Oleh Gadis Arivia “I want to live like a butterfly in the sun.” Ini bukan ungkapan Toeti Heraty tapi ungkapan Margaretha Zelle atau Mata Hari, penari perempuan di tahun 1917 yang dituduh telah membunuh 50.000 tentara Perancis. Ia memiliki pacar-pacar yang berpengaruh di berbagai negara, cerdas luar biasa serta menjadi mata-mata terkenal. Toeti Heraty tentu tidak pernah menjadi mata-mata, hanya sekali ia mencoba melakukan kegiatan mata-mata, ketika itu ia benar-benar ingin mengetahui apa yang akan dilakukan komunitas yang mencintainya untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Kegiatan mata-mata tersebut sukses. Toeti Heraty memang bukan Mata Hari. Meskipun keduanya memiliki bakat artistik yang luar biasa. Mata Hari terkenal dengan tarian eksotisnya yang meluluhkan setiap pria yang memandangnya, sedangkan Toety Heraty terkenal dengan suaranya yang meluluhkan setiap mahasiswa yang mendengarkan kuliah filsafatnya di siang hari bolong di UI Depok. Terutama Toeti Heraty meluluhkan hati saya ketika pertama kali saya mendengarkan sajaknya “Manifesto” yang ditulisnya pada bulan September 1980. Sajak itu baru saya dengar di tahun 1986 ketika saya menjadi mahasiswa tingkat pertama jurusan filsafat, UI. Saya ingat ketika itu saya sering memandangnya dan bertanya-tanya dalam hati mungkinkah perempuan ini yang bersuara lembut bisa tampil garang di dalam puisinya? Apalagi di dalam puisi tersebut ia ingin menuntut semua laki-laki ke pengadilan.
aku tuntut kalian ke pengadilan, tanpa pihak yang menghakimi siapa tahu, suap-menyuap telah meluas menjulang sampai ke Hakim Tinggi siapa jamin, ia tak berpihak sejak semula karena dunia, pula semesta, pria yang punya Filsuf Feminis dan Kebebasan Di tahun pertama kuliah filsafat memang banyak hal yang membuat saya tersentak. Selain sajak-sajak Toeti Heraty yang “membangunkan” isi kepala saya, ia juga memperkenalkan saya dengan tokoh-tokoh filsuf feminis. Ketika itu sangat jarang filsuf feminis dibicarakan dan Toeti paling tidak memperkenalkan satu tokoh, Simone de Beauvoir, filsuf feminis Perancis. Saya bisa membayangkan betapa sulit untuk Toeti menerangkan kehidupan pribadi de Beauvoir di kelas, yang ketika itu de Beauvoir diperkenalkan sebagai “teman” Sartre. Masih untung Toeti memperkenalkan de Beauvoir sebagai “teman”, sedangkan dosen filsafat laki-laki hanya cukup menggumankan sekilas nama de Beauvoir dan bahkan tidak mengajarkan sama sekali pemikiran filsafat de Beauvoir. Perlu dipahami di tahun saya kuliah filsafat, Departemen Filsafat UI memang sangat maskulin dalam pemikiran filsafatnya. Dalam kasus de Beauvoir, mungkin mereka juga bingung menjelaskan hubungan Sartre sesungguhnya dengan de Beauvoir. Perlu diingat bahwa ketika saya kuliah filsafat di pertengahan 1980-an kata “kumpul kebo” kurang sopan diucapkan di kelas. Bahkan kata “perempuan” ketika itu tidak layak dilafalkan. Penggunaan kata yang diterima saat itu di dunia akademisi adalah “wanita”, kira-kira supaya sama nafasnya dengan organisasi pemerintah, Dharma Wanita, di masa Orde Baru. Untungnya, Dharma Wanita kurang diminati Toeti sehingga tidak pernah dijadikan contoh di kelas. Toeti banyak menulis tentang de Beauvoir atau menulis dengan kesamaan berpikir de Beauvoir. Salah satu contoh kesamaan berpikir tersebut adalah tulisan Toeti dengan judul “Gairah Pada Wanita Setengah Baya”. Tulisan tersebut muncul di Jurnal Perempuan edisi perdana (Agustus/September 1996). Apa daya tahu-tahu sudah setengah baya, dan terutama pada istilah ini dijumpai ganjalan lain. …Seakan-akan menjadi isyarat bahwa kita menjelang tua, grafik secara fisik hanya tinggal menurun saja. Padahal, terlepas dari segi fisik, kita justru menghadapi klimaks kehidupan, menikmati jerih payah yang barang kali sudah mulai menampakkan hasilnya. Mungkin pada pria tidak demikian halnya, dari segi karier dan kedudukan dalam masyarakat, ia mulai mantap, tetapi pada wanita aspek biologis memang lebih mencuat. Tulisan Toeti mengingatkan saya pada tulisan de Beauvoir, The Coming of Age, yang mengupas soal permasalahan perempuan dan umur tua. Bagi de Beauvoir, laki-laki melihat dirinya penuh dengan rasa kecemasan di umur yang mulai menua dan ada rasa ketidakberdayaan (de Beauvoir, 1972: 464). Sedangkan pada perempuan, de Beauvoir mencatat demikian (hal. 488-489): It is for women in particular that the last age is a liberation: all their lives they were subjected to their husbands and given over to the care of their children; now at last they can look after themselves…their situation does offer them the possibility of breaking free. Soal kebebasan merupakan persoalan yang banyak dibahas oleh filsuf feminis. Memang ada sederetan filsuf laki-laki di abad Moderen telah membahas soal kebebasan dan mengupas dengan jeli soal otonomi, demokrasi, kesetaraan, dan hak-hak individu. Sebut saja nama-nama seperti John Stuart Mill, Hegel, Marx, Sartre, dan pemikiran yang lebih kontemporer seperti Habermas dan Rawls. Namun, persoalan kebebasan yang diangkat oleh Toeti maupun de Beauvoir sangat berbeda dengan pemikiran filsuf laki-laki yang berangkat dari kehidupan publik. Toeti dan de Beauvoir membahas filsafat berangkat dari kehidupan privat. Baik Toeti dan de Beauvoir tidak memisahkan pembahasan kebebasan dan keadilan dari pengalaman pribadi yang konkrit. Artinya, teori feminisme selalu beranjak dari anggapan bahwa aturan-aturan sosial, politis, dan budaya selalu membentuk kehidupan perempuan yang tidak adil. Jadi, para feminis selalu berangkat dari kerangka acuan konkrit sedangkan para filsuf laki-laki berangkat dari kerangka acuan abstrak. Bila dikatakan filsuf feminis berangkat dari hal-hal yang konkrit, lalu, apakah Toeti pernah mengalami ketidakadilan dalam hidupnya? Sulit membayangkan bahwa Toeti pernah mengalami diskriminasi. Sebagai perempuan kelas atas bangsa Jawa, anak sulung dari enam bersaudara (lima perempuan dan satu laki-laki), ayahnya, Ir Rooseno Soerjohadikoesoemo mantan menteri Pekerjaan Umum dan menteri Perhubungan era Presiden Sukarno, rasanya hidup Toeti pasti sangatlah mulus. Toeti bercerita suatu hari kepada saya bahwa ayahnya dalam hal pendidikan memperlakukannya sama dengan anak laki-laki, tapi ia merasa dalam pergaulan sosialnya dibedakan. Dalam pergaulan saya dengan teman-teman saya di sekolah, saya menyadari bahwa saya tidak boleh bersaing dengan laki-laki, karena saya merasa pada usia remaja sangat penting buat saya mereka menyukai saya. Dan bila saya menyaingi mereka (laki-laki) karena nilai pelajaran saya lebih tinggi dari mereka misalnya, mereka tentu tidak begitu suka. “They will respect you but they will not like you”, karena mereka mempunyai image tertentu bahwa sebagai perempuan tidak boleh melebihi mereka, masalahnya saya termasuk yang sering melebihi mereka. (wawancara 25 Maret 2016) Toeti bercerita soal perasaan dibedakan tersebut dengan panjang lebar. Ia merasakan ada perbedaan pada masa SMA (pada masa SMP Ia bersekolah yang semua muridnya perempuan). Memang pada masa di SMP teman-teman perempuannya selalu membicarakan laki-laki, dan kemudian tak lama rata-rata mereka menikah. “Saya terkagum-kagum mengapa mereka bisa melakukan itu dan apakah saya juga bisa? Mereka bilang mereka minum jamu-jamu, apakah untuk mendapatkan suami harus minum jamu?” Toeti menggambarkan betapa kita sebagai anak perempuan sudah digiring ke arah peran domestik dan cita-cita untuk berkeluarga menjadi lebih penting daripada cita-cita memiliki karir. Meskipun demikian, Toeti tak gamang, dan terus menuntut ilmu setinggi mungkin. Ia awalnya studi kedokteran (tapi bosan hanya belajar soal fisik manusia dan tidak menantang), lalu, ia pindah studi psikologi karena merasa, “I’m a problematic person.” Tapi masalahnya ketika itu tahun 1951, studi psikologi belum ada di Indonesia maka ia izin ke orangtuanya untuk studi ke Belanda. Permintaannya baru dikabulkan setelah ayahnya selesai bertugas menjadi menteri di tahun 1955, ia lalu berangkat ke Belanda. Namun, sebelum ke Belanda ia sempat jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Cinta penuh tantangan menurutnya dan Toeti merefleksikan arti cinta. Pertanyaannya yang menarik bagi saya adalah apakah ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal mencintai? Saya menanyakan hal ini kepada Toeti dan dia menceritakan kisah pribadinya. Pria muda ini religius dan saya tidak. Tapi orientasi saya menjadi ke dia karena adanya perasaan romantik. Hanya memang ada perbedaan di antara kita. Saya memiliki semua fasilitas, bisa sekolah dan ke Belanda. Bukan hanya itu, sewaktu saya masih mahasiswa di Kedokteran UI, saya sudah bekerja di apotik Tunggal dan saya mendapatkan 250 guilders per bulan, saya juga menjadi asisten di bagian Botani dan mendapatkan 115 guilders per bulan, jadi pendapatan saya sudah mencapai 365 guilders ditambah dengan uang lelah main piano mengiringi anak-anak yang menari balet. Saya bisa membeli apa saja yang saya sukai. Sedangkan pria muda yang mencintai saya itu, ayahnya meninggal dan dia anak tertua. Dia harus mengurusi adik-adiknya, harus bekerja dan harus menyelesaikan studinya yang tadinya di Kedokteran UI lalu pindah ke ITB. Kesulitan terjadi karena adanya kesenjangan yang terlalu besar antara dia dan saya. Akhirnya, saya memutuskan hubungan saya dengannya. (Wawancara 25 Maret 2016) Toeti memperlihatkan bahwa ia sangat rasional bahkan dalam hal cinta. Ini mungkin yang membedakannya dengan kebanyakan perempuan. Ia meninggalkan kekasihnya dan pergi ke Belanda. Di Belanda ia bertemu dengan pria lain dan menikah serta punya anak kembar. Menyelesaikan studi sambil mengurus anak kembar tidak mudah baginya. Ketika ia selesai Sarjana Muda dan suaminya selesai studinya di Utrecht, Belanda, mereka kemudian harus kembali ke tanah air karena ada peristiwa politik, yaitu, konfrontasi terbuka Indonesia-Belanda mengenai Irian Barat, dan semua mahasiswa Indonesia harus segera pulang ke tanah air. Sesampainya di tanah air, ia melanjutkan studi psikologinya di Bandung, artinya, pulang pergi Jakarta-Bandung naik “Super Band” (travel) dan sempat hamil lagi. Toeti mengenang ketika melapor kepada ayahnya bahwa studinya akhirnya telah selesai. “Ayah saya bertanya, ‘berapa lama kamu menyelesaikan studi kamu’? 11 tahun Pap, saya jawab. Ayah kemudian menyindir dengan mengatakan itu angka yang bagus untuk main kartu.” Setelah lulus ia menjadi dosen psikologi di UNPAD selain juga membantu di UI. Saat ia ditawari untuk menjadi dekan Psikologi ia memutuskan untuk meninggalkan Bandung setelah tujuh tahun menikah, “the seven years itch of marriage”, pungkasnya. Kenapa saya meninggalkan Bandung? Karena kan’ tesis saya tahun 1961 tentang Simone de Beauvoir. Waktu itu pemikiran de Beauvoir masih sangat baru, saya beruntung bisa dapat bukunya. Judul tesis saya, “Transendensi Perempuan.” Saya menulis tesis saya dengan kombinasi teori Rosenzweig (1907-2004), yaitu, test yang menggambarkan situasi frustrasi dan bagaimana perempuan dan laki-laki bereaksi dalam situasi frustrasi tersebut. Kesimpulan dari test itu menarik. Misalnya, bila ada perempuan jalan dan bajunya kecipratan mobil maka ia akan bereaksi “seharusnya saya tidak mengenakan baju yang ini atau seharusnya saya tidak berdiri di situ.” Tapi kalau laki-laki bereaksi dengan marah, “kenapa mobil itu, kenapa saya kena ciprat?." Jadi kalau laki-laki agresif, marah, punishing. Tapi kalau perempuan menyalahkan dirinya sendiri. (Wawancara 25 Maret 2016) Ketika ia berumur 33 tahun Toeti merasa hidupnya sangat terbatas. Ia ingin sesuatu yang lebih. Apalagi ketika di ITB, Departemen Biologi bertetanggaan dengan Departemen Seni Rupa dan ia banyak bergaul dengan seniman terutama dengan Mochtar Apin yang juga menjadi dosen di ITB. Dunia saya di Bandung saya rasakan sangat sempit, sebagai istri, ibu dan dosen. Apa yang saya lakukan hanyalah mendukung suami saya untuk bisa mendapatkan gelar Doktor. Saya menjual perhiasan saya untuk membiayai studinya, saya yang membuat statistiknya karena dia membuat eksperimen-ekperimen. Dia pergi ke Amerika satu setengah tahun lalu ke Singapura untuk karirnya, jadi, saya merasa lebih mendukung karya suami. Ketika suami saya pulang dari Amerika, Januari 1966, saya bilang padanya; saya senang kamu pulang, tapi saya perlu kamu sekarang yang mengurus rumah karena saya mau pergi ke Jakarta, saya tidak tahu apa yang akan saya kerjakan nanti tapi saya mau pergi. (Wawancara 25 Maret 2016) Toeti kembali ke Jakarta dengan anaknya yang paling kecil, Cyril, karena tiga anak perempuannya harus menyelesaikan sekolah mereka di Bandung. Toeti membuat perjanjian dengan suaminya untuk menata hidupnya di Jakarta dan memulai karirnya dari nol lagi. Selebihnya sejarah mencatat keberhasilan Toeti di dunia akademis (meraih gelar Doktor bidang filsafat tahun 1979 dan kemudian professor bidang Filsafat tahun 1994). Kiprah di dunia bisnisnya, Biro Oktroi Rooseno yang bergerak di bidang paten juga sukses. Bukan hanya sebagai akademisi, penyair dan pebisnis, ia juga seorang aktivis militan dan ikut mendirikan Jurnal Perempuan tahun 1996 serta pendukung utama protes Suara Ibu Peduli di Bundaran HI tahun 1998. Ia pun berkiprah di berbagai LSM lainnya seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Perjalanan hidup seorang Toeti Heraty penuh lika liku. Maka, baginya pertanyaan soal keadilan berangkat dari pengalaman manusia yang konkrit (relasi dengan keluarganya, suaminya dan lingkungannya). Sajak Toeti, “Lukisan Wanita 1938,” Juli 1989, memberikan gambaran lengkap perjalanan kehidupan seorang perempuan. Lukisan dengan lengkap citarasa giwang, gelang, untaian kuning hijau selendang, menyembunyikan kehamilan Kehamilan maut yang nanti menjemput luput diredam kehamilan hidup yang nanti merenggut goresan dendam gejolak dan kemelut keprihatinan gagal direkam pada sapuan dan garis wajah yang menyerah, pada alur sejarah Lukisan dengan sapuan akhir yang cemerlang, kelengkapan wajah diperoleh dalam bingkai kenangan Toeti Heraty mempertanyakan soal keadilan dalam arti yang konkrit, berangkat dari pengalaman perempuan yang konkrit. Giwang, gelang, untaian kuning hijau selendang merupakan kelengkapan citarasa seorang perempuan. Asesoris perempuan tersebut sama pentingnya dengan kehamilan dan wajah elok, yang kesemuanya dapat direngut dan menyerah pada alur sejarah. Subyektifitas, Tubuh dan Imajinasi Menurut saya, Toeti Heraty tidak pernah lepas dari wacana ketubuhan. Suatu wacana yang amat janggal ditemui di bidang filsafat. Meskipun perlu saya akui, untuk mata kuliah metafisika dan epistemologi, Toeti jelas lebih banyak berkutat dengan unsur obyektifitas dan menjauh dari subyektifitas. Unsur filsafat yang rasional dan obyektif yang diperbincangkan Toeti di ruang kuliah, memang membuat sebagian besar mahasiswanya berdecak kagum. Angkatan saya, Filsafat UI 1986, sebagian besar terdiri dari mahasiswa berjenis kelamin laki-laki dan segala sesuatu yang rasional bagi mereka mengandung magnet. Saya masih ingat teman-teman seangkatan saya yang berjenis kelamin laki-laki sangat khusyuk mendengarkan kuliah Toeti. Nama-nama seperti Rocky Gerung, Jo Priastana, Suparman, Akhyar Yusuf, Sujana Rosali, dan lain sebagainya, merupakan teman-teman berdiskusi setiap akhir kuliah Toeti. Teman perempuan satu-satunya seangkatan saya adalah Yoke Sri Astuti. Pro dan kontra sering mewarnai diskusi kami. Namun satu hal yang kami setujui adalah sosok Toeti Heraty yang dengan mudah menyatukan semua perspektif ke dalam perspektif filsafat dengan jalan dialog atau “percakapan filsafat.” Mungkin karena Toeti memang mengajar di berbagai fakultas di lingkungan UI seperti di Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, dst, sehingga baginya percakapan antara filsafat dan bidang ilmu-ilmu lainnya berjalan dengan sangat harmoni. Itu sebabnya Toeti bisa mempercakapkan puisi-puisinya dengan filsafat dan terasa sangat alami. Ruang rasional yang terjaga di dalam kuliah-kuliah metafisika dan epistemologi bisa seakan-akan melebur dalam ruang emosional yang terseret dalam puisi-puisinya. Dua ruang yang berlainan secara karakteristik oleh Toeti Heraty dapat dijadikan “ruang terbuka” yang bebas dimasuki oleh orang lalu-lalang. Hal tersebut juga tercermin dari bimbingan disertasi S3 yang dipromotori Toeti, begitu bervariasi, mulai dari seni, politik, ekonomi, arsitektur, kesehatan, gender, yang dikupas secara filosofis menjadi disertasi filsafat. Unsur fleksibilitas dan multidisiplin, kegairahan untuk mengekplorasi bidang-bidang lain dan pemikiran-pemikiran yang tidak konvensional merupakan ciri eksistensi Toeti Heraty. Kekuatan sosok Toeti Heraty bagi saya terletak pada imajinasinya yang kuat. Hanya dengan imajinasi, Toeti dapat bergerak secara leluasa dari fokus filsafat ke fokus ketubuhan, dan menjadikan ketubuhan sebagai kekuatan sumber karya feminismenya. Ketubuhan dan seksualitas menyelinap dalam ruang-ruang kuliah filsafat di UI. Toeti tak peduli apakah filsafat harus tetap menjaga “kesuciannya” sebagai ilmu yang memegang teguh obyektifitas atau telah berhasil terpenetrasi dengan ide-ide liar feminisme. Benih filsafat dan feminisme yang ia tanam puluhan tahun lamanya, kini telah tumbuh dengan subur di Jurnal Perempuan dan di Departemen Filsafat UI. Rasanya, kolega pengajar laki-laki yang satu era dengan saya, yang kesemuanya dibimbing oleh Toeti Heraty, lancar berbahasa feminisme. Bahasa baru ini kemudian ditularkan kepada generasi mahasiswa-mahasiswa filsafat selanjutnya oleh kami. Femme Vitale Tokoh Mata Hari yang telah saya singgung di awal tulisan ini, dijuluki oleh sejarah dunia sebagai femme fatale. Ia disebut demikian karena memiliki banyak pacar dan merusak banyak rumah tangga atau mengakibatkan banyak pria “patah hati” karena kecantikan wajahnya, keindahan tubuhnya, dan yang pasti karena pesona tariannya yang erotis. Tariannya yang erotis itu ia ramu dari tarian-tarian dari budaya Indonesia (ketika itu disebut Dutch East Indies). Bajunya pun lebih banyak berbentuk kemben, memamerkan punggung mulusnya yang terbuka dan menyembulkan sedikit buah dadanya. Beruntung memang, ketika Mata Hari hidup di Indonesia belum ada Undang-Undang Porgnografi sehingga pakaian-pakaiannya yang merangsang tak terjerat pasal pelanggaran hukum. Meskipun demikian, ia dijerat oleh penghakiman moralitas Eropa zaman itu yang sangat kaku dan akhirnya ditembak mati di Perancis. Mata Hari memiliki imajinasi untuk hidup sebagai perempuan bebas. Ia tak ingin diatur oleh aturan-aturan yang mengekang baik oleh tradisi maupun institusi. Bak seekor kupu-kupu di tengah terik mata hari, ia ingin bebas terbang menentukan otonomi dirinya sendiri. Dalam hal ini, Toeti Heraty memiliki kesamaan dengan Mata Hari, ada imajinasi yang liar, gerak tubuh yang bebas dan bahasa tanpa batas. Di dalam sajak “Post Scriptum” Toeti menulis: Ingin aku tulis Sajak porno sehingga kata mentah tidak diubah Jadi indah, pokoknya tidak perlu kiasan lagi misalnya payudara jadi bukit, tubuh wanita=alam hangat senggama=pelukan yang paling akrab yang sudah jelas tulis sajak itu antara menyingkap dan sembunyi antara munafik dan jatidiri Bila Mata Hari oleh sejarah dikenang sebagai Femme Fatale, maka Toeti Heraty menurut saya harus dikenang sebagai Femme Vitale. Karena Toeti merayakan tubuh dan seksualitas perempuan, cara berada dan berpikir perempuan. Tubuh perempuan tidak fatal melainkan sangat vital untuk kemajuan peradaban kemanusiaan. *Tulisan ini diolah dan ditambah dengan wawancara dan perspektif baru dari tulisan lama yang telah dimuat di Warna Warni Toeti Heraty, Jakarta, Filsafat UI Press, 2008 dan di JP 90,2016. Tulisan ini dipublikasi ulang untuk mengenang Toeti Heraty yang berpulang pada tanggal 13 Juni 2021. Terima kasih Prof. Dr. Toeti Heraty atas pengabdiannya pada ilmu filsafat dan feminisme. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |