Oleh: Ni Putu Putri Wahyu Cahtani Rubrik: Wawancara JP112 Pengetahuan Feminis Indonesia : Refleksi, Aksi dan Praxis Titiek Kartika Hendrastiti merupakan salah seorang akademisi di jurusan Administrasi Publik, Universitas Bengkulu. Di samping memerhatikan hal-hal seputar kebijakan publik, perjalanan intelektualnya juga diwarnai oleh dinamika isu perempuan dan keadilan gender. Komitmen dan konsistensinya pada isu perempuan dan keadilan gender mengantarkan dia sehingga pada posisi menjadi peneliti senior. Ketertarikannya pada isu perempuan dapat ditelusuri sejak Titiek masih sangat muda. Tepatnya saat menjalani pendidikan di jenjang S1. Pada masa tersebut, ia berkesempatan untuk menulis bersama Prof. Sulistyowati Irianto perihal isu kumpul kebo di Yogyakarta pada tahun 80-an. Kumpul kebo sendiri dalam konteks era tersebut menjadi salah satu isu yang menempatkan perempuan pada kedudukan yang marginal, rendah, dan murahan. Konstruksi sosial turut berperan dalam menginternalisasikan nilai-nilai patriarki pada masyarakat. Implikasinya perempuan dalam aktivitas kumpul kebo, menjadi satu-satunya pihak yang mendapat stereotipe buruk dan rendah. Penelitian tersebut menjadi titik awal keterlibatan Titiek pada riset-riset feminis hingga saat ini.
Titiek menamatkan studi S1 Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Ia kemudian melanjutkan perjalanan intelektualnya dengan mengenyam pendidikan di negeri kincir angin, yakni Belanda di Institute of Social Studies (ISS), The Haque, Netherlands. Pada strata tersebut, dia mengambil program studi Politics of Alternative Development Strategies (PADS), lalu dilanjutkan pula dengan mendalami perihal women & migration pada Women University (IFU), German. Setelahnya, Titiek melanjutkan program studi Doktor Ilmu Sosial di Fakultas Pascasarjana, di Universitas Airlangga (Surabaya). Melalui wawancara yang dilakukan bersama Jurnal Perempuan, Titiek mengakui bahwa perjalanan intelektual yang dilalui olehnya semakin membuka jendela wawasannya sehingga kesadaran akan urgensi menekuni isu perempuan dan keadilan gender menjadi semakin matang. Melalui kerja-kerja yang dilakukannya, Titiek menyadari pentingnya metode feminis, yaitu percakapan dan dialog yang setara. Dialog membuat perspektif dan pemahaman terhadap isu menjadi lebih tajam dan kaya. Titiek percaya bahwa pemahamannya terkait interseksionalitas terbentuk melalui proses percakapan dengan berbagai kelompok perempuan yang berbeda. Artinya, ketika bicara soal ketimpangan gender, kita tidak dapat menyamaratakan pengalaman ketimpangan yang dialami oleh seseorang atau komunitas tertentu. Untuk itu pula kerja mendorong keadilan gender dan memperjuangkan agenda feminis adalah kerja bersama, lintas ilmu juga lintas generasi. Menurut pandangan Ibu, bagaimana pentingnya pengetahuan feminis? Pengetahuan feminisme sangat penting untuk mendorong perubahan kesadaran dan praktik di tingkat individu hingga masyarakat secara luas. Pengetahuan feminisme tidak hanya mengupayakan perbaikan nasib pada perempuan sebagai individu tetapi juga di tingkat komunitas, negara, dan bahkan di tataran global. Artinya, dengan memahami dan mempraktikkan feminisme kita tidak sekadar menjadi berdaya secara individual tetapi juga mendorong perubahan pada tingkat peradaban. Jika kita mengacu pada teori dan pemikiran para feminis, kita mengetahui bahwa di dalam banyak periodisasi dan berbagai komunitas perempuan kerap berada pada posisi yang tidak diuntungkan. Pengalaman dan pengetahuan perempuan tidak dianggap serius dan tidak jarang dianggap bukan bagian dari ilmu pengetahuan. Feminismelah yang mendobrak cara-cara penyingkiran semacam ini. Bagi saya sendiri, perspektif feminisme adalah cara berpikir yang dapat melihat cermin lain dari cara berpikir maskulin. Cara berpikir arus utama hanya menghargai hal-hal, seperti rasio, kerja produksi, dan hal lainnya yang diidentikkan dengan laki-laki. Sementara hal-hal terkait kepedulian, afeksi, perawatan, dan lainnya dianggap sebagai sesuatu yang di luar domain publik. Feminisme memberikan kritik terhadap pemikiran dan praktik-praktik semacam ini. Hingga saat ini kita bisa melihat bahwa telah banyak perubahan dalam praktik di masyarakat. Misalnya, adanya kesadaran pelibatan perempuan di dalam banyak aspek kehidupan publik, pengetahuan feminisme juga yang menjadi dasar diperjuangkan dan disahkannya berbagai kebijakan publik yang sensitif gender. Feminisme dengan demikian telah mengubah berbagai bentuk praktik kehidupan sosial yang timpang. Feminisme juga penting karena sarat dengan perbaikan status sosial secara bersama atau kolektif. Menurut saya, mendalami isu gender dan feminisme sebenarnya bukan sebagai upaya untuk mendapatkan keuntungan secara individual. Memahami dan mempraktikkan feminisme artinya terlibat dalam kerja kolektif. Salah satu bentuk kerja kolektif feminis ini dapat juga kita lihat pada Jurnal Perempuan. Teman-teman di Jurnal Perempuan merupakan cermin bentuk perjuangan melalui perubahan-perubahan cara berpikir yang lebih baik untuk kemanusiaan. Jadi sebenarnya, cara berpikir feminisme itu bergerak dalam rangka kemanusiaan secara luas, bukan hanya keuntungan atau identitas diri semata. Lebih lanjut, dalam konteks saya sebagai akademisi yang bergelut dengan isu kebijakan publik, perspektif feminisme memiliki kapasitas untuk menghasilkan desakan perubahan dan dibuatnya kebijakan yang memasukkan perspektif dan kepentingan perempuan. Kebijakan yang dimaksud tidak hanya kebijakan di tingkat lokal, nasional, dan global, tetapi juga mencakup kebijakan pada institusi-institusi yang ada di sekitar kita seperti misalnya di lingkungan kampus, lingkungan kerja, dan sebagainya. Komitmen dari pengetahuan feminis menurut saya adalah pada perubahan seperti apa yang kita harapkan dan bagaimana kita mewujudkan perubahan itu. Menurut pandangan Ibu, bagaimana pentingnya pengetahuan feminis atau perspektif gender dalam dunia akademik? Pengetahuan feminis dalam ilmu pengetahuan dan perspektif gender sangatlah penting sebab paradigma ilmu menentukan cara kita (peneliti) melihat sebuah realitas. Tanpa perspektif feminis, sejumlah penelitian akan bersifat netral gender. Persoalan diskriminasi dan penyingkiran perempuan akan dianggap sebagai hal yang keseharian dan juga wajar atau bahkan dianggap sebagai sekadar mitos. Khususnya bagi penelitian sosial dan humaniora, perspektif feminisme mengeksplisitkan persoalan-persoalan terkait relasi kuasa, berbagai jenis penindasan, posisi sosial dengan privilese dan tidak, ketimpangan dalam kerangka interseksionalitas, dan lain sebagainya. Apa yang selama ini dianggap sebagai kewajaran kemudian dilihat sebagai persoalan sosial yang harus direspons. Feminisme mendesak dilakukannya perubahan dan perbaikan status perempuan dalam segala bidang. Ilmuwan sosial yang telah membekali dirinya dengan pengetahuan feminis dan perspektif gender akan mengulas fenomena sosial dengan berbeda dan akan menemukan gambaran kehidupan masyarakat yang lebih komprehensif, lebih jujur, tidak menghakimi, dan bertanggung jawab untuk terlibat mencari solusi. Ilmuwan dengan pengetahuan feminis dan perspektif gender bukanlah orang-orang yang menghasilkan temuan ilmiah untuk keuntungan dan kepentingan pribadinya, tetapi mereka yang berupaya mengukir peradaban demi kemanusiaan yang berkeadilan gender. Ilmuwan dengan perspektif feminis adalah peneliti aktif dan bukan pasif. Peneliti aktif artinya peneliti yang memiliki komitmen mendorong dan terlibat dalam perubahan sosial melalui kerja yang dilakukannya. Bagaimana cara Ibu memperkenalkan pengetahuan feminisme dalam dunia kampus? Berdasarkan pengalaman saya sebagai akademisi, saya merasa penting agar pengetahuan feminisme masuk di dalam kurikulum dan mata kuliah yang ada di Universitas. Kendati demikian, ternyata mengusulkan kurikulum yang berperspektif feminisme dalam dunia kampus tidaklah mudah. Menurut saya, pada program studi Administrasi Publik yang kental dengan kebijakan, perlu ada mata kuliah gender and politics atau gender and policy, tetapi dalam realisasinya saya belum berhasil. Dahulu, salah satu kesulitan yang dihadapi untuk memasukkan isu ini menjadi suatu mata kuliah ialah karena sedikitnya orang-orang yang memiliki keyakinan dan komitmen pada perspektif tersebut. Pada konteks ini, tidak banyak orang yang berpikir secara progresif dan mengakui bahwa perspektif feminis merupakan cara pandang tentang keadilan dalam kehidupan. Padahal jika berhasil, adanya kurikulum feminisme dan gender dapat dijadikan media untuk menginternalisasi perspektif feminis, khususnya bagi pembahasan isu kebijakan. Apabila kita menoleh ke belakang, perempuan dalam sejarahnya kerap berkedudukan tidak menguntungkan. Bahkan, apabila bercermin melalui kebijakan-kebijakan yang cenderung patriarkis, kita dapat melihat bahwa isu perempuan hampir tidak pernah menjadi pertimbangan. Padahal, perspektif feminis memiliki peran yang sangat signifikan. Misalnya, ketika berbicara mengenai kebijakan pada kasus kekerasan seksual. Apabila sang pembuat kebijakan tidak berperspektif feminis atau netral gender maka korban akan sulit memperjuangkan dan mendapatkan keadilan–mereka akan semakin terpinggirkan. Meskipun memperkenalkan dan memasukkan pengetahuan feminisme dalam institusi pendidikan tidak mudah, tetapi para akademisi feminis akan melakukan negosiasi. Kita mungkin tidak dapat memasukkan perspektif feminisme ini dengan luaran mata kuliah, tetapi kita dapat mengelaborasinya dengan materi-materi perkuliahan di dalam kelas. Sebagai contoh dalam jenjang S1, misalnya kita dapat memasukkan materi yang berkaitan dengan hak asasi perempuan dan anak. Jadi, perjuangan itu tetap memiliki beragam pintu yang dapat disiasati. Dalam perkembangannya sampai saat ini, saya kemudian mengamati bahwa telah ada sedikit kemajuan, walaupun pelan, terkait dengan ketertarikan mahasiswa akan isu perempuan dan keadilan gender. Beberapa mahasiswa, baik S1 maupun S2, telah mengambil topik tugas akhir dengan tema isu tersebut. Bahkan, mahasiswa yang mengambil topik itu bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Bagi saya, ini merupakan suatu kemajuan, karena dahulu hampir sebagian besar yang mengambil tugas akhir dengan topik ini adalah perempuan. Contoh lainnya dapat kita lihat dalam proses seleksi satgas kekerasan seksual di kampus sebagai upaya mempraktikkan Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021, saya menemukan bahwa mulai banyak penggiat-penggiat baik mahasiswa maupun tenaga pendidik yang menaruh komitmen pada isu ini. Bagi saya, itu merupakan suatu kemajuan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, bahwa hingga saat ini kesadaran orang-orang di kampus mulai tumbuh secara perlahan. Sebagai seorang akademisi, adakah tantangan dalam mengaplikasikan pengetahuan feminisme dalam dunia perkuliahan? Perendahan dari komunitas kampus pernah saya rasakan. Feminisme kerap mendapat stigma negatif dari masyarakat sehingga ketika saya mempraktikkan feminisme dalam lingkungan kerja saya pernah dihindari oleh orang-orang. Mereka menghindari saya karena takut atau tidak suka bila saya kritik. Sebagai contoh, saya memiliki pengalaman menegur seseorang dalam suatu ruang digital yang menyebarkan konten pornografi. Pornografi sendiri merupakan salah satu bentuk kekerasan digital. Konten yang sifatnya private dalam konteks ini seharusnya tidak boleh tersebar pada ruang publik–apalagi tanpa persetujuan yang memiliki konten. Namun, saya melihat banyak orang yang cenderung memilih diam, alih-alih bersuara bahwa itu merupakan hal yang keliru. Kritik-kritik yang yang saya lontarkan tersebut membuat orang-orang takut berada di sekitar saya. Bila dianalogikan identitas saya seperti polisi. Kerja feminisme adalah mengkritisi dan menginterupsi praktik ketimpangan-ketimpangan gender di sekitar kita. Alhasil bukan hanya saya yang terkena imbasnya, bahkan suami saya pernah dirundung karena istrinya adalah orang yang memperjuangkan isu perempuan dan keadilan gender. Dalam masyarakat, feminisme distigma sebagai keinginan atau upaya perempuan mengalahkan dan/atau menindas laki-laki sehingga saya dicap sebagai istri yang mengalahkan suaminya. Fenomena istri mendominasi atau mengalahkan suami adalah kondisi yang buruk. Hal ini terjadi sekitar 20-25 tahun yang lalu. Kendati demikian, menurut saya, kritik-kritik yang saya lakukan memiliki dampak. Pada awalnya mungkin orang-orang tidak melakukan tindakan seksis di ruang digital hanya karena saya, tetapi lambat laun terbentuk kebiasaan dan praktik baru yang menghargai tubuh dan tidak menyebarkan konten-konten privat di ruang publik. Ada sejumlah pandangan yang mengatakan bahwa advokasi feminis di bidang akademisi tercabut atau terpisah dari aktivisme. Bagaimana pandangan Ibu? Bisa iya dan bisa tidak. Tak dapat dipungkiri bahwa memang ada beberapa akademisi yang hanya fokus dengan hasil penelitiannya. Fokus untuk laporan dan publikasi pada jurnal bereputasi misalnya, tetapi di dalam hidupnya tidak memperjuangkan ketidakadilan yang terjadi di lingkup bidang studinya. Namun, bagi saya, peneliti yang memang berkomitmen pada isu perempuan merupakan orang-orang yang berjuang untuk perubahan. Feminisme punya komitmen bahwa teori membawa perubahan di tataran praksis dan/atau menghasilkan transformasi sosial bagi kelompok perempuan dan kelompok rentan. Peneliti dan/atau akademisi feminis itu memiliki peran yang penting karena mereka mengupayakan agar terdapat perubahan cara pandang, perspektif, hingga perubahan pada praktik dalam komunitas dan budaya ke arah yang berkeadilan gender dan humanis. Advokasi feminis baik dari segi akademik maupun gerakan memberi dampak berlipat. Ia tidak sekadar memperjuangkan perubahan pada aspek individu, tetapi mengubah pola relasi antara suami, anak, teman, komunitas menjadi sejalan dengan prinsip dan agenda feminisme. Apakah perjuangan feminisme akademik dan gerakan menjadi berbeda satu dengan lainnya, saya rasa ini soal cara pandang. Saya sendiri cenderung memandang bahwa perjuangan feminis berdiri di dua kaki. Melalui pengalaman aktif di organisasi massa independen, Koalisi Perempuan, saya memahami bagaimana membumikan feminisme dalam suatu advokasi. Bagi saya, pengalaman di organisasi independen perempuan justru dapat memberikan banyak referensi dan cara pandang sehingga saya melihat bahwa antara ilmu dan advokasi itu tidak mungkin terpisah. Ilmu itu mungkin untuk menemukan perspektif yang baru atau lebih tajam karena ia belajar dari perjuangan teman-teman di lapangan. Begitu pula sebaliknya, suatu hasil studi dapat digunakan sebagai strategi berjuang teman-teman di lapangan. Berarti sebenarnya, bagi saya, harus ada semacam pembagian peran di antara para pegiat isu perempuan dan gender, perihal siapa yang memang harus meneliti, lalu siapa yang memang harus membumikan hasil penelitian itu di masyarakat agar ada perubahan. Kampus sendiri sebenarnya beruntung apabila akademisi mereka memiliki minat untuk belajar bersama teman-teman aktivis. Namun, memang beberapa dari mereka tidak mampu bersama karena pemikiran yang mendikotomi antara advokasi berbasis riset akademik dan gerakan sosial. Teman-teman aktivis sebagian juga ada yang enggan untuk bergaul dengan orang-orang di kampus. Hal itu, tak dapat dipungkiri. Namun, saya percaya bahwa kerja feminisme selalu berada pada dua ranah tersebut dan saling menguatkan. Jika merujuk pada ranah keilmuan yang Ibu geluti, bagaimana pengetahuan feminis dapat memberikan dampak yang signifikan bagi perempuan? Administrasi publik merupakan bidang yang saat ini saya geluti. Pengaruh dari pengetahuan feminis tentu terletak pada produk kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Hasil studi dengan lensa feminisme memiliki kekuatan untuk dapat memberikan pengaruh terhadap bunyi atau struktur dari sebuah kebijakan. Kebijakan sendiri lahir sebagai respons atas kehidupan masyarakat sehari-hari. Kebijakan hadir untuk meregulasi satu isu atau program tertentu. Kebijakan memiliki kapasitas untuk mengatur jalannya suatu pemerintahan, pembangunan, dan lain sebagainya. Tanpa adanya perspektif feminis, maka suara kebijakan adalah suara yang eksklusif maskulin dan pemilik kekuasaan. Persoalan dan respons sosial yang diartikulasikan dengan demikian tidak menyertakan kepentingan perempuan yang beragam dan kompleks. Untuk itu perspektif feminis penting menjadi salah satu lensa kebijakan agar sensitif gender. Tujuannya agar setiap produk kebijakan yang dirancang dan dihadirkan selalu memastikan inklusifitas, adanya pelibatan pengalaman konkret dari kelompok sebagai setengah dari konstituen warga negara Indonesia. Di sinilah peran strategis dari para akademisi di kampus, yaitu terlibat dalam review terhadap kebijakan yang telah terlanjur dibentuk. Memastikan agar kebijakan berpihak dan tidak merugikan kelompok-kelompok yang rentan. Jika didapati kebijakan yang bias akademisi feminis dapat mendesak pembatalan dan/atau perbaikan kebijakan. Akademisi feminis bidang kebijakan publik juga memiliki tanggung jawab untuk kemudian memastikan lahirnya kebijakan yang sensitif gender. Hal penting lainnya adalah melakukan pengawasan sejauh apa implementasi dari kebijakan yang ada berdampak pada kepentingan perempuan. Berdasarkan pengalaman mendalami tata kelola sumber daya alam selama kurang lebih 10 tahun, saya beberapa kali melihat bahwa perempuan tidak pernah dilibatkan dalam suatu diskusi atau rapat terkait kebijakan di ranah ini. Sebagai contoh, kekosongan undangan rapat bagi perempuan terjadi bukan karena mereka tidak memiliki pengetahuan, tetapi karena tidak ada pengakuan akan kapasitas perempuan dalam politik dan kebijakan. Pengetahuan dan pengalaman perempuan kerap dianggap tidak relevan dalam diskursus politik yang bias gender. Membumikan pengetahuan feminis artinya melakukan ide-ide feminis, seperti menjamin keterlibatan pengalaman perempuan, memastikan dialog publik yang terbuka, dan adanya pengakuan juga pengakomodasian kepentingan perempuan. Sebagai akademisi dan peneliti, bagaimana Ibu menerapkan pengetahuan feminisme dalam memperjuangkan isu lingkungan? Isu perempuan dan kaitannya dengan lingkungan sebenarnya bukan hal yang baru. Teman-teman yang tergabung dalam kelompok perempuan di Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, NTT, hingga Papua, dan lain sebagainya, telah sejak lama mendalami isu tersebut. Beberapa tahun terakhir ini, saya sedang terlibat dalam suatu penelitian yang menggunakan metode poskolonial feminis untuk mengiris forest landscape government. Metode ini sebenarnya relatif baru, khususnya dalam sosiologi. Poskolonial feminis tidak hanya sekadar mengungkap tentang eksploitasi, tetapi juga bagaimana keagenan atau pengetahuan dari perempuan dan kelompok tertindas lainnya menjadi bagian yang dianggap penting dalam tata kelola ataupun kebijakan tata kelola. Mendalami isu tersebut secara bersamaan juga berarti mengupas perihal kesejahteraan yang belum seimbang di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Melalui poskolonial feminis juga kita sebenarnya sedang mempromosikan agar suara-suara atau pengetahuan perempuan hingga kelompok tertindas lainnya menjadi core atau inti dari perspektif forest landscape government. Sebagai hal yang tidak benar-benar baru, metode poskolonial feminis, tetap memiliki tantangan perihal kemungkinannya untuk direalisasikan. Namun, apabila mengingat konteks zaman dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, seharusnya tantangan tersebut harus bisa terjawab dengan baik. Teknologi dalam konteks keterlibatan perempuan dan kelompok rentan menjadi aspek yang sangat penting menjadi variabel, terutama karena perempuan melalui sarana tersebut dapat dengan mudah mengembangkan pengetahuannya. Dengan demikian, bagi saya, era ini juga mencerminkan waktu yang tepat untuk menempatkan perempuan sebagai inti dari perbaikan skema tata kelola lanskap hutan dan kebijakannya. Pandangan bahwa perempuan tidak berpengetahuan sehingga tidak dilibatkan sebagai pengampu kepentingan harus diubah, jika kita hendak menjadi masyarakat yang berkeadilan. Melalui poskolonial feminis itu, kelompok-kelompok rentan yang tertindas, menemukan jalannya menuju pada kebebasan tanpa terkekang oleh apapun. Bagaimana tantangan dalam membangun ilmu pengetahuan feminisme di Indonesia? Saat ini, pintu yang terbuka sudah cukup lebar. Bagi publik, pengetahuan feminis tidak dianggap seperti tembok yang sulit untuk ditembus. Meskipun tidak dipungkiri masih terdapat banyak resistensi terhadap kata dan isu “feminisme” tetapi akademisi dan aktivis feminis dapat berstrategi untuk tetap melakukan agenda-agenda feminisme pada bidangnya masing-masing. Yang juga menarik saat ini adalah dimungkinkannya kerja kolaboratif, penelitian lintas keilmuan, dan lain sebagainya. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya penguatan jaringan secara efektif. Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan metode penelitian, saat ini sangat dimungkinkan untuk menemukan dan berkolaborasi bersama teman-teman yang membawa visi misi keadilan gender dan feminisme. Pengetahuan feminisme menjadi semakin terlihat relevansinya dalam pertemuannya dengan berbagai bidang ilmu. Masuknya perspektif feminis memberikan kedalaman dan cara pandang baru dalam melihat isu sosial yang ada. Dahulu kerja kolaboratif mungkin belum menjadi tren atau sulit dilakukan, tetapi saat ini didukung dengan kemajuan teknologi digital hambatan tersebut dapat diatasi. Di tengah kemajuan tersebut, menurut saya salah satu tantangan dari perkembangan pengetahuan feminisme antara lain adalah lahir dan berkembangnya gerakan-gerakan yang menggunakan pandangan agama untuk mendomestikasikan dan membisukan perjuangan feminisme. Bagaimana peran riset-riset berbasis feminisme seperti yang diproduksi oleh Jurnal Perempuan, dalam mendukung kajian atau penelitian-penelitian yang Ibu lakukan terkait dengan isu keadilan gender? Riset-riset seperti yang dikembangkan oleh Jurnal Perempuan memiliki peran yang sangat penting. Pada awalnya, Jurnal Perempuan mungkin hanya digunakan oleh para aktivis dan akademisi yang menekuni studi isu perempuan dan gender. Namun, sekarang telah banyak para birokrat yang menggunakan Jurnal Perempuan sebagai referensi untuk merespons kejadian-kejadian tertentu. Meningkatnya produksi tulisan akademik feminis juga ragam pembacanya adalah sebuah capaian penting. Meski begitu, kita juga tidak boleh melupakan bahwa sekarang muncul juga berbagai publikasi counter feminisme, yang menawarkan pembaca untuk mendomestikasi perempuan dan kembali pada norma atau nilai-nilai patriarki. Tulisan akademik feminis seperti yang diproduksi Jurnal Perempuan dengan demikian masih tetap relevan, khususnya untuk melawan narasi tandingan semacam itu. Dapatkah Ibu memberikan kalimat harapan, himbauan, dan motivasi bagi pengetahuan dan pergerakan feminis di Indonesia? Berdasarkan pengalaman mengembangkan metode poskolonial feminis etnografi, saya menemukan bahwa ada penghormatan hingga pengakuan terhadap pengetahuan dalam diri perempuan oleh seluruh kelompok, perlu untuk dijadikan bahan pemikiran, bahkan kebijakan. Hal ini sebenarnya dapat mengembalikan kondisi masyarakat kita yang timpang secara gender kepada peradaban yang lebih bermartabat. Bagi saya, ilmu itu ada di mana-mana, termasuk berada di setiap pikiran orang dengan latar belakang apa pun. Oleh karena itu, seharusnya kita berusaha untuk mendengarkan suara-suara itu, lalu mengakui bahwa banyak agen pengetahuan yang selama ini pemikirannya penting, tetapi cenderung tidak kita akui sebagai sumber pengetahuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |