
Dalam paparannya Laksmi mengatakan terdapat beberapa pertimbangan yang menempatkan isu gender sebagai poin penting dalam aksi perubahan iklim. Sejumlah data dan penelitian yang ada memperlihatkan dampak perubahan iklim lebih berpengaruh pada wanita, tidak hanya pada kondisi tubuh tapi juga terhadap peran wanita sendiri. Di sejumlah daerah di Indonesia masih terdapat kesenjangan peran dan keterlibatan yang kemudian menjadikan posisi perempuan lebih rentan dalam konteks menerima dampak perubahan iklim. Kita juga melihat adanya perbedaan peran, status, kekuatan dan ekonomi antara perempuan dan laki laki yang menyebabkan perempuan menjadi bagian kelompok penerima dampak terbesar dari perubahan iklim. Sejak dimulainya perundingan perubahan iklim pada 2001 sudah ada sejumlah keputusan yang menggarisbawahi partisipasi perempuan. Sayangnya keputusan ini belum secara efektif diterapkan di banyak negara termasuk Indonesia.
Lebih lanjut Laksmi mengutarakan pada konferensi yang terakhir tahun 2015 dimulai era baru dengan disepakatinya dokumen Paris Agreement atau Perjanjian Paris yang kembali mengakui adanya hak kesetaran gender dan pemberdayaan perempuan. Perjanjian ini menurut Laksmi sedang dalam proses ratifikasi ke dalam UU dan diharapkan pada Oktober nanti selesai. Laksmi menjelaskan sejauh ini upaya yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meliputi kemitraan dan sinergi juga meningkatkan peran, perencanaan dan komunikasi. Karena itu pihaknya mempunyai banyak instrumen seperti AMDAL, KRHS, hingga instrumen penegakan hukum yang dalam setiap prosesnya peran serta kelompok pemangku kepentingan perempuan dan anak menjadi sangat penting. Selain itu Kemen LHK juga mendorong peran perempuan sebagai pionir dalam program-program terkait.
Sementara itu Yaya Hidayati menjelaskan sekarang ini perubahan iklim sudah menjadi buzz word, dimana-mana orang membicarakan perubahan iklim, tetapi sering kali hal ini dianggap sebagai hal yang given, kondisi yang terberi. Sehingga yang terjadi kemudian adalah respons yang diberikan tidak melihat penyebab mendasar terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global yang terkait dengan model pembangunan yang ekspansif dan ekstraktif serta tidak memerhatikan keberlanjutan dan penghormatan terhadap bumi dan makhluk lain di luar manusia. Yaya melanjutkan dalam konferensi perubahan iklim yang berlangsung di Paris tahun 2015 lalu terdapat beberapa hal penting yang perlu digarisbawahi terkait kesepakatan para pemimpin negara yang tertuang dalam dokumen Paris Agreement. Untuk pertama kalinya disepakati dokumen yang mengikat secara hukum, artinya berbagai pihak harus meratifikasi. Selain itu untuk pertama kalinya pula ada kesepakatan secara global bahwa semua negara menyatakan kenaikan temperatur harus ditahan atau dihentikan maksimal 2 derajat. Dengan pola dan model pembangunan yang saat ini dianut oleh mayoritas untuk tidak mengatakan seluruh negara di dunia, diproyeksikan akhir dekade ini bumi mengalami kenaikan suhu 3 derajat Celsius. Kondisi ini akan menimbulkan dampak yang sangat luas seperti perubahan musim tanam yang dapat mengakibatkan gagal tanam dan gagal panen. Selain itu musim hujan menjadi semakin pendek namun dengan curah hujan yang lebih tinggi yang memicu banjir bandang, tanah longsor, dst. Sedang musim kemarau menjadi lebih panjang dan sangat ekstrim hingga mengakibatkan kekeringan. Situasi ini akan berdampak besar terutama pada kelompok rentan dalam masyarakat seperti kelompok perempuan yang di Indonesia perannya terkait dengan sektor produksi pangan, pertanian, dll.
Menyikapi situasi ini Yaya mengungkapkan koalisi masyarakat sipil merumuskan empat prinsip dasar menghadapi kebijakan perubahan iklim. Pertama, human security, metode mitigasi dan adaptasinya perubahan iklim hendaknya menjamin keamanan dan keselamatan manusia termasuk kelompok rentan. Lebih dari itu pandangan dan pengalaman juga keputusan yang diambil harus benar-benar mempertimbangkan dan memberikan ruang pada kelompok rentan untuk ikut menentukan. Kedua, ecological debt, harus ada mekanisme tanggung jawab dari negara-negara dunia pertama atau negara industri untuk tidak lari dari tanggung jawab atas kerusakan besar terhadap bumi. Ketiga, land rights, penting dipastikan perempuan memiliki hak yang sama dalam membuat keputusan terkait lahan. Keempat production and consumption, perempuan menjadi sasaran dari model ekonomi konsumtif, padahal perempuan memiliki power yang besar untuk menentukan apa yang dikonsumsi oleh keluarganya. Karena itu menjadi penting bagi perempuan untuk memahami proses produksi suatu produk, apakah mengakibatkan perubahan iklim, menimbulkan pelanggaran HAM, dll. Prinsip-prinsip ini menurut Yaya merupakan kekuatan untuk menentukan nasib dunia secara berkelanjutan ke depan.
Sementara itu Dewi Candraningrum dalam paparannya menjelaskan temuan Alexander Humboldt yang melakukan perjalanan fenomenal ke Pegunungan Andes, Amerika Latin dan menemukan bahwa migrasi vegetasi tidak hanya bergerak horizontal tetapi juga vertikal, karena bumi semakin panas. Humboldt menulis di Pegunungan Andes vegetasi yang semula berada di ketinggian 500 meter ke bawah telah naik ke atas. Ini berarti perubahan iklim telah mengubah pola cuaca dan pola makan. Saat ini menurut Dewi terdapat problem besar terkait perubahan iklim, panas global dan bencana alam, yakni cara pandang yang menganggap alamlah yang bertanggung jawab dan bukan manusia. Pandangan kita terhadap bencana alam, panas global dan perubahan iklim jika hanya disandangkan pada alam, maka tidak akan selesai. Kita membutuhkan paradigma, pendekatan dan cara melihat alam dengan cara yang berbeda. Sehingga akan melahirkan paradigma yang etis dan bertanggung jawab yang menempatkan manusia sebagai pihak yang bertanggung jawab, maka yang muncul kemudian adalah human made global warming, human made climate change, human triggered natural disaster. (Anita Dhewy)