International Conference on Feminism: Intersecting Identities, Agency & Politics yang diselenggarakan dalam rangka memperingati 20 tahun Jurnal Perempuan dihadiri oleh lebih dari 350 peserta dari berbagai daerah dan peserta internasional. Konferensi ini diselenggarakan selama 2 hari pada tanggal 23-24 september 2016. Pada hari kedua, Konferensi ini diisi dengan 2 sesi diskusi panel, salah satunya adalah diskusi tentang wacana feminisme di Indonesia. Bagaimana feminisme hadir di Indonesia? Apa saja kontribusi feminisme terhadap Indonesia? Sejauh mana feminisme hidup dan membumi? pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab pada sesi diskusi panel III yaitu tentang wacana feminisme di Indonesia. Diskusi ini mengahadirkan Prof. Saskia Wieringa (Universiteit van Amsterdam), Misiyah (Kapal Perempuan) dan pendiri Jurnal Perempuan, Gadis Arivia sebagai pembicara dan Lies Marcoes (Direktur Yayasan Rumah Kitab) sebagai moderator. Lies Marcoes sebagai moderator mempersilakan Saskia Wieringa sebagai pembicara pertama. Saskia Wieringa adalah profesor Universiteit van Amsterdam, ia juga meneliti tentang gerakan perempuan di Indonesia, yaitu Gerwani. Melaui bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, ia memperlihatkan kepada kita semua bahwa pernah ada gerakan perempuan yang sangat progresif di Indonesia pada saat itu. Saskia Wieringa mengungkapkan bahwa Gerwani pada waktu itu adalah organisasi perempuan yang peduli terhadap isu-isu ekonomi perempuan, harga-harga pangan dan pendidikan di tingkat dusun. Gerwani memperjuangkan emansipasi revolusioner, keadilan sosial dan keadilan gender. Lebih jauh Saskia menjelaskan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah penghargaan terhadap perempuan. Jauh sebelum Belanda menjajah, Indonesia telah memiliki budaya kesetaraan, buktinya sejak awal perempuan sudah memiliki hak politik bahkan banyak pahlawan perempuan dan perempuan pemimpin di Indonesia. Menurut Saskia, perempuan Belanda dulu tidak memiliki hak politik. Pengaruh penjajahan Belanda membawa dampak buruk terhadap budaya Indonesia yang telah lama menghargai perempuan. “Budaya Belanda sangat heteronormativitas, setelah dijajah Belanda Indonesia lupa dengan budaya aslinya, ini yang saya sebut dengan postcolonial amnesia”, ungkap Saskia. Lebih jauh Saskia melihat bahwa fundamentalisme telah tumbuh di Indonesia dan banyak anggapan bahwa feminisme adalah datang barat. Menurutnya fundamentalisme membuat Indonesia setelah reformasi reformasi kembali lagi ke masa orde baru dimana gerakan perempuan ditekan. Sehingga menurut Saskia kita perlu terus berjuang dan mendokumentasikannya. Setelah paparan dari Saskia, diskusi dilanjutkan dengan paparan Misiyah dari Kapal Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan). Misiyah adalah juga pengajar sekolah pendidikan feminis di komunitas akar rumput. Pada kesempatan ini ia menjelaskan bagaimana feminisme bisa hidup dan membumi di komunitas. Misiyah mengungkapkan bahwa perlu strategi untuk memperkenalkan feminisme ke komunitas di akar rumput. Misiyah telah memberikan pendidikan feminisme melalui sekolah feminis Kapal Perempuan. Pada kesempatan kali ini ia menunjukan beberapa pernyataan-pernyataan perempuan daerah tentang feminisme. Salah perempuan yang diwawancarai mengungkapkan bajwa sebelumnya ia takut dengan feminisme, ia menganggap bahwa feminisme sama seperti terorisme. Namun setelah ia mengikuti program-program Kapal Perempuan dan sekolah feminis ia menyadari bahwa feminisme itu buka seperti terorisme. “Feminisme adalah upaya memperdayakan perempuan dengan menumbuhkan kesadaran kritis terhadap lingkungannya”, tutur Misiyah. Misiyah mengungkapkan bahwa feminisme bukanlah sesuatu yang abstrak dan jauh sekali dari kita. Sehingga ia yakin bahwa pendidikan feminisme di akar rumput akan dapat membantu membongkar ketidakadilan. Misiyah menggunakan pendekatan ekonomi perempuan untuk dijadikan pintu masuk bagi pendidikan feminisme. "Pendekatan pemberdayaan ekonomi bisa dijadikan strategi untuk pendidikan feminisme di akar rumput", tutur Misiyah. Pendidikan feminis bertujuan untuk menumbuhkan pikiran kritis dan komitmen terhadap isu-isu perempuan. "Kita perlu melakukan konsolidasi gerakan sehingga wacana feminisme ini dapat dibumikan secara masif", ungkap Misiyah di akhir presentasinya. Gadis memulai paparannya dengan menyampaikan bahwa wacana feminisme di indonesia muncul dari organisasi perempuan lalu kemudian ke tingkat universitas. Ini dibuktikan bahwa telah lama perempuan indonesia aktif menyuarakan hak-haknya melalui sistematika organisasi. Tahun 1928 ketika kongres perempuan pertama, perempuan indonesia sudah memikirkan berbagai perosoalan, kongres itu menentang praktik pernikahan anak, mendukung pendidikan bagi perempuan serta, menolak segala bentuk pemaksaan terhadap kebebasan berpakaian terhadap perempuan. Lebih jauh Gadis mengungkapkan bahwa reformasi tahun 1998 adalah buah dari gerakan perempuan. Pada tahun itu gerakan perempuan, Suara Ibu Peduli berhasil breaking the silence, kemudian setelah itu barulah mahasiswa turun ke jalan. Meskipun demikian tetap gerakan perempuan tertutupi oleh gerakan sosial lainnya. Gadis Arivia mengatakan bahwa ulang tahun Jurnal Perempuan yang ke-20 ini sebenarnya bukan untuk kita generasi yang sudah merasakan pahitnya perjuangan, namun untuk mereka yang muda agar terus merawat pengetahuan dan aktivisme gerakan perempuan. Ia juga mengungkapkan bahwa term "gender" tidak bisa lagi digunakan untuk memperjuangkan keadilan. "Pengarusutamaan Gender (PUG) harus kita akui telah gagal, gender hanya bicara representasi yang kosmetik", ungkap Pendiri Jurnal Perempuan ini. Sehingga menurutnya feminisme harus kita ucapkan sebagai upaya pembongkaran terhadap ketidakadilan. Konferensi feminisme hari ini diikut oleh banyak generasi muda, yang menurut Gadis Arivia adalah tanda bahwa feminisme masih tetap hidup. "Feminisme sebagai sebuah gerakan atau ide tentang keadilan dan kesetaraan tetap hidup di tengah tumbuhnya konservatisme di Indonesia", tutur Gadis Arivia. Feminisme adalah indonesia, ia tidak datang dari barat, tapi ia datang dari rahim indonesia, dari kebudayaan indonesia yang menghargai perempuan sudah sejak lama. Sehingga wacana femibisme seharusnyabbukanlah sesuatu yang asing lagi. Feminisme adalah tentang bagaimana membongkar ketidakadilan dan pedagogi feminis adalah bagaimana feminisme itu diajarkan di dalam maupun di luar kelas. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |