Pada Jumat (15/3/2024) lalu, Girl Up Jakarta mengadakan webinar bertajuk Celebrating the Work of Indonesian Women in Creative Industries dalam rangka merayakan kontribusi perempuan Indonesia di berbagai industri kreatif, termasuk film, sastra, musik, pers, dan media. Beberapa narasumber yang diundang dalam diskusi ini, yakni Dhianita Kusuma Pertiwi (Penulis), Nada Salsabila (Staf Yayasan Jurnal Perempuan) dan Angela Andreyanti (Sinematografer). Melalui acara ini, ketiga narasumber membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam berkarya di dalam industri untuk mendorong lingkungan yang inklusif dan adil gender. Pertama-tama, Dhianita sebagai seorang penulis membagikan pemahaman dan pengalamannya tentang isu pekerja di industri kreatif secara umum dan spesifik terkait isu perempuan. Dhianita mengatakan bahwa perhatian terhadap pekerja kreatif perempuan masih kurang di Indonesia. Bahkan, serikat pekerja di bidang industri kreatif itu masih sangat minim di Indonesia. Menurutnya, ini merupakan suatu kondisi yang ironis, mengingat industri kreatif turut menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Isu lainnya soal industri kreatif, yakni pekerja industri kreatif kerap bekerja melebihi jam kerja pada umumnya, kurangnya perhatian terhadap isu K3 bagi pekerja industri kreatif, dan upah kerja yang terlalu kecil. Dhianita juga menyadari bahwa perempuan yang berkecimpung di industri kreatif, terkhususnya industri perbukuan (contohnya, manajemen penerbitan) seperti dirinya, masih sedikit. Padahal menurutnya, perempuan memiliki potensi dalam mengembangkan industri penerbitan. Ia percaya bahwa perempuan mempunyai sensitivitas tersendiri dalam mengatur serta memilih naskah atau tulisan yang hendak diolah selanjutnya di redaksi. Perempuan bisa berkontribusi dalam menghentikan narasi seksis dan misoginis yang kerap muncul dalam tulisan atau buku yang diproduksi. Melalui isu-isu ini, Dhianita menyadari bahwa ada urgensi tersendiri dalam mengatasi masalah pekerja termasuk pekerja perempuan di industri kreatif. Pertama, perlu ada perubahan cara pandang masyarakat umum terhadap pekerja industri kreatif untuk segera mengakui bahwa industri kreatif adalah suatu sektor pekerjaan, bukan hobi semata. Kedua, peran pemerintah seharusnya hadir untuk melindungi pekerja kreatif khususnya pekerja kreatif perempuan. Opini publik seharusnya didengarkan dalam rangka penyusunan undang-undang perlindungan terhadap pekerja kreatif. Selain itu, implementasi dari undang-undang perlindungan tersebut juga harus dilakukan dengan terpadu. Ketiga, perlu ada peningkatan terhadap apresiasi terhadap produk industri kreatif. Hal ini bisa dimulai mengurangi kegiatan pembajakan film dan melakukan diskusi terhadap karya seni baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, pekerja industri kreatif bisa mendapatkan apresiasi dan pengakuan yang lebih terhadap karyanya di tengah masyarakat. Kemudian, pemaparan materi selanjutnya disampaikan oleh Angela, yang berprofesi sebagai seorang sinematografer. Angela setuju dengan Dhianita bahwa masih ada sudut pandang yang bias dari masyarakat luas terhadap industri kreatif, yang menganggap industri kreatif sebagai karya hobi semata bukan produk bernilai. Isu lainnya soal pekerja industri film, yakni peran kepemimpinan perempuan yang masih minim pada industri ini. Padahal berdasarkan data yang Angela kutip dari Kemenparekraf pada 2000, mengatakan bahwa perempuan mengambil porsi 64,5 persen sebagai pelaku industri kreatif. Dengan kata lain, perempuan memiliki peran dan potensi yang besar dalam meningkatkan perubahan di industri kreatif. Namun, sayangnya, perempuan belum leluasa berperan secara aktif di dalam industri ini. Selanjutnya, Angela memaparkan bahwa film bisa berpengaruh pada pandangan masyarakat terhadap stereotip gender. Hal ini terlihat dari bagaimana melalui film, penonton percaya melalui cerita dan karakter yang dikisahkan di film tersebut. Jika film yang dibawakan menarasikan tokoh perempuan sebagai tokoh yang tidak berdaya, maka selanjutnya, muncul dibenak penonton bahwa tokoh perempuan tersebut lemah. Semakin banyak narasi ini muncul, semakin banyak pula anggapan penonton bahwa tokoh perempuan yang merepresentasikan perempuan secara umum itu sosok yang rapuh. Akibatnya, stereotip ini berdampak negatif terhadap perempuan. Perempuan diidentikan sebagai yang lemah. Padahal, perempuan itu subjek, yang berhak bebas memaknai dirinya sendiri, terlepas dari stigma sosial yang dilekatkan padanya. Dampak dari film inilah yang seharusnya digunakan untuk membebaskan perempuan dari stigma negatif yang melekat padanya. Menurut Angela, seharusnya pembuat film mengupayakan produknya untuk pemberdayaan perempuan, sehingga ada perubahan cara pandang masyarakat terhadap perempuan sebagai subjek yang berdaya. Angela juga menambahkan problematika pekerja kreatif perempuan terdapat pada tidak adanya standarisasi atas rate fee umum, jam kerja, cuti hamil, ruang menyusui, maraknya ancaman diskriminasi, dan pelecehan seksual baik verbal maupun fisik. Ruang kerja industri sinema masih belum aman bagi perempuan. Dibutuhkan kesadaran di semua pihak untuk menjamin ruang aman bagi perempuan di industri film, termasuk pemerintah, setiap pekerja kreatif, dan masyarakat sendiri, tukas Angela. Para pelaku industri kreatif seharusnya menyuarakan soal keberdayaan dan nilai-nilai positif pada perempuan. Selanjutnya, materi diskusi ketiga dibawakan oleh Nada, yang tengah aktif bekerja di ranah media sebagai staf di Yayasan Jurnal Perempuan. Nada menyampaikan bahwa saat ini, media sebagian besar masih kurang berperspektif pada perempuan. Hal ini berdampak negatif pada perempuan, yakni pola pikir dan stigma yang salah terhadap perempuan semakin marak di masyarakat luas. Nada menunjukkan banyak media yang menggunakan kata-kata seksis serta bermuatan seksual pada tulisan berita. Pada akhirnya, dominasi media yang tidak ramah terhadap perempuan menimbulkan ketidaksetaraan gender di dalam masyarakat luas. Dalam menyikapi hal ini, Nada menyarankan peserta diskusi untuk beralih pada media alternatif. Media alternatif lahir dari keprihatinan terhadap konten-konten isu perempuan yang umumnya belum diperhatikan oleh masyarakat luas. Media alternatif mengangkat isu perempuan dan menyibak kebijakan-kebijakan yang belum inklusif dan ramah gender. Nada menegaskan bahwa media alternatif dapat membawa perubahan posisi yang lebih baik pada perempuan, termasuk representasi perempuan di media itu sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari masyarakat dan perempuan itu sendiri untuk kemajuan media alternatif. Sebab, tanpa dukungan, media alternatif akan sulit bertahan di tengah-tengah industri media. Kebutuhan modal yang besar dan sulitnya mempertahankan kepercayaan pembaca menjadi dua masalah terbesar dari media-media alternatif yang kebanyakan masih merintis fondasinya. Karena hal tersebut, dibutuhkan dukungan dalam jejaring masyarakat yang solid. Dukungan ini dapat dilakukan oleh perempuan dengan cara merebut ruang kreatif dan digital. Perempuan perlu beradaptasi dengan ruang digital dan berjejaring dengan sesama untuk membangun masyarakat kreatif serta digital yang inklusif dan setara. Sehingga melalui industri kreatif, seperti media digital, perempuan perlahan-lahan berhasil mengubah cara pandang masyarakat menjadi lebih inklusif dan mempertahankan representasi yang inklusif. (Kezia Krisan) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |