
Dialog intens antara Esthi Susanti Hudiono (penulis dan aktivis intelektual) dengan Seruni Bodjawati (pelukis) melahirkan kolaborasi yang apik, LITERASI RUPA. “Buku Esthi yang menitikberatkan pada kemerdekaan-aktualisasi diri sebagai perempuan untuk menjadi diri yang seutuhnya telah menginspirasi Seruni untuk memvisualisasikan para perempuan pemimpin dalam wujud lukisan yang identik dengan guratan, garis, serta atribut-atribut simbolis,” ujar Inda.
“Ide Ibu Esthi mengenai pameran tentang tokoh-tokoh perempuan Indonesia langsung saya sambut dengan semangat,” ungkap Seruni. Karya lukisan Seruni yang dipamerkan terdiri dari 29 tokoh sejarah perempuan lintas zaman, yang hidup pada tahun 833 sampai 2019, yang dikategorikan dalam 9 zaman (Prakolonial, VOC, Hindia Belanda, Jepang, Masa Perang Kemerdekaan, Liberal, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan Reformasi). Kesemua tokoh ini dilukis Seruni Bodjawati dalam semangat Menghidupkan yang Terlupakan. Beberapa tokoh yang dilukisnya antara lain Martha Christina Tiahahu (remaja putri yang bersama ayahnya memilih perang melawan kolonial) dan Marsinah (perempuan buruh pabrik yang berjuang memperbaiki nasib buruh perempuan, yang juga menjadi simbol perjuangan buruh perempuan di Indonesia).
Buku Perempuan-Perempuan Menggugat, Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonesia, Esthi menulisnya melalui studi literatur dan dialog dengan mereka yang paham tentang tokoh perempuan Indonesia sejak Oktober 2017 lalu. Buku ini mengangkat semangat perjuangan perempuan-perempuan lintas zaman dalam melawan penindasan dan ketidakadilan yang ada di keluarga, masyarakat, dan negara. Melalui studinya tersebut, Esthi pun menemukan banyak hal-hal reflektif, salah satunya adalah bahwa feminisme justru ada di tatanan lama Nusantara.
Lia menambahkan, “Ada risiko perempuan ‘dihilangkan’ dari peradaban sosial, dan oleh karenanya lebih penting lagi mempresentasikan para tokoh perempuan dan kiprahnya di ruang publik (di samping ruang domestik) dengan media visual”. Menurutnya, “Perempuan-Perempuan Menggugat” adalah legitimasi dan proklamasi untuk para tokoh perempuan masa lalu. Lebih dari itu, adalah penuntutan masa depan yang adil dan setara.
Melalui LITERASI RUPA, semangat feminisme diharapkan masih terus bergulir. Seiring perkembangan dan kemajuan zaman, perempuan Indonesia semakin disebut namanya dan menunjukkan daya cipta kreativitasnya serta mendapat ruang yang patut diperhitungkan. Diharapkan pula acara ini menjadi pengenalan diri sebagai bangsa (khususnya kepada generasi muda) agar bisa membangun diri dan masa depan. Selama masa pameran (21–31 Agustus 2019) ini ada lima kegiatan yang akan berlangsung, yang terdiri dari tiga diskusi interaktif, bedah buku, serta pemutaran film dan diskusi tokoh yang difilmkan. (Shera Ferrawati)