Wulan Danoekoesoemo, 31 tahun[1], perempuan yang memiliki keahlian di bidang psikologi ini mendirikan kelompok sosial bernama Lentera Indonesia atas kepeduliannya terhadap sesama perempuan. Kelompok ini didirikan untuk mendukung para korban perkosaan. Awalnya lelucon di twitter tentang hantu perempuan yang ingin membalas dendam pada pemerkosanya. Wulan sangat marah menanggapi lelucon tersebut lalu menulis tweet bahwa banyak fakta mengejutkan tentang kasus pelecehan seksual dan perkosaan adalah hal serius yang menyakitkan, bukan untuk ditertawakan. Wulan kemudian merasa lebih baik melakukan sesuatu untuk korban perkosaan atau kekerasan seksual daripada terus berkata-kata. Bersama Jurnal Perempuan, Wulan diwawancara untuk menceritakan lebih lanjut masalah korban dan pelaku perkosaan, serta apa yang perlu dilakukan perempuan. Jurnal Perempuan (JP): Apa pendapat anda tentang masalah pemerkosaan di Indonesia? Wulan Danoekoesoemo (WD): Tidak terlalu banyak orang yang merasa nyaman membicarakan masalah perkosan. Kebetulan sejak Lentera Indonesia berdiri tiba-tiba banyak terpapar berita perkosaan. Saat itu kita melihat dengan cara prihatin. Angka statistik perkosaan seperti gunung es, karena betapa banyak yang sebenarnya tidak kelihatan. Maka sudah saatnya masalah ini sesuatu yang harus dituju dan di luar sana kita tahu sudah banyak yang peduli dengan masalah kekerasan terhadap perempuan dan kita ingin ikut ambil bagian dalam area yang selama ini belum tersentuh. JP: Siapa sajakah korban perkosaan? WD: Sayangnya korban kekerasan seksual bisa siapa saja. Bicara perempuan, ya laki-laki juga korban meski tidak sebanyak perempuan. Bicara perempuan muda, anak kecil juga banyak yang mengalami. Jadi kalau ditanya korban siapa, siapapun bisa jadi korban, lintas gender, sosial, kelas, ras dan ekonomi. JP: Berarti masalah perkosaan seharusnya bukan masalah perempuan saja? WD: Terbukti anak kecil laki-laki juga banyak yang jadi korban. Suatu hari kita akan berhadapan dengan korban seksual yang notabene laki-laki dan kita juga sudah mulai menerima email-email dari korban laki-laki yang ingin bergabung dalam komunitas Lentera Indonesia. JP: Apa pengaduan dari korban pria? WD: Mereka belum menceritakan secara spesifik tapi mereka mengaku seorang korban dan ingin berbagi. Kami sadar budaya patriarkhi biasanya membuat laki-laki punya ego dan dominasi sehingga merasa kuat dan ketika mereka sudah berani untuk bicara, sepertinya kita tidak bisa bilang mereka mengada-ada. JP: Mengapa korban perkosaan banyak perempuan? WD: Ini masalah stigma, masalah kecenderungan untuk menyalahkan perempuan misalnya “kamu pulangnya malam sih, naik ojek, naik taksi malam-malam sendiri.” Lah kalau memang tuntutan hidup, mau bilang apa? Kemudian juga kita dituntut selalu untuk berusaha melindungi diri tetapi tidak ada timbal balik ketika pemerintah tidak menyiapkan perangkat hukum yang bisa melindungi semua warga negara perempuan misalnya sistem transportasi karyawan perempuan yang pulang malam. Dari dahulu kita selalu dibilang perempuan itu harusnya jadi istri harus menurut suami, jadi ibu rumah tangga yang baik, fungsinya melahirkan secara kordrati karena punya rahim dan sel telur, tetapi kan perempuan tidak semata-mata itu saja? JP: Bagaimana ide awal Lentera Indonesia? WD: Pertama ini kekuatan sosial media pastinya. Lentera Indonesia berawal dari twitter, waktu itu kita melihat serentetan joke di twitter dengan hashtag berjudul horor gagal. Kemudian pelakunya beberapa twitter buzzer, cukup mengecewakan sebetulnya dengan punya follower ribuan, mereka seharusnya menjadi opinion leader, tetapi opinion yang mereka lead justru menjadikan isu sensitif ini menjadi bahan bercandaan. Yaitu tentan seorang perempuan yang diperkosa kemudian frustasi lalu bunuh diri, meninggal, lalu menghantui si pelakunya, kemudian dibuatlah semacam simulasi berbagai versi. Banyak sekali yang berpartisipasi dalam hashtag itu. Kita miris sekali melihatnya karena terlepas bahwa itu memuakkan, tapi di sisi lain itu adalah potret kenyataan masyarakat kita bahwa mereka tidak mengerti bahwa mereka telah menjadikan perkosaan sebagai bahan bercandaan. Kebetulan malam itu saya bertemu dengan beberapa twitter info lain yang juga tidak kalah sewotnya. Malah ada salah satu yang waktu itu secara terbuka menyatakan dia korban, kemudian kita ngobrol apakah kita marah-marah atau melakukan sesuatu, lalu kita pilih untuk melakukan sesuatu, dan saya mengusulkan untuk membuat kelompok dukungan. Karena dengan kejadian ini mungkin banyak orang di luar sana yang merasa terhina bahkan sampai teman saya itu sampai membuka status mengejutkan bahwa dia korban perkosaan dan dia bilang pertamakalinya bicara di publik. Dan dia setelah dia membuka status itu, emosinya langsung up and down, yang namanya luka itu sudah lama tertutup dan tidak tertangani. Kebetulan saya adalah psikolog klinis dan beberapa tahun yang lalu saya pernah kerja semacam kelompok dukungan pecandu alkohol yang berusaha untuk pulih, siapapun pecandu boleh datang dan ikut berbagi atau sekedar diam mendengarkan bagaimana orang lain bercerita menjalankan pemulihannya. Saya pikir ini model yang cukup aman untuk dicoba diterapkan untuk korban perkosaan dengan memberi ruang aman. Saya belajar tentang trauma jadi tahu bahwa yang namanya trauma, dan kita berpikir di luar sana pasti banyak perempuan yang menangis sendirian, karena mau cerita sama siapa? Orang tua? Saudara? Dan bagaimana bila pelakunya adalah orangtua sendiri atau saudara? Ibarat kulit bawang ternyata setiap kali mengelupas, selalu ada lagi di dalamnya berlapis-lapis. Kita berangkat dari keprihatinan itu .JP: Seperti apa profil korban perkosaan? WD: Seperti orang-orang yang pernah mengalami trauma. Bayangkan misalnya bencana alam, akan mengalami mimpi buruk, takut dengan suara keras. Kalau dalam kasus kekerasan seksual misalnya terjadi di masa kecil, pelakunya kakek, ayah, kakak, keluarga terdekat, sebagai laki-laki pertama dalam kehidupan setiap perempuan. Dan itu akan menjadi simbolisasi relasi pada masa dewasanya. Bayangkan ketika pengkhianatan itu terjadi di usia yang sangat dini oleh laki-laki pertama dalam hidupnya, itu luka yang dia bawa seumur hidup dan pada perkembangannya dia akan mengalami kehilangan kepercayaan pada orang lain yang seharusnya melindungi, atau menjaga dia. Bisa jadi dia berkembang menjadi orang yang tidak percaya pada laki-laki, menjalin relasi menjadi ragu-ragu, dan ketika keintiman itu hadir dia menjadi sangat takut. Misalnya dia percaya 100% dengan ayahnya, kakeknya ternyata orang yang dipercaya ini justru yang melukai dia. Atau ketakutan pada figur yang memiliki otoritas seperti bos di kantor, dosen di kampus, bisa jadi kalau kita kuliah atau kerja begitu masuk ruang meeting dan konteksnya hanya berdua, dia bisa sesak nafas keringat dingin dan sebagainya. Ini adalah bentuk nyata dari trauma dan itu harus diselesaikan. Bahwa apa yang terjadi di masa lalu tidak bisa diubah. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana caranya mengakui itu terjadi dan pelan-pelan belajar menerima. Ternyata untuk para korban ini mengakui saja susahnya setengah mati. Bayangkan selama puluhan tahun mereka menutupi rapat-rapat lukanya lalu tiba-tiba ibarat dibuka perbannya, it’s like opening the pandora box, emosinya lalu jadi berantakan. Memori yang selama ini dikubur dalam-dalam, akhirnya menuntut pertanggungjawaban yang harus diselesaikan. JP: Sejauh ini sudah berapa orang yang bergabung? WD: Yang reguler 10 orang, lainnya datang dan pergi. Korban dalam masa pemulihan itu seperti masuk dalam terowongan gelap. Diujungnya kelihatan ada cahaya tapi terowongannya panjang. Sekarang masalahnya mereka mau jalan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Itu semua pilihan. Karena ada orang yang merasa nyeri atau sakit membayangkan prosesnya. Prosesnya memang painful sekali. JP: Apa pesan anda untuk perempuan tentang perkosaan? WD: Kita semua adalah kemungkinan target, karena pelaku itu tidak tiba-tiba terangsang lalu menyerang. Mereka memilih. Kemarin waktu sesi seminar yang kita selenggarakan, kebetulan adalah salah satu rekan datang dia adalah seorang warga negara Amerika lama di Indonesia dan mengajar self defense for women. Waktu itu dia datang menjadi observer ke sesi workshop dan sesi tanya jawab dan tiba-tiba dia datang dari belakang menyalami semua pembicaranya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling dan dia bilang “kita sudah saling berkenalan, saya sudah mengamati dan kalian adalah target saya!”. Semua yang disalami langsung kaget. Lalu dia datangi salah satu orang bilang, “kamu dari tadi sibuk sekali dengan blackberry kamu sampai kamu tidak sadar saya melihat kamu dari tadi. Kamu akan jadi target saya yang sangat mudah.” Lalu dia juga menghampiri salah satu peserta di situ dan bilang, “Saya juga melihat kamu dari tadi sibuk melihat catatan teman kamu, itu menunjukkan kamu sangat bergantung pada orang lain. Dan pada saat kamu tidak sama orang lain kamu akan menjadi target saya.” Dia tidak sedang bicara gender, tapi tindakannya saat itu menampar semuanya baik laki-laki maupun perempuan menahan nafas karena itu pesan yang kuat sekali dia sampaikan. Jad intinya siapapun kita ketika tidak aware pada diri sendiri, ketika kita tidak care dengan lingkungan sekitar, maka kita jadi target. Karena mereka polanya mengamati, misalnya naik kendaraan apa, dan selalu mencari kelemahan kita sehingga mudah menjadi target. Dia akan mengamati setiap hari rutinitas kita dan memastikan kapan waktu yang tepat untuk menyerang. Jadi siapapun bisa jadi target, jangan menyalahkan faktor-faktor eksternal yang tidak relevan yang penting aware dan dan jangan punya perilaku yang careless sekali. Selama pemerintah kita tidak ada perlindungan dan infrastruktur yang baik, rakyatnya harus setengah mati melindungi dan membangun dirinya sendiri. [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2011 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 71. 2011. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |