Lahir dari sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi pada Mei 1998, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melangkah menuju upaya-upaya pencegahan dan penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan. Fokus perhatian Komnas Perempuan pada saat ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai buruh migran, perempuan korban kekerasan seksual yang menjalankan proses peradilan, perempuan yang hidup di daerah konflik bersenjata, dan perempuan kepala keluarga yang hidup di tengah kemiskinan di daerah pedesaan. Perdagangan orang, utamanya anak dan perempuan, merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Bagaimana Komnas Perempuan menyikapi maraknya kasus perdagangan orang? Padaawal Juli 2010, jurnalis Dewi Setyarini, berbincang dengan Ketua Komnas Perempuan Yuni Chuzaifah, di kantornya di Jalan Latuharhary No.4B, Jakarta. Berikut hasil perbincangan selengkapnya.
Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana komitmen Komnas Perempuan dalam ikut menyelesaikan persoalan traThcking? Yuniyanti Chuzaifah (YC): Komnas Perempuan sekarang bekerja sama dengan Komnas HAM mencoba membuat national inquiry, sebetulnya kayak pemantauan bersama tentang isu-isu pelanggaran HAM dan trafficking. Ide awalnya adalah bagaimana seluruh masyarakat terlibat dalam proses pemantauan. Karena kita tidak ingin pemantauan ini menjadi mekanisme elitis institusi-institusi HAM, jadi kita membuat instrumen pemantauan HAM untuk buruh migran dan trafficking. Komnas HAM menggarisbawahi masukan soal trafficking juga. Semuanya sudah di-launching. Sekarang kita bekerja sama dengan kawan-kawan di komunitas sudah melaksanakan instrumen itu. Kita kemarin ke Johor, Tanjungpinang, ke beberapa wilayah perbatasan. Planning-nya juga ke wilayah perbatasan di Kalimantan, ke penjara-penjara, ke tempat-tempat deportasi, ke terminal Selapanjang. Nah, dari situ kita ingin ke depan ada pemetaan yang lebih komperehensif, suatu solusi yang betul-betul solutif untuk pengentasan pelanggaran (hak) buruh migran dan (persoalan) trafficking, karena mekanisme perlindungan melalui advokasi kasus-kasus sudah tidak mempan lagi. Hampir setiap tahun banyak lembaga-lembaga buruh migran membuat data yang fantastik soal kasus-kasus kematian, juga dramatis; kematian yang sadis sampai hilang kontak dan sebagainya. Kita sudah 30 tahun mengirim buruh migran dan tidak ada perlindungan yang signifikan. Dan memang, tipis sekali bedanya antara pengiriman buruh migran dan perdagangan orang. Sebetulnya, melalui pemantauan ini kita ingin ada hal- hal konkret. Terutama pula, Komnas Perempuan ingin membuat mekanisme pemulihan karena selama ini kompensasi bagi korban lebih ke arah finansial, padahal bicara soal buruh migran, mereka rata-rata penopang keluarga, jadi kita bicara soal seluruh rakyat miskin berapa kali lipat jumlah buruh migran di luar negeri. Jadi, sebetulnya, ketika kita bicara soal pemulihan kasus-kasus yang gila atau korban perkosaan, kehamilan buruh migran yang melahirkan anak-anak tanpa ayah, wajah-wajah anak yang dibawa dari luar negeri itu, kan, nantinya akan mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sepanjang hidupnya, baik orang tuanya maupun anaknya. Jadi, kita (Komnas Perempuan) ingin membuat suatu pemulihan yang tidak hanya mengembalikan hak si korban, tapi juga pemulihan untuk reparasi, keberterimaan di komunitasnya. Termasuk pula menjadikannya sebagai kebijakan konkret di wilayah-wilayah karena perda- perda yang ada itu banyak mengatur soal pengiriman atau retribusi, pajak- pajak yang berhubungan dengan pengiriman buruh migran, tapi yang (mengatur) dimensi perlindungan belum banyak. Memang ada seperti di NTB, sudah dicoba perda yang ada dimensi perlindungan, bagaimana pemerintah bertanggungjawab soal pemulihan kembali. JP: Bagaimana sinerginya dengan pemerintah dan pihak lain yang terkait? YC: Jadi, yang dilakukan Komnas Perempuan dan Komnas HAM adalah ke beberapa wilayah tersebut (Johor, Tanjungpinang, Selapanjang). Tapi, idenya adalah mendorong kawan-kawan yang bekerja untuk isu HAM dan buruh migran untuk menggunakan instrumen itu sehingga di akhir idenya adalah bagaimana kita punya data nasional yang lebih baik tentang data trafficking. Tapi, lagi-lagi, mengandalkan data kuantitatif dengan sebaran yang banyak atau data kualitatif yang sistemik menasional, rasanya tidak sederhana. Tapi, setidaknya, Komnas Perempuan dan Komnas HAM dengan jaringan masing- masing punya peta terbaru, terutama mengenai bagaimana perlindungan yang harus dilakukan, karena UU No. 39 belum cukup efektif untuk menjadi alat perlindungan. Bisa dibuktikan, UU itu sudah berapa kali, sih, digunakan untuk menjerat pihak aktornya, terutama misalnya PJTKI (PPTKI). Walaupun berapa kali dikutip soal PPTKI yang melakukan pelanggaran, tapi praktiknya seperti apa. Menurut para agen PJTKI, waktu dengar pendapat di DPD, sanksi itu belum pernah terjadi. Yang menarik, pejabat lokal di wilayah-wilayah border yang tadi saya sebut, tidak terlalu clear apa itu migrasi dan apa itu trafficking. Jadi, data yang dia punya (hanya) soal trafficking dan KDRT. Artinya, seluruh buruh migran diasumsikan sebagai trafficking. Di (daerah) border bisa jadi yang paling banyak adalah trafficking, tapi apakah secara objektif trafficking-nya ada dua pola, kekerasan itu, atau karena tidak ada pemahaman yang clear antara migrasi dan trafficking. Termasuk pula, bayi-bayi kita temukan. Dalam workshop yang pernah kita lakukan, ada sejumlah orang yang dideportasi dan (harus) kembali pulang ke tempat asalnya, tapi banyak yang tidak punya uang sehingga rentan menjadi korban trafficking. Jumlah orang di dalam kapal, antara yang berangkat dan yang sampai, ada selisih yang cukup banyak. Jadi, selisihnya pada ke mana? Apakah pendataan teknis yang tidak komprehensif atau soal orang-orang yang tidak jelas didrop ke mana? JP: Menurut Anda bagaimana penanganan korban traThcking sekarang, apakah ada perkembangannya? Kita sudah punya Undang-Undang PTPPO dan juga sudah dibentuk P2TP2A di berbagai daerah? YC: Ya, P2TP2A sekarang, karena perubahan nomenklatur, jadi dalam APBN budget didrop tidak ada. Ini penting untuk kembali dipikirkan. Belum lama ini, kami ketemu dengan KNPPA, Bu Linda (Meneg PPPA) bilang akan mendesak pemda untuk menyediakan fasilitas P2TP2A. Tapi, dari beberapa pertemuan dengan kepala daerah, rasanya perspektif perempuannya juga banyak yang belum bagus; melihat isu-isu perempuan juga belum bagus, melihat isu kekerasan terhadap perempuan, trafficking. Bukan paham sebagai suatu kata, tetapi bagaimana pola penanganan yang konkret. Menyediakan dana itu tidak sederhana, bisa jadi malah tidak ada. Memang ada beberapa propinsi seperti di Papua, mereka buat Rumah Aman, kemudian rumah sakit untuk korban kekerasan. Untuk wilayah lain yang rentan trafficking, mestinya serius dibuat. Yang terjadi, sekadar ada bangunannya, tapi sistemnya tidak komprehensif. Itu yang perlu dipikirkan, membangun sistem perlindungan, terutama untuk shelter-shelter yang lebih pro-perempuan. Sejauh yang saya lihat dulu, sebelum terlibat Komnas Perempuan, di shelter itu tidak proporsional antara jumlah korban, gedungnya, fasilitasnya, termasuk sumber daya orang yang menangani. Kemudian pula dari segi jarak, buruh migran atau korban trafficking menempuh jarak yang tidak realistis untuk menjangkau shelter milik KBRI sehingga yang terjadi, justru di tengah-tengah pelarian mereka menjadi korban trafficking oleh supir taksi atau para migran lainnya yang berkeliaran di negara penerima. Kalau kita lihat, misalnya, beberapa kasus bayi di Selapanjang, menurut mereka, itu kebanyakan (dilakukan oleh) orang-orang dari Pakistan yang rata-rata adalah buruh bongkar pasang atau buruh bangunan yang temporer. JP: Berarti soal sistem, ya? Kelemahan lain dalam penanganan korban selain sistem? YC: Ya, perspektif orang yang dipakai untuk melihat masalah isu migrasi, kan, cenderung demografis, ekonomis, politis, tidak melihat, misalnya, dimensi agama dalam proses orang bermigrasi. Korban trafficking banyak juga yang motif awalnya karena dia ingin beribadah haji atau umroh. Kita lihat, misalnya, orang menggunakan visa umroh untuk haji; atau setelah haji dia tidak pulang supaya bisa bekerja di sana. Ketika dia tidak punya dokumen, menjadi ilegal, rentan posisinya, sangat mudah dipindahkan ke majikan lain atau mudah diperjualbelikan, juga tentu menjadi korban kekerasan seksual. Yang kedua, karena kemiskinan, di beberapa suku tertentu, misalnya. Ya, jadi memang ada tokoh agama yang baik, di beberapa wilayah ia menyediakan fasilitas pendidikan untuk para perempuan yang bermigrasi supaya anaknya aman dididik di situ; atau di wilayah tertentu dia membuka lembaga pendidikan yang rata-rata para perempuan ini bisa sekolah dan dengan mudah, menyelesaikan pendidikan Aliyah. Walaupun pada akhirnya ia menjadi buruh migran, tetapi relatif ia punya pengetahuan bahasa Arab, punya pengetahuan untuk menjaga dirinya. Tapi, ada juga tokoh agama yang menjadikan ketidaktahuan buruh migran sebagai komoditas. Jadi, perdagangannya berlapis. JP: Pelaku perdagangan yang berlapis dan adanya pandangan bahwa mereka adalah malaikat penolong berpengaruh terhadap sulitnya penanganan? YC: Iya, orang jadi tidak clear melihat. Polanya juga semakin canggih dan kadang samar, bahkan pelaku perdagangan ini bisa jadi saudara dekat. Di beberapa wilayah, untuk bekerja di pub, menjadi pekerja seks, harus ada tanda tangan dari orang tua. Artinya, keluarga menyetujui‚ “memperdagangkan” entah itu anaknya, entah itu keluarganya. Kalimat izin dipahami seperti itu. JP: Bagaimana dengan prosedur penanganan korban yang berbelit? YC: Ya, itu dari hulu sampai hilir yang harus ditangani, soal aparat penegak hukum yang harus sama-sama sensitif terhadap korban juga suatu agenda. Tapi, selebihnya juga soal kemiskinan, terbatasnya opsi-opsi pekerjaan bagi perempuan rentan. Sekarang, dengan semakin menguatnya moralisme di Indonesia, pekerja seks tidak boleh, mobilitas keluar malam jadi terbatas (ada daerah yang punya perda prostitusi yang membatasi warga keluar malam hari- red), padahal bisa jadi ia tukang sayur. Pilihannya menjadi sedikit. Opsi untuk PRT diperjuangkan (melalui) undang-undangnya pun, dari kalangan kelas menengah masih sangat resistan. Opsi perempun sangat terbatas. Menjadi buruh migran yang legal juga prosedurnya enggak sederhana untuk orang- orang yang mungkin pendidikan masih terbatas sehingga terkadang pilihan untuk masuk dalam jeratan trafficking itu menjadi lebih terbuka karena tidak ada opsi. Dari hasil riset saya terhadap beberapa Pekerja Seks Komersial (PSK) dan buruh migran, rata-rata mereka adalah korban pernikahan dini, lalu korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), suami pergi, atau melakukan kekerasan yang lain, lalu dia tidak punya jaringan tempat untuk bergantung, keluarganya miskin semua, dan dia harus menanggung anak untuk survive sehingga dia harus masuk dalam lingkaran trafficking. Rantai kemiskinan, juga soal agama yang harus ramah pada perempuan, kemudian tindakan yang tidak tegas yang menimbulkan efek jera pada pelaku, nyaris sulit untuk menjerat para pelaku perdagangan, pembuktiannya juga complicated, sulit. Rumit, ya, apalagi kalau berhadapan dengan korban yang rentan. Dia sudah harus melakukan bukti-bukti segala macam, nyaris enggak mungkin gitu, kan. Ini memang masalah yang perlu pendekatan multidimensi dan sistemis, ya. Di samping tadi itu, ya, soal pemulihan, ini termasuk agenda Komnas Perempuan, bagaimana membuat suatu standard setting untuk mekanisme pemulihan, baik buruh migran maupun trafficking. JP: Bagaimana pemulihan yang efektif agar korban tidak balik lagi menjadi korban traThcking? YC: Yang jelas pemulihan dalam makna luas, ya, jadi korban sendiri mendapatkan hak keadilan, baik secara ekonomi maupun psikis, karena kadang sudah menjadi korban trafficking, suaminya tidak mau terima dia secara psikis. Beberapa kasus perempuan yang tadinya menjadi korban perkosaan terus kemudian terjebak dalam prostitusi, kan, kebanyakan karena tidak diterima oleh suaminya. Dia menganggap, terutama kelompok moralis, ini soal purity, body purity, dan purity symbol. Akhirnya, dia (korban trafficking) merasa dirinya kotor dan dia menyemplungkan langsung. Jadi, pemulihan kepada korban juga harus didukung oleh komunitas, bahwa kadang, adil itu enggak hanya bagi dirinya, tapi bagi korban, bahwa saya harus diterima oleh masyarakat. Makanya, yang saya lihat, survival para korban trafficking maupun penghamilan paksa dan sebagainya di wilayah yang permisif, enggak harus membuat surat nikah. Tetapi, kalau di wilayah yang semakin moralis, dia harus membuat surat nikah walaupun asli palsu. Misalnya, karena jaringan di Timur Tengah untuk mendapatkan surat nikah itu mudah, ada jaringan yang siap siaga. Survival- nya sampai seperti itu, sudah menjadi korban dia harus memastikan juga di komunitas. Jadi, pemulihan dalam makna luas adalah seperti itu, individu, masyarakat, kebenaran, keadilan; karena sekarang, pulih bagi korban, tapi ketika distigma lagi oleh masyarakat, tidak ada artinya. JP: Bagaimana bentuk pemantauan nantinya? YC: Sebagai sebuah konsep, kita sudah punya pemulihan dalam makna luas. Tetapi, isu buruh migran memang harus kita ramu bersama. Konsepnya, sih, setelah finding-finding dari pemantauan ini baru kita cari polanya yang pas. Mungkin bahan bakunya adalah pemulihan dalam makna yang luas ini, tapi persisnya seperti apa, kan, justru tujuan pemantauan ini untuk mendapatkan deskripsinya yang pas. Paling tidak, secara sinergis kita bikin kajian soal kebijakan-kebijakan lokal, preview perda diskriminiatif. Nah, nanti kita lihat sisi kebijakannya seperti apa, respons pemerintah setempat atau lembaga- lembaga negara di tingkat lokal, terus jaringan di setiap wilayah, juga misalnya peta korban itu sendiri, termasuk jaringan aktor yang terlibat di situ, mesti dilihat sehingga memutus rantainya itu menjadi lebih clear. JP: Apa kendala yang kemungkinan muncul? YC: Kendalanya berlapis, soal kekuatan korban dengan kekuatan jaringan pelakunya enggak berimbang, lalu kebijakan-kebijakan yang ada, misalnya, retribusi pajak. Rata-rata perda yang muncul adalah soal gimana pajak-pajak. Itu juga yang dikeluhkan oleh PJTKI. Makanya, UU No. 39 ini kalau semua pihak ingin merevisi, interest-nya beda-beda. PJTKI, civil society, dan korban punya interest sendiri. JP: Apakah ada optimisme masalah traThcking ini akan selesai, minimal berkurang? YC: Kalau dari peta Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan tahun 2009, sekarang ini ada keberanian korban. Jadi, sekarang ini korban tidak takut walaupun aktornya adalah orang penting, orang berpengaruh. Itu menurut saya luar biasa, termasuk korban trafficking atau buruh migran yang rentan. Yang kedua, data laporan terbanyak datang dari laporan lewat telepon. Jadi, teknologi HP (handphone) pada titik tertentu membuka akses yang lebih mudah bagi perempuan untuk bicara atau mengungkapkan kasusnya. Dulu, kasus hilang kontak sangat tinggi. Sekarang, dengan adanya HP, buruh migran bisa komunikasi dengan keluarga dan anaknya, itu bisa membantu dalam situasi sulit, ya. Itu yang saya rada optimis. Sekarang juga orang melalukan campaign yang sangat serentak, bahkan kolosal yang populer di kalangan anak-anak muda dengan musik dan sebagainya yang membuat orang aware. Kata trafficking orang sudah tahu walaupun mungkin substansinya masih enggak jelas. Misalnya, belum lama ini, ada pertemuan soal campaign (anti) trafficking, terus bilang, “Stop perdagangan ilegal terhadap perempuan,” jadi, kalau legal boleh? Paling tidak, orang harus dipahamkan soal trafficking itu. Pola baru, kan, rada mengerikan, soal menjual virginitas. Kasus terakhir ada orang diancam via video. Oleh pelakunya, anak-anak diminta berhubungan seks, direkam dalam video, dan kalau melaporkan, akan disebar (video tersebut). Melalui ancaman, itu juga membuat kerentanan baru. Paling prinsip (dalam penyelesaian masalah trafficking) adalah soal penegakan hukum. Kita punya UU (tentang) anti-trafficking, tapi sebetulnya tingkat efektivitasnya seberapa, sih? Kalau itu dibuat efek jera, mungkin bisa membuat perdagangan perempuan bisa ditekan. (Dewi Setyarini) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2010 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 68, 2010 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |