Jumat (22/3/2024) lalu, Migrant CARE telah menyelenggarakan Diskusi “Refleksi Keketuaan Indonesia untuk ASEAN 2023 dan Assessment Peningkatan Kapasitas Masyarakat Sipil Indonesia untuk Advokasi Isu Pekerja Migran dan Perdagangan Orang di Kawasan ASEAN” di Sekretariat Migrant CARE, Jakarta Selatan. Kegiatan yang dimoderatori oleh Trisna Aresta (Divisi Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant CARE) ini menghadirkan Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE), Daniel Awigra (Direktur Eksekutif Human Rights Working Group), Savitri Wisnu Wardhani (Jaringan Buruh Migran), dan Dinna Prapto Raharja (Co-Founder Synergy Policies). Daniel Awigra mengawali kegiatan diskusi dengan pemaparan terkait situasi politik yang mempengaruhi pergerakan Indonesia dan ASEAN. Hal ini penting sebab isu migran merupakan isu berkelanjutan yang ruang lingkupnya sangat luas dan dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk politik. Regresi demokrasi yang tengah dialami Indonesia dapat membawa negara pada sistem kepemimpinan otoritarianisme yang dekat dengan totalitarianisme. Persoalan migran sebagai suatu persoalan transnasional tidak hanya berbicara tentang ancaman eksploitasi dari pasar, melainkan juga kemungkinan represi dari negara. Oleh sebab itu, menurut Awigra, sikap kritis masyarakat sipil dibutuhkan dalam mengadvokasi isu ini.
Pada masa keketuaan Indonesia untuk ASEAN 2023 lalu, organisasi masyarakat sipil (OMS) berangkat dengan menentukan agenda dan isu penting yang perlu dibawakan di ranah regional. Hal ini dilakukan dengan pertama-tama memperkuat jejaring OMS di tingkat nasional dan regional. Kelompok OMS dapat mempengaruhi proses-proses kunci di ASEAN dalam rangka meningkatkan solidaritas jejaring dan pergerakan nasional untuk mengadvokasikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Advokasi sebagai usaha untuk menyelamatkan yang rentan terdiri dari tiga faktor penting, yaitu kebijakan (policy), partisipasi (participation), dan perbaikan (remedy). Pertama, kebijakan mengenai isu migran merupakan kebijakan lintas batas (cross border) dan lintas budaya (cross culture). Hal ini menyangkut regulasi ketika pekerja berangkat ke negara tujuan, berada dalam proses transit, tiba di negara tujuan, hingga repatriasi ke negara pengirim. Dalam proses melintasi batas-batas negara dan budaya ini, pekerja migran acapkali kesulitan mendapatkan jaminan perlindungan sosial sebab perbedaan dan keterbatasan regulasi yang ada. Kedua, persoalan partisipasi dapat dipahami dengan melihat struktur tangga partisipasi (ladder of participation) yang dibagi menjadi tiga fase, yaitu non-partisipasi, tokenisme, dan pemberdayaan kekuatan masyarakat sebagai pemangku kekuasaan (stakeholder). Fase non-partisipasi sebagai tingkatan paling rendah identik dengan tindakan manipulasi dan edukasi yang menempatkan masyarakat sebagai objek yang dapat dikendalikan alih-alih diberdayakan. Kemudian, fase tokenisme yang dimaksud adalah pelibatan parsial masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Fase ini terdiri dari usaha memberikan informasi, menyediakan konsultasi, dan memantik gagasan masyarakat. Pada akhirnya, kewenangan untuk menentukan keputusan masih ada pada fasilitator yang dalam konteks ini adalah pemerintah. Sementara itu, fase pemberdayaan adalah ketika masyarakat memiliki kesempatan untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan. Fase ini terdiri dari usaha kemitraan, delegasi kekuasaan, dan pemberian kendali. Ketiganya menempatkan masyarakat pada posisi yang setara dengan pemerintah secara hierarkis dan fungsional. Ketiga, perbaikan merupakan usaha penunjang advokasi yang dapat dilakukan dari perspektif negara dan non-negara. Perbaikan dari perspektif negara adalah dengan menguatkan proses yudisial dan non-yudisial (mekanisme komplain, proses mediasi, arbitrasi, inspeksi, dan lain-lain). Sedangkan perbaikan non-negara merupakan perbaikan yang dilakukan oleh pihak-pihak, seperti pelaku bisnis dan lembaga nasional serta internasional. Perbaikan ini terdiri dari perubahan mekanisme usaha bisnis, persetujuan kerangka usaha internasional yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dan serikat dagang serta pengembangan institusi finansial internasional. Savitri melanjutkan pemaparan dengan berbicara mengenai tantangan yang perlu Indonesia hadapi dalam mengusung isu supaya dapat diterima di forum regional dan diimplementasikan dengan matang di ranah regional dan nasional. ASEAN sebagai people-oriented organization bersama Indonesia sebagai anggotanya memiliki beberapa komitmen yang ternyata tidak cukup dalam menjamin perlindungan pekerja migran. Kendala terletak pada instrumen kebijakan yang masih lemah dan proses implementasi yang tersendat. Hal ini disepakati oleh Dinna yang selanjutnya menerangkan tiga pendekatan untuk menangani persoalan pekerja migran. Pertama, pendekatan legal yang berfokus pada status hukum, proses menjadi legal, dan legitimasi pekerja untuk diperlakukan dengan baik. Kedua, pendekatan ekonomi yang berfokus pada kontribusi dan potensi pekerja migran di bidang ekonomi. Ketiga, pendekatan sosiokultural yang berfokus pada penerimaan masyarakat terhadap pekerja migran. Untuk menerjemahkan tiga pendekatan ini ke dalam instrumen kebijakan dibutuhkan suatu jembatan, tukas Dinna. Jembatan tersebut dapat berupa dialog level nasional, dimana representasi unsur pekerja mendapat pengakuan yuridis untuk berada pada posisi setara dengan pemerintah dan menegosiasikan implementasi hak bagi pihak yang terlibat, dan interface meeting level antarnegara yang memudahkan perwakilan unsur pekerja dalam mendapat kesempatan mengajukan agenda negosiasi di level antar negara. Tantangan Indonesia terletak pada usaha menjembatani yang tidak cukup komprehensif. Misalnya, anggaran yang dialokasikan untuk mengimplementasikan proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial purna pekerja migran Indonesia di ASEAN sifatnya masih terbatas dan tidak didukung dengan data yang terintegrasi. Kemudian, Indonesia mendukung formalisasi pekerja pada ranah nasional, tetapi abai terhadap instrumen yang seharusnya ada untuk mengukuhkan kebijakan di dalam negeri. Dinna juga menyampaikan bahwa proses dialog yang ada pada kegiatan pertemuan petinggi negara seperti Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN berbeda dengan dialog untuk menginisiasi perubahan kebijakan. Selama memegang keketuaan ASEAN, sikap akomodatif Indonesia terhadap aspirasi masyarakat sipil justru semakin menurun. Oleh karena itu, Dinna merekomendasikan untuk memperbaiki ruang dialog sosial di ranah regional dan nasional sehingga apa yang dikerjakan pemerintah dan apa yang dikerjakan masyarakat sipil dapat saling bersinergi. Selain itu, terdapat pula kekhawatiran lain yang mencuat selama proses diskusi, yaitu tentang partisipasi generasi muda dalam advokasi isu pekerja migran.Wahyu menyampaikan, sejauh ini pelibatan generasi muda sebagai bagian dari masyarakat sipil masih terjebak pada fase non-partisipasi. Menurutnya, anak muda masih diperlakukan sebagai objek alih-alih subjek yang memiliki kapasitas untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan. Di sisi lain, dengan mempertimbangkan karakteristik generasi muda saat ini, tantangan dalam membuka ruang partisipasi pada generasi muda terletak pada proses distribusi informasi. Isu migran dan transnasional lainnya merupakan isu berat yang perlu diolah menjadi ringkas dan ringan tetapi tetap substansial sehingga dapat diakses dengan mudah melalui platform tertentu yang terbuka untuk semua. (Nurma Yulia Lailatusyarifah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |