Kamis (29/3) Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) dengan tema post-truth. Pertemuan kedua rangkaian KAFFE ke-10 tersebut membahas “Politik Media dan Post-Truth” dengan pembicara Rocky Gerung. Rocky mengawali kelas dengan melontarkan sebuah kalimat, “Aktifkan kecurigaan tentang asal-usul post-truth.” Pernyataan itu dilontarkan lantaran ia berusaha membawa pembahasan untuk lebih membidik isu di belakang post-truth bukan sekadar mempersoalkan post-truth itu sendiri. Hal ini ditekankan karena menurut Rocky selama ini banyak kesalahpahaman makna “truth” yang ada pada “post-truth”. Selama ini banyak orang mengira post-truth sebagai bentuk baru dari kebenaran. Namun, sejatinya post-truth tidak berkaitan dengan kedudukan epistemik dari kebenaran. Rocky menjelaskan bahwa post-truth adalah persoalan politik. Maksudnya, politik kini tidak lagi diiringi dengan etika politik dan hal ini menjadikan munculnya upaya kotor dalam berpolitik. Salah satu munculnya ketiadaan etika politik adalah ketika kita temukan tidak hidupnya suara oposisi. Rocky juga menjelaskan bahwa problem pada post-truth diawali ketika seseorang tidak mungkin berkonsensus dan pada titik inilah seseorang tidak lagi memercayai kebijakan merupakan barang yang dihasilkan dari aktor politik sebagai agen rasional. Post-truth sebagai paradigma baru memunculkan masalah pada politik. Masalah ini tentunya tidak serta-merta dihasilkan oleh kehadiran post-truth. Akan tetapi masalah muncul ketika ada lack of knowledge dari warga negara, sehingga menjadi bahan untuk membawa banyak orang pada kondisi post-truth. Informasi yang kita baca sejatinya perlu dibekali oleh fakta, tetapi ketika kita berbicara fakta maka ada pembelaan melalui data-data yang seolah-olah identik dengan kebenaran. “Selama ini orang tertipu oleh data, karena data dianggap merepresentasikan kebenaran jadi hanya data yang mereka butuhkan untuk memercayai bahwa hal itu benar, tetapi itulah post-truth, benar karena yakin,” tutur Rocky. Dalam memilah informasi, kita hanya membutuhkan ketahanan intelektual dan hal ini tidak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi Rocky pembicaraan orang Indonesia kebanyakan tidak bisa dibawa kepada ruang rasional sehingga mereka menggunakan media sosial untuk menyalurkan kemarahannya. Sementara di media sosial terdapat banyak produk post-truth seperti hoax, yang dihasilkan dari kepentingan politik yang tidak mengacu pada etika politik. Rocky memaparkan bahwa stasiun televisi di Indonesia dimiliki oleh tiga hingga empat orang. Informasi yang beredar di televisi tergantung dari permintaan pemilik, hal ini membuat hilangnya etika jurnalisme. Rocky menjelaskan bahwa hoax bukan hanya diproduksi dari suara oposisi, tetapi bisa juga diproduksi oleh pemerintah dalam upaya mempertahankan kekuasaan. Bagi Rocky di tahun politik seperti sekarang, post-truth akan semakin mudah menyerang orang-orang tanpa ketahanan intelektual. Media akan menggunakan post-truth sebagai alat untuk promosi politik baik secara sehat maupun tidak. Kegelisahan akan menurunnya kualitas pengetahuan melalui media menakutkan banyak orang, terutama ketakutan akan masuk pada lingkar post-truth. Oleh karena itu Rocky mengungkapkan ketahanan intelektual yang didasari oleh etika politik dapat digunakan untuk menghindari post-truth. Sementara politik yang sehat dapat dimunculkan dengan kembali pada virtue dan truthfullness. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |