
Cikal bakal post-truth bisa jadi datang dari cara pandang yang erat dengan logika biner. Haryatmoko menegaskan bahwa konsep harusnya mampu mengidentifikasi identitas, baik identitas bahasa maupun ideologi di baliknya. Namun dalam post-truth yang terjadi berbeda, asalkan emosi kena, maka masuklah ke dalam post-truth. Konsep dari Derrida yang mencoba mendekonstruksi logika biner kemudian dikaitkan oleh Haryatmoko dengan perspektivisme Nietzsche. Perspektivisme Nietzsche merupakan konsep yang tidak memosisikan atau tidak mengejar hal yang benar atau salah, karena ketika kita mengejar benar atau salah maka kita hanya melakukan fact checking. Haryatmoko juga menjelaskan bahwa metode genealogi Nietzsche bermaksud melihat suatu pernyataan bukan dihitung benar atau salah tetapi siapa yang menyatakan hal tersebut dan apa kepentingan di baliknya. Dengan begitu ia menegaskan bahwa setiap fakta mengandung ideologi dan semua perspektif bersifat aksiologis dengan kata lain diarahkan oleh nilai dan tidak satupun bebas nilai.
Selanjutnya, Haryatmoko memaparkan tentang bagaimana Michel Foucault menyuarakan permainan kebenaran sebagai sistem pelarangan. Dilihat dari kacamata Foucault, kekuasaan dahulu dan kini berbeda. Apabila dahulu kekuasaan terpusat pada suatu tempat misalnya penguasa, saat ini kekuasaan menyebar misalnya pada individu yang menjadi subjek penyebaran kekuasaan. Era post-truth memperlihatkan bahwa kekuasaan bersifat menyebar melalui individu dengan penyebaran berita hoax. Kekuasaan yang dahulu terpusat, saat ini menyebar dan melalui era post-truth kekuasaan yang menyebar ini menjadi lebih nyata. (Iqraa Runi)