Jumat (23/3) bertempat di Auditorium LIPI, Gatot Subroto, Jakarta Selatan Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan diskusi “Gender dan Kebangsaan: Merawat Keindonesiaan”. Acara ini sekaligus memperingati ulang tahun tokoh perempuan Sjamsiah Achmad yang ke-85. Kiprah Sjamsiah Achmad dalam menyuarakan kemanusiaan juga hak perempuan menjadi pokok pembicaraan pada acara ini. Melihat mulai terkikisnya rasa kemanusiaan mendorong Sjamsiah Achmad untuk kembali membicarakan relasi antara perspektif gender dengan rasa kebangsaan. Acara yang dimoderatori oleh Henny Supolo Sitepu, Ketua Yayasan Cahaya Guru membahas tentang kiprah perempuan dan masalah perempuan yang ada di Indonesia. Andy Yentriyani, Ketua Yayasan Suar Asa Khatulistiwa yang hadir sebagai salah satu narasumber menyatakan ketika kita berbicara mengenai kebangsaan maka masalah perempuan terletak pada kebinekaan sebab sering kali kita temukan warga negara tidak memahami arti bineka secara utuh dan mendalam. Hal ini mengakibatkan timbulnya makna “kami” dan “mereka”. Andy menegaskan, ketika kita tidak secara utuh memahami arti kebinekaan maka timbul perpecahan identitas antara yang satu dan lainnya. Andy juga menceritakan diskusinya dengan Sjamsiah Achmad mengenai perempuan dan kebangsaan. “Ibu Sjamsiah Achmad menyatakan kepada saya memaknai kebinekaan diawali dari keluarga, ketika dalam keluarga perempuan dan laki-laki setara maka keluarga tersebut tidak gagal, pun ketika kita keluar kita akan terus menganggap orang lain setara. Dengan begitu kebinekaan akan terus bertumbuh,” tutur Andy. Sementara Ruth Indiah Rahayu, peneliti Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) menyatakan bahwa sebelum Indonesia merdeka tepatnya tanggal 22 Desember 1928, Kongres Perempuan Indonesia sudah membicarakan tentang nasionalisme. Imaji kebangsaan mulai terbentuk sejak sebelum Indonesia merdeka. Ruth menjelaskan Siti Sundari tokoh yang membicarakan ide nasionalisme mengibaratkan kebangsaan sebagai taman bunga yang berisi banyak jenis bunga, namun tetap terlihat indah ketika bersama. Akan tetapi ide ini menjadi berubah ketika Indonesia merdeka dan menjadi negara, kebangsaan bukan lagi dianggap sebagai taman bunga melainkan keluarga. Sementara itu kita mengetahui bahwa ide keluarga dan negara adalah kumpulan orang yang memiliki pemimpin. Setelah itu mulailah makna kebangsaan dan kebinekaan bergeser sedikit demi sedikit. Ruth menegaskan bahwa pembicaraan maupun pemikiran perempuan telah lama hadir dalam dunia politik, hanya saja perempuan tersubordinasi sejak dari dalam ide bernegara yang berubah dari taman bunga menjadi keluarga. Kamala Chandrakirana, Ketua Komnas Perempuan 2004-2007 yang hadir sebagai pembicara ikut serta menyuarakan tentang ide kebangsaan. Baginya kebangsaan adalah konstruksi sosial yang kemungkinan tidak membawa perempuan pada posisi sebagai warga negara yang memiliki hak. Kesadaran berbangsa setelah 20 tahun reformasi tidak kunjung membawa perempuan pada posisi yang mereka dambakan. Pada tahap ini sangatlah perlu bagi perempuan untuk membuat sejarahnya sendiri atau herstory. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |