Djenar Maesa Ayu, seperti yang banyak dikatakan orang, terkenal sebagai perempuan pengarang yang jujur, vulgar, dan jorok. Tak jarang selain digemari, ia juga dimusuhi banyak orang karena pribadi dan karya-karyanya. Namun, ada apa sebenarnya di balik kehidupan pribadinya? Djenar memiliki cerita yang berkaitan dengan pengalaman identitas seksnya. Banyak kejujuran yang ingin ia sampaikan dalam setiap tulisannya yang vulgar dan jorok itu. Ia ingin berteriak bahwa perempuan punya banyak persoalan atas pengalaman seksulitasnya. Persoalan itu muncul karena masalah seksualitas perempuan begitu ditutup-tutupi. Hal ini yang menurutnya justru merugikan perempuan, karena perempuan tidak dibiarkan memiliki kesadaran tentang tubuh dan keberadaan seksualitasnya di tengah masyarakat. Sering kali pelecehan seksual, perkosaan, dan kekerasan terjadi karena perempuan dibentuk untuk takut pada seksualitasnya sendiri sehingga mereka tidak dapat membandingan mana pelecehan, perkosaan, kekerasan, dan mana yang tidak. Djenar Maesa Ayu adalah anak dari pasangan sutradara (alm.) Sjumandjaya dan bintang film senior Tuti Kirana. Penulis dengan karya berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, dan sedang merampungkan novel ini memiliki banyak pengalaman seksualitas sebagai perempuan sejak kecil. Semua ini terbentuk dari keluarga dan lingkungannya sehingga ia merasa pemahaman seksualitas sejak dini itu penting, terutama bagi perempuan. Seks baginya adalah bagian dari hidup yang secara alamiah terjadi pada siapa pun. Ia bercerita bahwa pengetahuan tentang seks sudah dipahaminya sejak kecil karena pola hidup keluarganya yang begitu terbuka. Ia sadar bahwa tipe keluarganya tidak sama dengan keluarga orang kebanyakan. Bayangkan, ketika itu di tahun ‘70-an, kebanyakan keluarga umumnya orang Indonesia masih tabu dengan keterbukaan seks, sementara Djenar merasa beruntung lebih kaya daripada anak-anak lainnya dalam hal pengetahuan seks mengenai dirinya. Seks menurutnya bukan sekadar aktivitas seksual, tetapi juga organ reproduksi, relationship dengan pasangan, baik sebelum maupun sesudah menikah, dan identitas jenis kelamin dan peran gender. Itu banyak ia pelajari dari kedua orang tuanya yang kebetulan sempat mengalami perceraian. “Saya masih ingat waktu orang tua saya cerai, umur saya masih satu tahun. Biarpun begitu, saya tidak merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam rumah karena bagi saya semuanya sudah menjadi terbuka satu dengan yang lain, orang tua dan anak. Keanehan itu menjadi terasa ketika saya ke luar rumah. Sejak itu saya merasa aneh dan tidak percaya diri, merasa diasingkan karena saya berbeda dengan anak-anak lain yang punya satu ibu dan satu ayah.” Saya memang hidup dari keluarga dengan bapak seorang sutradara dan ibu seorang aktris terkenal yang pada waktu itu dianggap memiliki dunia yang rusak dan kacau. Masyarakat yang membuat hidup saya menjadi begitu menanggung beban, sementara saya di keluarga merasa baik-baik saja. Saya dibilang produk broken home dan dianggap terlalu bebas. Bahkan, waktu remaja, teman saya dilarang bermain dengan saya oleh orang tuanya karena orang tua saya dibilang rusak. Padahal, saya merasa, di sisi lain perceraian bisa menguntungkan karena bila dilanjutkan saya lebih tidak suka melihat orang tua saya ribut setiap hari, selingkuh di depan saya setiap hari dalam sebuah perkawinan.” Djenar merasa beruntung, menurutnya, ibunya berhasil mendidik kesadaran tentang seksualitas anak perempuannya. Umur sembilan tahun, ibunya sudah menjelaskan tentang organ reproduksi, yaitu keberadaan rahim dan vagina. Ibunya selalu memberi pilihan padanya dalam menjalankan hidup, berkaitan dengan kesadaran tentang organ reproduksinya itu. Ibunya menyarankan satu hal, di balik kebebasan pilihannya itu, perempuan harus tahu apa risiko kehamilan, jangan sampai anak perempuan hamil karena tidak tahu dan tidak siap. Banyak orang tua yang tidak mendidik anak perempuannya tentang seksualitas sejak dini sehingga ketika si anak “kebobolan”, takut dilaknat orang tua dan masyarakat, lalu diam-diam melakukan aborsi ke dukun karena tidak punya uang. “Saya punya teman yang vaginanya dimasukkan kayu dan sampai sekarang tidak bisa punya anak. Dari kejadian itu, saya merasa orang tua saya selama ini tidak membiarkan saya menjadi bodoh. Mereka tidak melakukan kesalahan besar. Saya merasa orang tua yang tidak terbuka dalam hal seks pada anak perempuannya adalah kesalahan besar. Karena berkat orang tua saya, saya jadi tahu betul apa yang harus saya lakukan dengan organ reproduksi saya. Ketika berhubungan seksual, saya sudah banyak dibekali oleh orang tua tentang risikonya. Ketika menginjak usia 18 tahun, hidup saya sudah begitu bebas dan justru kebebasan itu membuat saya bertanggung jawab dan tidak bodoh pada diri sendiri. Semua saya sadari sehingga saya tidak rugi seperti kebanyakan perempuan, tidak mati di tangan dukun, atau merasa menyesal berkepanjangan. Andaikan saya harus aborsi pun, saya harus tahu untuk apa kepentingannya, bahwa itu bukan menjadi sesuatu yang saya sesalkan karena saya tahu semua itu.” Begitu pula soal keperawanan, ini adalah hal yang paling Djenar lawan. Buatnya, keperawanan hanya mitos dan menjadi salah satu penyebab terjadinya pemerkosaan sadis dan pelakunya lolos. Begitu pula kekerasan dalam rumah tangga, asalnya bisa dari persoalan keperawanan. “Saya tidak peduli tentang keperawanan karena saya bukan binatang, dan saya tidak mati ketika menjadi perempuan yang tidak perawan. Maka, jangan harap perempuan yang perawan merasa dirinya terhormat karena perawan itu bisa hilang kapan saja karena kita menari, mengendarai sepeda dan kuda. Perempuan yang menjunjung tinggi keperawanan akan kaget ketika di malam pertamanya ia tidak punya itu, dan laki-laki bodoh akan seenaknya menuntut. Keperawanan membuat perempuan repot. Itu masih masalah kecil, tetapi bahwa perhatian saya adalah ketika anak-anak gadis belia diperkosa lalu keluarganya merasa keperawanan itu penting, merekalah yang menutupi perkosaan itu. Dan, berarti, keluarga telah menjadi oknum. Itu kekejaman yang luar biasa bagi anak perempuan dan kemanusiaan.” Di masa kecilnya, Djenar mengaku bahwa ia tidak disukai guru-gurunya karena tidak seperti anak perempuan lain yang “seharusnya”. Waktu sekolah, Djenar sudah menganggap guru-gurunya seperti penis: superior. Ketika mereka merasa punya power, mereka tidak menerima murid perempuan yang berani dan bebas seperti Djenar. Meskipun demikian, masih ada guru yang begitu sayang dan baik padanya, tetapi tidak banyak. “Banyak guru menganggap saya adalah ancaman, bahkan semua orang menganggap saya ancaman.” Djenar mengenal seks sejak umur 14 tahun. Perasaannya waktu itu biasa-biasa saja. “Seks itu bagi saya suatu proses seperti manusia mengenal lawan jenis, mengenal cinta, terluka, lalu seks menjadi bagiannya. Jadi, bukan sesuatu yang wah sama sekali. Kalau bicara masyarakat Indonesia yang katanya tabu memandang seks, saya pikir itu karena hipokrit saja. Semua orang melakukan aktivitas seks, semua orang di dunia! Semua manusia melakukan hal yang sama karena itu sesuatu yang wajar, tetapi menjadi tidak wajar ketika seks dikategorikan sebagai “yang buruk”, padahal semua orang melakukannya.” Djenar memiliki dua anak perempuan yang dalam usia belianya sudah sangat mengenal seks. Djenar merasa bersyukur atas hal ini karena banyak orang tua yang menutupi anak perempuannya tentang bentuk penis dengan mengatakan, “Jangan kasih liat “punya” bapaknya.” Sebabnya, ketika ia duduk-duduk di sekolahan anaknya bersama ibu-ibu yang lain, dalam obrolan mereka, ternyata pelecehan seksual terjadi setiap hari pada anak-anak itu. “Misalnya, karena si anak tidak tahu bahwa penis adalah organ seksual laki-laki, ketika si anak ini melihat penis bapaknya yang lagi mandi, ia langsung berkomentar, ‘Kok, kayak punyanya Pak A?’ yang ternyata adalah supirnya sendiri. Lalu, bapaknya tanya, ‘Kok, kamu tahu?’ Lalu, jawabnya, ‘Suka diajak main Lolly Pop...’” Djenar merasa itulah kejahatan terbesar ketika orang menutup-nutupi sesuatu yang harus diketahui, lihatlah akibatnya. “Pengetahuan seks bukanlah tentang orang yang mau melakukan hubungan seksual, tetapi bagaimana mereka bisa bertanggung jawab dengan hubungan seks itu sendiri dan bagaimana mereka bisa mengapresiasi dirinya sendiri. Duh, kalau sampai anak saya tidak tahu seks, lebih baik saya jangan jadi orang tua saja.” Djenar bercerita bahwa anak-anak perempuan generasi sekarang luar biasa kritis dan lebih mudah mendapatkan informasi. Maka, komunikasi janganlah sampai terputus, menurutnya. “Bacalah perkembangannya, misalnya mereka bilang kata-kata jorok, padahal mereka tidak tahu apa yang mereka katakan. Saya langsung menjelaskan ke mereka bahwa itu artinya hubungan seksual. Anak saya bahkan menceritakan detail-detail percintaannya. Saya bersyukur karena, daripada, ia tiba-tiba bilang, ‘Ma, aku infeksi karena menggugurkan kandungan...’ Atau, ia tidak tahu sama sekali, tiba-tiba badannya panas, meradang. Bahkan, anak saya yang umurnya lima tahun sudah tahu seperti apa itu penis.” Bagi Djenar, laki-laki pun harus membantu anak-anak dalam keterbukaan mereka soal seks. Tetapi, menurutnya, laki-laki kebanyakan ambigu dalam menyikapi seks perempuan. Di satu sisi, mereka menginginkan perempuan yang bisa memuaskan mereka; mereka perlu perempuan yang baik, yang menyerahkan diri. Tetapi, di sisi lain, mereka butuh perempuan yang “lebih”, yang agresif dan ekspresif tentang seks, dan ketika perempuan melakukannya, mereka akhirnya menghukum perempuan itu sebagai “bukan pasangan yang baik” untuk dijadikan teman hidup. Dalam hal ini, laki-laki harus lebih adil pada perempuan dan tidak lagi memposisikan dirinya sebagai penentu dan penilai. Mengenai perempuan yang memiliki kecenderungan homoseksual (lesbian), Djenar mengatakan bahwa di satu sisi, lesbian memang menjadi tren, tetapi di sisi yang lain, perempuan lesbian ada yang memang sudah dilahirkan demikian. “Kalau tidak salah, ada dalam kedokteran dikatakan, satu dari tujuh anak perempuan yang dilahirkan memiliki gen yang menyimpang, seperti menjadi lesbian. Maka, apakah ketika ia lahir ia harus dihukum sebagai yang tidak normal?” Menurutnya, itu hanya cara orang melihat “yang lain” sehingga sesuatu dikatakan normal dan tidak normal. Bagi Djenar, orang yang punya tubuh dan pemikirannya tidak normal adalah yang meyakini mitos keperawanan. “Saya rasa itulah yang tidak normal atau cacat. Jadi, semuanya relatif. Kalau saya, sih, mendukung mereka (lesbian).” (Mariana Amiruddin) Catatan: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 41, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Suster M. Brigitta Renyaan adalah salah satu tokoh masyarakat Maluku yang memiliki gagasan kuat tentang rekonsiliasi antar komunitas beragama sejak pecah konflik Maluku tahun 1999, terutama di Ambon. Suster Brigitta bersama teman-teman lainnya dari komunitas Protestan dan Muslim membentuk sebuah kelompok bernama Gerakan Perempuan Peduli (The Concerned Women Movement Group). Suster Brigitta sendiri adalah koordinator Gerakan Perempuan Peduli di bagian agama Katolik[1]. Koordinator lainnya dari Protestan bernama Pendeta Henrikx dan dari Muslim bernama Rety Azegaf ikut mendukung gerakan ini. Kehadiran Gerakan Perempuan Peduli (GPP) menjadi sangat istimewa dalam mengatasi dan menghadapi konflik di Maluku. Selain tidak mudah menyerah dalam menghadapi berbagai resiko dalam kegiatan yang mereka lakukan, gerakan ini dipelopori oleh para perempuan dan sebagian besar terdiri dari kaum ibu, kelompok yang paling merasakan dampak akibat konflik. Tak heran jika arah gerakan kelompok kerja ini lebih kepada praktik di lapangan. Sejak pecah konflik di Maluku tahun 1999, Suster Brigitta bersama kawan-kawan dari komunitas beragama lainnya bergerak serentak menyuarakan pentingnya menghentikan kekerasan. Mereka harus menghadapi berbagai macam ancaman, seperti dibunuh, tertembak, bahkan cacat. Suster Brigitta menceritakan, ketika konflik di Maluku pecah tahun 1999 dan memakan banyak korban yang sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak-anak, Gerakan Perempuan Peduli (GPP) berkumpul dengan misi menghentikan kekerasan serta memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak. Semua kegiatan dalam gerakan ini sebenarnya lebih mengarah pada rekonsiliasi antar agama. Mengumpulkan para ibu yang berada dalam situasi konflik bukan perkara yang mudah. Sebelum berkumpul mereka harus saling berjanji bertemu secara diam-diam supaya tidak diketahui orang lain yang terlanjur dendam dengan agama lain karena keluarga mereka dibunuh tanpa sebab dan agama menjadi kambing hitam atas peristiwa ini. Menurutnya, perjalanan GPP tidak semudah yang kita bayangkan dan memiliki banyak tantangan. Bayangkan, mereka harus turun ke jalan di tengah kerusuhan dengan taruhan nyawa. Tantangan utama mereka justru berasal dari kaum laki-laki, baik yang suka berperang dan membunuh, para provokator yang tidak jelas dari mana datangnya, ataupun para pengambil keputusan. Pada waktu itu suara perempuan tidak dianggap penting karena perempuan dinilai lemah sehingga apa pun yang dilakukan perempuan tidak akan ada artinya. Namun, bagi Suster Brigita, hambatan-hambatan itu tidak menjadikan semua itu sebagai alasan untuk berhenti melakukan rekonsiliasi terus menerus. Mereka berupaya untuk membuat pertemuan demi pertemuan antarperempuan Katolik, Protestan, dan Muslim. Berbagai usaha mereka tempuh. Mereka mendatangi gubernur, panglima, kasum ABRI, dan kapolda, juga mendesak DPRD propinsi maupun kota, untuk menyatakan kepada kaum laki-laki agar segera menghentikan kekerasan dalam pertikaian. Namun, kenyataannya pertikaian itu semakin parah dan korban terus bertambah. Suster Brigitta tidak mau mundur, melalui GPP ia terus berupaya untuk berkumpul bersama perempuan lainnya meskipun pada waktu itu kehidupan penduduk telah berkelompok berdasarkan agama masing-masing. Hanya GPP satu-satunya kelompok yang utuh pada waktu itu. Dalam kondisi yang genting, tak terhitung orang yang ingin menghancurkan kegiatan mereka dan kadang-kadang membuntuti mereka. Kegiatan yang sangat berisiko mereka lakukan, di antaranya adalah demonstrasi hentikan kekerasan yang awalnya dilakukan oleh kelompok perempuan Kristen, kemudian Muslim. Suster Brigitta sengaja membuat strategi untuk tidak berjalan bersamaan karena kemungkinan akan ditembaki oleh orang-orang yang tidak suka bila antaragama saling bercampur. Kegiatan demonstrasi ini kemudian diliput oleh TVRI lokal. Liputan ini mengakibatkan reaksi masyarakat tertentu marah dan sejak itu rumah-rumah perempuan muslim yang terlibat di GPP hampir dihancurkan oleh kelompok Muslim sendiri. Begitu pula perempuan-perempuan Kristen. Namun, Suster Brigitta bersama teman-teman tidak tinggal diam. Dengan putus asa mereka menyebarkan kata-kata, “Hentikan kekerasan dan pertikaian”. Imbauan untuk menghentikan kekerasan dan pertikaian itu mereka tuangkan dalam bentuk yang paling sederhana, yaitu ditulis di kain-kain yang sudah tersobek-sobek tak terpakai atau di kertas-kertas bekas. Sehari setelah tanggal 4 September 1999 bertemu dengan gubernur, akhirnya suara mereka mulai didengar dengan dicanangkan bahwa kekerasan dan pertikaian harus dihentikan. Hari berikutnya pencanangan ini disosialisakan ke berbagai media. Suster Brigitta bersama GPP kemudian turun ke jalan-jalan sambil menggunakan kain-kain yang mereka ikatkan ke anak-anak muda, baik laki-laki maupun perempuan, di kepala mereka, di becak, di mobil, di semua tempat. Tetapi, itu tidak berjalan mulus begitu saja. Tindakan Suster ini kemudian diancam, bahkan anak-anak perempuan SMU yang memakai kain-kain itu diancam oleh gerombolan laki-laki yang marah dan berkata, “Ngapain, kita masih mau perang, apaan itu kertas tulisan itu,” ujarnya menirukuan suara-suara mereka yang menolak ajakan damai. Akibat dari perlakuan tersebut, anak-anak SMU itu mengadu ke Suster Brigitta, “Suster, kami tidak berani lagi turun ke jalan, kami diancam oleh orang-orang itu.” Untungnya, ada seorang ibu yang memberi bekal keberanian pada mereka dengan berkata, “Kamu harus balik lagi, turun ke jalan! Kalau ada laki-laki atau bapak-bapak yang mengancam, tanya saja satu pertanyaan ini, ‘Bapak yang melahirkan atau ibu yang melahirkan?’” Pertanyaan ini ternyata mujarab dan membuat siapa pun tidak berani lagi mengancam mereka. Setelah itu, stiker dan kain-kain mereka habiskan di jalan-jalan. Kegiatan lain Suster Brigitta di GPP bersama teman-teman adalah membuat pelatihan. Awalnya pelatihan ini hanya terdiri atas 15 orang dari tiga komunitas (Katolik, Protestan, dan Muslim) yang masing-masing komunitas terdiri atas sekitar lima orang. Di bulan Desember 1999, mereka kemudian mengumpulkan lebih banyak lagi, yaitu terdiri atas 15 perempuan Protestan, 15 Katolik, dan 15 Muslim. Saat itu, perasaan saling curiga, saling benci, dan saling dendam masih jelas terlihat. Melalui pelatihan inilah, menurut Suster Brigitta, mereka akan bersama-sama dipulihkan dari rasa curiga. Bersama beberapa anggota GPP lainnya, Suster Brigitta bergerak turun ke barak-barak pengungsian dengan harapan dapat mempengaruhi suami-suami dan anak-anak yang selama ini ikut bertikai. Pada Januari 2000, Suster Brigitta berpikir bahwa tidak bisa perempuan hanya bergerak sendiri tanpa didukung pihak lain. Ia lalu mengumpulkan juga pemuda laki-laki dari berbagai kelompok pengajian atau sekolah-sekolah minggu. Kegiatan mereka ini dibantu oleh salah satu sekolah di Jerman yang mau memberi dana untuk wilayah yang masih dilanda konflik yang difokuskan di Maluku. Dari sini, Suster Brigitta kemudian membuat konseling pada anak-anak yang mengalami trauma akibat situasi konflik yang mereka alami. Apa yang dilakukan Suster Brigitta ini tentu saja harus melalui survei lapangan terlebih dahulu, terutama untuk melihat bagaimana agama yang satu tidak bisa masuk ke wilayah agama lainnya. Pernah beberapa teman dari GPP berupaya memasuki wilayah-wilayah agama lain yang tentu saja berbahaya bagi mereka. Suster Brigitta sendiri mencoba turun di daerah Muslim, begitu pula yang muslim turun di daerah Kristen. Setelah melakukan survei lapangan, mereka menarik semua anak-anak yang ikut perang yang disebut sebagai Kelompok Anak Linggis atau Laskar Cilik untuk anak-anak Muslim, sedangkan anak-anak Kristen yang berperang disebut Kelompok Anak Agas. Suster Brigitta menghimpun mereka dengan mengatakan, “Mari hentikan perang, tapi kami mau membina kalian.” Misi ini tentu saja memiliki tantangan yang sangat berat. Di daerah Muslim, Suster Brigitta yang beragama Katolik bertemu dengan pembina-pembina mereka dengan sangat hati-hati, karena banyak orang yang tidak senang atau trauma melihat agama lain memasuki wilayahnya. Suster Brigitta bercerita, “Waktu saya harus menjemput ibu-ibu Muslim untuk kumpul sementara di gereja, syukurlah ibu-ibu Muslim itu tidak jadi datang karena seandainya datang mungkin mereka sudah dibunuh. Saya baru menyadarinya karena ada kepala perang yang sudah siap di situ. Jadi, saat itu ketika saya pulang dengan ibu-ibu kelompok Kristen, saya dicegat di muka pintu. Si kepala perang itu pegang tangan saya dan dia marah, ‘Ngapain, Suster! Kami di sini mau perang, masih mau baku bunuh! Ngapain suster ngomong-ngomong damai!’ Sebelumnya, mereka telah mengancam para ibu dari GPP yang membuat pendampingan dengan anak-anak Linggis dan Agas. Mereka masih menginginkan anak-anak itu berperang.” Ketika itu, Suster Brigitta masuk, dan ia melihat ibu-ibu dan anak-anak berwajah ketakutan. Menurut Suster Brigitta, laki-laki yang mengancam itu adalah kelompok-kelompok yang membawa bom di mana-mana dan melibatkan anak-anak. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Suster Brigitta bersama Gerakan Perempuan Peduli ini memang tidak tanggung-tanggung sekalipun pada waktu itu sekitar tahun 1999—2000 adalah gaung kerusuhan yang paling rawan. Suster Brigitta memahami bahwa ia menghadapi risiko hidup atau mati. Ia meyakini bahwa selama ini agama telah dipakai sebagai alat untuk saling menghancurkan demi kepentingan pihak tertentu. Suster Brigitta bahkan tidak takut turun masuk ke perkampungan yang beragama lain pada malam hari untuk bertemu dengan ibu-ibu dan anak-anak di sana. Awalnya para orang tua masih membiarkan anak-anak ikut bertikai demi mempertahankan wilayah atau kediamannya. Ada pula yang merasa takut dan mengira akan dilaporkan ke polisi. Namun, Suster Brigitta kemudian menjelaskan bahwa GPP ingin menyelamatkan dan melindungi anak-anak mereka. Suster kemudian berkata, “Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita cacat atau mati terbunuh.” Bayangkan, tidak sedikit anak yang pulang sekolah atau kuliah kakinya terputus, bahkan ada yang mati terbunuh. Umur anak-anak Linggis dan Agas yang ikut berperang itu sekitar 12—18 tahun. Anak-anak seusia ini sudah pandai merakit bom, membuat senjata, mendapatkan peluru, dan mencari cara untuk membakar rumah, masjid, dan gereja. Untuk mengeluarkan mereka dari kegiatan itu, tentu saja perlu kerja keras karena konon mereka juga dibayar sekitar Rp5.000 untuk setiap kali aksinya. Suster Brigitta bersama yang lain kemudian melakukan pembinaan setiap minggu sekitar dua atau tiga kali dengan tema “Temu Remaja Akbar”. Dalam waktu setahun tidak berhasil, setahun kemudian baru mereka bisa dipertemukan, itu pun dengan suasana yang penuh ketakutan dan ketegangan. “Bayangkan, anak-anak yang tadinya saling berperang, saling membunuh, saat itu harus berhadapan muka. Apakah mereka mampu untuk saling memaafkan pada saat itu? Syukurlah, saat mereka bertemu, justru kembali menjadi teman, sahabat, bahkan sampai hari ini,” demikian Suster Brigitta menceritakan. GPP kemudian menambah kegiatan dalam rangka menyambut hari anak dengan membuat pasar murah. Semua organisasi perempuan, termasuk istri-istri tentara dikumpulkan. Namun, sayang, ketika kegiatan baru berjalan dengan baik selama dua jam, tiba-tiba muncul orang-orang yang menghancurkan dan mengobrak-abrik, bahkan ada anak-anak Muslim yang mau membunuh Suster Brigitta karena ketika itu ia persis di dekat mereka, di sebuah pos. Ibu-ibu Muslim maupun Kristen berlarian, ada yang masuk ke dalam gereja pusat, asrama tentara, dan kantor gubernur. Bayangkan, kebersamaan yang sudah mulai terbentuk itu pun tetap ingin mereka hancurkan. Perempuan Tidak Mudah Terprovokasi, Lebih Cepat Merespons Rekonsiliasi Suster Brigitta berpendapat bahwa perempuan lebih bisa bertahan dalam penderitaan dan tekanan karena baginya, perempuan diciptakan Tuhan untuk memelihara dan melindungi kehidupan. Naluri ini kuat dimiliki oleh perempuan meskipun ada pula kenyataannya perempuan yang ikut perang, bahkan mendukung suami-suami mereka untuk ikut bertikai. Perempuan lebih cepat merespons perdamaian karena memikirkan masa depan anak-anak yang mereka lahirkan sehingga ada perasaan yang halus atau nilai-nilai femininitas yang kuat di tengah kekerasan tersebut. Bahkan, ada ibu-ibu yang mengatakan, ‘Saya mati, ya, mati, lebih baik saya mati daripada anak saya.’” Menurutnya lagi, sekeras apa pun perempuan, bila bicara tentang anak yang ia lahirkan sendiri, pasti akan mengubah pikirannya. Hal itu terbukti pada Oktober 2000, banyak perempuan yang kemudian mendukung rekonsiliasi ini. Namun, pada waktu itu Suster Brigitta belum berani memakai kata damai karena orang masih belum mau memaafkan satu dengan lainnya. Maka, semua kegiatan GPP ini tidak dengan menyisipkan kata damai, tetapi hanya sebagai kegiatan perempuan yang memiliki hati nurani. Di situlah Suster Brigitta bersama kawan-kawan menyebarkan pamflet-pamflet, bahkan lewat batu yang mereka tuliskan dan mereka buang di kolam, di jalan, di laut untuk mempengaruhi semua orang dengan tindakan, bukan dengan kata-kata. Pernah suatu hari ada seorang bapak yang melihat kegiatan mereka dari luar, lalu Suster Brigitta memintanya unutk masuk ke dalam. Bapak itu bertanya, “Apakah kami boleh ikut?” Suster Brigitta bilang masuk saja karena itu hanya kegiatan workshop untuk anak-anak. Suster Brigitta kemudian berkata, “Saya suster, biarawati yang tidak pernah menikah, tidak punya anak, dan tidak melahirkan, tidak seperti ibu-ibu yang lain. Tapi, saya tidak tega melihat anak-anak hancur, tidak seperti bapak-bapak yang tega pada anak-anak ini.” Bapak itu tentu saja terkejut dan tersentak mendengarnya, lalu berkata, “Ya, kenapa tidak kalau semua ini menguntungkan anak-anak kita.” Suster Brigitta tahu bahwa sepertinya orang itu mengamat-amati kegiatan mereka, kemudian ia pun berpesan, “Pak, besok kalau anak-anak Bapak belum datang, suruh datang saja ke sini.” Benar dugaannya, suatu malam pada saat acara silaturahmi hari besar Muslim, kegiatan yang dilakukan GPP ini dibicarakan, ramai sekali, dan ada seorang bapak yang mengatakan, “Suster yang memakai jilbab Katolik itu membuat kegiatan untuk anak-anak dan tidak membedakan siapa-siapa.” Lalu, beberapa hari kemudian, ruangan tempat kegiatan GPP menjadi padat, termasuk dipadati oleh anak-anak yang pernah ikut berperang. Aktivitas Suster Brigitta Pasca-Kerusuhan Pasca-kerusuhan, Suster Brigitta melalui GPP melanjutkan perjuangan rekonsiliasinya dengan memberdayakan kaum perempuan Maluku melalui berbagai pelatihan. Pelatihan ini dilakukan karena banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan. Pelatihan tersebut dimaksudkan agar kaum perempuan bisa menghidupi ekonominya sendiri. Begitu pun bagi para suami yang kehilangan pekerjaan, Suster Brigitta bersama teman-teman di GPP memberi bantuan banyak becak agar bisa mencari nafkah serta memberikan beasiswa kepada anak-anak mereka. Selain itu, dibuat kelompok bermain anak-anak dengan tema “budaya damai dan kasih”, juga untuk membangun kepercayaan di antara anak-anak. Tak segan-segan GPP mempertemukan kelompok anak-anak Kristen dengan guru yang Muslim dan berjilbab untuk memberi pelajaran bahwa situasi yang baik adalah yang demikian. Menurutnya, anak-anak adalah pihak yang harus terlebih dahulu meninggalkan trauma secepat mungkin. Semua proses yang dilakukan Suster Brigitta bersama teman-teman lainnya di GPP harus melewati waktu empat tahun lamanya. Suster Brigitta sangat menyayangkan sikap para tokoh agama laki-laki yang lebih banyak berbicara daripada tindakan ke lapangan, baik Muslim maupun Kristen. Sejak awal konflik, Suster Brigitta selalu bilang, “Saya tidak mengerti kalau melihat kelompok laki-laki sudah berkumpul, mengapa kaum agamis laki-laki tidak mau melerai dan katakan berhenti, semua hanya bisa duduk. Saya melihat mereka itu seperti orang yang lumpuh, tidak berdaya menghadapi realitas pertikaian yang sangat kejam. Mereka punya peran banyak, tetapi lebih banyak berteori tanpa aksi.” Selanjutnya, kegiatan yang akan dilakukan pada masa pemulihan pascakonflik ini adalah Closing The Gap. Kegiatan ini akan melibatkan laki-laki, sebagaimana yang telah dilakukan kepada ibu-ibu untuk belajar hidup bersama sebagai salah satu cara menghentikan kekerasan. Di sana semua elemen agama akan dihadirkan, termasuk ketua MUI, ketua sinode, dan uskup untuk melihat kegiatan GPP ini. Suster Brigitta kemudian berkomentar, “Apakah bagi laki-laki, ini hal yang sepele atau tidak termasuk hitungan mereka, padahal justru yang kecil itu yang sebetulnya punya pengaruh,” katanya dengan berapi-api. Pengalaman Suster Brigitta untuk ikut mengatasi konflik di Maluku ini tentu saja patut untuk kita hargai, bahkan tantangan yang paling menyakitkan adalah bila kebencian itu muncul dari mulut kelompok agama sendiri. Suster Brigitta menceritakan, ketika rumahnya terbakar, ada seorang ibu yang tertawa kepadanya. Suster Brigitta kemudian bertanya, “Mengapa Ibu tertawa?” Suster sangat terkejut ketika ibu itu menjawab, “Rasain sekarang! Rumah ibu terbakar, habis… sedikit-sedikit perhatian dan membela Muslim.” Tetapi, Suster Brigitta begitu bijak menjawabnya, “Nah, berarti kamu bukan orang Kristen!” Di sinilah menurutnya kita harus ikhlas, sabar, serta bebas dari rasa dendam, marah, dan benci. Hanya dengan pola seperti ini, menurutnya, kita dapat menolak kekerasan meskipun itu dilakukan oleh teman kita sendiri. (Mariana Amiruddin) [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2004 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 33, 2004. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Wulan Danoekoesoemo, 31 tahun[1], perempuan yang memiliki keahlian di bidang psikologi ini mendirikan kelompok sosial bernama Lentera Indonesia atas kepeduliannya terhadap sesama perempuan. Kelompok ini didirikan untuk mendukung para korban perkosaan. Awalnya lelucon di twitter tentang hantu perempuan yang ingin membalas dendam pada pemerkosanya. Wulan sangat marah menanggapi lelucon tersebut lalu menulis tweet bahwa banyak fakta mengejutkan tentang kasus pelecehan seksual dan perkosaan adalah hal serius yang menyakitkan, bukan untuk ditertawakan. Wulan kemudian merasa lebih baik melakukan sesuatu untuk korban perkosaan atau kekerasan seksual daripada terus berkata-kata. Bersama Jurnal Perempuan, Wulan diwawancara untuk menceritakan lebih lanjut masalah korban dan pelaku perkosaan, serta apa yang perlu dilakukan perempuan. Jurnal Perempuan (JP): Apa pendapat anda tentang masalah pemerkosaan di Indonesia? Wulan Danoekoesoemo (WD): Tidak terlalu banyak orang yang merasa nyaman membicarakan masalah perkosan. Kebetulan sejak Lentera Indonesia berdiri tiba-tiba banyak terpapar berita perkosaan. Saat itu kita melihat dengan cara prihatin. Angka statistik perkosaan seperti gunung es, karena betapa banyak yang sebenarnya tidak kelihatan. Maka sudah saatnya masalah ini sesuatu yang harus dituju dan di luar sana kita tahu sudah banyak yang peduli dengan masalah kekerasan terhadap perempuan dan kita ingin ikut ambil bagian dalam area yang selama ini belum tersentuh. JP: Siapa sajakah korban perkosaan? WD: Sayangnya korban kekerasan seksual bisa siapa saja. Bicara perempuan, ya laki-laki juga korban meski tidak sebanyak perempuan. Bicara perempuan muda, anak kecil juga banyak yang mengalami. Jadi kalau ditanya korban siapa, siapapun bisa jadi korban, lintas gender, sosial, kelas, ras dan ekonomi. JP: Berarti masalah perkosaan seharusnya bukan masalah perempuan saja? WD: Terbukti anak kecil laki-laki juga banyak yang jadi korban. Suatu hari kita akan berhadapan dengan korban seksual yang notabene laki-laki dan kita juga sudah mulai menerima email-email dari korban laki-laki yang ingin bergabung dalam komunitas Lentera Indonesia. JP: Apa pengaduan dari korban pria? WD: Mereka belum menceritakan secara spesifik tapi mereka mengaku seorang korban dan ingin berbagi. Kami sadar budaya patriarkhi biasanya membuat laki-laki punya ego dan dominasi sehingga merasa kuat dan ketika mereka sudah berani untuk bicara, sepertinya kita tidak bisa bilang mereka mengada-ada. JP: Mengapa korban perkosaan banyak perempuan? WD: Ini masalah stigma, masalah kecenderungan untuk menyalahkan perempuan misalnya “kamu pulangnya malam sih, naik ojek, naik taksi malam-malam sendiri.” Lah kalau memang tuntutan hidup, mau bilang apa? Kemudian juga kita dituntut selalu untuk berusaha melindungi diri tetapi tidak ada timbal balik ketika pemerintah tidak menyiapkan perangkat hukum yang bisa melindungi semua warga negara perempuan misalnya sistem transportasi karyawan perempuan yang pulang malam. Dari dahulu kita selalu dibilang perempuan itu harusnya jadi istri harus menurut suami, jadi ibu rumah tangga yang baik, fungsinya melahirkan secara kordrati karena punya rahim dan sel telur, tetapi kan perempuan tidak semata-mata itu saja? JP: Bagaimana ide awal Lentera Indonesia? WD: Pertama ini kekuatan sosial media pastinya. Lentera Indonesia berawal dari twitter, waktu itu kita melihat serentetan joke di twitter dengan hashtag berjudul horor gagal. Kemudian pelakunya beberapa twitter buzzer, cukup mengecewakan sebetulnya dengan punya follower ribuan, mereka seharusnya menjadi opinion leader, tetapi opinion yang mereka lead justru menjadikan isu sensitif ini menjadi bahan bercandaan. Yaitu tentan seorang perempuan yang diperkosa kemudian frustasi lalu bunuh diri, meninggal, lalu menghantui si pelakunya, kemudian dibuatlah semacam simulasi berbagai versi. Banyak sekali yang berpartisipasi dalam hashtag itu. Kita miris sekali melihatnya karena terlepas bahwa itu memuakkan, tapi di sisi lain itu adalah potret kenyataan masyarakat kita bahwa mereka tidak mengerti bahwa mereka telah menjadikan perkosaan sebagai bahan bercandaan. Kebetulan malam itu saya bertemu dengan beberapa twitter info lain yang juga tidak kalah sewotnya. Malah ada salah satu yang waktu itu secara terbuka menyatakan dia korban, kemudian kita ngobrol apakah kita marah-marah atau melakukan sesuatu, lalu kita pilih untuk melakukan sesuatu, dan saya mengusulkan untuk membuat kelompok dukungan. Karena dengan kejadian ini mungkin banyak orang di luar sana yang merasa terhina bahkan sampai teman saya itu sampai membuka status mengejutkan bahwa dia korban perkosaan dan dia bilang pertamakalinya bicara di publik. Dan dia setelah dia membuka status itu, emosinya langsung up and down, yang namanya luka itu sudah lama tertutup dan tidak tertangani. Kebetulan saya adalah psikolog klinis dan beberapa tahun yang lalu saya pernah kerja semacam kelompok dukungan pecandu alkohol yang berusaha untuk pulih, siapapun pecandu boleh datang dan ikut berbagi atau sekedar diam mendengarkan bagaimana orang lain bercerita menjalankan pemulihannya. Saya pikir ini model yang cukup aman untuk dicoba diterapkan untuk korban perkosaan dengan memberi ruang aman. Saya belajar tentang trauma jadi tahu bahwa yang namanya trauma, dan kita berpikir di luar sana pasti banyak perempuan yang menangis sendirian, karena mau cerita sama siapa? Orang tua? Saudara? Dan bagaimana bila pelakunya adalah orangtua sendiri atau saudara? Ibarat kulit bawang ternyata setiap kali mengelupas, selalu ada lagi di dalamnya berlapis-lapis. Kita berangkat dari keprihatinan itu .JP: Seperti apa profil korban perkosaan? WD: Seperti orang-orang yang pernah mengalami trauma. Bayangkan misalnya bencana alam, akan mengalami mimpi buruk, takut dengan suara keras. Kalau dalam kasus kekerasan seksual misalnya terjadi di masa kecil, pelakunya kakek, ayah, kakak, keluarga terdekat, sebagai laki-laki pertama dalam kehidupan setiap perempuan. Dan itu akan menjadi simbolisasi relasi pada masa dewasanya. Bayangkan ketika pengkhianatan itu terjadi di usia yang sangat dini oleh laki-laki pertama dalam hidupnya, itu luka yang dia bawa seumur hidup dan pada perkembangannya dia akan mengalami kehilangan kepercayaan pada orang lain yang seharusnya melindungi, atau menjaga dia. Bisa jadi dia berkembang menjadi orang yang tidak percaya pada laki-laki, menjalin relasi menjadi ragu-ragu, dan ketika keintiman itu hadir dia menjadi sangat takut. Misalnya dia percaya 100% dengan ayahnya, kakeknya ternyata orang yang dipercaya ini justru yang melukai dia. Atau ketakutan pada figur yang memiliki otoritas seperti bos di kantor, dosen di kampus, bisa jadi kalau kita kuliah atau kerja begitu masuk ruang meeting dan konteksnya hanya berdua, dia bisa sesak nafas keringat dingin dan sebagainya. Ini adalah bentuk nyata dari trauma dan itu harus diselesaikan. Bahwa apa yang terjadi di masa lalu tidak bisa diubah. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana caranya mengakui itu terjadi dan pelan-pelan belajar menerima. Ternyata untuk para korban ini mengakui saja susahnya setengah mati. Bayangkan selama puluhan tahun mereka menutupi rapat-rapat lukanya lalu tiba-tiba ibarat dibuka perbannya, it’s like opening the pandora box, emosinya lalu jadi berantakan. Memori yang selama ini dikubur dalam-dalam, akhirnya menuntut pertanggungjawaban yang harus diselesaikan. JP: Sejauh ini sudah berapa orang yang bergabung? WD: Yang reguler 10 orang, lainnya datang dan pergi. Korban dalam masa pemulihan itu seperti masuk dalam terowongan gelap. Diujungnya kelihatan ada cahaya tapi terowongannya panjang. Sekarang masalahnya mereka mau jalan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Itu semua pilihan. Karena ada orang yang merasa nyeri atau sakit membayangkan prosesnya. Prosesnya memang painful sekali. JP: Apa pesan anda untuk perempuan tentang perkosaan? WD: Kita semua adalah kemungkinan target, karena pelaku itu tidak tiba-tiba terangsang lalu menyerang. Mereka memilih. Kemarin waktu sesi seminar yang kita selenggarakan, kebetulan adalah salah satu rekan datang dia adalah seorang warga negara Amerika lama di Indonesia dan mengajar self defense for women. Waktu itu dia datang menjadi observer ke sesi workshop dan sesi tanya jawab dan tiba-tiba dia datang dari belakang menyalami semua pembicaranya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling dan dia bilang “kita sudah saling berkenalan, saya sudah mengamati dan kalian adalah target saya!”. Semua yang disalami langsung kaget. Lalu dia datangi salah satu orang bilang, “kamu dari tadi sibuk sekali dengan blackberry kamu sampai kamu tidak sadar saya melihat kamu dari tadi. Kamu akan jadi target saya yang sangat mudah.” Lalu dia juga menghampiri salah satu peserta di situ dan bilang, “Saya juga melihat kamu dari tadi sibuk melihat catatan teman kamu, itu menunjukkan kamu sangat bergantung pada orang lain. Dan pada saat kamu tidak sama orang lain kamu akan menjadi target saya.” Dia tidak sedang bicara gender, tapi tindakannya saat itu menampar semuanya baik laki-laki maupun perempuan menahan nafas karena itu pesan yang kuat sekali dia sampaikan. Jad intinya siapapun kita ketika tidak aware pada diri sendiri, ketika kita tidak care dengan lingkungan sekitar, maka kita jadi target. Karena mereka polanya mengamati, misalnya naik kendaraan apa, dan selalu mencari kelemahan kita sehingga mudah menjadi target. Dia akan mengamati setiap hari rutinitas kita dan memastikan kapan waktu yang tepat untuk menyerang. Jadi siapapun bisa jadi target, jangan menyalahkan faktor-faktor eksternal yang tidak relevan yang penting aware dan dan jangan punya perilaku yang careless sekali. Selama pemerintah kita tidak ada perlindungan dan infrastruktur yang baik, rakyatnya harus setengah mati melindungi dan membangun dirinya sendiri. [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2011 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 71. 2011. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Desti Murdijana adalah Direktur Eksekutif Yayasan Pikul (Pengembangan Institusi dan Kapasitas Lokal) yang memiliki kegiatan di wilayah NTT, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Isu kemiskinan sangat relevan dengan kegiatan Pikul, terutama fokusnya pada isu perempuan, termasuk akhir-akhir ini kasus busung lapar yang melanda wilayah-wilayah yang ia teliti. Dalam wawancara ini, Jurnal Perempuan akan menggali persoalan situasi kemiskinan di daerah-daerah dampingannya, terutama di NTT pada tema terjadinya kasus busung lapar, tentu dalam hal ini kaitannya dengan pengabaian hak perempuan. Berikut hasil wawancara dengan Desti Murdijana oleh Jurnal Perempuan, Sofia Kartika[1]. Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana kondisi kemiskinan di Kupang khususnya dan Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya, terutama munculnya kasus busung lapar akhir-akhir ini? Desti Murdijana (DM): NTT dikenal sebagai salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Kemiskinan ini sering dihubungkan dengan wilayah yang kering, memang harus diakui beberapa wilayah di NTT mengalami kekeringan rutin hampir setiap tahun. Namun, masih perlu dilihat kembali apakah masyarakat NTT miskin karena lahannya kering atau ada faktor yang lain. Harus diingat pula bahwa NTT menduduki peringkat ke-6 korupsi dari seluruh provinsi di Indonesia. Lebih jelasnya, saya berikan data bagaimana perkembangan penduduk miskin di provinsi NTT tahun 2003 yang lalu. Tabel 1. Perkembangan Penduduk Miskin Provinsi NTT Tahun 2003 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) dan Data Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) tahun 2004. Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan. Dari tabel tersebut kita dapat melihat bahwa jumlah penduduk miskin di NTT sebesar 30,74%. Adalah jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan data nasional, yaitu sebesar 18,2%. Kemiskinan di NTT relatif menjadi masalah yang paten, isu kemiskinan memang menjadi isu yang mudah “dijual” ke lembaga donor tanpa ada usaha yang jelas tentang apa yang sudah dilakukan. Pemberian raskin (beras miskin) misalnya, di beberapa tempat di NTT dirasakan membuat rakyat menjadi tergantung pada bantuan beras, selain juga isu korupsi yang mengiringi pembagian beras tersebut. “Kami jadi tambah miskin dengan raskin,” ini adalah ungkapan seorang ibu di Kabupaten Kupang. Mengapa? Karena masyarakat lebih senang beli raskin daripada harus susah payah menanam jagung dan ubi yang selama ini juga menjadi bahan makanan pokok mereka. Tanpa terasa, bantuan raskin ternyata memperlemah daya tahan masyarakat lokal untuk bertahan dengan bahan pangan lokal. Harus diingat, tidak semua wilayah di NTT bisa ditanami padi, bahwa hampir semua wilayah yang mudah adalah untuk ditanami jagung, ubi, dan kacang-kacangan. JP : Apa yang menyebabkan kasus busung lapar di NTT? Apakah benar persoalan kemiskinan sebagai pemicu? DM: Masalah Busung Lapar adalah masalah yang mencuat di atas masalah yang lebih besar, yaitu masalah malnutrisi atau gizi buruk. Masalah malnutrisi adalah masalah klasik di NTT. Bila semua orang sekarang prihatin dengan adanya masalah busung lapar, harusnya kita lebih prihatin lagi karena ternyata tidak ada respons yang kuat dari pemerintah untuk menangani masalah gizi buruk/malnutrisi yang setiap tahun diidentifikasi sebagai salah satu masalah anak-anak, terutama balita di semua kabupaten di NTT. Seperti dalam data berikut ini. Tabel 2. Data Gizi di NTT tahun 2005 Pos Kupang, 1 Juni 2005
Sumber: Dinas Kesehatan NTT Dari analisis berbagai sumber yang dikumpulkan oleh Yayasan Pikul tadi, jelas bahwa penyebab malnutrisi bukanlah satu-satunya faktor penyebab busung lapar, melainkan juga beberapa penyebab lainnya. Pertama, menurut kalangan praktisi gizi dan kesehatan seperti dokter dan perawat, kalangan eksekutif seperti kepala Dinas Kesehatan, bupati, dan wagub mengatakan bahwa busung lapar disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat, posyandu yang kurang berpartisipasi pada masyarakat karena dana operasional tidak ada. Kemudian, karena masyarakat yang miskin menderita penyakit lainnya, seperti malaria, cacingan, TBC, dan ISPA. Selain itu, karena tradisi pola asuh dalam keluarga di NTT kurang memiliki pengetahuan gizi, beranak banyak, dan banyak anak-anak yang dititipkan, serta biasanya yang diutamakan untuk makan adalah bapak. Kekeringan dan rawan pangan menurut mereka juga bagian dari penyebab busung lapar meskipun masih menjadi perdebatan sampai hari ini. Kedua, menurut kalangan pengamat, legislatif, dan akademisi, busung lapar terjadi disebabkan oleh kebijakan pembangunan terutama yang menyangkut pangan, seperti bagaimana orientasi mereka yang masih hanya memikirkan “lahan basah”, cara pandang yang monokultur, serta penataan konsumsi yang disubsistenkan ke pasar. Selain itu, menurut mereka, karena anggaran kesehatan yang terlalu sedikit akibat tindak korupsi dan latar belakang wilayah yang miskin. Ketiga, menurut pemerintah nasional, seperti pernyataan wakil presiden maupun menteri kesehatan, dalam merespons hal ini, hanya menganggap busung lapar terjadi karena kemiskinan, posyandu yang tidak berfungsi, serta penyelewengan dana kesehatan karena penerapan desentralisasi. Keempat, menurut para keluarga korban sendiri, busung lapar akibat miskin, miskin, dan miskin.... Melihat begitu kompleks penyebab dari malnutrisi atau busung lapar di NTT, masih sulit untuk dikatakan penyebab mana yang dominan sehingga memunculkan masalah tersebut. Yang jelas, kemiskinan memang menjadi salah satu faktor dari masalah yang muncul. JP : Kasus busung lapar diketahui identik dengan kebutuhan gizi anak, berarti kita juga bicara kebutuhan gizi ibu. Apakah itu berarti kasus busung lapar ini berkaitan langsung dengan persoalan perempuan? DM: Benar. Bahwa dalam setiap data tentang kemiskinan di NTT, tidak pernah muncul data tentang perempuan. Misalnya, berapa banyak dari keluarga miskin yang kepala keluarganya adalah perempuan tidak pernah dihitung. Berapa banyak dari keluarga miskin yang masih memiliki lahan? Tidak ada data, padahal data ini penting karena bila lahan dimiliki oleh perempuan, maka kepemilikannya akan diambil oleh keluarga besar yang dalam situasi tertentu akan semakin memiskinkan perempuan. Belum lagi, semakin banyak perempuan yang harus menjadi kepala rumah tangga karena suami merantau, suami meninggal karena sakit, dan suami menikah lagi. Fakta lain, dalam situasi yang miskin, perempuan memegang peran-peran strategis, baik menjadi tulang punggung keluarga, penyelamat keluarga, bahkan harus menjadi martir. Di banyak masyarakat NTT, ketika keluarga tidak lagi bisa mendapatkan uang untuk beli makanan, maka perempuan akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari bahan makanan yang bisa dimakan. Sebagai contoh, perempuan Sumba, dalam situasi kekurangan makanan, mereka akan mencari ubi hutan (semacam gadung) yang akan mereka jemur dan kemudian diolah menjadi bahan makanan. Di Timor Tengah Selatan, perempuan akan memanfaatkan biji asam untuk makanan pengganti sambil menunggu mendapatkan makanan pokok. Berkaitan dengan masalah busung lapar ini, memang masalah perempuan dalam konteks tersebut kurang mendapatkan perhatian. Padahal, ditemukan beberapa fakta, seperti banyak anak yang busung lapar lahir dari ibu-ibu yang mengalami anemia pada masa kehamilannya. Kasus busung lapar banyak ditemukan pada keluarga miskin dengan jumlah anak lebih dari tiga orang. Ini terkait dengan semakin mahalnya alat kontrasepsi dan bantuan kontrasepsi untuk keluarga miskin tidak sepenuhnya mengenai sasaran. Banyak anak malnutrisi yang diabaikan oleh ibunya karena ibunya kurang informasi dan tidak bisa mengambil keputusan atas nasib anaknya (keputusan untuk membawa ke dokter atau ke posyandu, sering tergantung pada suami). Dalam beberapa kasus ditemukan, bila ada uang sedikit berlebih, bapak akan menggunakannya untuk membeli rokok, daripada menggunakannya untuk bayar bemo (angkutan umum) untuk periksa anaknya ke puskesmas. Bahkan, pada anak-anak yang mengalami gizi buruk, dikhawatirkan ibunya mengalami situasi yang sama. JP : Bagaimana dengan persoalan kebijakan, apakah perempuan dilibatkan dalam masalah-masalah ini? DM: Harus diakui, suara perempuan belum terakomodasi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Masalahnya, selain belum ada political will dari penguasa untuk memperbesar ruang tersebut, juga perempuan di NTT masih sangat sedikit yang mendapatkan kesempatan untuk memahami hak-hak mereka serta mengakses informasi tentang hal tersebut. Kuota 30% perempuan di legislatif juga masih menjadi tanda tanya besar karena proporsi perempuan yang menjadi anggota dewan masih sangat kecil. Bahkan, di beberapa kabupaten mengalami penurunan. Penguatan basis perempuan memang menjadi pekerjaan rumah utama bagi lembaga-lembaga yang peduli dan berpihak pada rakyat. Berkaitan dengan anggaran, kita ambil contoh anggaran kesehatan di Kupang. Pada tahun 2003, anggaran Kota Kupang untuk kesehatan perempuan sebesar Rp40.191 per orang per tahun. Bila dibagi setiap bulan, maka seorang perempuan miskin mendapatkan subsidi kesehatan hanya sebesar Rp3.349, sama dengan harga sekilo beras. Jumlah ini menurun pada tahun 2004 karena pada tahun tersebut anggaran kesehatan untuk penduduk miskin sebesar Rp28.311 per orang. Secara umum, budget untuk kesehatan (umum) di Kota Kupang hanya 4,5% dari keseluruhan APBD. Dana ini pun sebagian besar digunakan untuk membayar gaji pegawai. Bicara gender budgeting, tampaknya masih sangat jauh dari harapan. JP : Apakah faktor kebudayaan termasuk hal yang mempengaruhi kasus busung lapar di berbagai wilayah yang Anda geluti? DM: Posisi perempuan dalam tatanan adat NTT ada di bawah laki-laki. Ada beberapa suku yang sistem adatnya matrilineal, tetapi sistem tersebut hanya berlaku secara parsial. Untuk proses pengambilan keputusan, sistem matrilineal ini relatif tidak digunakan lagi, intinya laki-laki tetap menjadi pengambil keputusan yang utama. Dalam praktik keseharian masyarakat NTT, perempuan di desa selain bekerja menyelesaikan semua urusan rumah tangga, mereka juga harus ikut terlibat dalam mengurus kebun dan ternak. Beban kerja perempuan cukup berat, namun tidak disertai dengan asupan makanan yang memadai karena masih menjadi kebiasaan, bila ada makanan, yang diutamakan adalah bapak, kemudian anak, dan yang terakhir ibu. Tidak ada perlakuan khusus pada ibu hamil sehingga sangat mudah ditemui, ibu-ibu dalam keadaan hamil, masih harus bekerja di kebun, mencari kayu bakar, atau mengambil air minum yang jaraknya jauh dari rumah. Kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang biasa terjadi di masyarakat NTT sehingga tidak sedikit korban kekerasan yang menganggap itu bukan masalah, atau bila mereka ingin keluar dari rumah, mereka takut semakin mendapatkan kekerasan dari suami. Bentuk kepatuhan istri pada suami adalah menerima dengan pasrah segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan yang harus dialami anak-anak. Pemahaman agama yang kuat bahwa apa yang disatukan oleh Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia, membuat mereka bertahan dalam penderitaan. Belis (maskawin) juga menjadi sumber persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Belis dilihat sebagai alat tukar, bukan lagi sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan. Karena itu, masih cukup banyak anggapan yang berlaku bahwa dengan diberi belis, maka perempuan menjadi milik laki-laki. Dengan kata lain, pihak laki-laki (dan keluarganya) bisa melakukan apa saja kepada perempuan tersebut, temasuk memperlakukannya sebagai budak. Situasi seperti di atas memang memperbesar kerentanan perempuan pada derajat kesehatan yang rendah dan akan semakin diperburuk ketika mereka hidup dalam kemiskinan. JP : Apa kira-kira langkah strategis untuk mengatasi pemiskinan perempuan? DM: Mengatasi kemiskinan dan perempuan yang dimiskinkan bukan soal mudah, apalagi di NTT, di mana masalah ini sudah terjadi bertahun-tahun. Saya akan fokus pada apa yang bisa dilakukan untuk perempuan di NTT, yaitu menurut saya, harus ada kerja paralel pada tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah penguatan basis perempuan dengan pengorganisasian dan pendidikan perempuan secara masif. Maka, bila ada pertanyaan, siapa yang harus melakukan ini? Mungkin harus dengan mengumpulkan sejumlah politisi yang masih punya hati nurani, yaitu akademisi yang mau terjun ke basis, aktivis mahasiswa yang mengurus isu perempuan, aktivis LSM yang tidak berorientasi pada proyek, pemuka agama yang berpihak pada rakyat, dan juga anggota masyarakat yang memiliki kepedulian untuk membangun jaringan yang luas agar menguatkan barisan perempuan. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran, membangun kesamaan visi tentang pentingnya keluar dari kemiskinan dan pemiskinan, dan mempunyai suara yang sama untuk menolak berbagai intervensi yang akan merusak kehidupan mereka, serta merumuskan cara hidup yang sesuai dengan tradisi mereka, namun memberikan ruang yang besar kepada perempuan terhadap akses dan kontrol. Tingkat kedua adalah lembaga-lembaga nonpemerintah yang selama ini bekerja untuk masyarakat, termasuk di antaranya adalah LSM, gereja, dan lembaga pengabdian masyarakat. Untuk melepaskan diri dari dominasi agenda donor dan tidak bekerja secara sektoral dan tersegmen, perlu melihat masalah kemiskinan secara lebih integral dan melakukan kajian yang tidak hanya menghasilkan wacana, tetapi sebuah aksi konkrit yang dalam pelaksanaannya sarat dengan pelibatan rakyat, termasuk perempuan sebagai agen utama perubahan. Tingkat ketiga adalah pemerintah. Untuk NTT, sulit membayangkan ada perubahan mendasar dalam 5 tahun ke depan. Namun, bila rakyat (dan perempuan) bisa semakin cerdas, dan cukup mampu membangun pressure group bagi pemerintah, mungkin pemerintah akan menjadi cerdas juga dan lebih bisa menunjukkan perannya sebagai pelayan rakyat. Lewat pemerintah yang cerdas dan tidak korup, diharapkan dapat menghasilkan strategi penuntasan kemiskinan yang lebih mengenai sasaran dengan tetap mengutamakan kepentingan rakyat (dan perempuan). (Sofia Kartika) [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 42, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. “Kalau saya tidak berani menelanjangi diri di dunia internasional menangani jugun ianfu, maka selamanya jugun ianfu tidak akan mendapatkan keadilan. Saya sudah capek dicemooh. Saya ingin semua orang terutama generasi muda tahu seluruhnya. Tidak hanya sepotong-potong; agar mereka tahu dan mengerti bahwa menjadi jugun ianfu bukan mau kami dan bahwa kami bukan pelacur.” Kalimat di atas terucap dari seorang Mardiyem, bekas jugun ianfu yang kini berusia 73 tahun[1]. Dalam usia uzur, ia tak surut memperjuangkan keadilan bagi sesama jugun ianfu. Mewakili rekan-rekan senasib, ia tak surut memperjuangkan keadilan, menuntut pemerintah Jepang untuk meminta maaf secara resmi dan pribadi serta memberikan kompensasi kepada para perempuan yang menjadi “budak nafsu” tentara Jepang selama masa penjajahan Negeri Matahari Terbit itu di Indonesia. Masyarakat internasional, bahkan para aktivis LSM di Jepang mengundangnya ke Jepang untuk menuturkan pengalaman pahit sejujur-jujurnya di depan forum. Hasil dari perjuangannya adalah Keputusan tanggal 4 Desember 2001 dari Peradilan Internasional di Den Haag, Belanda terhadap kejahatan perang. Keputusannya adalah bahwa Kasiar Jepang Hirohito dan para pejabat senior Jepang lainnya dinyatakan bersalah. Mereka bersalah atas perbudakan yang terjadi pada sekitar 200 ribu perempuan Asia, mulai dari Cina sampai Korea Selatan, termasuk para perempuan usia muda di Indonesia selama penjajahan Jepang pada Perang Dunia II, 1942—1945. Untuk Mardiyem sendiri, yang terpenting adalah realisasi dari keputusan tersebut. Namun, kenyataannya hingga hari ini, ia dan juga rekan-rekannya hingga uzur usia, harus bertahan hidup dari sumbangan para relawan yang bersimpati. Mereka juga harus tahan menghadapi sikap masyarakat yang menghakimi dan pemerintah Indonesia pun memandang mereka sebagai “aib” yang harus ditutup rapat-rapat. Mardiyem Muda Mardiyem lahir di Yogyakarta sekitar tahun 1929. Ayahnya, Irodjoyo, bekerja sebagai abdi dalem kecil dari seorang bangsawan Yogya, yakni KRT (Kanjeng Ratu Tumenggung) Suryataruna. Meski penghasilan ayahnya kecil, keluarga Mardiyem masih tergolong keluarga yang berkecukupan. Sejak kecil Mardiyem tidak merasakan kasih sayang ibu, karena ibunya meninggal ketika melahirkannya pada usia kandungan baru berjalan tujuh bulan. Ia juga tidak sempat mengenal ketiga kakaknya yang telah meninggal lebih dulu. Namun, ia masih memiliki tiga orang kakak yang lain, yaitu Jainem, Kardiyem, dan Ngatini. Mereka, termasuk dirinya, tumbuh dalam asuhan ayahnya. Walaupun demikian, ia merasa bahagia. Ia mendapatkan kebebasan bermain dengan teman laki-laki, padahal saat itu, masyarakat Jawa masih terikat kuat dengan kultur patriarki yang melarang anak perempuan bermain dengan laki-laki atau bertingkah kelaki-lakian, seperti memanjat pohon atau tertawa keras. Mardiyem sangat senang bermain petak umpet atau lobrok. Di antara teman-temannya, ia menjadi sosok yang disegani. Ayahnya juga mengajarinya bersikap tabah dan prihatin dalam menghadapi kehidupan. Maka, ketika ayahnya meninggal dunia pada saat umurnya baru sepuluh tahun, ia sangat terpukul. Sepeninggal ayahnya, ia diasuh oleh pamannya, seorang haji, Wak Dul namanya. Berbeda dengan sikap ayahnya yang moderat, pamannya amat memegang nilai-nilai luhur dan adat istiadat Jawa. Merasa tak bebas lagi, Mardiyem memutuskan untuk hidup mandiri dengan jalan menjadi abdi dalem di rumah Ndoro Mangun. Majikannya sangat baik karena memberinya kebebasan untuk berlatih menyanyi sesuai kerja. Pada saat inilah ia mengenal Soerip, seorang penyanyi keroncong yang mengajaknya berlatih menyanyi di Notoprajan. Ketika Mardiyem berusia 13 tahun, saat itulah pendudukan Jepang di Indonesia dimulai. Cita-citanya masih sama, menjadi penyanyi panggung. Ia lalu mendengar bahwa pemerintah Jepang membuka lowongan kerja bagi perempuan untuk dipekerjakan sebagai pelayan restoran dan pemain sandiwara di Borneo (sebutan pulau Kalimantan pada waktu itu). Ia langsung mendaftarkan diri. Mardiyem dengan kepolosan hatinya begitu gembira, terlebih membayangkan dirinya bila telah menjadi seorang penyanyi. Bahkan, di saat pemberangkatan dan selama perjalanan pun, hatinya berbunga-bunga, penuh sukacita. Setibanya di Telawang, sebuah perkampungan di pinggir Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Mardiyem dengan 24 orang temannya yang kebanyakan berasal dari Ambarawa, Yogyakarta, segera menempati rumah panjang yang telah disekat menjadi 24 kamar. Rumah panjang itu lebih mirip sebuah barak tentara. Setiap orang menempati sebuah kamar berukuran 7,5 meter persegi dengan perlengkapan sebuah tempat tidur, meja, dan kursi. Kamar Mardiyem sendiri bernomor 11 dan ia mendapat panggilan momoye (penyanyi). Firasat buruk segera menyelimuti Mardiyem. Ia begitu risau membayangkan dirinya dan kawan-kawannya akan dijadikan para pelacur. “Kala itu saya gelisah dan takut sekali. Malam itu saya tidak dapat tidur dan menangis sepanjang malam. Saya teringat almarhum bapak di kampung halaman. Saya tidak tahu mengapa nasib menjadi seperti ini,” demikian penuturan Mardiyem ketika harus menghadapi kenyataan bahwa cita-citanya sebagai penyanyi yang sebenarnya, kandas. Dua hari kemudian, ia mulai didatangi seorang lelaki Jepang berewokan yang belakangan diketahuinya sebagai pembantu dokter di klinik kesehatan. Lelaki itu merayu dan memaksa Mardiyem untuk melayani nafsu berahinya. Mardiyem telah berupaya untuk melepaskan diri, namun cengkeraman tangan lelaki itu melebihi kekuatannya sebagai perempuan. Dengan kasarnya, lelaki itu merenggut keperawanannya yang selama ini dijaganya, seperti penuturannya, “Dengan sekuat tenaga saya berupaya melawan untuk menghindar. Tetapi, cengkeraman tangan lelaki kekar dan berotot itu semakin kuat. Badan saya sampai terangkat naik ke ujung dipan, bahkan terdorong ke dinding. Saya sedih danrasanya sakit sekali.” Belum hilang rasa nyeri yang dideritanya, datang lagi lelaki kedua, menyetubuhinya tanpa memberinya kesempatan untuk beristirahat. Ia ingat, satu hari itu ada enam orang yang harus dilayaninya. Akibatnya, ia mengalami pendarahan hebat. Namun, itulah hidup yang harus dijalaninya. Hari-hari selanjutnya, bahkan ia harus melayani 10-15 orang tentara Jepang sekaligus dalam sehari. Para tentara menolak untuk menggunakan kapucis (kondom), maka Mardiyem pun hamil. Ketika cicada (pengelola asrama) mengetahui bahwa dirinya hamil, Mardiyem dipaksa menggugurkan kandungannya dengan cara mengurut perut dengan paksa. Mardiyem menjadi jugun ianfu selama kurun waktu 1943-1945. Ia harus siap melayani siapa pun, baik para tentara maupun sipil Jepang. Dan, ia pun harus siap menerima pukulan dan tendangan sepatu lars apabila mereka tidak puas dengan pelayanannya. Satu kali pernah ia tak sadarkan diri setelah menerima tendangan-tendangan, namun tak seorang pun datang menolong. Menuju Jalan Kebebasan Suatu hari, kerani (pemberi tiket untuk tamu) asrama Telawang mengumumkan bahwa para penghuni asrama diperkenankan memilih jalan hidup masing-masing. Mulanya Mardiyem bertanya-tanya, apa yang telah terjadi, hingga ia mendengar suara bom berjatuhan di wilayah permukiman tersebut. Secepatnya ia memutuskan pergi ke Banjarmasin dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak di hutan belantara. Selama tiga hari perjalanan, ia harus menahan lapar dan dahaga. Setibanya di Banjarmasin, ia memilih tinggal di perkampungan Dayak. Salah satu temannya, bernama Ribut, menikah dengan seorang warga Kapuas. Ribut adalah sahabatnya sejak ia masih tinggal di Surabaya. Sebelum berangkat ke Borneo, Ribut sempat berpacaran dengan anak pemilik Hotel Paneleh di Surabaya, tempat Mardiyem dan kawan-kawannya juga tinggal. Mardiyemlah yang melancarkan hubungan keduanya. Ia senang dapat melakukan hal itu karena sesudahnya, Ribut akan membelikannya baju ataupun makanan sebagai ucapan terima kasih. Persahabatan mereka terus berlanjut hingga mereka berada di Telawang. Ia masih ingat nomor kamar Ribut, 15, dan panggilannya adalah “Akiko”. Persahabatanlah yang membuatnya bersedia tinggal di Kapuas. “Saya mau saja diajak ikut Ribut karena saya takut tinggal di kota. Waktu itu banyak tentara sekutu di kota. Saya takut apabila perlakuan seksual menimpa kembali,” demikian alasannya ketika memutuskan untuk tinggal di Kapuas. Ketika situasi sudah lebih aman, barulah Mardiyem bersedia diajak suami Rubut ke kota untuk mengantarkan barang dagangan berupa emas permata. Di kota, ia bertemu dengan Amit Mangun, seorang tentara KNIL (Koninklijk Nederlandisch Leger) asal Desa Bantul, Yogyakarta. Ketika Amit Mangun memintanya untuk menjadi istrinya, dengan halus Mardiyem menolaknya. “Saya tak mau, saya tak butuh suami. Saya hanya butuh kasih sayang dan perlindungan. Ini sudah dipenuhi oleh sahabat saya dan suaminya yang telah memperlakukan saya seperti saudara kandung.” Penolakan Mardiyem pada awalnya semata-mata karena persoalan traumatisnya terhadap laki-laki. Namun, bujuk rayu Ribut dan suami akhirnya membuat Mardiyem pasrah dan menerima pinangan itu. Menanggapi Sinisme Masyarakat Setelah menikah, Mardiyem tinggal dengan suami di asrama KNIL. Di tempat tinggalnya yang baru, ketenangan batin Mardiyem kembali terusik. Cemooh dan kata-kata menyakitkan harus dihadapinya. “Awas, kita kemasukan orang dari ransum Jepang. Hati-hati suami kita bisa disaut (direbut). Mereka itu orang nakal dan haus seks!” Mardiyem menirukan kata-kata yang kerap harus didengarnya pada saat itu. Tak tahan menghadapi teriakan-teriakan tersebut, Mardiyem pun balas menyerang dengan kemarahannya. “Ngapain merebut suami kalian. Apakah setiap bekas ransum Jepang selalu merebut suami orang?” Di sini harga diri Mardiyem terinjak-injak, namun suaminya lagi-lagi menasihatinya agar bersabar dan mencoba melupakan masa lalu. Bagi Mardiyem, kehidupan berumah tangga bukan hal yang mudah untuk dijalani. Trauma yang dialaminya merupakan beban psikologis yang nyaris membuatnya kehilangan rasa cinta kepada setiap laki-laki. Hanya karena kebaikan dan kesabaran Amit Mangun saja yang mampu membuatnya tenteram, termasuk ketika mengetahui dirinya hamil. Padahal, ia yakin sekali tak bisa hamil lagi karena peristiwa pengurutan perut yang pernah dialaminya dahulu. Tidak dapat hamil merupakan risiko yang harus ditanggung oleh sebagian kecil mantan jugun ianfu. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang saling berhubungan erat antara kerusakan alat reproduksi dan tekanan psikologis, seperti perasaan sudah rusak dan tidak berharga. Kehamilan yang terjadi pada Mardiyem lagi-lagi mengundang tuduhan yang bukan-bukan. Sekali lagi, sikap Amit Mangun dapat membuatnya tenteram. Untuk menopang kehidupan rumah tangganya, Mardiyem berjualan seprai, sarung bantal, dan pakaian hasil jahitannya sendiri. Selain itu, ia juga memanfaatkan peluang dengan membantu para gerilyawan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Sering kali ia mencuri peluru-peluru senjata suaminya untuk kemudian diberikannya kepada gerilyawan. Itulah sebabnya ia selalu berusaha menawarkan diri membersihkan senjata suaminya sepulang dari patroli untuk kemudian mencuri beberapa peluru. Yang paling membuatnya terkesan adalah ketika ia mengambil brand (senjata dengan peluru beruntun) dari gudang senjata KNIL. “Saya mengalami kesulitan karena senjata itu sangat panjang dan pengawasan juga terlalu ketat. Akhirnya, saya bekerja sama dengan seorang teman. Ia bertugas mengajak ngobrol para pengawas asrama, sedangkan saya menggulingkan senjata itu ke luar pagar. Di luar pagar itu terdapat jurang. Saya tidak peduli satu kelompok itu masih akur. Saya juga sempat takut ketahuan. Tetapi, esok paginya saya dapat surat yang mengabarkan bahwa kiriman saya sudah diterima.” Kehidupan Mardiyem terus melaju. Tahun 1953, Mardiyem beserta suami kembali ke tanah kelahiran Mardiyem, Yogyakarta. Di kota ini pun, Mardiyem harus menerima perlakuan sinis dari masyarakat yang mencibirnya, bahkan merasa jijik terhadap dirinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa di tengah masyarakat terjadi gunjingan, cemoohan, dan hinaan terhadap mantan jugun ianfu, padahal saat itu ia baru saja memulai berbisnis. “Saya buka katering. Awalnya sangat laku sampai saya punya lima orang pegawai. Tetapi, lama-lama orang tahu kalau saya mantan jugun ianfu, dagangan saya menjadi tidak laku dan bangkrut. Saya sedih dan sakit hati. Apakah saya punya penyakit? Kalau saya punya penyakit, tidak mungkin saya kawin dengan ABRI.” Menuntut Keadilan di Masa Lansia Enam puluh tahun memang waktu yang panjang. Namun, bukan waktu yang cukup untuk melupakan masa lalu dengan penderitaan yang hebat sebagaimana yang dialami oleh seorang Mardiyem. Trauma itu membekas dalam dan masih segar dalam ingatannya. Belum lagi, luka fisik seperti sebelah kaki mengecil dan gumpalan darah beku di kepala yang sering menyebabkan sakit kepala. Dan, yang paling menyedihkannya, kehilangan jabang bayi. Semuanya itu membuatnya amat sakit hati. Didorong oleh rasa bersalah, maka ia ingin menebus dosanya dengan menjalin kembali hubungan dengan rekan-rekan senasib semasa di Telawang. Ia ingin berjuang bersama-sama menuntut keadilan. Kembali ke Telawang, ditelusurinya masa lalunya. Dilacaknya kembali lokasi tempat penampungan dimana ia dan rekan-rekannya melewati hari-hari yang kelam. Tidak berhenti sampai di situ saja, hingga saat ini, ia bahkan harus berkeliling ke luar negeri untuk membeberkan kisah dan perjuangannya. Saat kunjungannya ke Jepang, para aktivis LSM setempat menunjukkan rasa simpati yang mendalam kepada perjuangan para jugun ianfu. Perjalanan yang telah dirintisnya amat panjang namun tugas, dan beban Mardiyem semakin berat karena kebanyakan teman-temannya telah tua, sakit-sakitan, bahkan tutup usia. Mereka semua tetap menaruh harapan besar padanya, memperjuangkan hak-hak mereka agar ditanggapi dan direalisasikan. Apakah permintaan di atas terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan ketidakberdayaan mereka terhadap kehidupan? Seharusnya, tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat dapat memberikan kontribusi yang besar pada mantan jugun ianfu, bukannya justru mengadili mereka. Mereka sudah terkondisi enggan untuk bersosialisasi dan menutup diri untuk beraktivitas. Kini, saat mereka telah lansia, tidak ada pilihan lain untuk bertahan hidup, selain dengan menerima sumbangan para sukarelawan yang bersimpati pada nasib mereka. Mereka harus menahan kesedihan bila mendengar suara-suara yang menganggap mereka sama dengan pengemis jalanan, padahal mereka juga bagian dari warga negara yang sepatutnya mendapat rasa hormat dari pemerintah Indonesia. Mereka berhak dan seyogianya dapat hidup dengan tenang di saat lansia. Maka, seyogianya pulalah pemerintah bersungguh-sungguh memperhatikan dan membantu mantan jugun ianfu untuk mendapatkan ganti rugi, baik material maupun nonmaterial dari pemerintah Jepang. Mardiyem sendiri akan terus membawa suara teman-teman senasib sambil menunggu keadilan itu datang. Ia tidak dapat hanya berpangku tangan dan berserah diri pada nasib. Harapan teman-teman yang telah mendahuluinya sudah dianggapnya sebagai titah yang mulia dan ia telah menjadi bagian dari harapan itu, keinginannya yang terakhir. Perjuangannya akan terus dilakoninya. (Farida) [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2002 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 25. 2002. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. |
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |