Jumat, 23 September 2016 Jurnal Perempuan menyelenggarakan konferensi internasional feminisme atau International Conference on Feminism dengan mengusung tema “Intersecting Identities, Agency & Politics”. Konferensi internasional feminisme ini diselenggarakan selama 2 hari yaitu pada Jumat dan Sabtu, sehingga hari ini adalah hari pertama konferensi ini. Konferensi ini juga sekaligus dalam rangka merayakan ulang tahun Jurnal Perempuan yang ke-20. Jurnal Perempuan pertama kali terbit pada tahun 1996 dan hingga kini telah menerbitkan 90 edisi jurnal. Dengan demikian pada konferensi ini Jurnal Perempuan edisi 90 Pedagogi Feminis yang terbit pada Agustus lalu juga diluncurkan sebagai penanda 20 tahun kiprah Jurnal Perempuan dalam dokumentasi pengetahuan. JP 90 Pedagogi Feminis ini juga menjadi sangat spesial karena merupakan JP pertama yang mencantumkan nomor akreditasi jurnal ilmiah dari LIPI yang diraih pada Mei 2016 lalu. Maka pada konferensi ini diskusi panel pertama ialah mendiskusikan tentang pedagogi feminis. Diskusi panel pertama ini menghadirkan Mia Siscawati (Ketua Program Studi Kajian Gender UI), Musdah Mulia (Dosen UIN Jakarta), dan Mies Grijns (Professor University Leiden) sebagai pembicara dan Dewi Candraningrum sebagai moderator. Paparan pertama yaitu dari Mia Siscawati yang mengungkapkan bahwa Program Studi Kajian Gender UI adalah studi gender yang pertama di Indonesia. Mia menceritakan bagaimana pedagogi feminis memainkan peran penting dan hadir dalam naskah-naskah akademik di universitas. Mia memulai paparanya dengan menyebutkan judul tesis lulus Kajian Gender UI yang menurutnya ada keterikatan personal antara mahasiswa sebagai peneliti dengan topik kajiannya. Peneliti memiliki menjadi penulis sekaligus menjadi subjek yang terlibat dan mereka memiliki posisi politik atau stand point dalam terhadap topik yang dipilih. Hal ini menurutnya menggambarkan metodologi feminis yang mereka adopsi. “Metodologi feminis memungkinkan peneliti memberikan perhatian penuh pada situasi yang dihadapi subjek penelitiannya, pendekatan ini tidak lagi menempatkan yang diteliti sebagai objek tapi sebagai subjek yang berhak mendapatkan suara”, ungkap Mia. Lebih jauh Mia menjelaskan bahwa dalam Prodi Kajian Gender sudah mulai diterapkan kajian interseksionalitas atau ketersinggungan. Pendekatan metodologis ini mengkaji persinggungan relasi kuasa dari berbagai dimensi yang memberikan kontribusi bagi langgengnya mekanisme dominasi, opresi maupun diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok marginal lainnya. Sehingga menurut Mia, gagasan interseksionalitas ini memungkinkan peneliti melihat keterkaitan antara isu-isu yang akan diteliti dengan aspek gender, seksualitas, ras, etnisitas, agama dan sosial. Metodologi feminis tidak terlepas dari pedagogi feminis yang diadopsi oleh Prodi Kajian Gender UI. Pedagogi adalah perihal metode belajar dimana mahasiswa bisa merefleksikan apa yang terjadi dalam kehidupannya dan lingkungan sosialnya dengan kaca mata feminisme. Mia juga mengakui bahwa keberhasilan Prodi Kajian Gender UI tidak terlepas dari hubungan yang baik antara akademisi dengan aktivis gerakan perempuan. Relasi baik itu membantu proses belajar mengolah kerangka teori yang begitu rumit menjadi lebih sederhana dengan melihat fenomena di lapangan. Sehingga menurut Mia jejaring ini harus terus dijalin sehingga kritik terhadap universitas yang dianggap menara gading dan susah membumi dapat hilang. Mia berharap kajian kritis di universitas dapat menjawab tantangan di lapangan sehingga dapat saling membantu untuk melakukan advokasi persoalan-persoalan perempuan. Tidak jauh berbeda dari Mia yang memaparkan tentang pedagogi, Musdah Mulia memaparkan bagaimana pedagogi feminis dalam perspektif islam. Musdah menyebutkan bahwa Departemen Agama secara normatif sudah memiliki program untuk kesetaraan dan keadilan gender. Kemudian setelah Gusdur mengelurkan Instruksi Presiden tentang Pengarusutamaan Gender (PUG), universitas di Indonesia diwajibkan untuk mempunyai pusat penelitian gender. Selain itu kita juga mempunya dua kekuatan besar organisasi perempuan islam, yaitu Fatayat dan Aisyiyah. Kedua organisasi tersebut telah sejak lama memfokuskan diri pada isu-isu perempuan terutama soal kesehatan reproduksi. Menurut Musdah Mulia, kita perlu menyebarluaskan pandangan-pandangan islam yang humanis dan menghargai perempuan sebagai makhluk Allah SWT. Meskipun demikian Musdah mengungkapkan bahwa PUG yang dicanangkan Gusdur 16 tahun yang lalu seharusnya berhasil, namun ternyata tidak. Menurutnya selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini banyak pandangan-pandangan ekstrimis yang menafikan eksistensi perempuan. Dengan demikian pandangan islam yang humanis di masyarakat penting untuk dibangun. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa mayoritas umat islam di Indonesia masih belum mengerti ajaran islam sepenuhnya. Mayoritas umat islam memahami islam sebagai ritual saja, sholat dzakat, naik haji. Namun ketika ditanya bagaimana pandangan islam tentang posisi perempuan, banyak dari kita umat islam yang tidak mengerti. Sehinggan ajaran islam yang sifatnya muamalat, terutama relasi manusia dengan manusia. Visi islam adalah semua manusia adalah khalifah fil ardh, menjadi leader, manager, agent of moral. Dalam konteks seperti ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Misi islam adalah amar ma’ruf nahi munkar, amar ma’ruf adalah upaya-upaya transformasi yang dimula dari diri sendiri sehingga kita lebih baik, lebih positif. Sedangkan nahi munkar adalah upaya-upaya humanisasi, bagaimana kita memanusiakan manusia. Saya merasa bahwa islam adalah agama yang kompatibel dengan prinsip-prinsip feminisme yaitu membangun keadilan. Sehingga menjadi muslim kita harus aktif dan produktif dan pendidikan menjadi kunci utama, pendidikan di masyarakat maupun di tingkat formal. Maka pedagogi feminis diperlukan untuk melihat berbagai isu-isu perempuan dalam islam. Paparan selanjutnya dari Mies Grijns dari Univeristy Leiden. Ia pernah melakukan penelitian tentang pernikahan anak di Sukabumi dan telah dipublikasikan pada JP 88 Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan. Isu pernikahan anak menjadi sangat terkait dengan bagaimana pedagogi feminis penting untuk diperkenalkan sejak dini. Mies Grijns pada paparannya menyebutkan bahwa angka pernikahan anak di Indonesia—meski tidak setinggi di Afrika—namun sangat tinggi di Asia Pasifik. Akibat pernikahan anak korban kekerasan KDRT, korban kekerasan seksual, dan tidak mendapat akses pekerjaan. Sehingga pernikahan anak menjadi salah satu penyebab migrasi penduduk, rentan terhadap pelacuran dan menyumbang pada AKI di Indonesia. Sehingga kita perlu advokasi sistem sistemik. Uji materi UU Perkawinan 1974 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. LSM lokal, akademisi lokal perlu bersatu untuk mencegah pernikahan anak. Di Sukabumi meski bisa terjadi pernikahan bahkan di bawah umur 16 tahun, calon pengantin dinikahkan oleh amil dan tidak perlu ke KUA. Pernikahan anak merupakan persoalan besar Indonesia yang memiliki efek berantai pada pemiskinan perempuan. Sehingga pernikahan anak juga perlu dilihat dengan kajian interseksionalitas, dimana perempuan Indonesia memiliki multisiplitas persoalan budaya, agama, dan kebijakan. Diskusi pedagogi feminis ini kaya dengan berbagai sudut pandangan pembicara. Ketersinggungan antara perempuan dengan berbagai isu sosial di lingkungannya memperlihatkan kita bagaimana kompleksnya persoalan yang dihadapi perempuan dan perlunya kajian interseksionalitas dengan metodologi feminis. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |