Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang concern dengan isu pendidikan perempuan adalah Kapal Perempuan (Lingkar Pendidikan Alternatif untuk Perempuan). Metode yang dilakukan adalah memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan alternatif. Yanti Muchtar adalah Direktur Eksekutif Kapal Perempuan yang telah menerapkan pendidikan untuk perempuan ini di masyarakat terpinggir dan para ibu rumah tangga yang hidup di sana. Selengkapnya, berikut wawancara Jurnal Perempuan dengan Yanti Muchtar. Jurnal Perempuan (JP): Apa pentingnya pendidikan alternatif bagi perempuan? Yanti Muchtar (YM): Kalau kita mau melihat isu demokratisasi, maka harus ada satu, dua, tiga atau lebih masyarakat sipil yang kuat. Maka, kalau kita bicara tentang masyarakat sipil yang kuat, berarti kita juga akan bicara kelompok- kelompok perempuan yang kuat sebagai bagian dari masyarakat sipil itu. Pada akhirnya, kebutuhan untuk mengorganisasi perempuan menjadi sangat penting agar proses demokratisasi bisa berjalan sepenuhnya dan dengan yang sebaik-baiknya menuju masyarakat adil dan pluralis, yang akhirnya manfaatnya juga bisa dirasakan oleh kaum perempuan. JP: Atas hal tersebut, bagaimana Kapal Perempuan mengorganisir sekolah perempuan? YM: Tentu saja sama dengan yang tadi saya katakan, prasyarat dalam menciptakan masyarakat yang adil, demokratis, dan pluralis membutuhkan masyarakat sipil yang kuat, yaitu masyarakat sipil yang berperspektif keadilan sosial dan keadilan gender. Karenanya, kita harus memperkuat perempuan sebagai bagian yang terpenting dari masyarakat sipil sebab untuk konteks Indonesia, kita harus mengakui bahwa 57% masyarakatnya adalah perempuan. Dari jumlah ini, artinya manakala kita bicara proses demokratisasi, maka mau tidak mau kita harus memperkuat dan memberdayakan perempuan. JP: Dari kegiatan pendidikan alternatif untuk perempuan, Kapal Perempuan memilih pendidikan yang diberikan pada ibu rumah tangga. Mengapa demikian? YM: Kapal Perempuan mencoba melawan arus dengan cara memperkuat dan mengorganisasi ibu rumah tangga yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang tidak militan dan sulit diorganisasi, padahal mereka itu, kan, mayoritas. Makanya, kami coba mengorganisasi ibu-ibu rumah tangga di dua wilayah, yaitu di Ciliwung dan di Kampung Jati, Klender. Dan, ternyata setelah satu tahun, mereka berhasil mendirikan Sekolah Perempuan di dua wilayah tersebut. JP: Apa saja program yang dimiliki di Sekolah Perempuan itu? YM: Kita mencoba mengintegrasikan tiga pendekatan sekaligus. Pendekatan pertama adalah bagaimana meningkatkan kesadaran perempuan sekaligus meningkatkan cara berpikir yang kreatif dan kritis, namun di saat bersamaan kita juga tahu bahwa faktor ekonomi juga merupakan sebuah masalah yang tidak bisa kita tinggalkan. Pendekatan ekonomi saja memang tidak cukup. Artinya, perempuan sebetulnya perlu pula pengetahuan, itu mengapa kami masuk dengan pendekatan apa yang disebut pemerintah sebagai “keaksaraan fungsional”, yaitu mereka dapat membaca, menulis, dan berhitung. Nah, ketiga hal itu coba kami gabungkan dengan metodologi yang berusaha tidak memisahkan ketiga hal ini. Misalnya, ketika kami mengajar membaca, maka yang dibaca adalah persoalan mereka. Setelah itu dianalisis, kemudian bagaimana menjawab pertanyaan dan menggali jawabannya. Nah, dari situlah muncul kebutuhan pentingnya berorganisasi, bersolidaritas sehingga hasil proses itu kemudian menghasilkan organisasi yang mereka inginkan. JP: Jadi, berdasarkan pengalaman perempuan itu kemudian timbul kebutuhan akan pengetahuan-pengetahuan tersebut? YM: Persis, berdasarkan pengalaman merekasendiri lalu mereka bisa merumuskan kebutuhan mereka. JP: Adakah kendala dalam pengorganisasian Sekolah Perempuan tersebut? YM: Ada, yaitu dari masyarakat sendiri, dan sebetulnya masyarakat kita memang sudah terkotak-kotak. Maka, ketika kami datang ke dua wilayah tersebut, yang keluar adalah isu penyebaran agama. Kita sempat dianggap melakukan penyebaran agama. Dan, kendala kedua, banyak yang berpikir kami bawa bantuan karena selama ini, orang datang ke mereka untuk bawa bantuan fisik. Jadi, menurut kami, materi yang nantinya disampaikan pada kelompok ibu rumah tangga ini adalah tema pluralisme juga, yaitu bagaimana saling menghargai dan bagaimana saling menerima perbedaan yang ada dalam masyarakat, dan di antaranya adalah perbedaan agama. JP: Apa perubahan yang terjadi di kelompok pendidikan alternatif bagi perempuan tersebut? YM: Mereka bisa lebih terbuka dan berani mengekspresikan pikiran mereka sendiri. Misalnya, di Ciliwung, kami terkena isu agen penyebaran agama, ternyata ibu-ibu yang sekolah di tempat kami menolak isu itu dengan mengatakan itu mengada-ada dan bohong belaka. Reaksi itu sebenarnya hasil proses penguatan bahwa mereka berani mengatakan dan bertindak atas nama diri mereka sendiri. Akhirnya, posisi tawar mereka dalam masyarakat itu pun lalu menjadi lebih baik. JP: Artinya Kapal Perempuan berhasil memfasilitasi Sekolah Perempuan di dua wilayah itu, apakah memang ada kebutuhan sekolah alternatif di sana? YM: Tentu ada, sebab kalau kita mau bicara soal Indonesia yang adil dan sejahtera serta demokratis, tentu harus ada pengawasan, monitoring, dan input dari masyarakat. Masyarakat miskin tentu saja ada di dalamnya, berikut perempuan- perempuan miskin. Mungkin sebagai salah satu contoh, inisiatif LSM untuk membantu, seperti yang dilakukan Kapal Perempuan, tetapi sebaiknya itu adalah keinginan atau diinisiatifkan oleh mereka sendiri. Dan, harapan ke depan, proses-proses pengorganisasian itu dapat didorong oleh kita semua, khususnya oleh pemerintah. Dorongan itu bukan sekadar omongan, melainkan juga terjamin di APBD dan APBN, bahwa usaha-usaha yang tersistematisasi memang pendanaannya ada dari pemerintah. Mengorganisasi ibu-ibu agar mereka kuat dan mampu mengekspresikan aspirasi dan pendapat mereka itu, kan, penting. Misalnya, saat pemilu lalu, hampir semua pihak memberikan pendidikan politik, padahal seharusnya yang diberikan adalah pendidikan kewarganegaraan dan itu harusnya memang dilakukan oleh negara. JP: Berbalik pada kelompok perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga yang dianggap tidak militan, pengalaman Kapal Perempuan sendiri bagaimana? YM: Ya, ternyata mereka militansinya tinggi sekali karena pada tingkatan tertentu tidak ada itu namanya riil ibu rumah tangga. Banyak di antara mereka menjadi buruh cuci dan pengusaha kecil. Pengalaman kami ternyata, mereka cukup mampu untuk membangun komunitasnya. Saya hanya ingin membandingkan ketika saya pulang dari Manila, di situ ada persatuan orang tua yang isinya ibu rumah tangga dan mereka memulai aktivitas pendidikan pre-school di setiap komunitasnya dengan konsep dari mereka untuk mereka, dan ternyata gerakan ini cukup kuat, begitu pula di daerah miskin kota. Saya langsung membayangkan bagaimana mereka bisa melakukan itu dan apakah mungkin diterapkan di negara kita. JP: Dapat digambarkan apa yang dilakukan mereka di sana? YM: Seperti di Filipina, Indonesia juga saya rasa, kadang anak tidak disekolahkan, selain faktor biaya, jarak yang jauh, mungkin juga tidak ada tempat atau ibu- ibunya menganggap tidak penting. Maka, kelompok ibu-ibu rumah tangga ini bersatu dan mengumpulkan uang, menyewa satu ruangan, dan membuat satu sekolah di situ. Di sana mereka sekaligus dididik untuk menjadi guru TK dan mereka dapat bergantian menjadi guru TK di sana. Bagi yang tidak punya biaya tidak perlu membayar. JP: Apa pendapat Anda mengenai persoalan pendidikan di Indonesia? YM: Indonesia memang sudah meratifikasi deklarasi education for all, yaitu ‘pendidikan untuk semua’ dan juga berdasarkan UUD ‘45 yang diamandemen, pendidikan dasar 9 tahun seharusnya gratis, bermutu, dan aman. Karena itu, tidak mungkin bila Indonesia tidak memikirkan persoalan pendidikan ini, apalagi persoalan perempuan yang jelas separuh lebih dari penduduk di Indonesia ini. Ya, kita harus terus menjalankan metode pendidikan alternatif ini sebelum semuanya menjadi semakin runyam dan negara ini tidak menjadi apa-apa di mata dunia. (Sofia Kartika) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 44, 2005 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
tjiu hwa jioe
2/8/2016 01:56:27 pm
Bukankah Ibu Yanti Muchtar sudah berpulang? Wawancara ini dilakukan kapan? Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |