Pada Rabu (20/03/2024) lalu, Jurnal Perempuan mengadakan kelas Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) bertajuk “Tantangan Gerakan Feminis di Indonesia: Pengalaman dari Sayap Islam” secara daring. Kelas KAFFE edisi Maret 2024 ini diampu oleh Lies M. Marcoes-Natsir, M.A., seorang aktivis perempuan dan salah satu penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di tahap awal berdiri. Beliau juga merupakan Direktur Eksekutif Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) 2013–2023. KAFFE kali ini membahas hambatan perkembangan gerakan feminisme dalam Islam. Feminisme dan Islam kerap dianggap bertolak belakang. Dalam menyibaknya, pemikiran Islam kontemporer hadir dan secara kritis mematahkan dogma-dogma patriarki yang bersembunyi di dalam pemikiran Islam. Dalam KAFFE Maret 2024 ini, pengajar dan peserta kelas mengupas seputar gerakan feminis di Indonesia dari sudut pandang sayap Islam.
Pada awal diskusi, Lies memberikan pengantar soal feminisme yang erat kaitannya dengan konteks isu dan latar belakang terjadinya suatu gerakan perempuan. Gerakan feminisme muncul berdasarkan pengalaman. Feminisme merespons suatu persoalan dengan merefleksikannya sekaligus mencari penyebab serta jalan keluar dari masalah tersebut. Ini di awali dengan kesadaran kritis atas pembedaan perlakuan, yang kemudian memunculkan pertanyaan, kenapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana cara mengatasinya? Cara berpikir ini penting sebagai fondasi awal untuk memahami feminisme dalam berbagai aliran dan konteks, salah satunya feminisme dalam tradisi Muslim. Feminisme dalam tradisi Muslim berawal dari perkembangan kelompok muslim sejak masa pascakolonial. Lies mengatakan ini berkaitan dengan kelompok muslim Maroko dan Mesir yang berhadapan langsung dengan Barat, dimana ada pertukaran pemikiran di dalam relasi kelompok Muslim dengan Barat, termasuk gagasan feminis pada gelombang awal. Di Indonesia sendiri, perkembangan Muslim mulai banyak terjadi di periode Kesultanan Islam Nusantara pada sekitar abad ke-17. Berkaitan dengan isu perempuan, pada masa ini perempuan bisa menjadi pemimpin atau menjadi sultanah di Aceh. Hal ini demikian karena dalam salah satu tradisi Muslim aliran sufisme di kepemimpinan Syekh Abdurrauf as-Singkel, mengedepankan sisi atau sifat-sifat maskulin dalam kepemimpinan. Ini memungkinkan perempuan memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin, karena kepemimpinan bukan diukur oleh anatomi tubuh laki-laki semata. Beberapa perempuan yang menjadi pemimpin pada Kesultanan Islam abad 17 di Aceh, antara lain Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), Sultanah Zakiatuddin (1678-1688),dan Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah (1688-1699). Sayangnya, praktik ini berhenti akibat intervensi otoritas Makkah yang berelasi erat dengan Aceh saat itu. Yang dapat digarisbawahi di sini adalah apresiasi terhadap kepemimpinan perempuan dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Perkembangan perhatian terhadap isu perempuan juga dipelopori oleh beberapa tokoh seperti Kartini, Kyai Saleh Darat, K.H. Ahmad Dahlan, dan Nyai Khairiyah Hasyim. Tradisi Islam pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia ini dibangun berdasarkan respons atas isu di sekitarnya masa itu. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan memberikan ruang bagi perempuan untuk sekolah melalui perkumpulan “Sapa Trasna”, yang menjadi cikal bakal organisasi perempuan Islam, Aisyiyah. Aisyiyah menjadi penting pada masa itu karena mereka berani mengadvokasikan penolakan perdagangan perempuan di Sumatra. Kemudian, terlepas dari progresivitas gerakan feminis di komunitas Islam, feminisme mengalami penolakan pada era Orde Baru. Orde Baru memunculkan polarisasi politik dan represi terhadap partai dan komunitas Islam yang lokal. Islam yang diterima adalah kelompok Islam yang akomodatif dengan negara, yang mendukung ideologi developmentalisme. Bagi Lies, hal ini merupakan kecelakaan politik terhadap relasi Islam dan feminis di Indonesia. Sebab, feminis tidak beri ruang untuk berdialog dengan kelompok Islam yang ada. Isu-isu perempuan yang datang dari suara dan pengalaman perempuan sulit didiskusikan dengan terbuka. Isu perempuan yang diangkat justru berasal dari program kerja Orde Baru, contohnya Hukum Keluarga. Kemunduran ini berimbas pada kemunculan gerakan anti feminis yang menarasikan argumennya melalui tatanan keteraturan keluarga. Beberapa kelompok yang menolak gagasan feminisme karena menganggap bahwa persoalan feminisme merupakan konsep Barat. Selain itu, kelompok-kelompok tersebut menolak konsep otonomi tubuh perempuan karena berlawanan dengan teks kitab suci. Lies menyayangkan bahwa kelompok kontra feminis ini justru mengikuti kerangka argumen anti feminis di Barat (kelompok Kristen konservatif) soal otonomi, consent, dan reproduksi. Ini menunjukkan minimnya kehadiran argumen kontra yang berdasarkan tradisi Islam lokal. Oleh karena itu, penting bagi dilakukan konvergensi dua aliran feminis baik dari sisi kelompok religius maupun non-religius. Hal ini sebagai fondasi bagi feminis untuk berkembang lebih luas dan lebih dekat dengan isu perempuan yang mendesak. Selain diperlukannya pendidikan feminisme, Lies juga tidak lupa menyebutkan urgensi kehadiran organisasi Islam dalam memberdayakan perempuan dan pemerintah untuk membuat kebijakan yang adil gender. Sehingga diharapkan melalui langkah-langkah tersebut, isu perempuan dalam feminisme dan Islam sama-sama dapat bergandengan untuk mematahkan dogma-dogma seksis yang ada. (Kezia Krisan) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |