihadapi perempuan dalam bidang ketenagakerjaan. Menurut Ida Fauziah, data BPS menunjukkan terjadinya peningkatan pengangguran yang disebabkan oleh pandemi. Berdasarkan segregasi gender, tercatat 623.407 orang perempuan kehilangan pekerjaan dikarenakan pandemi (Kemenaker dan  Jamsostek 2020). Menurut Ida Fauziah situasi ini sangat memprihatinkan, sebab tanpa pandemi pun TPAK (Tingkat Partisipasi Agkatan Kerja) perempuan di Indonesia masih jauh lebih rendah daripada laki-laki. Fauziah menambahkan, dalam kondisi pandemi, perempuan pekerja mengalami sejumlah kerentanan baru seperti: risiko kehilangan dan mengalami penurunan pendapatan, baik karena PHK atau dirumahkan, beban ganda terkait perawatan rumah tangga dan tambahan beban pengasuhan dan pendidikan anak yang diseababkan oleh kebijakan lock down, serta kerentanan mengalami KDRT. 
 
Ketiga menteri perempuan dalam webinar ini menekankan pentingnya pengarusutamaan gender untuk memastikan keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor pembangunan, terutama di dalam situasi pandemi. Sebab seperti dipaparkan oleh ketiganya, pandemi memberikan dampak pada setiap orang tetapi perempuan mengalami dampak yang tidak proporsional karena gendernya.  Artinya, kebijakan-kebijakan yang ada perlu untuk memastikan hadirnya  aspek perlindungan dan pemberdayaan perempuan. (Abby Gina)

Pandemi, Kerentanan Berlapis bagi Perempuan dan RUU PKS

21/12/2020

 
Picture

​​Jumat (18/12), INFID mengadakan webinar dengan topik “Women’s Rights are Human Rights: Meninjau Kembali Urgensi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual”. Webinar yang merupakan bagian dari Festival HAM 2020 ini menghadirkan Mariana Amiruddin (Wakil Ketua Komnas Perempuan), Tatat (INFID) dan Rika Rosvianti (pendiri perEMPUan). Salah seorang anggota DPR yang sedianya menjadi narasumber tidak kunjung hadir hingga acara usai.

Pandemi yang tengah melanda saat ini bagai jebakan yang nyata-nyata meningkatkan kerentanan berlapis bagi perempuan. Penanganan pandemi yang mensyaratkan warga untuk tetap berada di rumah memerangkap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga bersama pelaku; berada di luar rumah pun tak mengurangi risiko menjadi korban karena kekerasan terhadap perempuan juga kerap terjadi di ruang publik; memindahkan aktivitas melalui daring pun berisiko menjadi korban kekerasan berbasis gender secara online (KBGO).

Komnas Perempuan kembali menegaskan terjadinya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi. Mariana menyampaikan menurut data terkini sampai dengan Oktober 2020 telah terhimpun 1.458  kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Dari jumlah tersebut, terdapat 378 kekerasan fisik dan 483 kasus kekerasan seksual. Di ranah komunitas, dari data yang terhimpun sebanyak 56,8% atau 405 kasus yang dilaporkan merupakan kasus kekerasan seksual. Sementara itu di ranah siber, sampai dengan Oktober 2020 telah terlapor sebanyak 659 aduan kasus kekerasan berbasis gender di ranah siber, yang meningkat 200% dibandingkan dengan jumlah aduan pada tahun sebelumnya (2019) sebanyak 281 kasus. 

“Sepanjang tahun 2016 hingga 2019, dari catahu yang dihimpun Komnas Perempuan, terdapat 55.273 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke lembaga layanan baik yang dikelola masyarakat, di bawah pemerintah maupun aduan ke kepolisian. Dari jumlah tersebut, sebanyak 21.841 merupakan kasus kekerasan seksual, dimana 8.964 merupakan kasus perkosaan. Dari jumlah laporan yang diadukan tersebut, kurang dari 30% kasus yang kemudian diproses secara hukum” ujar Mariana. 

Minimnya proses hukum untuk kasus kekerasan seksual, menurut Mariana, menunjukkan aspek substansi hukum yang ada tidak mengenal sejumlah tindak kekerasan seksual dan hanya mencakup definisi yang terbatas. “Aturan pembuktian yang membebani korban dan budaya menyalahkan korban serta terbatasnya daya dukung pemulihan korban juga menjadi kendala utama”, Mariana menambahkan.

Sejalan dengan hal tersebut, Rika menyampaikan bahwa meskipun sudah terdapat seperangkat peraturan perundang-undangan yang selama ini menjadi rujukan untuk kasus kekerasan seksual seperti UU PKDRT, UU PTPPO dan UU Perlindungan Anak namun kesemuanya memiliki cakupan perlindungan yang terbatas. Perempuan dengan identitas berusia di atas 18 tahun yang tidak terikat dalam perkawinan tercatat dan / atau bukan korban tindak pidana perdagangan orang, yang menjadi korban kekerasan seksual masih belum terlindungi aturan hukum. KUHP yang ada menurut Rika mengandung kelemahan dan keterbatasan untuk penanganan kasus kekerasan seksual.

Tidak mengherankan jika kemudian bermunculan korban yang menceritakan kasus kekerasan seksual yang dialaminya melalui media sosial sebagai upaya terakhir dalam mencari keadilan. Fenomena yang dikenal dengan istilah “spill-case call out” ini menurut Rika, bukan tanpa konsekuensi. “Spill case call out ini berpotensi menimbulkan kerentanan lain seperti misalnya korban bisa terkena ancaman UU ITE karena dianggap mencemarkan nama baik pelaku”, ujar Rika. 

Konsekuensi lain, ungkap Rika,  adalah memunculkan apa yang disebut “online redemption” dimana pelaku memohon maaf atas perbuatannya tersebut. “Online redemption dianggap cukup sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku, padahal hal tersebut tidak membantu korban dan hanya sekedar memulihkan nama baik  pelaku semata”, ungkap Rika. 

Lebih lanjut Mariana juga memaparkan bahwa ketiadaan dan tertundanya prioritas payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual adalah suatu tindakan pengabaian dan melanggar hak konstitusi perempuan sebagai warga negara yang dijamin Undang-undang. Apabila kelalaian, pengabaian, pelanggaran baik yang disengaja maupun tidak, terus dilakukan, maka negara dapat dikatakan telah bertindak inkonstitusional, tidak menjamin kemerdekaan bagi perempuan sebagai warga negara untuk jauh dari rasa takut dan diskriminasi.

Di sisi lain, Rika menyesalkan bahwa kampanye mendorong pengesahan RUU PKS yang dilakukan selama ini melalui pendekatan humanis terbukti belum berhasil menggugah empati para pembuat kebijakan terhadap korban. Menurutnya, strategi lain dengan pendekatan perilaku rasional yang mengedepankan insentif dari adanya UU PKS barangkali akan lebih mengena di hati para pembuat kebijakan. “Mewujudkan UU PKS bukanlah hal yang sulit. Catahu yang diluncurkan setiap tahun merupakan bentuk peringatan tidak tertanganinya pemenuhan rasa keadilan, perlindungan dan pemulihan korban”, tegas Mariana. (Dewi Komalasari)

Kajian Komnas Perempuan tentang Dampak Kebijakan PSBB terhadap Hak Konstitusional Perempuan

11/12/2020

 
Picture
Kamis, 10 Desember 2020, sebagai bagian dari rangkaian kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Komnas Perempuan meluncurkan hasil kajian mereka mengenai implementasi kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan dampaknya terhadap hak konstitusional perempuan.  Dalam kata sambutannya, Andy Yentriyani - Ketua Komnas Perempuan bahwa diseminasi kajian ini merupakan bagian dari pemenuhan HAM Perempuan. Menurut Andy pandemi Covid-19 memberikan dampak tidak proporsional bagi perempuan dan kelompok marginal lainnya. Menurut Andy, kajian ini penting karena menjadikan pengalaman konkret perempuan sebagai basis rekomendasi Komnas Perempuan kepada pemerintah. Di dalam hasil kajian ini disajikan berbagai persoalan yang dihadapi perempuan selama pandemi, dan juga bentuk-bentuk resiliensi kelompok perempuan merespons situasi sulit.  
 
Di dalam acara peluncuran ini, Allaster Cox - Kuasa Usaha Kedutaan Besar Australia, turut memberikan pidato pembukaan. Cox menyatakan bahwa dampak Covid-19 tidak bersifat netral gender. Cox menjelaskan bahwa pandemi ini memberikan dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, misalnya perempuan menjadi lebih rentan tertular Covid-19 karena kerja-kerja mereka terkait perawatan; meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan semasa pandemi dalam  kondisi PSBB.  Dalam bidang sosial, ekonomi dan keamanan pun dampak Covid-19 dirasakan lebih buruk oleh perempuan dan anak perempuan. Sebelum Covid-19 terjadi, menurut Cox, ketidakadilan gender telah terjadi. Namun pandemi ini memperburuk ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat.
 
Slamet Soedarsono - Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Bappenas, memberikan pidato kunci. Dalam pidatonya Soedarsono memberikan apresiasi terhadap kerja Komnas Perempuan untuk menghasilkan kajian ini. Menurut Soedarsono, paparan  data dalam kajian ini penting untuk mendorong hadirnya kebijakan-kebijakan berbasis bukti dan pengalaman baik  yang telah ada. Soedarsono menjelaskan bahwa pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan, protokol, dan  layanan guna memastikan terpenuhinya HAM Perempuan dan Anak perempuan.  Menurutnya, Pengarusutamaan Gender penting dan telah  diaplikasikan untuk meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia.
 
Dalam Peluncuran Hasil Kajian Implementasi Kebijakan PSBB tersebut, Maria Ulfah- Komisioner Komnas Perempuan, dan Dati Fatimah - Konsultan AIPJ2; memaparkan temuan-temuan kunci dari Kajian Implementasi Kebijakan PSBB serta Dampaknya Pada Hak Konstitusional Perempuan. Maria menyebutkan temuan praktik-praktik baik yang telah dilakukan oleh kementerian dan lembaga untuk perlindungan perempuan, kelompok rentan dan kelompok marginal. Namun ia menekankan pentingnya memastikan bahwa di masa mendatang seluruh kebijakan terkait Covid-19 akan menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional perempuan seperti:  hak bebas dari diskriminasi dalam kaitannya terhadap kekerasan basis gender dan beban ganda; hak atas layanan kesehatan; hak atas pelayanan jaminan sosial; hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak; hak komunikasi; serta hak atas rasa aman.
 
Maria menunjukkan sejumlah tantangan utama yang dihadapi perempuan semasa pandemi, baik di bidang ekonomi, hak kesehatan reproduksi, keamanan dan akses terhadap jaminan sosial. Dalam aspek ekonomi, guncangan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi berimplikasi pada kesempatan kerja perempuan, meningkatnya risiko PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) bagi perempuan, penurunan kesejahteraan pekerja perempuan, dan penurunan produktivitas kerja perempuan (yang disebabkan oleh beban ganda). Dalam kaitannya dengan hak reproduksi, menurut Maria, persoalan utama yang hadir di permukaan di antaranya adalah: sulitnya akses perempuan terhadap layanan kontrasepsi, kehamilan tidak dikehendaki, dan peningkatan perkawinan anak. Sedangkan dalam kaitannya dengan hak konstitusional mengenai akses jaminan sosial, kajian ini menemukan tantangan perempuan dan kelompok marginal, seperti trans-puan dan difabel, dalam mengakses program jaminan sosial.
 
Dati Fatimah memaparkan sejumlah resiliensi perempuan di masa pandemi Covid-19, seperti aksi kolektif yang dilakukan perempuan di berbagai wilayah. Narasi resilensi menggarisbawahi 4 temuan resiliensi yaitu; aksi kolektif dari lembaga pengada layanan di masa pandemi di Palu dan Ambon yang berstrategi mengombinasikan layanan luring dan daring dalam menangani kasus korban kekerasan;  ekonomi berbagi di masa pandemi yang dilakukan oleh kelompok EMPU, gerakan ini membangun bisnis berkeadilan (wira usaha sosial) yang memberdayakan komunitas pamong jamu dan komunitas fesyen; gerakan dapur umum yang memberikan makanan bagi kelompok  informal sebagai kelompok yang sangat terdampak Covid-19; dan yang terakhir gerakan organisasi keagamaan dan lintas iman yang menumbuhkan dan mempraktikkan solidaritas tidak hanya bagi umat tetapi solidaritas bagi kemanusiaan.
 
Peluncuran dan diseminasi hasil kajian Komnas Perempuan ini bermuara pada rekomendasi jangka pendek, menengah dan jangka panjang untuk merespons pandemi Covid-19 secara lebih holistik dan integratif. Rekomendasi jangka pendek kajian ini adalah desakan kepada negara untuk meredam dampak dengan skema afirmasi. Sedangkan untuk rekomendasi jangka menengah, Komnas Perempuan menghimbau negara untuk mengembangkan kapasitas adaptasi dalam transisi ke pemulihan pandemi yang menekankan sumber daya komunitas. Dalam tahapan transisi pemulihan ini perlu dipastikan bahwa perempuan dan kelompok marginal dapat mengakses berbagai kebijakan, program dan layanan publik.  Terakhir, untuk rekomendasi jangka panjang, Komnas Perempuan meminta agar program pemulihan Covid-19, aspek-aspek transformasi yang berkeadilan terlaksana. Yaitu, upaya untuk mendorong perubahan relasi kuasa. (Abby Gina)

Kerentantan Perempuan Disabilitas terhadap Kekerasan Berbasis Gender

21/10/2020

 
Pandemi Covid-19 dapat dikatakan berdampak langsung pada sebagian besar orang. Namun dampak yang dirasakan oleh penyandang disabilitas berbeda dengan dampak yang dirasakan oleh non-disabilitas, sebagaimana temuan dalam “Laporan Asesmen Cepat Dampak Covid-19 kepada Penyandang Disabilitas di Seluruh Indonesia”--yang merupakan inisiatif dari Jaringan DPO Respons Covid-19 Inklusif. Asesmen yang dilakukan pada Mei 2020  melibatkan 1.638 responden menyimpulkan perbedaan dampak terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kesempatan dalam seluruh aspek kehidupan penyandang disabilitas, seperti belum tersedianya aksesibilitas dan akomodasi yang layak, yang menghambat banyak penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam masyarakat. Hal ini disampaikan Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas (HWDI) Maulani Rotinsulu dalam Diskusi Kelompok Terbatas bersama media (16/10).
 
Hasil asesmen cepat itu juga menunjukkan perempuan disabilitas lebih rentan terhadap dampak pandemi bila dibandingkan dengan laki-laki. Bagi perempuan dengan disabilitas, dampak pandemi menjadi berlipat ganda karena adanya faktor ketidaksetaraan gender yang telah mengakar dan cenderung membatasi ruang gerak perempuan pada ranah domestik. Situasi ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan disabilitas menjadikannya rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan berbasis gender (KBG).
 
“Perempuan dengan disabilitas mengalami diskriminasi ganda, bukan hanya karena jenis kelaminnya, tetapi juga karena disabilitas mereka. Ketimpangan struktural yang sudah terjadi pada masa sebelum pandemi kini diperparah dengan berbagai dampak dari pandemi,” ujar Maulani. Kelompok ragam disabilitas yang paling rentan menurutnya adalah perempuan dengan spektrum autisme serta mereka yang memiliki gangguan pendengaran, penglihatan, psikososial, atau intelektual. Perempuan disabilitas mengalami berbagai bentuk Kekerasan Berbasis Gender (KBG)  sepanjang siklus kehidupannya, sejak dari usia anak, remaja, hingga dewasa.
 
“Kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan disabilitas bukan hanya isu baru-baru ini tetapi sudah dialami sedari dulu dan merupakan fenomena gunung es karena tidak semua korban mengadukan kasusnya,” ungkap Maulani. Menurut Maulani, banyak korban tidak berani mengadukan kekerasan yang dialaminya karena hampir sebagian besar pelaku adalah orang dekat dan mereka khawatir akan kembali mengalami kekerasan jika mengadu ke orang lain. Minimnya liputan media terhadap kasus-kasus yang dialami perempuan disabilitas semakin meredupkan harapan terhadap dukungan publik yang lebih luas untuk mendorong hadirnya kebijakan yang melindungi dan menjawab kebutuhan perempuan disabilitas.
 
Selama ini penanganan terhadap kasus kekerasan yang dialami perempuan disabilitas sering terhambat dan tidak sedikit pula yang tak tuntas karena berbagai alasan mulai dari Aparat Penegak Hukum (APH) yang belum atau kurang memahami isu disabilitas, tidak cukup bukti, tidak tersedia akomodasi yang layak, layanan yang sulit diakses, dan peraturan/kebijakan yang belum berpihak bagi penyandang disabilitas. Untuk memastikan optimalisasi penanganan dan pendampingan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas korban KBG, HWDI mengajukan sejumlah rekomendasi kepada perwakilan rakyat di Parlemen, Pemerintah, serta institusi-institusi lain yang terkait.
Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah melakukan harmonisasi kebijakan pada tingkat nasional dan daerah dengan memperhatikan prinsip kesetaraan-keadilan gender, inklusifitas, dan interseksionalitas isu yang berdasarkan keragaman kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat miskin, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya. Selain itu, HWDI juga merekomendasikan kepada pembuat kebijakan untuk segera merumuskan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bentuk komitmen untuk melindungi setiap orang dari tindak kekerasan berbasis gender, termasuk perempuan disabilitas yang merupakan salah satu kelompok rentan. (Dewi Komalasari)
 
 

​Plan Internasional Indonesia: Anak Perempuan Harus Terbebas Dari Kekerasan di Dunia Online

9/10/2020

 
PictureDok. Plan Internasional
Jumat (09/10), dalam rangka merayakan Hari Anak Perempuan Internasional, Plan Internasional Indonesia menyelenggarakan webinar dengan mengangkat tema “Freedom Online: Kebebasan Berekspresi dan Terbebas dari Kekerasan Online”. Tema yang diangkat merupakan respons Plan Internasional Indonesia atas banyaknya kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang dialami anak perempuan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
 
Dalam sambutannya, Dini Widiastuti (Executive Director Plan Internasional Indonesia) menyampaikan bahwa #FreedomOnline merupakan tema yang dipilihan untuk program Girls Take Over tahun 2020. Menurutnya, tema tersebut dipilih guna membantu anak perempuan untuk terhindar dari kekerasan online, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan secara maksimal dan tanpa hambatan. “Kami di Plan bukan hanya bicara soal pemenuhan hak anak, tapi juga kesetaraan. Anak perempuan adalah kelompok marginal, terlebih lagi karena identitasnya sebagai anak dan sebagai perempuan,” ungkap Dini.
 
Dini melanjutkan bahwa di masa pandemi COVID-19 ini, tema #FreedomOnline sangat relevan, mengingat segala aktivitas dilakukan secara daring termasuk sekolah. Menurutnya, penting menciptakan ruang digital yang aman bagi anak dan mendukung kesetaraan gender. “Besar sekali persentase anak-anak perempuan yang mengalami bullying dan pelecehan di dunia online. Kita perlu perhatikan hal ini dan menambahkan pengetahuan ini kepada anak-anak,” pungkas Dini.
 
Dalam webinar ini, Nazla Mariza (Influencing Director Yayasan Plan Internasional Indonesia) menyampaikan hasil penelitian yang disusun Plan Internasional terkait kekerasan di dunia online yang dialami anak perempuan. The State of The World’s Girls Report tahun 2020, mendokumentasikan berbagai temuan penting terkait kekerasan online yang dihadapi 14.000 anak perempuan di 31 negara di seluruh dunia. Di Indonesia, ada 500 anak dan perempuan muda yang terlibat sebagai responden penelitian tersebut.
 
Nazla menyampaikan bahwa secara global, (1) lebih dari setengah anak perempuan yang menjadi responden pernah mengalami kekerasan atau pelecehan di dunia online; (2) satu dari empat anak perempuan yang mengalami pelecehan online merasa tidak aman secara fisik; (3) pelecehan di dunia online membungkam anak perempuan; (4) ada serangan kepada identitasnya sebagai anak perempuan dan terhadap konten yang mereka angkat.
 
“Di Indonesia, hasil riset menunjukkan bahwa 32% responden pernah mengalami KBGO, sedangkan 56% pernah mengetahui atau melihat KBGO,” jelas Nazla. Lebih jauh, data riset menunjukkan bahwa perempuan yang berusia 15-20 tahun merupakan kelompok paling rentan alami KBGO. Tiga platform komunikasi online yang paling banyak menjadi medium KBGO adalah, Facebook, WhatsApp, Instagram.
 
Nazla juga mencatat, ada korelasi antara pengetahuan responden tentang KBGO dengan kemampuan mereka mengidentifikasi pengalaman KBGO. “Mayoritas anak yang menjawab tidak tahu definisi KBGO, akan menjawab tidak pernah mengalami KBGO, dengan demikian saya kira pada praktiknya KBGO lebih banyak daripada data yang kita temukan,” jelas Nazla.
 
Bentuk-bentuk KBGO yang mayoritas dialami anak dan kaum muda perempuan antara lain, ancaman kekerasan seksual (96%), bullying (43%), stalking (42%), body shaming (27%). Menurut Nazla, KBGO ini sangat berdampak serius pada kesehatan mental dan rasa percaya diri anak perempuan. Terlebih lagi, 56% pelaku kekerasan adalah orang yang dikenal seperti teman di sekolah. “Dampaknya anak perempuan kerap merasa rendah diri, kehilangan percaya diri, tidak aman secara fisik, menjauhi temannya, stres mental dan emosional, cenderung mengisolasi diri, pindah sekolah,” jelas Nazla.
 
Dalam kesempatan tersebut, Nazla juga menyebutkan beberapa rekomendasi kunci Plan Internasional Indonesia untuk perusahaan media sosial, pemerintah, dan komunitas dalam rangka menciptakan ruang aman bagi anak perempuan di dunia online. Ia menyebutkan bahwa perusahaan media sosial harus menangani kasus KBGO secara serius dengan membuat mekanisme pelaporan yang lebih tegas.
 
Lebih jauh, Nazla mengatakan bahwa pemerintah perlu memastikan akses internet yang inklusif dan aman. Pemerintah juga harus memastikan tanggung jawab perusahaan media sosial dan platform pihak ketiga. Keberpihakan pada anak dan kaum muda perempuan yang menjadi korban juga sangat penting dilakukan oleh pemerintah. “Pemerintah juga diharapkan dapat membuat regulasi yang efektif dan memberikan pelatihan bagi aparat penegak hukum terkait penanganan KBGO yang sensitif pada anak dan kaum muda perempuan,” jelasnya.
 
Ia menambahkan bahwa komunitas dan lingkungan sekitar harus berperan dalam menciptakan ruang aman yang mendukung kemajuan anak perempuan. “Pengguna internet adalah mayoirtas kaum muda. Seharusnya media sosial, yang menjadi saluran utama kaum muda berinteraksi, berdiskusi, dan memengaruhi opini, maka publik harus menjadikan ruang digital sebagai wadah yang positif dan aman,” ungkap Nazla.
 
Dalam acara ini juga diperkenalkan 5 anak perempuan yang dinyatakan terpilih sebagai peserta program “Girls Take Over: Sehari Jadi Pemimpin” tahun 2020. Kelima anak perempuan ini ialah Devie (Maluku Utara), Fayanna (Jawa Barat), Patrichia (Papua), Phylia (Nusa Tenggara Timur), Salwa (Kalimantan Timur). Forum ini juga menjadi ruang bagi mereka untuk berbagi pengalaman menjadi pemimpin dalam sehari kepada para peserta webinar dan anak perempuan di Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi)

Gerakan 1000 Serbet PRT: Mendesak DPR Segera Membahas dan Mengesahkan RUU Perlindungan PRT

5/10/2020

 
Picture
Jakarta, Minggu (4/10) Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga yang lebih dikenal dengan sebutan JALA-PRT mengadakan kegiatan aksi Gerakan 1000 Serbet PRT. Kegiatan yang dilakukan secara virtual melalui platform digital Zoom tersebut diikuti sekitar 200 orang dari berbagai kalangan mulai dari aktivis perempuan, tokoh agama, akademisi, jurnalis media, buruh dan perwakilan PRT di berbagai daerah dan juga PRT migran di luar negeri (Singapura, Malaysia, Hong Kong dan Taiwan).

Gerakan 1000 Serbet ini merupakan rangkaian dari kegiatan advokasi untuk  mendesak agar DPR segera melanjutkan pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan juga mengesahkannya sebagai RUU Inisiatif DPR. Selain konferensi pers dan aksi  kampanye secara virtual, JALA-PRT juga mengirimkan surat terbuka berisi dukungan 179 organisasi dan 1636 individu kepada DPR, melakukan diskusi dengan tokoh-tokoh lintas agama dan sebagai puncaknya akan mengirimkan 9 serbet kepada DPR menjelang paripurna mendatang.

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga telah terkatung-katung cukup lama. Tidak kurang dari tiga periode dewan telah berlalu sejak RUU PPRT masuk dalam program legislasi nasional. Namun setelah 16 tahun, pembahasan tidak kunjung berlanjut dan seolah digantung tanpa ada kejelasan kapan akan dibahas kembali. Pada periode dewan yang lalu, RUU PRT sudah melalui pembahasan di badan legislasi dan hanya perlu didorong untuk dibawa ke paripurna untuk kemudian menuggu penjadwalan di badan musyawarah. Namun tahapan tersebut tidak pernah terjadi. Koordinator JALA-PRT, Lita Anggraini mengakui bahwa RUU PPRT sarat dengan konflik kepentingan dari pembahas--sebagai pihak pemberi kerja--yang khawatir kehadiran RUU PPRT akan mengubah relasi antara pekerja rumah tangga dengan pemberi kerja yang sudah ajeg selama ini (status quo).

“Selama ini banyak isu yang beredar mengenai substansi RUU PPRT, seperti bahwa dalam RUU, nantinya PRT hanya mau mengerjakan satu pekerjaan, atau bahwa PRT menuntut upah yang disamakan dengan UMR,” ujar Lita. Menurutnya hal-hal semacam itu perlu diluruskan. RUU PPRT yang didorong kelompok masyarakat sipil bermaksud agar ada payung hukum yang menjadi dasar pengakuan terhadap profesi pekerja rumah tangga. Dengan demikian pekerja rumah tangga baik domestik dan migran, yang jumlahnya mencapai lima juta orang dan sebagian besarnya adalah perempuan, terlindungi secara hukum.

“RUU PPRT ini nantinya tidak hanya akan melindungi lima juta pekerja rumah tangga, tetapi juga memberi perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi kerja,” Lena Maryana Mukti, Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) menambahkan. Lena yang pernah menjabat sebagai anggota DPR melalui pergantian antar waktu pada periode lalu juga mengimbau kepada rekan-rekannya anggota DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR. Lena menyampaikan bahwa peran PRT tidak hanya membantu perempuan dan laki-laki dalam pekerja domestik mereka, tetapi juga turut berkontribusi dalam membantu pertumbuhan ekonomi.

Pendapat serupa juga disampaikan Ketua Umum KOWANI Giwo Rubianto dalam pernyataan dukungannya. “Kami memohon dengan sangat kepada DPR untuk segera mengagendakan RUU PPRT dalam rapat paripurna terdekat. RUU PPRT sebagai bentuk perlindungan negara tidak hanya terhadap PRT tetapi juga pemberi kerja,” ujar Giwo. KOWANI--yang banyak anggotanya merupakan pihak pemberi kerja--selama ini turut aktif menyuarakan perlunya kehadiran RUU PPRT.
Dalam tuntutannya, perwakilan PRT yang terhimpun dalam serikat-serikat pekerja rumah tangga maupun organisasi pekerja rumah tangga di berbagai daerah seperti Sumatera Utara, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Semarang, DIY, dan DKI Jakarta menyampaikan permohonannya agar DPR segera mengesahkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna mendatang.

Dukungan untuk disahkannya RUU PPRT datang dari berbagai organisasi PRT migran yang berada di luar negeri. Persatuan Pekerja Rumah Tangga Migran (PERTIMIG) di Malaysia menyampaikan bahwa selama ini PRT migran menjadi korban TPP dan bentuk kekerasan maupun pelanggaran hak pekerja lainnya. “Perlindungan terhadap PRT migran dimulai dari perlidungan terhadap PRT di dalam negeri,” demikian disampaikan Erma Wati dari PERTIMIG.
​
Hal senada juga disampaikan Komunitas Pekerja Migran yang berada di Taiwan (GANAS). Fajar dari GANAS Taiwan menyampaikan bahwa selama ini belum ada payung hukum terhadap PRT di negara penempatan, karena itu RUU PPRT penting untuk perlindungan terhadap PRT domestik dan migran. “Negara jangan hanya berteriak ‘negara hadir’ jika hanya untuk kepentingan devisa yang diperoleh dari PRT migran.  Negara juga harus hadir memberi perlindungan kepada PRT migran. Bagaimana bisa melindungi PRT migran jika di dalam negeri saja tidak ada perlindungan hukum terhadap PRT,”  ujar Fajar. (Dewi Komalasari)

Siaran Pers: Prioritaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas 2021

3/10/2020

 
Perjalanan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) sudah terkatung-katung hampir lima tahun sejak masuk Prioritas Prolegnas Tahun 2016-2019 dan masuk kembali menjadi Prioritas Prolegnas DPR RI 2020-2024. Namun pada 2 Juli 2020, Badan Legislasi DPR RI mengeluarkan RUU PKS dari dari Prolegnas Prioritas 2020 berdasarkan keputusan Komisi VIII DPR RI selaku pembahas RUU P-KS selama ini. Sehingga proses advokasi dan pengawalan RUU P-KS ini harus dimulai lagi agar RUU ini masuk kembali ke dalam daftar Prioritas Prolegnas Tahun 2021.
 
Keputusan DPR menuai reaksi kekecewaan dari korban, keluarga korban, pendamping dan masyarakat pemerhati hak-hak perempuan korban kekerasan seksual.Karena RUU P-KS menjadi harapan yang tertinggi dari masyarakat agar menjadi solusi dari persoalan kekerasan seksual yang selama ini terus terjadi dan membuat setiap orang berpotensi menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual.
 
Hal lain yang membuat RUU P-KS mendesak untuk segera diproses dan disahkan adalah meningkatnya data kasus kekerasan seksual di Indonesia. Data Komnas Perempuan mencatat 406,178 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2019, dimana kasus Kekerasan Seksual di ranah publik 2521 kasus dan di ranah privat 2988 kasus. Kekerasan seksual juga di alami oleh perempuan dengan disabilitas, anak, lansia dan perempuan dengan HIV/AIDS. Data Forum Pengada Layanan (FPL) tahun 2020 yang dihimpun dari 25 organisai lembaga layanan, menyatakan bahwa selama pandemi Covid-19, terdapat 340 kasus kekerasan seksual.
 
Hari ini kekerasan seksual juga semakin beragam modusnya, sehingga kebijakan dan aturan hukum yang ada saat ini tidak mampu menjawab dan memenuhi rasa keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dampaknya 10 % kasus kekerasan seksual tidak bisa diproses hukum. Sembilan bentuk kekerasan seksual belum semuanya dikenali dalam KUHP dan UU lainnya. KUHAP belum mengatur secara khusus hak perlindungan korban dan pembuktian masih menjadi beban korban yang telah terpuruk karena tindakan kekerasan yang dialami. Praktik budaya dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual yang berdampak pada reviktimisasi korban dan melangengkan praktik kekerasan seksual masih terjadi di Indonesia (seperti Papua, NTT dan Sulawesi). Kondisi ini tidak dapat di ubah jika kebijakan nasional tidak mengintervensi.
 
Untuk mendorong pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan, pemulihan, dan penanganan, kami mendorong DPR RI untuk membahas RUU P-KS agar kembali menjadi Undang-Undang prioritas pada PROLEGNAS 2021 yang harus di bahas dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 9 Oktober 2020 mendatang.

Untuk itu Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU P-KS :
 
  1. Mendorong Pimpinan Badan Legislasi DPR RI untuk berkomitmen penuh mewujudkan keadilan bagi korban kekerasan seksual dengan memasukkan kembali RUU P-KS dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. 
  2. Untuk memastikan optimalisasi RUU P-KS segera dibahas dan disahkan, maka masyarakat sipil mendorong Ketua dan pimpinan DPR-RI memutuskan dan memastikan pembahasan RUU P-KS dilakukan di Baleg DPR RI. 
  3. Menuntut DPR-RI untuk memastikan RUU P-KS mengakomodir 6 elemen kunci dalam substansi : (1) Melindungi hak-hak korban untuk mengakses keadilan sehingga mendapatkan proses peradilan yang berkeadilan; (2) Mencakup pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban serta pemidanaan pelaku; (3) Memberikan kepastian hukum terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual: pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual; (4) Mencakup juga pemidanaan khusus bagi pelaku korporasi, pelaku yang menghambat, bertindak lalai menjalankan kewajiban untuk penanganan kasus kekerasan seksual, serta sanksi administratifnya; (5) Memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan pencegahan tindak kekerasan seksual; (6) Menegaskan pengaturan layanan pemerintah maupun layanan negara yang sinergi dengan masyarakat dan LSM sebagai upaya pemulihan korban.
  4.  Mendesakkan DPR RI untuk melakukan pembahasan RUU P-KS secara transparan, partisipatif dan inklusif dengan membuka akses diskusi, memberikan ruang bagi kelompok masyarakat sipil dan korban kekerasan seksual dari kelompok marjinal untuk memberikan masukannya.
  5. Menuntut kepada Pemerintah RI dan DPR RI melakukan kerja-kerja kolaboratif dan koordinatif dengan masyarakat sipil untuk mengawal substansi RUU P-KS yang mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan korban kekerasan seksual, serta mensosialisasikan pentingnya RUU P-KS untuk perlindungan korban agar masyarakat bersama-sama mendukung pembahasan RUU P-KS.
  6. Menghimbau kepada berbagai elemen masyarakat untuk terus memperkuat sinergi kerja mengawal proses pembahasan RUU PKS di DPR RI juga melakukan dialog-dialog terbuka untuk mendukung perjuangan RUU P-KS menjadi kebijakan substantif.

Jakarta, 1 Oktober 2020
 
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
 
Lembaga 
  • Aliansi Perempuan Kalimantan untuk Perdamaian dan Keadilan Gender (AIPeKaJe)
  • AMAN Indonesia
  • Aliansi Sumut Bersatu (ASB) Sumatera Utara
  • Asosiasi APIK
  • Asosiasi Seni Kreasi Perempuan/ PWAG Indonesia
  • AUDISI (Advokasi Inklusi Disabilitas)
  • Biro Hukum, Perempuan dan Anak - Negeriku Indonesia Jaya (BHPA NINJA)
  • Biro Perempuan dan Anak – PGI
  • CEDAW Working Group Indonesia (CWGI)
  • Cakra Wikara Indonesia
  • Damar Lampung
  • DPP GMNI
  • Forum Pengada Layanan
  • GASIRA MALUKU
  • Girl Ambassador for Peace Lamongan
  • Hapsari Medan
  • Hope Helps Network
  • HWDI Nasional
  • HWDI DKI Jakarta
  • Rifka Annisa Jogjakarta
  • ICRP
  • ILFC
  • INAATA Mutiara, Maluku
  • INFID
  • Institut Kapal Perempuan
  • Institut Perempuan
  • Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)
  • JAKATARUB (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama) – Bandung
  • JALA PRT
  • Jari Bandung
  • Jaringan Perempuan Interfaith untuk Kesetaraan, Keadilan dan Perdamaian
  • Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3)
  • Kalyanamitra
  • Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB)
  • KePPaK Perempuan (Kelompok Peduli Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak)
  • Koalisi Perempuan Indonesia
  • Komunitas Pelangi Kalimantan Selatan
  • KOPRI PB PMII
  • KPKPST
  • Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores NTT
  • KPuK (Koalisi Perempuan untuk Kepemimpinan), Malang
  • Lambu Ina Kabupaten Muna
  • LAPAN Maluku
  • LBH APIK Aceh
  • LBH APIK Bali
  • LBH APIK Banten
  • LBH APIK Jakarta
  • LBH APIK Jakarta
  • LBH APIK Makasar
  • LBH APIK Pontianak
  • LBH Keadilan Tanggerang
  • Lensa Sukabumi
  • LP3A PAPUA
  • LPP SEKAR Jepara
  • LRC KJHAM Jawa Tengah
  • MaPPI FH UI
  • Pasah Kahanjak Consultant & Law Office
  • Peace Leader Indonesia
  • PEREMPUAN AMAN
  • Perempuan Mahardhika
  • Perhimpunan Jiwa Sehat
  • Perkumpulan Pendidikan Pendampingan untuk Perempuan dan Masyarakat (PP3M)
  • Peruati Kalimantan Selatan
  • Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
  • Puan Amal Hayati, Cipasung
  • Rumah Faye
  • Rumpun Gema Perempuan
  • Sahabat Perempuan Magelang
  • Sapa Institut Bandung
  • SAPDA, Daerah Istimewa Yogyakarta
  • Savy Amira, Surabaya
  • SBMI Karawang
  • Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
  • Solidaritas Perempuan
  • Solidaritas Perempuan Kinasih
  • Spek HAM Solo
  • SPI Labuan Batu
  • SSP Soe TTS NTT
  • Swara Parangpuan, Manado
  • UPIPA Wonosobo
  • WCC Bali
  • WCC Bengkulu
  • WCC Dian Mutiara Malang
  • WCC Jombang
  • WCC Mawar Balqis Cirebon
  • WCC Nurani Perempuan Padang
  • WCC Palembang
  • WCC Pasundan Durebang
  • YABIKU
  • Rapat Perempuan Kupang
  • Yapesdi
  • YAPPIKA
  • Yayasan Ciqal, Jogjakarta
  • Yayasan Embun Pelangi, Batam
  • Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP)
  • Yayasan Lambuina, Sulawesi Tenggara
  • Yayasan Pulih
  • Yayasan PUPA Bengkulu
  • Yayasan Rahim Bumi, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan
  • Yayasan Srikandi Sejati
  • YLBHI
  • PP Fatayat NU
  • Puan Mahakam, Kalimantan Timur
  • KWI dan Komisi Keadilan Migran
  • Gembala Baik
  • Parinama Astha
 
Individu 
  • Sjamsiah Achmad
  • Lies Soegondo
  • Ninik Rahayu
  • Vitria Lazzarini
  • Pratiwi Febry
  • Sri Lestari
  • Sr Irene Handayani, OSU
  • Sr Amanda
 
Narahubung 
Fathurozi +6281325693404
Venni Siregar +6283893445587
Khotimun Susanti +6281212210141
Rena Herdiyani +628129820
Mike Verawati +6281332929509
<<Previous
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com