Berbicara tentang kerusakan alam dan terutama dampaknya terhadap perempuan, industri ekstraksi sumber daya alam khususnya pertambangan adalah salah satu sektor yang turut berkontribusi. Siti Maemunah, aktivis lingkungan yang belasan tahun berkecimpung dengan isu pertambangan dalam sebuah perbincangan dengan Jurnal Perempuan di sela-sela aktivitasnya yang padat menjelaskan dampak aktivitas pertambangan terhadap kehidupan perempuan[1]. Mulai dari awal ketika tambang masuk ke suatu daerah untuk beroperasi, perempuan dianggap tidak perlu dilibatkan, hakhaknya diabaikan. Hingga kemudian ketika tambang beroperasi dan terjadi kerusakan lingkungan di sekitarnya, perempuan menjadi pihak yang pertama menerima dampak dan yang paling dirugikan. Bahkan ketika tambang sudah tutup dan meninggalkan lokasi, perempuan tetap menghadapi persoalan. Pun kebijakan yang ada juga sama sekali tidak melibatkan perempuan apalagi memperhatikan kepentingan perempuan. Dalam situasi demikian, Siti Maemunah, yang merupakan salah satu board di JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) dan aktif di RIMM (Red Internacional Mujeres Y Mineria) serta menjadi fellow researcher di Sajogyo Institute, berpendapat bahwa mempertahankan lahan untuk tidak dijual atau dialihfungsikan merupakan langkah krusial. Selain itu menumbuhkan kesadaran akan adanya keterhubungan antara kerusakan di hulu atau di kawasan tambang dengan kehidupan di kota penting dilakukan agar terbangun solidaritas yang kuat. Jurnal Perempuan (JP): Dari pengalaman anda selama ini bergerak di isu pertambangan, bagaimana dampak kerusakan lingkungan terhadap kehidupan perempuan dan bumi? Siti Maemunah (SM): Tambang itu kan dia rakus lahan dan rakus air, jadi sama dengan yang dibutuhkan petani untuk berproduksi. Jadi dia butuh tanah, butuh air, dan energi yang luar biasa. Sehingga jika ada tambang masuk di suatu tempat, dia memang akan membongkar kawasan itu. Sehingga apa yang ada di atasnya akan rusak. Ada empat hal yang terjadi pada air saat tambang itu masuk ke suatu tempat. Pertama, kawasan tangkapan air dibongkar, yang itu adalah hutan. Yang kedua, kawasan resapan airnya juga dibongkar, yaitu batuan yang dibutuhkan untuk ditambang. Yang ketiga, dia rakus air. Jadi untuk mendapatkan satu gram emas misalnya, untuk ekstraksi, dibutuhkan setidaknya seratus liter air. Dan dia menghasilkan 2,1 ton limbah. Sehingga, kalau kita bicara keempat, resiko yang terjadi pada air, dia beresiko mencemari sumber-sumber air. Sehingga dengan empat itu, selalu akan terjadi krisis air di tempat itu. Dan perempuan adalah yang utama berhubungan dengan air, karena peran-peran domestiknya, reproduksinya. Kita tahu saat haid, kita butuh air lebih banyak. Saat kita melahirkan juga butuh air lebih banyak. Saat mengurus anak-anak kita juga butuh air lebih banyak. Dan celakanya, saat air tercemar, perempuanlah yang pertama kena. Terutama alatalat reproduksinya, pangannya, dan sebagainya. Sehingga sebenarnya, tambang itu bertentangan dengan alam dan bagaimana perempuan memandang alam. Misalnya perempuan-perempuan Molo di Nusa Tenggara Timur, mereka memandang alam bagai tubuh manusia, tubuh perempuan bahkan. Jadi air itu bagaikan darah, daging itu bagaikan tanah, hutan itu seperti kulit, dan kerangka badan itu seperti batuan. Menghancurkan itu semua, sama dengan menghancurkan tubuh perempuan. Perempuan-perempuan Papua juga melihat hal yang sama. Mereka mengandaikan puncak gunung itu tempat peraduan ibu, dimana tempat paling tinggi berhubungan dengan Yang Kuasa. Lembah itu adalah susu dan segala yang memberikan kesuburan. Karena di situ ada sungai, ada tanaman, dan sebagainya. Sementara di bagian bawah, kaki, karena orang Amungme yang di pegunungan tengah Papua itu hidup di kawasan tinggi, mereka merasa bagian kaki itu adalah bagian laut yang berbahaya yang mereka tidak bisa kuasai, karena mereka orang gunung. Jadi secara filosofis saja, tambang itu berseberangan dengan bagaimana perempuan memandang diri dan alam. Belum lagi, tentu saja, penghancuran yang terjadi karena tambang itu butuh lahan yang sangat luas. Freeport misalnya, dia sempat dapat satu juta hektar. INCO di Sulawesi Tengah, pernah diberikan lahan sampai tiga juta hektar di tiga provinsi. Jadi dia membutuhkan lahan yang sangat luar biasa dan membuat krisis air, karena dua hal itu yang terutama dibutuhkan. Juga energi, energi dalam artian saat kita butuh energi, maka ada penghancuran energi yang lain. Karena umumnya energi itu bahan bakar fosil, yakni minyak dan gas dan batubara, yang itu harus dibongkar untuk mendapatkannya. Jadi mineralnya sendiri kalau kita butuh emas, itu membongkar. Energinya pun dari sesuatu yang membongkar. Itu potretnya berkaitan dengan perempuan dan penghancuran pada bumi. JP: Apa dampak yang secara spesifik dialami perempuan yang berbeda dengan laki-laki? SM: Terutama berkaitan dengan peran-peran mereka. Di awal korbannya sama, laki-laki dan perempuan, karena tidak ada izin tambang yang menanyakan kepada masyarakat, apakah boleh kawasan itu ditambang atau tidak. Jadi keputusan ada di perusahaan dan pemerintah memberikan izin, baru kemudian mereka datang ke masyarakat. Dalam level itu, saat datang ke masyarakat, maka mereka akan datang pada laki-laki karena dianggap kepala rumah tangga. Perempuan tidak pernah didengar suaranya. Perempuan dianggap orang kedua yang tidak pernah dan tidak perlu diajak konsultasi. Dan luar biasanya, perempuan itu tipikal pemikirannya selalu pada bagaimana anak saya bisa makan, tanah ada apa enggak. Beda dengan laki-laki yang biasanya dia bicara kompensasi. Proses penegasian hak perempuan terjadi di awal, ketika menentukan pendapat berkaitan dengan tanahnya, baik tanah yang dia dapat bersama-sama dengan suaminya maupun tanah warisan dari orang tua. Sampai kemudian, kalaupun dia mendapat kompensasi, yang memutuskan kompensasi kadang bukan berdua juga, bukan keluarga, tetapi biasanya pada hal-hal yang berhubungan dengan aksesnya pada laki-laki, misalnya sepeda motor. Atau kalaupun untuk anak sekolah, maka anak laki-laki yang diutamakan untuk mendapat pendidikan lebih dulu. Dan pada saat tambang itu beroperasi, maka seperti yang saya bilang, dampaknya yang terbesar itu pada perempuan. Kenapa, karena terutama berkaitan dengan peran-peran domestik, dimana dia sangat membutuhkan pangan dan air. Mereka yang semula bisa memenuhi kebutuhan obat-obatan, pangan dan airnya dari lingkungan sekitar, ketika itu hilang dan rusak, maka biayanya menjadi lebih mahal. Perempuan-perempuan Papua misalnya, orang Marind, untuk menokok sagu, mereka harus bekerja, laki-laki dan perempuan. Tapi begitu ada program berskala besar, MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), ini sama-sama bicara ekstraksi sumber daya alam ya, kemudian perempuan tidak bisa menokok sagu karena suami pergi bekerja di perusahaan yang hanya mendapat lima puluh ribu per hari. Sehingga mereka harus memenuhi kebutuhannya itu dengan lima puluh ribu sehari. Yang akhirnya banyak perempuan dan anak-anak mengalami malnutrisi karena sekarang semuanya harus beli. Bahkan daging pun yang tadinya bisa didapatkan dari laki-laki berburu, digantikan dengan ikan kaleng, yang itu mahal dan harus beli. Dan kita tahu perempuan biasanya mengutamakan anaknya untuk mendapatkan pangan dan sebagainya. Pada masa saat kerusakan itu terjadi, maka masalah-masalah tidak hanya berkaitan dengan urusan domestik, tetapi urusan reproduksi seperti yang sudah saya bilang. Bagaimana perempuan-perempuan di Buyat itu mengalami masalah-masalah gangguan kesehatan reproduksi seperti haid tidak teratur, keguguran, bahkan cacat melahirkan. Ada potret-potret seperti itu yang akhirnya dia juga menjadi tidak produktif, karena lahannya tidak ada, penghasilannya juga tidak ada. Perempuan menjadi bergantung pada laki-laki, entah itu paman, anak laki-laki, suami, yang kemudian tentu saja ruang-ruang nilai tawar mereka menjadi lebih rendah karena mereka bergantung. Itu yang spesifik berkaitan dengan perempuan. Bahkan dalam cara melawan pun, menarik sebenarnya melihat bagaimana misalnya perempuan menghadapi masalah. Contoh yang menarik di PLTU Batang misalnya, bagaimana perempuan mengorganisir diri. Disamping ikut demo dan sebagainya, mereka fokus mengorganisasi dirinya untuk bagaimana ekonomi alternatifnya keluar. Nelayan itu biasanya punya masalah dengan hutang. Karena mereka setiap hari mencari ikan, jika tidak mendapat ikan, mereka akan mengutang. Dan ada masa paceklik panjang dimana mereka harus berhutang juga. Yang dilakukan perempuan caranya adalah bagaimana menguatkan ekonomi dengan misalnya membuat tabungan rendeng. Sehingga pada saat paceklik, mereka aman. Mereka jadi tidak perlu menjual tanah dan sebagainya. Tapi itu tidak dianggap perjuangan. Itu dianggap, ya nantilah itu urusan ekonomi. Jadi bahkan, cara perempuan merespon, itu tidak dianggap perjuangan. Perjuangan itu harus demo di depan, seperti itu saja. Padahal beragam cara dikembangkan perempuan untuk merespon itu. Dari misalnya bersolidaritas antar perempuan, misalnya kalau di Molo itu mereka punya lulbas. Lulbas itu semacam kurir, kurir yang menyampaikan pesan dari satu tempat ke tempat yang lain dimana perempuan juga terlibat di situ. Itu jika bicara masalah-masalah khas yang dihadapi perempuan. Bahkan sampai tambang itupun tutup, masalah itu akan bersama mereka, dan lebih parah. Misalnya kasus PT KEM (Kelian Equatorial Mining) milik Rio Tinto yang tutup pada tahun 2003, karena terjadi kasus perkosaan di sana. Tujuh belas perempuan, enam di antaranya diperkosa oleh petinggi perusahaan. Sampai lahir anaknya bule juga. Tidak sembuh sampai sekarang, sampai tambangnya tutup dan tidak ada proses hukum. Di media keluarnya sebagai santunan dalam bentuk kompensasi, tidak ada proses hukum. Dan itu akan dia bawa sampai mati. Bahkan anaknya pun bergenerasi masih melekat luka itu. Belum lagi urusan lingkungan yang tidak pulih. Limbah tambangnya 77 juta ton masih ada di sana. Siapa yang bisa memastikan itu aman kalau misalnya nanti di hulu ada masalah, karena limbah itu ada di hulu. Itu gambaran spesifik yang dialami oleh perempuan secara garis besar. JP: Kalau melihat peran pemerintah selama ini, anda menilai seperti apa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan persoalan tambang? SM: Kalau kita telusuri dari sejarah kebijakan pertambangan, kita tahu Indonesia itu sebelum memiliki undang-undang pertambangan, dia sudah menandatangani kontrak karya dengan PT. Freeport. Dimana kontrak karya tersebut didesain oleh perusahaan. Sehingga kemudian seluruh arah undang-undang kita mengikuti model kontrak karyanya PT. Freeport. Termasuk mereka mendapat banyak kemewahan dalam tanda petik, misalnya sampai Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres yang disitu dengan jelas menyampaikan, jika tambang membutuhkan sesuatu, entah itu hutan dan sebagainya maka dia prioritas. Kita tahu pada masa Soeharto investasi asing menjadi penopang, terutama pertambangan. Tetapi tidak banyak pelanggaran HAM pada masa Soeharto yang terungkap. Namun ada kasus Kelian seperti yang saya bilang, perkosaan terhadap perempuan, dsb. Kita tahu pada masa Soeharto kebijakannya seluruh izin ditetapkan oleh perusahaan dan pemerintah. Dan pengusaha-pengusaha asing mendapat prioritas. Mereka bisa mendapatkan izin satu paket. Perusahaan-perusahaan nasional malah mendapat izinnya harus bertahap. Luasannya pun akan lebih luas kontrak karya. Mereka didukung pula oleh tentara dan polisi untuk menjaga keamanan kawasan itu. Pokoknya kontrak karya dianggap kitab suci yang tidak bisa diubah bahkan sampai sekarang. Misalnya tidak ada renegosiasi yang adil terhadap Freeport. Lantas itu kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Undang-Undang Mineral dan Batubara. Tidak ada perubahan, kriminalisasi masih ada. Jadi kalau ada orang yang mengganggu beroperasinya perusahaan, maka mereka akan dihukum atau didenda. Tapi lebih parah karena kemudian kabupaten dan provinsi bisa mengeluarkan izin pertambangan dan terutama rekomendasi alih fungsi kawasan hutan. Jadi kalau bayangannya pada masa Soeharto itu ada sekitar seribu izin pertambangan. Tentu luasannya beda, luas sekali. Setelah pada saat otonomi daerah, kalau tidak salah sekarang sudah ada sebelas ribu izin pertambangan. Jadi sembilan ribu meningkatnya. Meskipun luasannya lebih kecil-kecil, tetapi masif. Ada satu kecamatan di Kalimantan Timur, misalnya, Kecamatan Samboja, itu 22 kelurahan dan desa, izinnya ada 90. Jadi orang dibuat nggak bernafas. Dan tidak ada satupun izin yang menanyakan ke masyarakat apakah boleh sebelum izin itu dikeluarkan, itu dari konteks izin. Kemudian pada konteks pelaksanaannya misalnya kalau kita bicara analisis dampak lingkungan, oh tenang ada tambang nanti kan dampaknya pasti bisa diurus, nggak juga. Karena apa, karena kapasitas membongkarnya besar sekali di Indonesia. Freeport saja saya rasa, yang dia tambang, yang membuang limbah, dia paling besar di dunia. Dan di Indonesia membuang tailing juga bisa ke laut seperti tambangnya PT Newmont di Nusa Tenggara Barat. Ternyata dari 9 ribu dokumen amdal yang dikeluarkan, tidak hanya pertambangan, ini data Kementerian Lingkungan Hidup, dia menyatakan bahwa 75% dokumen itu buruk, artinya di depan kita memang sudah tidak selamat dengan dokumen seperti itu. Belum lagi pengawasan, dalam hal ini komisi amdalnya, mereka bilang tahun 2008, 50% tidak berjalan dengan baik. Jadi, sistem ini memang tidak layak. Dengan cara pengurusan seperti sekarang, kebijakannya lemah, penegakan hukumnyapun lemah, pengawasannya lemah, belum lagi kemampuan BPK mengaudit ya, misalnya mereka hanya mampu mengaudit sekitar lima ratus sekian izin selama tiga tahun. Dengan 11.000 izin, butuh lebih dari 40 tahun untuk mengaudit. Jadi sistem ini memang tidak layak, sudah memang dijadikan mainan saja mengurus ekstraksi sumber daya alam yang luar biasa kerusakannya ini. Dimana korban terbesarnya yang terberat itu pasti perempuan dan bumi. Sampai sekarang itu berlangsung, kebijakan yang buruk itu masih dipertahankan. Kita pernah mendorong ada kaji ulang izin-izin pada saat penyusunan UU Minerba tahun 2009, tapi tidak lolos. Bahkan salah satu contohnya ada larangan menambang hutan lindung dengan tambang terbuka, karena tambang terbuka itu lebih merusak kan, tapi dia lebih murah. Maka diamandemenlah UU itu atas permintaan perusahaan-perusahaan tambang termasuk Freeport, Newmont, INCO milik Kanada. Dan Megawati mengeluarkan Perppu seolah-olah negara sedang dalam kondisi darurat, genting, dikeluarkanlah Perppu itu, kemudian disahkan oleh DPR. Dan UU Kehutanan itu akhirnya diamandemen untuk 13 perusahaan tambang yang akan membuka satu juta hektar hutan lindung. Dan mereka berhasil pada tahun 2004. Dari situ keluar namanya izin pinjam pakai. Term itu kemudian dipakai, sekarang bahkan ada sekitar mungkin lebih 100 perusahaan tambang yang mengajukan izin pinjam pakai dan lolos. Jadi itu kemudian nggak hanya 13 perusahaan tambang. Saya mau sampaikan bahwa sistem pemerintahan kita korup memang, tetapi itu tidak terjadi juga dengan begitu saja. Banyak intervensi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dan elit politik, karena belakangan kita tahu izin tambang itu menjadi komoditas politik, transaksi, dia bukan lagi alat untuk meregulasi. Contohnya di Kalimantan Timur, pada tahun 2007 sampai 2009 itu ada sekitar 270 lebih izin. Dalam satu sampai tiga hari keluar satu izin dan itu nggak hanya di Kalimantan Timur. Kalau dicermati di Morowali misalnya, izin itu juga keluar sebelum atau sesudah pilkada. Jadi kalau kita runut sampai sekarang ya, izin itu nggak lagi untuk mengatur tetapi jadi komoditas politik. Itu kira-kira potret kebijakan di Pertambangan. Dan mereka selalu superior, contohnya mereka bisa mengamandemen undang-undang. Atau yang sekarang ini, pemerintah sedang banyak desakan, terus mereka bilang kita nggak boleh lagi mengekspor bahan mentah, harus diolah dulu. Tapi apa yang terjadi, negara-negara yang perusahaan-perusahaannya ada di sini seperti Jepang misalnya memprotes. Tiga bulan setelah peraturan itu keluar, keluarlah peraturan baru yang merevisi peraturan itu yang menyatakan bahwa kalau ada izin Dirjen nggak apa-apa deh mengekspor bahan mentah. Itu potretnya. Dan perempuan dimana dia berada di ruang itu, nggak ada, asli mereka di pojok dan menerima dampak yang luar biasa. JP: Dengan kondisi yang carut-marut begitu, menurut anda ke depan kebijakan yang ada harus bagaimana agar bisa meregulasi dan bukan menjadi komoditi? Menurut saya kuncinya di masyarakat sipil dan rakyat di sekitar tambang. Jadi nggak bisa lagi dengan terus-menerus berharap pemerintah akan baik hati mengubah, nggak. Dan kita nggak hanya bicara kerusakan di hulu, karena kalau kita bicara kita, penduduk kota, kita nggak merasa punya hubungan dengan orang di kampung yang kawasannya hancur, perempuannya hancur. Padahal logam yang kita pakai, komputer ini, emas yang kita pakai, di situ ada hak orang yang hilang, perempuan Dayak misalnya, yang nggak punya lahan lagi karena lahannya dibongkar untuk mendapatkan emas. Atau contoh yang paling gampang, dalam setiap handphone itu setidaknya ada 2 gram timah. Sebagian besar timah saat ini setidaknya 10 tahun terakhir itu didapat dengan membongkar Bangka-Belitung. Kawasan itu krisis air, sungainya rusak, pangannya berkurang bergantung dari luar. Dan kita pemakai handphone nomor 5 sedunia. Maksud saya, kita nggak bisa lagi berpikir seolah-olah kerusakan itu ada di sana dan kita nggak ada hubungannya dengan itu, terutama perempuan ya. Karena banyak organisasi-organisasi perempuan yang sangat concern dengan isu urban, tetapi tidak pernah menghubungkan solidaritasnya dengan masalah perempuan di hulu. Misalnya tentang ekstraksi sumber daya alam dan bagaimana perempuan menjadi gerakan terdepan untuk menjadi konsumen yang cerdas. Konsumen yang cerdas tentunya yang berhubungan dengan pemakaian logam, laptop dsb. Atau alat-alat kecantikan atau kosmetik, kalau berhubungan dengan minyak sawit yang sebagian besar digunakan untuk ekspor. Publik, masyarakat di hulu misalnya, yang penting sekarang apa, jangan biarkan lahannya dijual, dialih fungsi, pertahankan tanahnya. Apalagi kalau kita bicara perubahan iklim, syarat untuk menghadapi perubahan iklim itu kalau lingkungan kita sehat, punya lahan, airnya bersih. Karena pada saat perubahan iklim, misalnya musim tidak menentu dsb, dan air kita tercemar, itu lebih luar biasa masalahnya. Atau pada saat perubahan iklim lingkungan kita rusak, hujan makin sering, luapan limbah makin cepat datang. Sehingga daya rusak pertambangan itu menyebabkan masyarakat sekitar tambang lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Nah yang harus dilakukan terutama oleh perempuan dan rakyat pada umumnya adalah jangan biarkan lahannya dialih fungsi dan terlibatlah dengan aktif untuk upayaupaya mempertahankan lahan. Tapi juga buat perempuan yang di kota, kalau dulu mungkin kebutuhan logam itu untuk kebutuhan mendesak gitu ya, mungkin nggak seperti sekarang percepatan kerusakannya, tapi sekarang pasar yang menentukan. Saya contohkan ada satu kampung di Kalimantan Timur, namanya desa Makroman, ini desa transmigran. Tahun 1957 mereka pertama bertransmigrasi di sana, dan mereka membutuhkan sekitar 25 sampai 30 tahun untuk membangun sistem irigasi pertanian, sehingga mereka bisa menanam 2 kali setahun. Pada saat otonomi daerah, tambang masuk, tahun 2005 dikasih izin, hanya butuh 2 sampai 4 tahun kawasan itu hancur nggak bisa ditanami lagi. Kenapa? Hutannya dirusak, limbahnya turun ke bawah. Jadi nggak perlu merusak sawah, tunggu saja itu rusak karena hutannya dirusak, limbahnya turun ke bawah dan kawasan itu kemudian menjadi nggak produktif, dijuallah oleh masyarakat dan berubah jadi kawasan tambang. Kebayang nggak, 30 tahun mereka membangun itu dengan segala kearifan dsb, dan itu dihancurkan hanya dalam 2-4 tahun. Ada sebuah perampokan waktu yang dilakukan oleh industri ini bahkan orang tidak bisa menginvestasi produktivitas sampai berapa puluh tahun ke depan saat itu sudah tidak ada. Untuk membentuk 1 cm tanah subur, karena saya orang pertanian, jurusan tanah, itu dibutuhkan waktu 300 tahun. Dan pertambangan itu dengan secepat itu menghancurkannya. Jadi dia tidak hanya perusakan ruang hidup, tapi juga kecepatan waktunya merusak, itu bedanya industri pertambangan dengan industri lain. Sehingga terbayangkan bagaimana jika perempuan berhadapan dengan itu. Kalau alam itu punya daur hidup, ada siang ada malam, tambang itu 24 jam beroperasinya, jadi dia memang sesuatu yang menurut saya, secara filosofis, berlawanan dengan kehidupan. Nah, perempuan-perempuan di kota mesti tahu itu sehingga saat kita bicara masalah perempuan, yang konkrit berkaitan dengan tanah itu apa, sehingga solidaritasnya terbangun. Saya melihat gerakan perempuan kebanyakan mengurusi kekerasan dalam rumah tangga, dsb, itu nggak cukup, saat sekarang kita tahu isu perampokan lahan, land grab itu terjadi dimana-mana. Sementara orang kota membutuhkan pangan dari orang kampung, lingkungan mereka di kota itu akan sehat jika kampung itu sehat, di kawasan huni. Dengan cara itu menurut saya, dengan membangun kesadaran bahwa mempertahankan lahan di kampung itu juga menjaga kehidupan perempuan di kota. Saya rasa itu jadi hal yang penting, membangun solidaritas. JP: Kembali ke soal siasat perempuan yang di hulu tadi, bisa diceritakan bagaimana proses mereka membangun siasat ketika berhadapan dengan perusahaan? SM: Ada beragam ya, misalnya seperti yang saya bilang di PLTU Batang itu, perempuan mengorganisir diri, mereka menguatkan. Jadi menurut saya perjuangan perempuan itu sangat filosofis karena kemudian mereka mengkontraskan antara penghancuran dengan menanam. Jadi menanam itu bagian untuk melawan. Seperti perempuan di Batang, di Roban misalnya, mereka bisa dibilang nggak punya lahan sebenarnya, tapi yang mereka lakukan bagaimana membuat program bersama untuk menanam sayuran karena mereka biasanya membeli sayuran. Tapi itu hanya perantara untuk mengorganisir lebih lanjut seperti yang saya bilang tabungan rendeng itu. Jadi hal-hal yang kecil tapi punya efek besar, itu pertama. Yang kedua, memang mereka memimpin, seperti yang dilakukan oleh Aleta Baun misalnya di Molo, yang kemudian bagaimana ada kesadaran bahwa alam itu adalah tubuh perempuan dan tulang yang akan dihancurkan karena mereka menghancurkan gunung batu yang mengandung marmer kelas satu itu. Itu yang akan dihancurkan, jadi mereka memperjuangkan itu, dengan kemudian menghangatkan lagi, membangkitkan lagi wacana-wacana bagaimana relasi alam dengan tubuh manusia. Sehingga memahami alam adalah tubuh, yang kemudian itu menjadi tutur yang dibicarakan banyak orang. Termasuk perjuangan identitas, karena nama kedua orang Molo itu mereka dapat dari kegiatan di sekitar batu. Misalnya Baun, Baun itu saya lupa, kalau nggak salah penyumpit kelelawar. Nama itu didapat dari sekitar batu, sehingga kalau batu itu hilang, nggak ada lagi Aleta Baun, yang ada cuma Aleta. Nah identitas ini yang kemudian menjadikan mereka bangkit, bahwa mereka terhubung dengan itu, kalau itu tidak diselamatkan, maka itu akan pergi, ada hal-hal seperti itu. Ada yang lain yang mereka survive menarik misalnya di Kertabuana. Kertabuana ini satu desa di kalimantan Timur, transmigran. Ini terkait dengan filosofi orang Bali dimana semua kawasan adalah bagaimana mereka berhubungan dengan pencipta. Termasuk sawah ada Dewi Sri dan mereka punya tempat sembahyang di sana. Dan mereka bikin Pura-Pura sederhana sampai yang bareng-bareng, besar dan mahal. Sehingga saat perusahaan mau beli, mau mengalih fungsi kawasan itu, siasat mereka adalah, “Berani nggak beli lahan gua, satu milyar lho”, misalnya untuk pura, itu salah satu siasat yang juga dilakukan. Tapi perempuan di sini, pimpinannya perempuan, dia tidak mau misalnya dia bilang saya nggak bisalah mimpin demo, saya kan tetua di sini, tapi yang dia lakukan misalnya adalah ketika anak-anak muda datang pada dia untuk minta petunjuk, disitulah dia bicara tentang bagaimana peran Pura itu. Dalam budaya Bali, dalam Hindu, pada saat upacara-upacara penting, perempuan yang menyiapkan sesaji, dimana seluruh sesaji itu mereka biasanya tidak beli karena mereka dapatkan dari kebun. Nah relasi perempuan menyiapkan sesaji, dan itu diambil dari kebun, itu sebuah ikatan yang tidak boleh dihancurkan. Kalau kebun-kebun mereka hilang, bagaimana. Itu yang terjadi. Tetapi tentu tergantung kepada, apa ya, serangan. Yang terjadi sekarang kan pemerintah tidak ada, jadi perempuanperempuan itu berhadap-hadapan langsung. Survive-nya juga beragam dan saya tidak meletakkan ini sebagai kondisi yang kalah karena kemudian perempuan sebenarnya memilih untuk berjuang. Seperti bagaimana mereka kemudian terpaksa juga bekerja informal di kawasan sekitar tambang saat lahan-lahan mereka sudah nggak produktif. Berbagai caralah mereka lakukan. Tapi memang karena mereka hidup di kondisi yang patriarkis, kadang perlu diberi contoh, cerita tentang perempuan di tempat lain yang melawan misalnya. Sehingga buat mereka, o..begitu ya, o..bisa ya melakukan itu, sehingga kenapa solidaritas itu penting sekali. Tutur satu sama lain itu menjadi kekuatan diantara perempuan karena mereka sebenarnya sangat mudah belajar satu sama lain. Itu seperti sudah alamilah bagaimana mereka saling menceritakan. Tutur itu menjadi salah satu, menurut saya, senjata penting perempuan untuk saling memperkuat perjuangan. Terutama karena perempuan juga berperan dalam konteks reproduksi sosial, menularkan ingatan-ingatan sosial kepada anaknya, hal-hal seperti itu. JP: Kalau dari sisi korporat, apa upaya yang harus dilakukan agar produksi yang mereka lakukan lebih memperhatikan keberlanjutan ekosistem? SM: Perusahaan itu tidak ada yang mereka pakai prinsip sosial karena perusahaan memang pakai ilmu ekonomi ya, jadi modal serendahrendahnya dan laba sebesar-besarnya. Jadi saya tidak percaya bahwa perusahaan itu akan menggunakan fungsi sosialnya, seluruh fungsi sosial sebenarnya untuk memperbesar margin, memperbesar laba. Sehingga saya tidak percaya bagaimana misalnya perusahaan nanti bisa dengan baik hati punya inisiatif untuk melakukan. Karena kalau mereka tidak dikontrol oleh negara dan rakyat, maka itu tidak terjadi. Mereka akan berbuat semena-menanya, bagaimana mendapatkan penghasilan sebesar-besarnya. Sampai seperti saya bilang bagaimana mengamandemen kebijakan yang semula tidak boleh menambang dengan terbuka di kawasan lindung, mereka terabas. Sampai misalnya Samarinda, ibukota Kalimantan Timur, 71 persennya itu adalah kawasan tambang, bagaimana mungkin sebuah kawasan 71 persennya kawasan tambang, itu ibukota pula. Jadi mereka itu kayak panglima, yang mengontrol panglima siapa, seharusnya negara. Tapi saat negara tidak jalan, maka akhirnya tidak ada kontrol kepada perusahaan. Dan mereka tidak mau lho diregulasi, diregulasi dalam artian apakah perusahaan-perusahaan asing yang bekerja di sini dia juga harus mengikuti kewajiban di negaranya, nggak juga kan. Newmont misalnya, di Amerika dia tidak akan boleh membuang tailing ke laut begitu saja, di sini dia buang ke laut. Jadi kalau pertanyaannya bagaimana agar perusahaan beroperasi dengan bertanggung jawab ya negaranya harus kuat, penegakan hukumnya harus kuat, rakyatnya harus kuat. Saya nggak percaya perusahaan ini lama-lama baik hati, dsb, saya nggak percaya itu, termasuk bicara corporate social responsibility. JP: Jadi solidaritas itu penting lalu penguatan masyarakat sipil dan negara. Nah sekarang ini banyak bergulir konsep pembangunan berkelanjutan, pandangan anda bagaimana? SM: Dulu konsep pembangunan berkelanjutan lahir pada saat KTT Bumi 1992 terkait keprihatinan terhadap percepatan kerusakan yang kemudian ada kesepakatan negara-negara bagaimana melakukan upaya pembangunan berkelanjutan. Spiritnya bagus tapi kemudian kita tahu dia berubah dari waktu ke waktu karena pembangunan itu sendiri menjadi dimaknai berbeda. Infrastruktur yang merusak dianggap pembangunan. Pembangunan dianggap modernitas, sesuatu yang tradisional itu bukan pembangunan. Pembangunan itu pembangunan infrastruktur skala besar, pertambangan adalah pembangunan. Jadi yang terjadi kemudian, kapital membonceng pembangunan juga, dan diamini oleh banyak pihak termasuk negara, dsb. Yang kenapa kemudian misalnya pelaku-pelaku pertambangan juga mempromosikan sustainable mining, tambang itu berkelanjutan. Padahal dari faktanya dimananya yang berkelanjutan. Ada pertanyaan besar dan gugatan besar terhadap urusan pembangunan berkelanjutan, yang kalau kita hubungkan dengan model pembangunan yang selama ini terjadi kemudian punya masalah besar, yakni dampak perubahan iklim. Itu adalah efek dari model pembangunan pada masa revolusi industri yang terus berlangsung sampai sekarang. Modelnya tidak berubah, rakus lahan, air, energi, dan keragaman hayati. Sebenarnya perubahan iklim itu koreksi terhadap perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan yang sekarang sebenarnya tidak jalan juga. Itu warning sebenarnya untuk konteks itu. Sehingga pembangunan berkelanjutan menjadi jargon. Kita sudah nggak jelas lagi mana yang berkelanjutan mana yang enggak. Kalau menurut saya, kehidupan perempuan-perempuan di kampung itulah yang mudah kita lihat sebagai term berkelanjutan, karena mereka kalau kita bicara jejak ekologisnya, foot print-nya itu nggak jauh-jauh. Mereka nggak berbelanja sebanyak kita, mereka tidak bepergian sebanyak kita. Sebenarnya dari merekalah kita musti belajar. Itu yang saya lihat dari term pembangunan berkelanjutan yang kemudian menghasilkan turunan-turunan yang “green”. Belakangan sebutannya ekonomi hijau dsb. Kita tahu banyak juga yang membonceng urusan hijau ini, bahkan kita. Kita merasa kita bertanggung jawab saat kita misalnya membeli mobil hybrid yang itu hijau atau kulkas hijau. Dan kita nggak peduli bahwa kita menambah barang dan menambah barang itu menambah kerusakan di bumi. Itu saya memandang konteks pembangunan berkelanjutan yang jika kita kontraskan dengan filosofi orang Molo memandang alam itu tubuh perempuan, itu sebenarnya menjadi menipu ya term ini. Sehingga menurut saya penting kita mengoreksi urusan pembangunan berkelanjutan ini karena kemudian dia justru menjadi semacam tameng untuk benarbenar menjalankan komitmen. Contohnya kita tahu Amerika tidak pernah bersepakat menandatangani protokol Kyoto, Jepang kemudian mengundurkan diri termasuk Kanada dsb. “Hei kemana saja itu pembangunan berkelanjutan”. Atau kalau kita bicara pemerintahan SBY, dia bilang menurunkan emisi 26 persen, tapi izin tambangnya 11 ribuan. Pembangunan berkelanjutan punya banyak wajah, tapi wajah yang paling dirugikan itu adalah wajah perempuan di kampung dan di kota. JP: Dari pengalaman anda selama ini, lesson-learned apa yang bisa diambil dari komunitas-komunitas yang bisa melawan meski kondisi kerusakan terus terjadi? SM: Saya rasa keterkaitan identitas dengan tanah itu menjadi penting ya untuk selalu dipegang. Bagaimana mereka mengkomunikasikan terus nilai tanah itu tidak hanya sebuah lahan untuk ditanam, tetapi identitas, dia punya fungsi sosial, hal-hal seperti itu yang menguatkan mereka. Yang menghancurkan kemudian adalah materi, modernitas yang diperkenalkan oleh orang-orang kota bahwa mereka terbelakang, mereka tidak modern. Modern itu punya handphone atau pergi ke kota. Seolah seluruh urusan itu adalah kota begitu ya. Menurut saya penting sekali menghargai keragaman bahwa tiap orang itu punya fungsi masing-masing, termasuk memahami bahwa kita sendiri kan karena tidak bangga dengan keragaman kita sebagai perempuan sehingga apapun mau kita seragamkan, termasuk kulit putih, rambut lurus, dsb. Saya belajar bahwa tanah itu tidak bisa dipisahkan dari perempuan, tetapi solidaritas antara perempuan di kampung dan di kota perlu dibangun, sehingga center urusan kita nggak hanya di kota, solidaritas pun bisa kita bangun dengan perempuan di kampung dengan melihat konsumsi kita seperti apa, gaya hidup kita seperti apa. Yang kebalik malah kita mencekokkan gaya hidup kita ke mereka, sehingga mereka kesadarannya menjadi terkikis. Sehingga agar dianggap modern itu mereka bersikap seperti kita. Saya rasa itu pelajaran penting yang saya dapat, bagaimana sebenarnya yang menyelamatkan krisis sekarang itu adalah jika kita kembali kepada pemikiran filosofi tanah sebagai bagian tubuh perempuan dengan segala kekhasannya termasuk bagaimana relasirelasi sosial diantara masyarakat meletakkan itu. Sehingga tidak lagi muncul, kalau di kota kan dia sangat mendiskriminasi perempuan, seolah perempuan itu sesuatu yang harus dikekang, sesuatu yang memicu syahwat dsb. Kalau kita bandingkan bagaimana filosofi masyarakat di kampung melihat perempuan, itu sangat berlawanan dengan pikiranpikiran laki-laki di kota yang meletakkan tubuh perempuan itu sebagai obyek. Sementara orang di kampung meletakkan tubuh perempuan itu sebagai alam yang harus dilindungi dan nggak boleh dihancurkan. Dan asli lho mereka di kota itu tergantung sama pangan di kampung, sumber-sumber air di kampung, saya rasa sudah seharusnya kita mulai membuka cara pandang kita bahwa mereka di kota itu nggak hidup sendiri dan berhasil survive di kota. Mari belajar dari orang kampung saat mereka menyelamatkan pohon-pohon terutama perempuan. (Elisabeth Anita Dhewy Haryono & Naristi Aulia) [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2014 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, Vol. 19 No. 1, 2014 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Telah digelar diskusi bertema “Fundamentalisme” yang diselenggarakan oleh Kapal Perempuan di Gedung Sasana Pakarti, Aula Mawar, Jakarta Selatan. Dalam diskusi itu, Farha Ciciek, Direktur Eksternal Rahima, sebuah lembaga yang concern pada pendidikan hak-hak perempuan dan Islam mempresentasikan sudut pandang baru terhadap persoalan fundamentalisme. Ia memberi judul presentasinya, “Bersilaturahmi ke Ngruki: Potret Kebangkitan Perempuan Al Mukmin?” Farha Ciciek hendak berbicara seputar Pondok Pesantren al-Mu’min, Ngruki, Solo, Jawa Tengah yang akhir-akhir ini santer terdengar karena terbawa oleh nama Abu Bakar Ba’asyir. Sebagai pengasuh pondok pesantren, suami Aisyah Baradja ini dikaitkan pula dengan Jamaah Islamiyah, salah satu organisasi yang didakwa sebagai gembong terorisme di Asia Tenggara. Ogah masuk dalam pusaran wacana dominan yang serba bercadas, Ciciek mendekati Pondok Pesantren Al Mukmin dari sudut yang berbeda. Ia mengetengahkan pendekatan a view from within, yaitu melihat perspektif pesantren Ngruki dari diri mereka sendiri, terutama dari suara kaum perempuannya. Menurutnya, selama ini yang ditampilkan media massa adalah melulu wajah maskulin pesantren Ngruki. Berita dan berbagai analisis yang mengemuka terlampau terkonsentrasi pada sisi politis dan jagad para lelaki yang serba “sangar”. Belum tampak pemberitaan atau informasi yang secara serius berupaya mengungkapkan “kedalaman” masalah yang menyangkut “anggota lain” yang ada di dalam dan seputar pesantren tersebut. Salah satunya adalah kaum perempuannya. Mereka adalah santri-putri, para ustazah, karyawati, dan keluarga atau kerabat pengelola pesantren. Eksistensi kelompok perempuan ini sering dilewatkan begitu saja. Ini memang sebuah kelaziman di dunia yang menghamba kepada patriarki. Perempuan selalu dianggap tiada. Karena inilah Farha Ciciek terdorong untuk kembali ke pesantren Ngruki untuk menyimak dunia dan wicara perempuan. Sebenarnya komunitas ini bukan sesuatu yang baru bagi perempuan yang pernah belajar filsafat di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga ini. Pada tahun 1994, Farha Ciciek telah membuat penelitian untuk tesis S2-nya di sana. “Waktu itu pesantren Ngruki sudah dinilai mengerikan,” katanya. Farha Ciciek kemudian bercerita bahwa pengalamannya di pesantren ini mengajarkannya untuk lebih memahami akan “yang lain”. “Saya menempati rumah yang sangat sederhana di lingkungan pesantren. Mengamati kehidupan warganya dari dekat dan berbicara heart to heart dengan mereka.” Di rumah itulah banyak pengalaman yang Ciciek dapatkan dan pemahaman tentang berbagai sisi komunitas ini, terutama kehidupan santri putrinya. Mereka memiliki pendapat sendiri tentang isu terorisme, jihad, Inul, valentine’s day, Keluarga Berencana, kepemimpinan sampai masa depan macam apa yang didambakan. Dari pesantren yang dinilai masyarakat berhaluan radikal tersebut, pertanyaan besar yang menggelayut di kepala dosen ISIP Universitas Nasional ini mulai menemukantitikterang. Pertanyaanyangsebenarnyamulai klasik, “Mengapabegitu banyak perempuan tertarik dan kerasan di dunia fundamentalis, padahal mereka diposisikan sebagai subordinat lelaki?” Fatima Mernissi benar ketika memberi nasihat kepada aktivis perempuan untuk banyak belajar dari fundamentalisme jika ingin memperluas pengaruhnya ke tengah masa rakyat. “Fundamentalisme itu sangat populis, sedang banyak kelompok feminis yang cenderung elitis,” tambahnya. Babak baru Pesantren Al Mukmin Ngruki datang bersama muncul dan merebaknya upaya formalisasi syariat Islam. Jika bagi sementara perempuan, upaya ini merupakan ancaman terhadap kehidupan mereka, perempuan di Ngruki memaknainya secara berbeda. Ambil contoh, santri-putri yang selama ini hampir seluruh kehidupannya berada di dalam tembok pesantren. Mereka kini bisa lebih banyak keluar karena didorong oleh berbagai event sosialisasi syariat yang mereka ikuti. “Enak, lho, Mbak. Kita bisa mejeng, ikut pawai, lihat dan ketemu selebriti, dan bisa cuci mata alias ngelirik cowok-cowok,” kata mereka dengan gaya umumnya anak remaja. Demikianlah Farha Ciciek menceritakan beberapa potong pengalaman silaturahminya ke Ngruki. Ia memiliki jawaban yang berbeda dengan aktivis Islam lainnya ketika ditanya tentang isu perempuan dan fundamentalisme. Ciciek tidak melihat dari sudut pandang “perempuan sebagai korban” fundamentalisme, tetapi perempuan yang dalam kondisi seburuk apa pun, dapat bertahan dengan strateginya masing-masing. “Saya terinspirasi dari pengalaman seorang antropolog bernama Laila Abu Lughot. Ia membalik sebuah pernyataan yang tadinya berbunyi, ‘Di mana ada kekuasaan, di situ ada perlawanan’ menjadi ‘Di mana ada perlawanan, sebenarnya di situ ada kekuatan’. Dengan cara seperti ini, Laila mencoba mengungkap kekuatan kelompok-kelompok yang dipinggirkan, mengurai relasi kuasa dalam cara pandang yang berbeda. Cara pandang yang memberi kans bagi pemberdayaan kelompok yang dimarginalkan. Satu di antaranya kaum perempuan, di mana pun mereka berada.” Untuk lebih lengkapnya, berikut petikan wawancara jurnalis Jurnal Perempuan, Mariana Amiruddin, dengan Farha Ciciek, Direktur Eksternal Rahima, Pusat Pendidikan Hak-Hak Perempuan dan Islam[1]. Jurnal Perempuan (JP): Ada apa dengan isu fundamentalisme? Farkha Ciciek (FC): Kita semua maThum bahwa saat ini fundamentalisme telah menjadi isu global. Fundamentalisme hampir selalu dikaitkan dengan banyak petaka di dunia ini, terutama tragedi WTC. Uniknya, meskipun banyak jenis fundamentalisme, baik agama maupun sekuler, dunia saat ini tengah memberi perhatian ekstra terhadap fundamentalisme Islam. JP: Lalu mengapa fokus isunya adalah fundamentalisme agama, terutama Islam? FC: Menurut hemat saya, salah satu alasannya karena banyak kalangan yang terperangah melihat muncul dan menguatnya kekuatan-kekuatan agama. Padahal, sebelumnya ada kepercayaan bahwa sekularisme akan menghapus agama-agama. Memang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, seiring dengan muncul dan berkembangnya berbagai jenis krisis, revivalisme (kebangkitan) agama-agama telah merebak di berbagai belahan dunia sebagai respons terhadap serangkaian krisis tersebut. Hampir semua agama besar, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, maupun Islam telah memperlihatkan dinamika revivalitas di kalangan penganutnya. Seperti halnya Islam, beberapa pengamat berpendapat bahwa gejala revivalisme ini memang jauh lebih kuat muncul di dalamnya dibandingkan penganut agama lainnya. Gejala revivalisme Islam ini muncul dalam bentuk intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Ada kalanya revivalisme hanya mengambil bentuk intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward oriented) dan karena itu lebih sering bersifat individual (psikologis). Namun, di lain sisi (pada kasus-kasus radikalisme Islam, misalnya), intensifikasi itu juga diarahkan ke luar (outward oriented) sehingga lebih bersifat sosial, bahkan politis. JP: Lalu, apa sebenarnya fundamentalisme itu sendiri? FC: Saya membaca fundamentalisme sebagai sebuah respons terhadap adanya berbagai krisis yang dialami oleh berbagai komunitas, termasuk kaum Muslim. Hal ini sangat terkait dengan goyahnya tradisi kehidupan sosial mereka sehari-hari, baik pada level ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Dan, tidak diragukan lagi, semua ini berhubungan dengan konteks pencarian posisi dalam pergumulannya dengan dominasi kebudayaan modern. Dalam banyak segi, fundamentalisme masih dalam perdebatan, termasuk definisinya. Dalam konteks Islam, ada pihak-pihak yang menolak menggunakan istilah tersebut karena dianggap tidak tepat jika ditilik dari konteks historis maupun politisnya. JP: Wacana fundamentalisme pada perkembangannya sering berbicara antara teks dan konteks. Fundamentalis kemudian identik dengan penafsiran yang literal, sedangkan pandangan kontekstual mungkin dianggap lebih moderat. Apakah memang demikian? FC: Dalam sejarah, teks sering dipakai sebagai alat politik. Siapa pun bisa menggunakan teks untuk merealisasikan tujuan-tujuan politiknya. Dalam pentas politik, semua ragam penafsiran, baik yang literal maupun kontekstual, digunakan. Meskipun demikian, memang ada yang berpendapat bahwa ragam penafsiranyangtekstual lebih merugikan kelompok-kelompok yang dilemahkan di dalam masyarakat, seperti perempuan, orang miskin, dan minoritas. Dalam hal ini, penting untuk menyimak apa yang dikemukakan oleh Aminah Wadud Muhsin, seorang teolog feminis Islam. Ia mengatakan bahwa sebenarnya yang menjadi masalah penafsiran bukan pada teksnya, melainkan pada pra-teks sebagai kerangka yang mendasari dan memberi arah pada teks. Pra-teks dapat berupa ideologi, asumsi, maupun perspektif. Itulah sebabnya mengapa satu ayat dapat ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai kalangan. JP: Apa dampak fundamentalisme yang terlanjur menjadi stigma tersebut terhadap perempuan? FC: Pandangan yang sudah tersebar di seluruh dunia adalah bahwa fundamentalisme membuat perempuan takluk dan tak berdaya. Tetapi, pada umumnya ini pandangan dari luar. Perempuan-perempuan fundamentalis secara relatif merasakan hal yang lain. Mereka merasa fundamentalisme menguntungkan hingga tetap bertahan di sana. Keuntungan itu bisa bersifat ekonomis, sosial, atau politik. Ambil contoh, beberapa alumni pondok Ngruki. Mereka merasa bekal dari pondok sangat bermanfaat. Karena dibekali dengan skill sebagai mubaligah, mereka kini “berstatus” dan dihormati masyarakat. Mereka juga terhindar dari petaka kemiskinan dan kerja kasar seperti yang mereka lihat terjadi di sekeliling mereka. Beberapa tetangga sekampung bahkan terkena musibah disiksa dan ada yang diperkosa ketika mereka mengadu nasib sebagai TKW atau PRT. Mereka bersyukur tidak bernasib seperti itu. Inilah salah satu pesona fundamentalisme ala Ngruki. Bagi perempuan di dalamnya (kebanyakan perempuan kelas bawah), fundamentalisme tidak saja memberikan uang, tetapi juga martabat, kehormatan, rasa aman, dan kepastian status eskatologis di dalam dunia yang insecure saat ini. Dalam hal ini, saya mengafirmasi pendapat Dr. Farish Noor dari Malaysia bahwa fundamentalisme mempunyai doktrin tentang salvation (keselamatan) yang mantap. Inilah yang mempesona banyak orang. Hal ini belum sepenuhnya dimiliki oleh kelompok Islam “pluralis”, misalnya. JP: Pandangan bahwa di mana pun dan apa pun bentuknya, perempuan bisa melakukan resistansi sekalipun dalam sistem yang mengekang dia. Bisa diceritakan sedikit pengalaman Anda di Pondok Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah dan apa pesan yang bisa diambil? FC: Belajar dari pengalaman kesakitan dan penderitaan, perempuan Ngruki menyusun langkah strategis guna memperbaiki kondisi dan posisi mereka di dalam kelompok. Meskipun mereka telah dilemahkan oleh penafsiran yang male bias, mereka tidak menyerah begitu saja. Dengan strategi mendiamkan teks dan mengedepankan kiat-kiat yang bersifat sosiologis, mereka berupaya untuk hidup lebih baik dalam lingkungan yang tidak selalu berpihak pada kepentingan mereka. Menurut saya, ini taktik yang luar biasa mengingat kedudukan sentral teks dalam kelompok ini. Ternyata, kaumperempuannya bisa bergerak meninggalkan teks, sumber legitimasi. Hal lain yang menarik adalah penggunaan solidaritas (sisterhood) sebagai salah satu kekuatan perjuangan yang andal. JP: Soal sisterhood bisa sedikit diceritakan? FC: Kasus TPA (Tempat Penitipan Anak) di pondok merupakan contoh. Sejak lama ada tuntutan dari kaum perempuan, terutama ustazah (guru-perempuan) agar pondok mendirikan TPA guna membantu meringankan beban reproduksi mereka. Namun, tampaknyapondok tidak bisa memenuhi sepenuhnyatuntutan tersebut. Pada titik inilah, kaum perempuan bergerak. Mereka membangun TPA dengan fasilitas sederhana. Pendanaannya dihimpun dari sumbangan para ustazah, baik yang sudah maupun yang belum menikah, padahal pada umumnya hidup mereka pas-pasan, bahkan boleh dibilang kekurangan. Tapi, demi kecintaan mereka kepada para saudari (sister), mereka rela berkorban. Solidaritas ini tampaknya sangat membantu meringankan beban komunitas perempuan, terutama mereka yang sudah menikah. Hal ini mungkin dilakukan karena keleluasaan perempuan untuk menggunakan uang hasil keringat sendiri. Semua itu berangkat dari kepercayaan bahwa uang hasil kerja perempuan sepenuhnya dapat digunakan untuk apa saja sesuai kehendaknya. JP: Ada lagi lesson learn yang diambil dari kehidupan perempuan di pesantren Ngruki? FC: Umumnya perempuan fundamentalis digambarkan sebagai sosok yang pasrah, taat, takluk, powerless, bila berhadapan dengan para patriach, baik di dalam kelompok mereka sendiri maupun kelompok-kelompok yang dominan di luar. Dikesankan bahwa mereka tidak punya bargaining power dengan pihak lain. Pengalaman saya tampaknya tidak sepenuhnya sesuai dengan opini yang kini populer itu. Karena ternyata, mereka mempunyai kontribusi yang signifikan. Mereka cukup berdaya dan telah memberi perlawanan dengan mengoreksi unsur-unsur patriarki tertentu yang bersemayam di dalam tubuh fundamentalisme. (Mariana Amiruddin) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2004 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 32, 2004 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya pada hari Selasa malam, 10 Januari 2006 menjadi waktu yang paling luang bagi Sjamsiah Achmad dari sekian waktu yang dipadati oleh kesibukannya. Melalui percakapan dalam telepon, Sjamsiah Achmad sangat bersemangat untuk meluangkan waktunya meski hari itu bertepatan dengan peringatan Hari Raya Idul Adha. “Selasa malam Anda tidak keberatan, kan, datang ke rumah saya?” begitu tanya Sjamsiah. “Saya menanyakan pada Anda karena saya takut menganggu waktu Anda di hari lebaran,” katanya lagi. Di usia 73 tahun pada Maret 2006 silam, agenda kerja Sjamsiah Achmad bukannya berkurang, justru semakin padat[1]. Pada bulan Januarinya, beliau harus ke Denpasar, Bali dan hari itu juga harus kembali ke Jakarta untuk melaksanakan kewajibannya di beberapa kegiatan. Baru beberapa hari di Jakarta, ia kemudian harus bertolak ke Tokyo, Jepang. Ia sedang tidak melakukan perjalanan wisata, tetapi perjalanan kemanusiaan yang terus ia suarakan, khususnya keadilan bagi perempuan. Saat saya tiba di kediamannya di komplek LIPI Taman Widya Candra, Jakarta Selatan, rumah beliau tidak tampak seperti rumah di sebuah kawasan yang dikenal sebagai perumahan para menteri. Saya menemui beliau di ruang tamu dengan sebuah kipas angin sederhana yang lumayan menghilangkan udara panas hari itu. Saya melihat sekeliling dan di ruangan itu saya terpaku pada foto-foto yang dipajang. Tampak salah satu foto, Sjamsiah memegang sebuah tropi penghargaan sebagai perempuan berbusana terbaik. “Saya dinilai sebagai orang yang selalu memakai busana baik, menggunakan pakaian dengan bahan-bahan tradisional Indonesia. Saya tidak menyangka apa yang saya kenakan diperhatikan orang,” ujar Sjamsiah tertawa di usianya yang lebih dari setengah baya. Sementara itu, foto lainnya menampakkan Sjamsiah sedang berjabat tangan dengan Hilary Clinton ketika berkunjung ke Indonesia. “Mengapa Anda memilih saya untuk diwawancara?” tanya Sjamsiah mengawali pembicaraan. “Tema Jurnal Perempuan kali ini tentang konvensi internasional yang berkaitan dengan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan atau CEDAW. Perjuangan melaksanakan konvensi tersebut tentu tidak lepas dari proses keterlibatan perempuan sehingga konvensi ini ikut diratifikasi oleh negara kita. Maka, sulit membiarkan seorang ibu yang banyak orang bilang mempunyai komitmen kuat terhadap pelaksanaan CEDAW di Indonesia. Itulah alasan kami melakukan wawancara,” jawab saya. Perempuan Sulawesi yang Menapak Dunia Tanggal 10 Maret 2006, Sjamsiah Achmad tepat berusia 73 tahun, tentu bukan usia muda lagi untuk seorang aktivis dengan segudang kegiatan. Kita tentu dapat membayangkan bagaimana di usianya yang muda dulu ketika Indonesia masih dalam kondisi revolusi dan membiasakan kemerdekaan dengan tuntutan pembangunan di sana-sini, ia menapaki perjuangan hak-hak perempuan di tingkat nasional, bahkan sampai ke tingkat internasional. Bagi saya mungkin saja jika sampai saat ini Sjamsiah Achmad masih terlihat energik dan tangkas. Perempuan kelahiran Sengkang, Sulawesi Selatan pada 1933 ini adalah anak keempat dari sembilan bersaudara dengan dua orang ibu. Ia tujuh bersaudara kandung dengan ibu pertama dan bertambah lagi dua saudara dari ibu tiri. Ayahnya adalah pensiunan kepala kejaksaan negeri Kabupaten Sengkang, Sulawesi Selatan. “Saya kasihan dengan mendiang ibu saya. Tampaknya waktu itu tidak ada perhatian soal kesehatan reproduksi. Hampir setiap tahun melahirkan, bahkan sampai beberapa tahun tidak mendapat menstruasi. Ia meninggal setelah kelahiran adik saya yang ketujuh,” kenang Sjamsiah. Jika sekarang Sjamsiah menjadi seorang peneliti, mungkin bukanlah pekerjaan yang dicita-citakan karena waktu kecil Sjamsiah ingin menjadi seorang dokter, tetapi karena yang ada asramanya adalah sekolah guru, maka mau tidak mau Sjamsiah mesti mengikuti pendidikan guru. “Zaman dulu ketat sekali, kita tidak dapat sembarangan sekolah, apalagi waktu itu zaman perang. Saya masuk ke sekolah guru dan lulus tahun 1952.” Selepas sekolah guru, awalnya Sjamsiah ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, namun ada larangan dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikan dengan alasan bahwa usai perang negara sangat kekurangan guru. Tetapi, pemerintah berjanji akan memperbolehkan sekolah lagi jika telah mengajar selama dua tahun dengan syarat lulus di peringkat 1—3. Sjamsiah kebetulan memenuhi syarat itu sehingga setelah dua tahun mengajar pada 1954, ia menagih janji kepada pemerintah untuk diperbolehkan sekolah. Untuk mengurus kebutuhan pendidikan ini, ia harus bolak-balik ke Jakarta karena ada perubahan pola pemerintahan. Setelah tiga bulan lamanya mengurus surat-surat, akhirnya ia pindah ke Jakarta dan mulai melanjutkan sekolah. Pada waktu itu, Sjamsiah ternyata masih memiliki kewajiban untuk mengajar lagi. “Pagi saya sekolah dan sore mengajar, begitu terus saya sampai tidak merasakan letih,” ungkapnya. Berkat kerja kerasnya, akhirnya ia melanjutkan kuliah di Diploma 1 Pendidikan, waktu itu namanya Sekolah Khusus Pendidikan. Setelah tamat diploma, ia melanjutkan ke UKI (Universitas Kristen Indonesia) mengambil Jurusan Pedagogi Fakultas Sastra dan Filsafat hingga berhasil menyelesaikan sarjana muda. “Setelah lulus, oleh almarhum Prof. Simanjuntak, mantan rektor IKIP (sekarang Universitas Negeri Jakarta), saya dan dua teman diminta kerja sama dengan beliau untuk membentuk unit riset Departemen Pendidikan Nasional. Unit riset ini berada di bawah Jawatan Pendidikan Umum, sekarang namanya badan Litbang Diknas. Waktu itu kita dirikan pada tahun 1956,” ujar Sjamsiah. Di unit riset baru tersebut, Sjamsiah mulai terus melakukan pengembangan dan penelitian tentang dunia pendidikan. Ia, misalnya, melakukan riset tentang bagaimana membaca dengan metode keluar sekolah. Adapun percobaannya dilakukan di Tapak Siring, Bali. Setelah hampir empat tahun menjadi peneliti, pada 1960 Sjamsiah mendapat kesempatan untuk meraih Master of Elementery Schooll Supervision di New York University, New York City, USA. Studi di AS ini terbilang singkat, di sana Sjamsiah benar-benar konsentrasi penuh. Pada 1962, Sjamsiah sudah berhasil meraih gelar master. “Master yang saya raih cepat karena di sana saya hanya kuliah saja. Kalau di Indonesia, ya kuliah, ya riset, sambil mengajar.” Sebetulnya, begitu Sjamsiah berhasil menyelesaikan studinya, ia langsung ditawari untuk mengambil Ph.D oleh profesornya. Tawaran itu ditolak meskipun profesornya memberi garansi dua tahun untuk dapat selesai. “Saya bilang tidak, saya sudah diberi kesempatan banyak oleh bangsa lain dan sekarang rakyat Indonesia sedang membutuhkan saya. Saya ingin mengabdi untuk rakyat Indonesia,” katanya. Sebelum balik ke Indonesia, beruntung Sjamsiah masih sempat mampir selama tiga bulan di Inggris atas undangan British Council untuk melihat sistem pendidikan yang dikembangkan di Inggris. Setelah balik ke Indonesia, Sjamsiah kembali bekerja di unit riset yang ia bangun dan semakin berkembang. Satu tahun saja ia bekerja di sana karena kemudian ia dipindahkan ke Departemen Urusan Riset Nasional pada 1963. Namun demikian, baru satu tahun juga bekerja, Sjamsiah sudah harus pindah lagi ke Moskow, menjadi sekretaris pribadi Duta Besar RI di Moskow. Tujuan utama di Moskow, selain bekerja, Sjamsiah juga harus menjalani perawatan karena sebelumnya ia mengalami kecelakaan. Pakaian yang ia kenakan terbakar api dari spirtus yang ia gunakan sebagai pemanas makanan. “Sejak kejadian itu, saya cuti di luar tanggungan negara. Ke Moskow juga dalam rangka berobat. Selama tiga tahun di sana, saya belajar bahasa Rusia dan politik. Saya baca semua buku-buku politik dan saya selalu memberi masukan ke duta besar yang telah membantu saya,” ujar Sjamsiah. Ketika kembali ke Indonesia, ternyata Departeman Riset Nasional tidak ada lagi, diganti menjadi Lembaga Riset Nasional, dan setahun kemudian berubah menjadi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). “Saya bekerja sejak LIPI berdiri. Saya menjadi kepala Biro Hubungan Internasional pada tahun 1967 sampai dengan tahun 1978.” Karir Sjamsiah terus melejit. Setelah sebelas tahun di LIPI, ia ditawari bekerja di PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) oleh pemerintah RI. Tadinya Sjamsiah hanya dikontrak selama tiga bulan, tetapi kemudian diperpanjang menjadi satu tahun, sampai akhirnya diperpanjang lagi menjadi sebelas tahun. Di lembaga PBB ini, Sjamsiah bekerja di OThce for Science and Technology United National, New York. Setelah dua tahun, ia pindah ke bagian Non-Governmental Organizations (NGO) Unit, OThce of The Under Secretary General (1982—1983). Berikutnya, pada tahun 1983 Sjamsiah mendapat tugas ke Wina, Austria sebagai program officer di Branch for the Advancement of Women, Center for Social Development and Humanitarian Affairs UNOV (United Nations OThce Vienua), yaitu sejak tahun 1986—1988. Selama periode 1983—1988 ini, ia sangat terlibat dalam persiapan dan penyusunan tiga dokumen utama Konverensi Dunia Ketiga tentang perempuan tahun 1985, yaitu “Review and Appraisal” Dasawarsa PBB untuk perempuan. Ia terpilih sebagai ketua tim untuk Strategi Berwawasan Ke Depan bagi Kemajuan Perempuan, Survei Dunia I tentang Wanita dalam Pembangunan, serta Rencana Jangka Menengah antar Badan-Badan PBB bagi Kemajuan Perempuan. “Sebenarnya, pada waktu itu saya tidak tahu tentang women. Tetapi, untungnya sejak saya di PBB sampai tahun 1980, setiap konferensi dunia, sekjen membuat pidato dan kebetulan saya menjadi tim penulis pidatonya. Saya lalu banyak mendengarkan, apa itu women,” ujar Sjamsiah. “Nah, untungnya lagi, waktu itu NGO perempuan di NewYork sudah besar, jadi setiap sabtu saat NGO rapat, terutama pada saat menjelang konferensi. Saya terpanggil ingin tahu, jadi ikut saja di situ mendengarkan mereka. Setelah itu, saya mengerti, women yang dimaksud di sini adalah perjuangan atau gerakan perempuan untuk mendapatkan hak- haknya.” Sejak itu, aktivitas Sjamsiah terus berlanjut. Sejak ditugaskan di Wina, ia bertekad bulat untuk memperjuangkan perempuan Indonesia yang kondisinya ia ketahui. Ialalu dipercaya oleh United Nation (PBB) untuk kembali menjabat sebagai Komite CEDAW yang terdiri dari 24 perwakilan negara yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW. Sjamsiah Achmad adalah generasi ketiga yang diangkat menjadi Komite CEDAW di PBB. Pertama kali yang ditunjuk adalah (almh.) Ibu Sukarman. Namun, beliau belum sempat datang karena meninggal dunia akibat kecelakaan. Selanjutnya, diganti dengan Prof. Pujiwati Sayogyo dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Setelah itu, periode berikutnya adalah Sunaryati Hartono, mantan kepala BPHN, sekarang wakil ketua Ombusdman, barulah kemudian Sjamsiah Achmad pada tahun 2001—2004. Saat ini, selain menjadi Penasihat Gender dan Iptek di LIPI, Sjamsiah juga menjadi anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Bahkan, di usianya yang kepala tujuh ini, ia diangkat menjadi anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste yang di angkat oleh Presiden SBY dan Presiden Xanana Gusmao. Pengawal CEDAW, Pengawal Keadilan Perempuan “Sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW, tanggung jawab ini seharusnya benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak, khususnya eksekutif, legislatif, yudikatif, media, NGO, dan setiap individu,” ujar Sjamsiah. Itulah sebabnya Sjamsiah Achmad kelihatan tidak mau berhenti mengawal CEDAW untuk dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia. Sampai sekarang, ia terus memantau perkembangan CEDAW meskipun tidak lagi aktif di Komite CEDAW. Menurut Sjamsiah, meskipun sudah ada beberapa kemajuan perempuan di Indonesia, namun CEDAW secara substansi belum dapat dikatakan berjalan dengan baik. Menurutnya, masih banyak terjadi ketidakadilan terhadap perempuan di Indonesia. Ketidakadilan ini disebabkan oleh beberapa hal, di samping kultur masyarakat, peran negara untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan juga belum sepenuhnya dilakukan, bahkan dipahami. Indonesia, menurut Sjamsiah, sebenarnya tidak terlalu terpanggil untuk bicara soal hak asasi manusia. “Pak Harto (Soeharto, pemimpin Orde Baru) baru bicara persoalan ini sekitar tahun 1990, mendekati turunnya dari jabatan presiden. Sejak itulah, kita baru membentuk Komnas HAM dan sebagainya. Menjelang Viena tahun 1993, baru Indonesia bicara soal hak asasi manusia karena tidak mungkin kalau tidak bicara,” ujar Sjamsiah. CEDAW diakui oleh Sjamsiah sampai kini belum banyak diketahui oleh masyarakat luas, khususnya aparat penegak hukum dan pemerintah yang membuat kebijakan. “Jangankan masyarakat luas, aparat penegak hukum dan aparatur pemerintah saja sampai sekarang masih banyak yang tidak mengerti apa itu CEDAW,” katanya lagi. Menurut Sjamsiah, hal ini karena sosialisasi keberadaan CEDAW masih sangat minim, padahal CEDAW sudah berumur lebih dari 20 tahun sejak diratifikasi pertama kali di tahun 1984. “Banyak tanggung jawab negara yang masih belum dilaksanakan. Harmonisasi hukum masih segudang yang belum kita lakukan. Peradilan yang kompeten juga belum bisa kita ciptakan. Tidak hanya peradilan dengan standar yang ada, tetapi juga peradilan yang berperspektif gender.” Sjamsiah menyesalkan tidak tersosialisasinya CEDAW dengan baik, padahal CEDAW memberi banyak pengertian tentang bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Menurut Sjamsiah, selama ini upaya pemberdayaan perempuan sering ditentang oleh masyarakat. “Misalkan saja soal kuota perempuan 30%. Masyarakat masih banyak yang tidak paham soal kuota perempuan. Kuota perempuan masih dianggap sebagai tindakan meminta belas kasihan, ini, kan, keliru besar,” cetusnya. “Kenapa 30%? Itu juga sudah menjadi ketentuan internasional secara minimal untuk mempengaruhi kualitas kebijakan publik. Jadi, bukannya meminta-minta, tetapi itu memang hak perempuan. Dan, yang lebih penting lagi, bahwa itu sifatnya temporary, tidak permanen,” katanya lagi. Menurut Sjamsiah, hal yang paling penting di CEDAW adalah prinsipnya yang nondiskriminasi. Jika terjadi pembedaan perempuan dan berakibat pada kerugian perempuan tersebut, maka ini sudah termasuk diskriminasi. Di dalan konvensi CEDAW sudah diatur secara detail, bahkan sudah sangat jelas mana yang temporary action dan mana yang permanent action. “Masalah pendidikan, misalnya. Data menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak perempuan cukup rendah dibandingkan dengan anak laki-laki. Nah, upaya untuk mengejar ketertinggalan pendidikan anak perempuan inilah yang dimaksud sebagai upaya temporary action. Misalkan, memberi beasiswa untuk perempuan, itu sifatnya benar-benar temporary action yang harus dihapuskan bila persamaan sudah mulai terbangun,” katanya. Belum berjalannya CEDAW secara baik di Indonesia bukan berarti Indonesia tidak melaksanakannya sama sekali. Digunakannya CEDAW sebagai dasar hukum sejumlah kebijakan adalah indikator yang dapat diacungi jempol karena dengan demikian, CEDAW diperhatikan keberadaannya. Sjamsiah memaklumi kesulitan pelaksanaan ini yang berkaitan dengan persoalan kultur budaya dan agama di Indonesia sebagai kendala yang paling berat bagi pelaksanaan CEDAW. Masyarakat masih belum bisa melihat bahwa budaya, sebagai ciptaan manusia, dapat diubah dan berkembang sesuai konteks zamannya. Tidak banyak perubahan pada kultur budaya dan perilaku masyarakat ini juga terjadi pada aspek pembedaan gender (sengaja dibedakan antara perempuan dan laki-laki atau diskriminatif terhadap perempuan) dalam masyarakat. Pembedaan gender sebagai bentuk konstruksi masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang memang sudah demikian adanya. Masyarakat masih belum mau melakukan perubahan-perubahan secara mendasar dengan alasan akan mengubah struktur kehidupan, ditambah lagi dengan konservatisme agama yang semakin menyudutkan perempuan dalam masyarakat. “Bukti nyata dari semua ini adalah masih berlakunya UU Perkawinan Tahun 1974 yang menempatkan perempuan sebagai orang nomor dua. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa laki-laki yang mencari nafkah, perempuan mengurus rumah tangga. Seharusnya ketentuan ini diubah karena merugikan dan tidak memberi keadilan bagi perempuan,” katanya lagi. “Di masa depan, saya hanya berharap pemerintah membuat sistem kelembagaan yang akan menangani masalah HAM, dalam arti pelaksanaan, sehingga kita bisa menjamin dua hal. Pertama, memberi keadilan kepada orang yang dilanggar HAM-nya; kedua, memberi keadilan pula kepada pelaku yang harus dibawa ke pengadilan.” Dedikasi Sjamsiah bagi perjuangan hak asasi manusia, khususnya keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia tidak pernah redup. Hidupnya telah ia serahkan secara total bagi umat manusia. Di kalangan aktivis dan gerakan perempuan Indonesia bahkan di dunia, nama Sjamsiah Achmad bukanlah nama asing. Empat tahun keberadaanya di Komite CEDAW, menjadikan upaya keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia sebagai bagian dari hidupnya. Ia selalu mengamati bagaimana bentuk diskriminasi terjadi terus pada perempuan di negeri ini. Dengan peran dan kompetensinya di tataran nasional maupun internasional, ia telah banyak melakukan perubahan dan pemahaman bagi banyak pihak. Lewat konvensi hukum yang berpihak pada perempuan, Syamsiah Achmad memilih hidupnya sebagai pengawal keadilan bagi perempuan. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 45, 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Gejala semakin mencuatnya perempuan-perempuan penulis menandai adanya kebebasan ruang gerak perempuan untuk menulis apa saja. Fenomena ini berkembang menjadi apa yang disebut “sastra perempuan” atau “gaya penulisan perempuan”. Perempuan menuangkan segala pikiran, imajinasi, ide, dan pengalamannya ke dalam tulisan dan kemudian dibaca oleh banyak orang. Proses perjalanan sastra perempuan tidak dapat lepas dari kendala-kendala yang mereka hadapi, terutama berkaitan dengan ukuran bahasa atau konvensi, gaya penulisan, editing, publikasi, dan promosi. Banyak sejarah kesusastraan di berbagai negara yang tidak merekam perempuan pengarang. Bagaimana perempuan harus melawan segala tantangan ini dan pada akhirnya dapat mencuat seperti yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Berikut ini petikan wawancara jurnalis Jurnal Perempuan dengan Melani Budianta, seorang pengajar Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang sekaligus dikenal sebagai seorang kritikus sastra[1]. Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana menurut Anda proses perjalanan sastra perempuan dari tahun ke tahun? Melani Budianta (MB): Kita harus melihat bahwa sastra adalah suatu kegiatan tulis menulis kreatif yang disosialisasikan melalui media ke masyarakat umum. Banyak produk-produk tulisan ini yang dijual ke masyarakat umum. Lalu, mengapa masalah perempuan dipersoalkan? Di berbagai negara ada gejala umum, kurang terekamnya kegiatan tulis-menulis perempuan dalam sejarah kesusastraan, baik dalam bentuk publikasi yang formal maupun yang diakui oleh kritikus sastra. Padahal, banyak perempuan yang sangat aktif di bidang ini. Di sinilah muncul pertanyaan tentang apa yang menjadi kendala. Kalaupun para perempuan memproduksi karya sastra, apakah berbeda dengan yang ditulis oleh laki-laki? Memang ada kendala-kendala yang bersifat kultural maupun sosial sehingga aktivitas kesenian kesusastraan perempuan ini kurang terekam. Kendala-kendala itu berkaitan dengan kondisi perempuan di dalam masyarakat secara umum. Misalnya, perempuan berteater pada zaman dan konteks masyarakat tertentu secara normatif tidak bisa diterima. Dalam kesusastraan Amerika tahun 1890-an, banyak sekali perempuan berperan aktif menulis dan mempublikasikan karyanya di media massa. Tetapi, sejarah sastra tahun 1960-an hanya merekam sastrawan laki-laki. Mengapa? Pertama, kritikus sastra pada waktu itu kebanyakan laki-laki. Editor majalah sastra dan pengajar sastra akademis kebanyakan juga laki-laki. Kedua, kurang terwakilinya perempuan dalam struktur yang menangani bidang kesusastraan. Maka, acuan yang dianggap baik dan bernilai tinggi diproduksi oleh suatu kelompok yang sangat terwarnai bias patriarki. Maka, kesusastraan yang dianggap hebat pada waktu itu ialah yang sangat menampilkan ruang publik, masalah-masalah umum dan sosial. Sedangkan, perempuan di era ini aktivitasnya di ruang publik masih terbatas atau memang dibatasi. Jadi, pengalaman hidup mereka sendiri sangat terbatas pada ruang domestik. Maka, kalau perempuan menulis, mungkin yang diceritakan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Akibatnya, ketika pengalaman ini dituliskan dalam kesusastraan, menjadi dianggap remeh, kecil, dan kurang bernilai tinggi. Bila ada pun, mereka menyamarkan namanya menjadi nama laki-laki. Perempuan yang masuk dalam medan yang didominasi oleh struktur seperti ini banyak menghadapi masalah. Jadi, untuk menyuarakan apa yang dianggap penting bagi perempuan, kurang didukung. Di Amerika, di tahun ‘70-an ketika maraknya gerakan-gerakan perempuan pada waktu itu, muncul kritikus-kritikus perempuan yang mulai mengangkat permasalahan ini. Perempuan kritikus ini kemudian mulai menulis kembali sejarah kesusastraan dengan menemukan kembali perempuan-perempuan penulis yang terkubur. Lalu, mereka mencoba mengangkat apa sebetulnya nilai yang bisa disumbangkan oleh para penulis ini. Dan, ternyata menarik sekali apa yang mereka ungkapkan. Kemudian mereka mempertanyakan kembali, seperti apakah tradisi penulisan perempuan? Apakah ada pola-pola tertentu, gaya tertentu yang memang berkaitan, bukan karena dia perempuan secara esensial yang tulisannya demikian, melainkan karena hidup yang terkungkung dan terkotak-kotak, pengalaman-pengalamannya sebagai perempuan, seperti melahirkan dan sebagainya. Hal-hal apa yang secara khusus bermakna bagi para perempuan penulis dilihat dari generasi penulis yang satu ke generasi yang lain. Tradisi ini memang harus terus dibangun, karena tidak ada yang lahir dengan sendirinya. JP : Bagaimana sastra perempuan mempengaruhi gerakan perempuan? MB: Karya-karya perempuan yang disampaikan dan ditulis di dalam buku-buku ini pada akhirnya dibaca oleh masyarakat luas. Paling tidak, pembaca menghayati pengalaman yang ditulis itu, yang menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya. Jadilah pengalaman perempuan yang tersuarakan dalam masyarakat. Suara ini menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya, juga bagi kaum laki-laki yang selama ini tidak pernah terpikirkan oleh mereka. JP : Bagaimana signifikasi sastra perempuan bagi gerakan-gerakan perempuan di Indonesia? MB: Kita banyak mengenal sastrawan perempuan yang aktif sejak awal, seperti Selasih, perempuan pertama yang novelnya terbit di Balai Pustaka. Ia tidak sebatas menulis sastra, dalam aktivitasnya sehari-hari ia juga banyak memperjuangkan kepentingan perempuan, seperti aktif dan vokal dalam mengkritik DPR. Banyak juga perempuan penulis Indonesia yang posisinya naik-turun dalam periode sastra. JP : Pada periode apa perempuan mengalami zaman keemasan sastra? MB: Tidak ada istilah zaman keemasan, karena setelah itu perempuan penulis akan turun lagi pamornya. Tetapi, dalam setiap periode, sastrawan-sastrawan perempuan penting untuk digali kembali, seperti yang dilakukan feminis sastra di Barat. Untuk melakukan itu, sebetulnya banyak medium kesusastraan yang tidak hanyatercetak atau dalam bentuk buku, tetapi juga berupa jurnal, seperti di daerah-daerah, banyak perempuan yang bermain di arena itu. Tapi, masalahnya di Indonesia mengalami kesulitan untuk menggalinya karena kurangnya dokumentasi. Padahal, majalah daerah banyak sekali, seperti majalah-majalah perempuan di bawah afiliasi partai politik tertentu. Di situ kita dapat melihat bagaimana posisi perempuan dalam sastra. Sebenarnya ini tugas kritikus sastra untuk mendokumentasikan dan mengangkat isu-isu tersebut sehingga dapat berpengaruh dan menjadi inspirasi bagi yang lain. JP : Pada periode kekuasaan seperti apa sastra mendapatkan kebebasan di Indonesia ini? MB: Apa, sih, yang disebut kebebasan? Mungkin ini berkaitan dengan konteks sosial politik yang ada. Sebenarnya sastra itu sendiri adalah kebebasan. Siapa pun boleh menulis, apa saja, dan bisa mengambil dari mana saja, tidak ada ruang-ruang yang menyekat-nyekat karena ini ruang imajinasi. Persoalannya ketika kita menulis dan mencoba mengirimkannya, kita dihadapkan oleh “penjaga-penjaga” di ruang publik. Di sinilah banyak perempuan merasa terdiskriminasi, bahkan secara internal seperti ada keraguan ketika ingin mengirimkan, dengan menimbang, “Apakah pantas atau boleh dikirimkan?” Tentu saja perlahan-lahan dengan perkembangan zaman, ketidakbebasan itu semakin berkurang, melihat pendidikan perempuan semakin luas tidak seperti di zaman Kartini. Sensor-sensor pun mulai berkurang, terutama sejak turunnya Presiden Soeharto. Namun, bukan berarti sensor tidak ada, kadang sensor itu datang dari masyarakat sendiri. JP : Apakah perempuan muda penulis juga memanfaatkan kebebasan itu? MB: Memang mulai muncul perempuan-perempuan muda penulis dengan variasi gaya yang sangat menonjol, dengan pembaca yang juga berbeda-beda. Ini hal yang sangat positif, mungkin karena anak-anak muda ini hidup di generasi yang tidak terlalu terhambat masalah gender; atau adanya kebebasan ruang ekspresi, seperti teknologi dan kehidupan yang kosmopolit. JP : Kalau kita lihat Ayu Utami, Dewi Lestari, Fira Basuki, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, dan perempuan penulis lainnya, ada satu titik tentang seksualitas perempuan yang menjadi tema pokok. MB: Itu hal yang wajar karena perempuan mempunyai hak atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, tetapi sesuatu yang positif, perempuan mempunyai hak untuk mengapresiasi tubuhnya sendiri. JP : Mengapa harus dimulai dari tubuh? MB: Karena tubuh bagian yang paling dekat dengan perempuan. Dalam wacana- wacana lama, fungsi seksualitas perempuan dekat dengan melahirkan anak atau mereproduksi dan kemudian hidupnya diabadikan untuk membesarkan anak. Jadi, perempuan cenderung tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Gerakan perempuan sudah menunjukkan bahwa semua orang berhak atas tubuhnya. Perempuan juga berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya sendiri. Mungkin ini menjadi baru ketika biasanya sopan santun terjaga, sehingga sedikit mengejutkan, barangkali. Tapi, buat negara-negara tertentu hal ini sudah lama terjadi. JP : Sastra perempuan mengalami proses liberalisasi, tetapi sebaliknya masyarakat menggalakkan sensor. Bagaimana sastra menyikapi ini? MB: Saya berharap mudah-mudahan tidak akan terjadi. Kalau sampai terjadi, maka ada kemunduran yang luar biasa. Satu sisi masyarakat cenderung konservatif, sisi lain ungkapan sastra semakin bebas, maka bagaimana dua hal ini dapat terjadi pada saat yang sama. Mungkin kesusastraan “yang bebas” ini pembacanya terbatas sehingga kelompok konservatif tidak akan membaca produksi seperti ini. Bila lingkungan konservatif merambah wilayah sastra kemudian menyempitkan ruang geraknya, ini yang sangat disayangkan. Imajinasi kita tidak terbatas dan bebas, dan pembaca tidak bodoh. JP : Bila sastra adalah refleksi dari sebuah renungan sosial, mengapa kebebasan karya-karya sastra perempuan menjadi ambigu dengan masyarakat kita yang konservatif? MB: Bukankah perempuan-perempuan penulis juga menuliskan persoalan- persoalan sosial itu sendiri? Ekspresi kebebasan mereka merupakan respons terhadap hubungan yang ada, jadi bukannya tidak berkaitan, seperti tokoh Shakuntala dalam Saman karya Ayu Utami, itu semacam reaksi atau resistansi terhadap hubungan perempuan dengan laki-laki yang tidak adil dalam masyarakat. JP : Apakah itu berarti ruang privat mulai banyak diminati oleh pembaca? MB: Masalahnya tidak lagi sekadar domestik dan publik. Sekarang sudah lebih longgar meskipun secara umum di masyarakat masih terjadi. Penulis-penulis muda tidak begitu mempersoalkan publik dan domestik. Mereka sudah banyak yang masuk dalam ruang-ruang politik dan sosial. Mereka itu generasi yang sudah bisa menikmati runtuhnya pembatasan yang kaku antara domestik dan publik. JP : Adakah perbedaan penulisan seksualitas perempuan yang ditulis laki- laki dengan penulisan seksualitas perempuan yang ditulis perempuan? MB: Sebetulnya ini perlu penelitian tersendiri. Begitu jelas dalam novel-novel umum, yang menonjol adalah perspektif laki-laki, sedangkan perempuan muncul lebih sebagai objek atau korban. Tentu menjadi berbeda dengan perspektif perempuan bahwa perempuan memiliki hak atas seksualitas dirinya sendiri. JP : Banyak anggapan, perempuan penulis bisa terkenal bila di bawah bayang-bayang penulis laki-laki yang sudah terkenal. MB: Itu berarti masih mempertanyakan dan meragukan kemampuan seorang perempuan pengarang. Barangkali ada anggapan, itu karena kehebatan seorang laki-laki di belakangnya. JP : Apa itu proses ketidakadilan? MB: Ya, dalam tatanan yang masih besar, artinya akan selalu harus dihadapi. JP : Bagaimana dengan adanya kecurigaan tentang menonjolnya perempuan penulis karena cantik, sebagai objek dari budaya massa? MB: Definisi kecantikan banyak sekali. Apakah kemudian perempuan dipakai atau memakai budaya massa yang memang mempunyai konsep-konsep tertentu dan kemudian menjadi sarana promosi, itu hal lain. Kita tahu Dewi Lestari sangat bisa memanfaatkan promosi publikasi. JP : Artinya tidak ada eksploitasi? MB: Itu wajar-wajar saja, tetapi mengapa orang harus dicurigai karena kecantikannya? Promosi bukan suatu hal yang buruk. Boleh saja dia memanfaatkan promosinya yang mungkin seharusnya dilakukan oleh semua orang sehingga sastra itu semakin meluas di masyarakat. Salah satu penulis yang menurut saya cantik adalah Ratna Indraswari Ibrahim, seorang perempuan penulis yang sangat produktif. Dia memiliki kecantikan luar biasa tanpa memanfaatkan promosi. JP : Sastra perempuan seperti apa yang Anda diharapkan ke depan nanti? MB: Saya mengharapkan akan semakin banyak variasi. Perempuan itu tidak cuma satu atau tunggal. Memang yang masih mendominasi sastra sekarang ini adalah perempuan-perempuan kota atau perempuan urban. Tetapi, di antara perempuan urban sendiri pun berbeda-beda di setiap generasinya. Ada yang religious dalam agama yang berbeda, mempunyai lingkungan sosial yang berbeda, dan pengalaman hidup yang berbeda pula. Tema pengalaman antar generasi bisa diangkat oleh berbagai macam perempuan dan berbagai macam lingkungan sosial sehingga saya harapkan tidak pada satu arah yang tunggal, tetapi semakin ramai diikuti oleh berbagai macam perempuan penulis, seperti Nukila Amal yang memperkenalkan jenis penulisan yang baru dan berbeda dengan yang lainnya. Bagaimana dia menggali kembali sejarah Ternate dengan gaya penulisan yang lebih surealis daripada yang lain. Dia seorang apoteker yang tidak memiliki latar belakang sastra. Banyak anak muda berbakat bisa memanfaatkan ruang itu. Di luar negeri, gejala munculnya perempuan muda penulis itu sudah booming di Amerika sejak tahun ‘80-an. Ini karena adanya pasar yang terbuka, antara lain pasar yang multikultural yang sangat haus dengan pengalaman spesifik dari warna lokal budaya tertentu. Kalau melihat tren semacam ini, kebangkitan variasi perempuan penulis akan segera muncul. (MB. Wijaksana) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2003 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 30, 2003. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. "Pada waktu aksi-aksi demo, perempuan-perempuan di Molo mengeluarkan payudaranya untuk menunjukkan kalau tanah kami diambil sama dengan air susu ibu diambil, dan kami tidak akan bisa menyusui lagi.” (Aleta Baun) Sungguh benar perumpamaan perempuan dengan tanah, kedua makhluk ini adalah “khalifah” Tuhan untuk melestarikan kehidupan. Dari keduanya pula segala keberlangsungan hidup berasal. Karena itu, perempuan dan tanah ditautkan oleh hubungan emosi yang sangat kuat. Apabila salah satu di antara mereka disakiti, yang lainnya tergerak untuk melakukan pembelaan. Ketika kelestarian tanah terancam, kaum perempuan berdemonstrasi di garda depan. Pergerakan perempuan inilah yang terjadi di Pulau Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Tanah Kabupaten itu membentuk gundukan pegunungan yang indah dan mengandung kekayaan marmer sehingga sangat menggiurkan kaum penjarah untuk mengeruknya. Kaum perempuan di sana disebut oleh Kelik Ismunandar sebagai ”para mama” yang tak hanya mengasuh anak, namun juga mengasuh tanah. Mereka adalah kaum perempuan yang berjuang untuk berontak melawan dan menolak pertambangan marmer. Seorang para mama yang termasyhur bernama Aleta Baun telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk gerakan perlawanan. Aleta Baun akrab disapa Ma Leta. Ia adalah koordinator pejuang perempuan bagi masyarakat Molo untuk menolak buldoser-buldoser yang akan menggusur pegunungan Molo. Perempuan 42 tahun ini mengisahkan perjalanan hidupnya kepada Yayasan Jurnal Perempuan setelah menerima Anugerah Saparinah Sadli tahun 2007[1]. “Tanah tidak melahirkan tanah, manusia akan bertambah banyak, namun tanah akan semakin sempit,” tutur Ma Leta menjelaskan alasan pergerakannya kepada Nur Azizah, kontributor Jurnal Perempuan. Ma Leta sadar tanah kelahirannya mempesona, namun juga bisa mendatangkan bencana. Pegunungan Molo yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari 63 gunung yang diperkirakan mengandung 3,5 triliun meter kubik marmer. Bila gunung-gunung itu dikeruk, berakibat fatal. Bagi Ma Leta, Molo adalah jantung Nusa Tenggara Timur. Kalau tanah di Molo rusak, maka seluruh penduduk di pulau itu akan memperoleh dampak buruknya. “Molo adalah jantung dan daerah tangkapan air bagi seluruh NTT. Kalau kejahatan perusakan sumber daya alam dibiarkan di Molo, mau tak mau NTT akan mengalami kesulitan, terutama kekeringan karena ia menjadi sumber mata air yang mengalirkan air hingga ke hilir. Orang-orang di sini mengakui Molo adalah jantung NTT,” katanya. Riwayat hidup masyarakat di Molo akan musnah. Di pegunungan itu terdapat 5 kecamatan dan 42 desa dengan jumlah keluarga tiga ribu sampai empat ribu. Untuk mengorganisasi pelawanan, dibentuklah sebuah organisasi bernama OAt (Organisasi Ataimamus) yang berasal dari kesepakatan tokoh-tokoh adat di sana. Menurut pengakuan Ma Leta, masyarakat adat juga pecah: mereka yang menolak penambangan dan mereka yang menerima. Karena izin penambangan sebelum adanya kesadaran masyarakat Molo untuk melawan juga keluar dari proses adat. Perusahaan pertambangan berhasil memecah masyarakat adat di Molo. Kaum bangsawan yang terdiri dari raja-raja didekati dan setuju dengan penambangan itu, sedangkan tokoh-tokoh masyarakat yang membentuk majelis permusyawarahan adat Molo sangat menentang keras. Melalui musyawarah tokoh-tokoh adat di sana, mereka mendirikan OAt sementara Ma Leta dipercaya sebagai koordinatornya. Ma Leta yang hanya lulusan SMA ia mulai mengenal dunia pergerakan dari sebuah yayasan yang peduli terhadap masalah-masalah perempuan di NTT, namanya Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP). Ma Leta aktif sejak tahun 1993. Namun, ketika tanah kelahirannya dirongrong pengusaha pertambangan, ia merasa terpanggil oleh suara-suara tanah di sekitarnya yang terus menjerit. Pada tahun 2004, Ma Leta memutuskan keluar dari Yayasan Sanggar Suara Perempuan dan berkonsentrasi dalam pergerakan melawan perusakan lingkungan. Bagi Ma Leta, ada hubungan yang sangat kuat pada kekerasan dalam rumah tangga dan seksualitas dengan kekerasan yang berasal dari rusaknya lingkungan dan krisis ekonomi. “Sumber kekerasan ini muncul ketika pangan dalam satu rumah tangga itu tidak dipenuhi. Dan, bebannya akan menumpuk pada kaum perempuan,” katanya. Kunci utama bagi Ma Leta untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan terletak pada pemenuhan pangan dan perlindungan terhadap lingkungan. “Pangan dan sumber daya alam, kalau tidak diganggu, perempuan akan sejahtera, karena segala kebutuan hidup masyarakat telah terpenuhi. Kalau pangan dan kebutuhan ekonomi tercukupi, maka kekerasan terhadap kaum perempuan akan menurun dengan sendirinya,” tutur Ma Leta. Perjuangan Ma Leta ini merambah medan yang sangat berbahaya. Sejak memutuskan untuk melawan, polahidup Ma Letasangat berubah biladibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Ia tak lagi bisa dijumpai di rumahnya. Riwayatnya tidak lagi hanya sebagai ibu rumah tangga, namun juga sebagai perempuan yang terus berjuang dan bergerilya: keluar masuk kampung, naik-turun gunung, dan lebih banyak hidup di hutan serta pengungsian. Ma Leta menjadi target sasaran perusahaan pertambangan, ia dicari-cari dan dikerjar-kejar oleh preman yang menurut pengakuanya dibentuk perusahaan dan pemerintah daerah untuk menghentikan perlawanan organisasi adat yang dipimpinnya. Karena menjadi target buruan, Ma Leta pernah harus dievakuasi. Pada bulan April 2007 saat ia baru pulang dari sebuah kampung hendak kembali ke rumah, preman-preman itu melakukan sweeping di jalan-jalan untuk mencarinya. Ia terpaksa bersembunyi di kolong jembatan, namun ketahuan juga hingga kaki kanannya dibacok. Selanjutnya, Ma Leta harus dievakuasi oleh pada aktivis PIKUL (Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal). “Selama memimpin masyarakat, saya selalu diintimidasi, selalu dikejar, kaki kanan saya dibacok. Waktu itu saya juga lari bersembunyi di kolong jembatan, preman itu memeras minta uang 400 ribu, agar nyawa selamat saya serahkan uang 200 ribu yang saya punya waktu itu,” kata Ma Leta sambil menunjukkan bekas bacokan di kaki kanannya. Kekerasan fisik terus dialami Ma Leta. Ia pernah dipukul di depan kantor pengadilan karena berani menggerakkan masyarakat untuk menggugat bupati. Rumahnya dilempari batu oleh para preman, kaca jendela pecah, sehingga ia berserta suami dan anak-anaknya terpaksa mengungsi. Ma Leta memiliki tiga orang anak, yang pertama kelas tiga SD, yang kedua kelas satu SD, dan ketiga masih berumur satu tahun lebih. Suatu hari suaminya yang seorang guru pernah menjadi sasaran teror pembunuhan. Sang suami, Godlif Sanam, pun memprotes dan meminta Ma Leta mengakhiri perjuangannya. “Tapi, setelah saya berikan pengertian, ia pun ikhlas mendukung perjuangan saya sampai titik darah terakhir.” Tak hanya kekerasan fisik, Ma Leta juga menjadi sasaran pembunuhan karakter. Hidupnya yang tak pernah di rumah, selalu berpindah-pindah dan tak mengenal waktu, membuatnya dituding oleh lawannya sebagai perempuan yang suka keluar malam, sundal, dan pelacur. Ia juga pernah difitnah lari dengan suami orang. Segala risiko perjuangan dihadapi oleh Ma Leta dengan penuh sabar dan tegar. Ia pun bisa memetik romantisme dari pengalamannya sebagai perempuan pergerakan. Kehidupannya bersama keluarga sekarang menurut Ma Leta, kadang dianggapnya lucu. “Saya seperti belajar pacaran lagi dengan suami karena kalau ketemu dengan suami hanya beberapa jam. Bertemunya pun di rumah orang, datang malam, pisah tengah malam.” Namun, sebagai manusia biasa, sebagai perempuan dan ibu, Ma Leta tetap merindukan keluarga, kedamaian, dan ketenangan. “Saya sebenarnya sangat rindu pada anak dan suami, namun persoalan ini tidak bisa membuat saya kembali ke rumah secepatnya. Dampak dari perusakan lingkungan ini secara pribadi akan menimpa suami dan anak saya, tapi biarlah saya yang berkorban daripada anak dan suami yang memang tidak tahu banyak hal.” Ma Leta sangat mengenal kearifan orang Molo memandang tanah mereka. Dalam masyarakat itu dikenal filosofi Uim bubu (ume = rumah) yang berdiri kukuh dengan amnesat, nij, dan tefi. Amnesat berarti ‘dasar’ yang diibaratkan sebagai oekanaf (‘air’) yang penyangganya adalah fatukanaf dan haukanaf (‘batu dan kayu’). Nij adalah ‘tiang’ yang diibaratkan sebagai afu (‘tanah’) yang merupakan tempat bertanam, beternak, dan mendirikan rumah. Dan tefi berarti ‘atap’ yang diibaratkan sebagai pena nok ane (‘jerih payah’) yang diperoleh dari hasil pemanfaatan oekanaf, fatukanaf, haukanaf, serta afu. Filosofi di atas meneguhkan bahwa Molo tidak bisa dipisahkan dari tanah, hutan, air, batu, kayu, serta binatang-binatang yang hidup di dalamnya. Ma Leta adalah seorang feminis sejati, ia berjuang menggunakan bahasa dan cara perempuan. Komentar-komentarnya tentang “tanah yang tak bisa melahirkan tanah”, kelestarian alam yang dihubungan dengan jati dirinya sebagai perempuan adalah alasan dan retorikanya dalam menggerakan kelompok perlawanan. “Perempuan selama ini mungkin dianggap tak berdaya untuk berjuang, berbicara, dan mengambil keputusan. Mereka dikira tak mampu melawan siapa- siapa, tapi ketika mereka punya sumber daya alam diambil, tanah mereka dirampas, air mereka diganggu, itu seperti mencopot nyawa mereka,” tegas Ma Leta. Pun dalam cara penentangan, ia adalah perempuan sejati, mengumpulkan perempuan-perempuan lain di Molo untuk bergerak. Mereka berdemo sambil mengeluarkan payudara mereka. Kata Ma Leta, “Pada waktuaksi demo, perempuan- perempuan di Molo mengeluarkan payudaranya untuk menunjukkan kalau tanah kami diambil sama dengan air susu ibu diambil, dan kami tidak akan bisa menyusui lagi.” Karena perjuangannya itu pula, Ma Leta pernah menjadi kandidat penerima hadiah Nobel tahun 2005 bersama seribu kandidat perempuan lainnya. Juni 2007, ia mendapat kehormatan bertemu dengan Hina Jilani, perwakilan khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. (Mohammad Guntur Romli) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2008 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 57, 2008. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. “Mengajarkan baca tulis itu mudah, yang paling sulit adalah mengajarkan budi pekerti.” Kutipan di atas diutarakan oleh Sri Rossyanti, salah satu dari dua ibu guru di sela-sela kesibukannya mengajar anak kelas 4 SD di Sekolah Darurat Kartini, Ancol, Jakarta Utara[1]. Kalimat tersebut hampir selalu ditekankan sepanjang wawancara berlangsung sebagai substansi dasar proses belajar yang mereka lakukan. Pelajaran budi pekerti itu menurut mereka penting, mengingat situasi lingkungan anak didik adalah lingkungan yang akrab dengan pola kehidupan sosial yang keras. Di tempat mereka mengajar, kemiskinan akibat ketimpangan struktur ekonomi memaksa masyarakat setempat hidup dalam pola pertaruhan dan perebutan. Siapa yang kuat, ia yang akan menang. Perilaku ini diekspresikan melalui tindakan memaksa, memukul, berjudi, mabuk, dan membunuh. Bagi mereka melakukan semua itu bukanlah hal yang sulit. Namun, sesungguhnya, itu bukan perilaku dasar mereka, ada perasaan harga diri mereka jatuh sebagai orang-orang kalah dan terus terpinggirkan oleh sistem pembangunan yang kurang memberi perhatian terhadap keberadaan mereka. Hidup mereka serba kekurangan, jangankan berpikir soal sekolah, untuk makan saja mereka harus bertarung satu sama lain. Mereka memilih tidak sekolah daripada tidak makan. Lagi pula sistem pendidikan kita memang tidak menunjukkan uluran tangan bagi orang seperti mereka, padahal mereka adalah sumber daya yang dapat dipakai dengan segala keahlian yang mereka punya untuk membantu kondisi negeri yang krisis ini. Seperti yang pernah ditulis oleh Eko Prasetyo dalam bukunya berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah. Sekolah bagi orang miskin membuat mereka bertambah miskin. Logikanya mudah, ini disebabkan biaya sekolah sekarang terlalu mahal. Situasi inilah yang menggerakkan hati para perempuan seperti Sri Rossyanti (Rossy) dan Sri Irianingsih (Rian) atau lebih dikenal dengan sebutan Ibu Guru Kembar dalam mendedikasikan kemampuannya bagi anak-anak keluarga miskin untuk bisa sekolah. Kemampuan keilmuan dan materi yang mereka miliki telah disumbangkan sepenuhnya bagi anak-anak kolong jembatan tol untuk bisa menikmati pendidikan. “Mereka memang miskin, tetapi adalah hak mereka untuk dapat mengenyam pendidikan. Itulah yang membuat kami ingin berbuat sesuatu, agar mereka bisa terlepas dari jeratan persoalan pendidikan,” ujar Sri Irianingsih. Sekolah Darurat Kartini Suara bising berbagai jenis mobil dan dentuman keras sejumlah truk berat yang sesekali menggetarkan ruang kelas, tidak pernah berhenti melintas. Suara itu sangat dekat melintas sekitar 10—75 cm di atas kepala anak-anak yang sedang belajar. Desingan dan getaran seolah-olah menjadi bagian dari proses belajar mereka. Maklum saja hal ini terjadi, karena atap sekolah yang mereka gunakan adalah ruas jalan tol yang selalu dilewati oleh berbagai jenis kendaraan berat. “Tidak takut lagi, karena sudah terbiasa,” begitu ungkap Anis salah satu murid kelas 2 Sekolah Darurat Kartini yang berada di kawasan Rawabebek, Jakarta Utara. Sekolah Kartini ini memang dalam kondisi darurat. Ia berada di antara perkampungan penduduk yang menghuni kolong jalan tol Rawabebek. Sepanjang kolong ini memang telah menjadi blok-blok perumahan masyarakat yang tunawisma atau tidak memiliki tempat tinggal. Sebagian besar dari mereka bekerja mengumpulkan barang-barang bekas. Daerah ini kumuh, dengan jalanan yang becek ketika musim hujan dan berdebu ketika musim panas. Sekolah Darurat Kartini di Rawabebek ini memang kelihatan miris. Di bawah kolong jembatan tol, sekolah ini terbagi menjadi dua tingkat. Di lantai dasar untuk sekolah anak-anak play group, sementara di lantai atas untuk murid-murid TK A, TK B, dan SD kelas 1—4. Penerangan di ruangan ini tentu saja sangat kurang, hanya beberapa lampu dengan daya kecil dan sisanya mengambil sedikit sinar matahari yang menyelinap melalui celah jembatan tol. Antara kelas yang satu dan kelas yang lain tidak ada pembatas, hanya deretan bangku-bangku yang agak terpisah. Tidak hanya bising oleh anak-anak yang berteriak, tetapi juga oleh lalu-lalang mobil yang melintas dan sesekali terjadi getaran. Selain di Rawabebek, lokasi Sekolah Darurat Kartini juga berada di kolong jalan tol Ancol. Tidak jauh berbeda situasinya, letak sekolah ini cukup ironis karena berseberangan langsung dengan Gandhi International School dengan bangunan yang megah dan bayaran yang sangat mahal, sedangkan Sekolah Darurat Kartini gratis tanpa dipungut biaya. Di Sekolah Darurat Kartini, meskipun sama-sama di bawah kolong jalan tol, namun lokasi di Ancol ini agak lebih baik. Dalam satu kawasan terdapat halaman yang agak luas dan digunakan untuk murid TK, sisanya ruangan berukuran 3 x 5 sebanyak 4 petak untuk murid kelas 1—4 SD. Tidak ada atap khusus, atap yang digunakan sama, yaitu jalan tol. Namun, atap jalan tol ini lebih tinggi sehingga suara bising mobil dan getaran tidak terlalu terasa. Meskipun juga mengikuti standar kurikulum, apa yang diajarkan di Sekolah Darurat Kartini ini cukup sederhana. Pelajaran berbagai ilmu pengetahun selalu dikontekstualkan dengan situasi lingkungan para murid. Hal-hal yang diajarkan pun lebih mengenadan lebih dekat dengan mereka. Pola pendekatan kontekstual ini sangat membantu para anak didik mengenal lingkungannya sehingga mereka bisa menerapkan atau memahaminya lebihcepat. Misalkan, adapertanyaan, siapa ketua RW daerah sekitar. Lalu, dari pertanyaan itu sekaligus pula dijelaskan pengertian tentang sistem serta susunan atau struktur masyarakat dan pemerintahan yang ada di negara ini. Meskipun sekolah mereka darurat, beberapa perlengkapan mereka juga menunjukkan aktivitas sekolah, seperti seragam sekolah, buku-buku, dan kurikulum yang diikuti juga berdasarkan sistem pendidikan yang berlaku. Sekolah Darurat Kartini hingga saat ini ada di empat tempat yaitu: Sekolah Darurat Kartini di Muara Angke, di pinggir rel kereta; Sekolah Darurat Kartini di Pluit yang merupakan sekolah keterampilan; Sekolah Darurat Kartini di Ancol untuk anak TK dan SD; serta Sekolah Darurat Kartini di Rawabebek untuk TK, SD, dan SMP. Untuk di Rawabebek, Sekolah Darurat Kartini dilaksanakan di tenda besar milik TNI-AL. Sampai saat ini, Sekolah Darurat Kartini sudah menampung sekitar 2.000 lebih murid sekolah. Dedikasi Ibu Guru Kembar Hadirnya Sekolah Darurat Kartini tentu tidak bisa lepas dari peran dua orang perempuan Rossy dan Rian atau lebih dikenal dengan sebutan Ibu Guru Kembar. Disebut ibu guru kembar karena mereka memang saudara kembar. Mereka lahir di Semarang, 4 Februari 1950; Rossy lahir lebih dulu lima menit dari Rian. Rossy dan Rian adalah anak keenam dan ketujuh dari sembilan bersaudara. Dedikasinya yang tinggi pada kepedulian pendidikan tidak terlepas dari lingkungan keluarga yang sebagian besar adalah guru dan dosen. Rossy yang alumni Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan dari perkawinannya dengan seorang dokter. Dua orang anaknya mengikuti jejak bapaknya menjadi dokter dan dua lainnya adalah insinyur. Dua orang anaknya sudah menikah. Sementara itu, Rian yang alumni Fakultas Bahasa IKIP Semarang dikaruniai dua orang anak, laki- laki dan perempuan yang keduanya sudah menikah. Suami Rian adalah seorang Laksamana Laut, namun terlebih dulu berpulang ke rahmatullah. Sekolah Darurat Kartini ini pertama kali berdiri pada tahun 1996. “Pada tahun 1996, kita sedang jalan-jalan ke Mega Mall Pluit. Sewaktu kami pulang, di jalan ada tawuran pelajar. Karena saya takut kena sasaran, mobil langsung saya belokkan ke kolong jembatan. Saya berhenti di depan warung di bawah kolong. Sesampai di sana saya melihat, kok, banyak sekali, ya, ibu-ibu yang menganggur, duduk-duduk di gubuk-gubuk. Lalu, saya coba berbicara dan saya tawarin, mau enggak kursus menjahit? Mereka bilang mau, besoknya saya bawa mesin jahit dan memberi kursus untuk ibu-ibu,” ujar Rossy. Menurut Rossy, ia terperangah sewaktu mengajar para ibu tersebut karena banyak sekali anak-anak usia sekolah yang mengelilingi. “Saya heran lagi, banyak sekali anak-anak berkumpul, bukannya ini waktunya sekolah? Lalu mereka menjawab, mereka tidak sekolah, dan di situlah saya tersentuh,” ujar Rossy. “Dalam benak saya, kalau mereka tidak sekolah, bagaimana bangsa Indonesia mau maju?” katanya. Sejak itu Rossy dan Rian mulai sungguh-sungguh meluangkan waktunya menyelenggarakan pendidikan anak-anak di bawah kolong. Mereka siap untuk melakukan apa saja. “Awalnya sekolah ini hanya menggunakan kardus bekas yang kita gelar. Lama-lama yang minat sekolah cukup banyak. Setelah enam bulan berjalan, sedikit demi sedikit kami mulai membangun dalam bentuk kelas meskipun sederhana, sampai akhirnya jadi seperti sekarang,” ujar Rossy. Untuk membangun sekolah tersebut, tidak terlalu sulit. Selain atas jasa Ibu Guru Kembar yang telah mengeluarkan tabungannya, pembangunan sekolah ini mendapat dukungan dari masyarakat setempat sehingga biaya yang dikeluarkan tidak terlalu tinggi. Masyarakat sekitar cukup senang dengan kepedulian Ibu Guru Kembar ini untuk membangun sekolah. Kehadirannya dapat membantu mereka menyekolahkan anaknya secara gratis. Sekolah dibangun dengan bantuan masyarakat, mulai dari tukang kayu hingga para ibu juga turut mengangkut pasir untuk menutup rawa-rawa. Dengan begitu, tanahnya menjadi keras dan bisa digunakan. Ibu Guru Kembar tidak setengah-setengah melakukan hal ini demi pendidikan anak-anak. Kalau secara materi, mungkin tidak bisa dihitung berapa yang sudah dikeluarkan. “Saya tidak tahu berapa banyak yang sudah kita keluarkan. Saya tidak pernah menghitung,” ujar Rian. Jumlahnya tentunya cukup besar. Ibu Guru Kembar sadar bahwa mereka benar-benar tidak mempunyai uang untuk sekolah yang mereka bangun, apalagi memenuhi perlengkapan sekolah. Atas kesadaran itulah, Ibu Guru Kembar ini dengan ringan hati mengeluarkan dana pribadinya untuk membeli seluruh perlengkapan sekolah, mulai dari seragam, buku, alat tulis, dan sebagainya. Begitu juga dengan pendidikan keterampilan, Ibu Guru Kembar telah menyediakan semua kebutuhannya. Para peserta didik diharapkan bisa berkonsentrasi kerja, bahkan mereka tidak segan-segan memberi modal kerja kepada para peserta didik agar bisa menjadi berdaya. Seperti pengakuan Ibu Nana, ia telah mendapat kursus gratis rias pengantin Jawa. Sekarang, Ibu Nana bisa merias sendiri dan membuka jasa rias pengantin. “Saya sudah menerima dua kali order. Lumayan, bisa menambah penghasilan keluarga,” ujar Ibu Nana. Selain itu, sejumlah ibu yang mengikuti keterampilan memasak juga sudah menerima banyak order membuat kue. Itu baru persoalan materi, belum lagi dedikasi nonmateri yang tentu tidak sedikit yang telah Ibu Guru Kembar ini keluarkan. Hampir sepanjang hari ia habiskan dengan anak-anak didiknya di empat tempat. Jam pertama mengajar adalah pukul 07.00—10.00 di Sekolah Darurat Kartini Ancol. Setelah selesai, pukul 10.00—13.00 Ibu Guru Kembar melanjutkan ke Sekolah Darurat Rawabebek. Selanjutnya, pukul 13.00—15.00 Ibu Guru Kembar ini melanjutkan mengajarnya di Sekolah Keterampilan Pluit. Setelah dari Pluit, mereka pulang ke rumah dulu di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selepas magrib, mereka melanjutkan mengajar di Sekolah Darurat Kartini Muara Angke untuk bidang keterampilan. Aktivitas yang cukup padat ini mereka lakukan setiap hari, dari Senin hingga Sabtu. Apa yang mereka lakukan untuk mengajar ini tidak bergantung pada siapa pun, hampir semua aktivitas yang berjalan mereka lakukan berdua secara independen. Untuk melakukan aktivitas dari satu sekolah ke sekolah lainnya saja, mereka mengendarai mobil sendiri secara bergantian. Jika lepas waktu makan, mereka menyiapkan sendiri makanannya yang dibawa dari rumah. “Kami tidak pernah beli sebab kami selalu bawa makanan sendiri dari rumah. Pagi-pagi sekali kami bangun, mempersiapkan kebutuhan kita, lalu berangkat,” ujar Rossy. Dengan makanan yang dibawa sendiri, selain hemat karena mereka dapat mengatur anggaran pengeluaran untuk makan, kadar makanan sehat pun terjaga. Itulah mengapa Ibu Guru Kembar ini meskipun sudah menginjak usia kepala lima, secara fisik tetap sehat. Mereka berdua pun memiliki penampilan unik, dengan topi bundar khas mereka dan warna baju yang mereka pilih. Tujuannya untuk menunjukkan kebersihan, kerapian, dan disiplin. Di tengah suasana yang kumuh, mereka tetap bersih dan rapi. Penampilan mereka juga untuk menunjukkan bagaimana mereka menghormati lingkungan. Melawan Kemiskinan Tujuan paling mendasar dari aktivitas yang mereka lakukan adalah mengentaskan kemiskinan dengan “memotong rantai-rantai”-nya, baik secara struktur maupun kultur. Mereka yakin bahwa setiap orang mempunyai etos kerja dan kemampuannya sendiri, tinggal bagaimana kemauan individu dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka untuk lepas dari jerat kemiskinan. “Tujuan kita adalah mengentaskan kemiskinan dan mengubah martabat mereka yang tinggal di kolong jembatan. Kemiskinan membuat mereka tertutup dan tidak percaya diri akan kemampuannya. Mereka sulit berkomunikasi dengan orang luar sehingga mereka kurang mempunyai wawasan dan kesempatan,” ujar Rossy. Faktor lingkungan memang sangat mempengaruhi perilaku mereka sehari-hari. Pasrah pada nasib terkadang membuat mereka tidak melakukan apa pun untuk perubahan bagi dirinya. Ibu Guru Kembar yakin bahwa masyarakat di kolong jembatan ini bisa bekerja serta mengembangkan diri asal ada kesempatan serta orang-orang yang mendorong dan memberi mereka berbagai macam keterampilan sebagai modal dasar yang membuat percaya diri. “Kalau cuma mengajar mudah, anak-anak SD di sini sama pintarnya dengan anak-anak SD di sekolah lain, cuma tingal membangun kepercayaan diri dan mengubah kebiasaan buruk. Faktor lingkungan cukup kental mempengaruhi mereka. Saya mengajar paling tidak tiga jam, sedangkan mereka hidup di lingkungan yang keras selama 21 jam,” ujar Rossy. Apa yang dilakukan Ibu Guru Kembar sampai hari ini tampaknya belum mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya dari Departemen Pendidikan Nasional. Bahkan, menurut Ibu Guru Kembar, apa yang pemerintah lakukan dianggap masih kurang layak dalam hal penyediaan pendidikan. Sebenarnya meski tidak mendapat dana bantuan pendidikan dari pemerintah, Ibu Guru Kembar tidak terlalu memperhitungkan karena sejak awal memang mereka berniat secara mandiri memberi sumbangsih kepada anak-anak dan dunia pendidikan. Ibu Guru Kembar mampu menyediakan ruang bagi mereka yang tersubordinasi. Mereka tidak menginginkan apa pun, baik uang, popularitas, maupun kedudukan. Mereka ingin hidup anak-anak tak sekolah itu menjadi lebih nyaman dan berhasil di masa depannya. “Apayang kita lakukan tidak untuk kepentingan pribadi, mencari uang, mencari popularitas, atau mencari kedudukan dalam struktur negara. Besok meninggal pun, ya, sudah tidak ada lagi yang harus dicari. Kita meninggal hanya dengan membawa kebaikan kita. Karena itu, hidup ini kami gunakan sebaik-baiknya dan tidak merugi,” ujar Rian. “Kita sedih melihat banyak sekali masalah kemiskinan, kekerasan, dan ketidakpedulian. Itulah yang ingin kita lakukan, peduli pada mereka yang tidak mendapatkan perlakuan atau lingkungan yang lebih baik. Kami merasa lebih bersyukur dan lebih beruntung dari mereka. Itulah yang ingin kami bagikan kepada mereka, baik ilmu maupun materi, lainnya tidak,” tambah Rian. Bandingkan dengan sistem pendidikan kita umumnya, kita masih ingat bagaimana setiap siswa diminta uang sebesar 150 ribu rupiah hanya untuk melakukan ujian persamaan dan mendapatkan ijazah. Melihat pilihan Ibu Guru Kembar dalam menjalankan pendidikan untuk anak-anak miskin secara independen, seharusnya negeri ini berterima kasih karena tanggung jawab yang seharusnya dilakukan negara dilakukan oleh mereka. “Orang-orang birokrat, saya bilang, jadi seperti drakula, mengisap darah rakyat miskin. Teganya meminta uang kepada mereka untuk pendidikan yang sebenarnya hak mereka dan kewajiban negara yang harus dijalankan. Sudah banyak data yang menunjukkan dana alokasi pendidikan tidak tepat sasaran,” ujar Rossy dengan gemas. Menanam Tunas Di tengah kepedulian sosial yang semakin langka, kehadiran serta tindakan Ibu Guru Kembar memang cukup membanggakan. Mereka adalah guru dalam arti yang sesungguhnya. Mereka seolah tidak pernah lelah. Ibu Guru Kembar tidak hanya melawan bisingnya beton jalan tol, tetapi juga kerasnya sistem sosial. Banyak orang memang tidak mengerti apa yang dilakukan Ibu Guru Kembar ini. Namun, kita semua akan tahu kelak di kemudian hari bahwa yang dilakukan mereka adalah menanam benih. Dari sana, akan tumbuh tunas-tunas yang ketika mengembang dan tumbuh besar, akan menembus kekarnya beton jalan tol sebagai gambaran kerasnya kehidupan sosial dan pembangunan yang tak memberi mereka tempatguna menikmati hidupyang layak. Padasaat itulah kitaakan mengetahui arti penting sebuah perlawanan dan kepedulian yang dilakukan oleh dua perempuan ini. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 44, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Maria Farida Indrati yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah 14 Juni 1949, adalah hakim perempuan pertama yang terpilih di Mahkamah Konstitusi Indonesia (MK) dengan masa jabatan 2008—2013 [1]. Maria Farida sebelumnya menjadi guru besar ilmu perundang-undangan di Universitas Indonesia dan menjabat sebagai ketua Bidang Perundang-Undangan, ketua Komisi Perundang-Undangan di Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, anggota tim perumus dan anggota tim penyelaras pada Komisi Konstitusi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, serta anggota Board of Advisor, International Consortium on Law and Development (ICLAD)-Boston University Program on Legislative Drafting for Democratic Social Change. Maria pernah menjadi anggota Tim Pakar Hukum Departemen Pertahanan Republik Indonesia sebagai ahli dalam perancangan dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Maria Farida juga memperdalam ilmunya di bidang Pendidikan Teknik Perundang-Undangan (legal drafting) di Leiden, Belanda; Pendidikan Legislative Drafting Boston University School of Law, Amerika Serikat; serta The Residence Course in Legislative Theory, Methodology and Techniques, Boston University School of Law Boston, Amerika Serikat. Dalam suatu kesempatan, Jurnal Perempuan mewawancarai Maria Farida di ruang kerjanya di Mahkamah Konstitusi saat jeda memimpin sidang uji materi undang-undang bersama hakim-hakim lainnya. Ketika ditanya apa yang mendorong Maria Farida menjadi hakim MK, Maria menjawab bahwa sebetulnya ia ditelepon oleh Watimpres yang diminta oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mengikuti tes sebagai hakim MK. Ia tidak pernah berpikir akan lolos dari tes tersebut karena selama ini konsentrasinya mengajar yang menurutnya pekerjaan paling menyenangkan. Sebelum dipilih oleh presiden untuk mengikuti tes pemilihan hakim MK, teman-temannya sudah mendorongnya, tetapi ia berkali- kali menyatakan lebih senang mengajar. “Ketika presiden memilih saya, saya merasa tidak pantas untuk menolak,” tegasnya. Ketika menghadapi tes, Maria Farida tidak melakukan persiapan apa-apa, kecuali membuat satu Curriculum Vitae dan makalah singkat mengenai MK yang tidak pernah ia buat sebelumnya. Selain itu, ia juga harus menyatakan persetujuan seandainya lulus dan terpilih menjadi hakim MK. Maria Farida memang telah beberapa kali direkomendasikan oleh berbagai ahli hukum untuk melamar sebagai hakim MK, dan kali ini ia masuk di dalamnya. Pada saat menghadap presiden, Maria pernah berkata bahwa presiden jangan kecewa kalau ia memutuskan hal-hal yang tidak berpihak kepada presiden. Ketika ditanya bagaimana pengalaman pertamanya sebagai hakim perempuan satu-satunyadi MK, ia menegaskan bahwa iatidakdibedakandi antarahakim-hakim pria. “Kadang-kadang, ada pertemuan 80 sampai 100 orang dan perempuannya hanya saya sendiri, dan saya sudah terbiasa seperti itu.” Berkaitan dengan tema Jurnal Perempuan yang mengangkat masalah perempuan dan keluarga, Maria Farida bercerita bahwa baru-baru ini terjadi perdebatan terkait uji materi Pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974 tentang Status Anak di Luar Nikah yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelum diuji, salah satu pasal berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.” Setelah diuji, materi menjadi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya.” Artinya bahwa MK telah menyatakan sah bahwa anak yang lahir di luar nikah memiliki pengakuan keperdataan. Pertentangan keras ini muncul dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menganggap MK telah melegalkan perzinaan. Sementara itu, MK menyatakan bahwa putusan tersebut menekankan agar orang tua di luar nikah dalam hal ini laki-laki tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya atas hubungannya yang mengakibatkan anak lahir di luar nikah. Tujuan putusan tersebut supaya anak mendapatkan hak perdata dan tercatat sebagai warga negara dan untuk melindungi anak di luar nikah dari sebutan “anak haram” yang sarat diskriminasi. Maria menyatakan bahwa keputusan tersebut dibuat sangat lama, yaitu dari perkara tahun 2010. Perkara yang menyangkut hukum agama, hukum moral, dan adat menurutnya memang sangat kompleks, sementara tugas hakim MK adalah merumuskan hukum positif yang dikaji dengan Undang-Undang Dasar. Masalahnya, di balik kajian-kajian tersebut selalu berkaitan dengan hukum- hukum yang tidak tertulis (hukum agama dan adat–red) sehingga dalam membuat keputusan menjadi sangat lama, tetapi perlu ada kesepakatan akhir. Maria mengamati bahwa UU perkawinan masih ada masalah, seperti dalam syarat-syarat perceraian, bagaimana mungkin seorang istri yang sakit keras atau tidak punya anak dapat menjadi alasan untuk memutuskan perceraian? “Bukankah kalau kita menikah, maka kita menerima pasangan dalam keadaan sehat dan sakit, keadaan susah dan senang?” Karena itu, Maria menganggap bahwa UU perkawinan tidak menunjukan perlindungan penuh pada hak perempuan dan anak. Masalah UU yang tidak melindungi perempuan, simpulnya, menjadi rumit ketika hukum positif terbentur pada hukum agama dan hukum adat. Dalam hal warisan, ia menyatakan Indonesia belum memiliki hukum warisan nasional karena berbagai macam adat dan agama memiliki ketentuan sendiri. Inilah sulitnya menciptakan hukum positif. Seperti di Tapanuli, tentu anak laki-laki lebih diutamakan, sementara Minangkabau lebih pada anak perempuan. Sementara itu, dalam hukum Islam, laki-laki dan perempuan, pembagiannya adalah dua banding satu. Di sinilah persinggungan hukum positif dengan hukum adat dan agama. Sangat sulit menetapkan rumusan yang ideal untuk UU perkawinan karena bergantung pada agama dan adat apa. Kalaupun mungkin, perlu menetapkan ukuran yang baku, tetapi tanpa melenyapkan perbedaan-perbedaannya karena berpotensi terjadi perselisihan. Di agama Katolik, menikah itu cukup sekali saja dan diatur oleh agama itu sendiri. Sementara agama lainnya, seperti Islam, perceraian dibolehkan. Tidak mudah menciptakan aturan yang sama dalam perkawinan karena masyarakat masih meyakini hukum agama dan adat, tetapi menurutnya memang seharusnya ada jalan. Mengenai UU jaminan sosial, terutama soal keluarga, ekonomi, dan pengasuhan, Maria menyatakan Indonesia sudah memiliki UU tentang jaminan sosial nasional, tetapi masih untuk pegawai negara yang kenyataannya memang membedakan laki-laki dan perempuan. Padahal, sebetulnya, setiap undang-undang selalu ada pasal yang menyatakan berlaku untuk setiap orang. Seandainya hal itu yang dihormati, tentu tidak ada diskriminasi dalam rumusan-rumusannya, dan tentu perlu ada perbedaan secara kodrati, seperti cuti hamil dan haid yang tidak mungkin diberlakukan pada laki-laki. Ketika ditanya mengapa Maria Farida tidak setuju dengan UU kesetaraan gender, bukan karena ia tidak setuju pada kesetaraan gender itu sendiri, melainkan sebaiknya tujuan kesetaraan gender diterapkan dalam aturan di bawah UU yang sudah ada, seperti pendidikan dan kesehatan. Melalui pendidikan, seseorang akan mudah mencari kesesuaian tentang kesetaraan satu dengan yang lain. “Misalnya, kita punya UU sistem pendidikan dan wajib belajar. Kalau semua orang belajar, termasuk kaum ibu yang banyak tidak mengenyam pendidikan, bila dibuat aturan nonformal, seperti paket A, B, dan C, maka ia mulai memiliki kesadaran tentang kesetaraan, termasuk dalam mendidik anak-anak mereka. Misalnya, banyak fakta perempuan yang berpendidikan, tidak mau menikahkan anaknya di usia dini dan menganggap bahwa usia pernikahan haruslah matang dan perlu persiapan karena setiap orang tua ingin pernikahan anak-anaknya langgeng. Pada akhirnya, hukum agama yang memperbolehkan anak dinikahi di usia dini, akan mengikuti perkembangan masyarakat yang berpendidikan.” Sementara itu, menurutnya, UU kesetaraan gender lebih pada hal-hal yang umum sehingga sulit memberikan kewenangan pada pemerintah dalam melaksanakannya. Misalnya, bagaimana aturan tentang kuota 30% di parlemen perlu diisi oleh perempuan. Seperti itu lebih mudah dilaksanakan atau lebih seperti dalam bentuk peraturan-peraturan daerah. Bila terlalu umum, maka UU yang sebetulnya bagus itu hanya akan menjadi macan di atas kertas. Sejak awal Maria Farida mengurai bahwa kesulitan membangun hukum positif yang melindungi perempuan adalah pertentangan dengan hukum adat dan agama, padahal hukum positif adalah yang tertinggi dan dibuat oleh negara. Akan tetapi, bagi masyarakat yang masih tradisional dan atas banyak faktor lain, mereka lebih memegang kuat nilai agama dan adat. Misalnya, ada yang menikahkan anaknya terburu-buru karena kondisi keluarga. Karena itu, Maria selalu menekankan pentingnya aspek pendidikan dan diikuti dengan kesejahteraan untuk menjadikan masyarakat memahami bahwa hukum positif didasarkan pada kebutuhan masyarakat atas hak-hak dan perlindungan warga negara secara konstitusional. Kembali mengenai kesetaraan gender, sebetulnya dapat diintegrasikan, misalnya dalam UU kesehatan yang mudah diterapkan, seperti merumuskan bahwa rumah sakit perlu memiliki spesialis dokter perempuan untuk pasien- pasien perempuan yang memiliki keluhan kesehatan berbeda dengan laki-laki, sementara UU kesetaraan gender, bagaimana mengaturnya? Peraturan yang lebih rendah akan mudah diterapkan melalui koordinasi antarkementerian dan unit- unit di bawahnya, seperti posyandu, PKK, puskesmas, dan lain sebagainya. Maria Farida menyatakan bahwa dirinya tidak ingin dilihat “ada” sebagai hakim perempuan, tetapi sebagai hakim yang memiliki kemampuan. Namun, dari seorang hakim perempuan, Maria Farida dalam beberapa wawancara yang tersebar di media, menunjukkan betapa pentingnya UU yang memperhatikan kepentingan perempuan, baik atas hak maupun perlindungannya sebagai warga negara. (Mariana Amiruddin) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2012 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 73, 2012. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mengapa Indonesia bangsa yang besar, tidak pernah benar-benar menjadi besar? Mengapa Indonesia yang kaya tidak pernah menjadi benar-benar kaya? Jawabannya bisa jadi karena kita adalah bangsa yang sangat cepat lupa. Kita cepat melupakan jasa-jasa orang yang pernah menolong kita. Kita cepat lupa meminta tanggung jawab orang yang bersalah. Kita cepat lupa pada kehendak diri kita sendiri. Menjadi cepat lupa adalah menjadi tidak peduli. Kepedulian menjadi sesuatu yang teramat langka dalam sebuah bangsa yang cepat lupa. Karena kepedulian selalu sinonim dengan terus menerus mengingat sesuatu. Kita hanya menjadi orang yang mementingkan diri sendiri Sembari melakukan pengabaian disana-sini. Lihatlah jurang diantara masyarakat Indonesia yang semakin menganga. Mereka yang kuasa semakin semena-mena sementara mereka yang jelata semakin tak berdaya. Itu karena bangsa kita lupa pada sesama. Bangsa ini sangat suka untuk mengerahkan kekuasaannya demi mendapatkan apa yang mereka inginkan daripada mengerahkan kreativitasnya untuk menjadi seseorangyang diakui keberadaannya. Demikian menurut Marianne Katoppo, teolog, jurnalis, yang juga sastrawan. Marianne, Perempuan dan Keluarga Mengingat Marianne Katoppo adalah mengingat perempuan. Marianne adalah perempuan penulis yang sejak tahun 1978 gigih mempertahankan kata perempuan dalam setiap karyanya[1]. Ia menolak untuk menggunakan kata wanita seperti yang selalu dilakukan oleh penulis-penulis lainnya. Perempuan menurutnya memiliki arti sangat dalam dan sama sekali berbeda dengan wanita. Perempuan adalah empu, seorang ahli, seorang yang memiliki kekuasaan. Perumpamaannya adalah empu jari (jempol). Fungsi empu jari dalam semua aktivitas jari tangan kita sangat menentukan. Kalau mau diterjemahkan, perempuan adalah orang yang memiliki otoritas atas diri dan tubuhnya. Karena ia memiliki otoritas atas dirinya, maka perempuan selalu berani menentang ketidakadilan dan mengupayakan keadilan. Berbeda dengan wanita yang dalam terminologi Jawa sering diartikan sebagai wani nek ditoto (berani ditata, keberaniannya hanya ada kalau orang lain memintanya). Pada kata perempuan, ia adalah subjek yang melakoni sesuatu yang mempengaruhi sesuatu. Sementara pada wanita, ia adalah objek yang hampir tidak memiliki kehendak. Ia hanya mau dipuja, diagungkan, dan dalam bahasa sekarang dieksploitasi. Keteguhannya mempertahankan kataperempuan tidak lain karena keyakinannya bahwa bahasa harus jujur. “Bahasa atau karya sastra harus mencerminkan realitas. Bahasa adalah realitas itu sendiri. Perempuan nyatanya adalah pemberi dan pemelihara kehidupan. Ia yang berperan untuk terus-menerus menghidupi kehidupan ini,” ujarnya dengan tegas. Pemikirannya dalam sastra dan perempuan tentu tidak terlepas dari ketertarikannya pada teologi pembebasan. Di tahun 1979 ia menulis sebuah karya teologi berjudul Compassionate and Free: an Asian Woman’s Theology. Buku ini diterbitkan oleh World Council and Churches yang bermarkas di Swiss. Buku ini dijadikan literatur teologi perempuan Asia dan diajarkan di seluruh sekolah teologi dunia. Dalam karyanya itu, Marianne menegaskan bahwa perempuan Asia harus berani melepaskan dirinya dari kungkungan kebudayaan luar yang asing. Perempuan harus bisa membebaskan dirinya dari nilai-nilai pinjaman atau ideologi yang tidak ia akrabi. Berteolog ala perempuan Asia adalah melakukan kritik-kritik atas semua jenis eksploitasi yang dilakukan terhadapnya akibat model-model pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang mengacuhkan perempuan. Henriette Marianne Katoppo dilahirkan di Tomohon, Sulawesi Utara, 9 Juni 1943. Ia adalah anak bungsu dari sepuluh bersaudara. Ayahnya adalah Elvianus Katoppo, seorang bekas menteri pendidikan zaman Negara Indonesia Timur. Tapi, ia lebih suka menyebut pekerjaan ayahnya sebagai seorang guru daripada seorang bekas menteri. Di usianya yang menginjak 60 tahun ini, ia memilih untuk menyepi dari hiruk pikuk kehidupan. Di rumah kontrakannya di daerah Pamulang, Tangerang, Marianne hanya ditemani kucing-kucingnya yang kini telah berjumlah 20 ekor. Prapanca adalah kucing kesayangannya. Bersama kucing-kucing yang ia hapal masing-masing sifatnya inilah ia kini membagi kehidupannya. Namun, bukan berarti Marianne mengucilkan diri. Perkembangan berbagai masalah dalam masyarakat, terutama sastra, tentu saja terus ia ikuti. Dalam sejarah sastra Indonesia, Marianne adalah tokoh yang luar biasa. Melalui Raumanen, ia mendapatkan tiga penghargaan sekaligus pada tahun yang berbeda. Ia menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (1975), Yayasan Buku Utama (1978) dan dalam Tahun Buku Internasional (1988). Ia menceritakan kembali kisah kemenangannya yang cukup unik. Naskah Raumanen yang berisi tentang pergulatan batin seorang perempuan ia kirim ke sebuah majalah perempuan. Tetapi, majalah ini pindah kantor. Selama enam bulan nasib naskahnya setebal 40 halaman ini tidak jelas. Saat itu Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membuka sayembara mengarang novel. Abang Marianne, Aristides, mengusulkan agar naskahnya yang tak tentu rimbanya itu diikutkan lomba. Marianne memperpanjang naskah tersebut. Ide mengalir begitu deras. Ia sendiri berpikir bahwa harus ada yang luar biasa dari cerita ini. Aspek-aspek rasionalitas ia kesampingkan untuk sementara. Raumanen, sang tokoh dalam ceritanya meninggal tanpa bisa ditawar lagi. Akhirnya, naskah Raumanen benar-benar mendapatkan penghargaan itu. Marianne juga melahirkan karya-karya lain, seperti Terbangnya Punai (1978). Sebagian besar pendidikannya ia jalani di luar negeri. Tahun 1963 setamat Sekolah Theologi Jakarta, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di International Christian University di Tokyo. Setelah itu, ia pindah ke Kyoto dan melanjutkan pendidikannya di semacam sekolah tinggi teologi. Ia kemudian bekerja sebagai peneliti naskah di salah satu penerbitan tertua dunia, British and Foreign Bibble Society. Ia kemudian pindah bekerja menjadi salah seorang Sales Assistant AB Svenska Pressbyran, Swedia (1972—1974). Ia juga pernah bekerja selama tiga tahun sebagai editor di Yayasan Obor Indonesia, membantu Mochtar Lubis. Pengalamannya berkeliling berbagai negara membuat ia menguasai setidaknya sepuluh bahasa asing, termasuk bahasa Yunani dan Ibrani. Marianne mengaku sangat gembira karena sekarang ini perempuan-perempuan penulis mulai bermunculan. Mereka sangat kreatif dan berani membuka berbagai persoalan yang sebelumnya masih dianggap “tabu” untuk dibicarakan. Gagasan- gagasan kreatif perempuan ini tidak lepas dari keadaan sosial masyarakat yang sudah semakin terbuka meskipun menurutnya keterbukaan ini harus disikapi dengan sangat hati-hati. Keterbukaan ini bermuka ganda. Ia mencontohkan, di saat negara tidak lagi melakukan pemberedelan media massa atau sensor terhadap karya sastra, peran itu justru diambil alih oleh masyarakat. Ia menyayangkan peristiwa pembakaran karya-karya sastra seperti yang dilakukan terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan lainnya. Keterbukaan cenderung membuat orang merasa bebas untuk berbuat apa saja, termasuk menganiaya karya sastra, padahal menurutnya, karya sastra adalah autobiografi penulisnya dalam situasi dan kondisi tertentu. Karya sastra tidak lebih menggambarkan seseorang dalam realitas tertentu. Seseorang kapan pun di mana pun bisa melahirkan karya sastra yang sangat mungkin bertentangan dengan realitas masyarakat saat itu. Makanya, ia tak habis pikir mengapa sebuah karya sastra harus dijadikan sebagai ancaman masyarakat. Namun, di dalam dunia sastra itu sendiri pun, menurut penuturannya, bukan tidak ada “penganiayaan” sama sekali. Ia menceritakan suatu saat di tahun 1993 ketika ada penyerahan penghargaan pada salah seorang sastrawan yang menjadi penerima SEA Write Award (Penghargaan Sastra Asia Tenggara). Marianne adalah satu-satunya perempuan Indonesia yang pernah mendapatkan penghargaan serupa di tahun 1982. Pada acara itu, ia bertanya mengapa tidak ada perempuan yang bisa meraih penghargaan ini? Sudahkah para kritisi sastra di Indonesia memperhatikan karya-karya sastra perempuan penulis yang juga punya kualitas sama? Salah seorang tokoh yang hadir pada acara itu malah mengatakan, kalau Ibu Marianne rajin menulis tentu akan memiliki banyak kesempatan untuk meraihnya. Begitulah yang dikatakan tokoh itu. Kecewa dengan jawaban tersebut, terpaksa ia harus menjelaskan siapa dirinya, bahwa ialah perempuan yang hingga tahun 1993 menjadi satu-satunya yang pernah menerima penghargaan itu. Cerita tersebut sebenarnya adalah sebuah tanda bagaimana kultur patriarki berakar kuat dalam dunia sastra di Indonesia. Kemampuan perempuan selalu diragukan. Prestasi perempuan mudah dilupakan. “Ini menurut saya, diskriminasi yang tidak kurang berbahaya dari kenyataan. Pengalaman-pengalaman perempuan yang mereka tulis dalam karya sastra ditiadakan, padahal dari pengalaman- pengalaman yang tertulis itulah suara perempuan bisa diketengahkan.” “Kita harus ingat bahwa gerakan perjuangan perempuan Indonesia modern tidak lepas dari surat-surat yang ditulis oleh Kartini dan itu karya sastra,” tegasnya. Kalau karya sastra perempuan penulis tidak diakui dalam masyarakat, kita akan melanggengkan penindasan terhadap perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Kartini di Mata Marianne Berkaitan dengan Kartini, banyak orang yang salah sangka terhadap Marianne Katoppo. Orang hanya tahu bahwa ia—seolah-olah—musuh Kartini. “Padahal, sebenarnya saya sangat menghargai jasa Kartini sebagai orang yang sederhana. Secara sadar dan sengaja ia mendokumentasikan pengalaman ketertindasannya sebagai perempuan yang hidup dalam masyarakat patriarki dan feodal. Pemikirannya sangat ulung untuk ukuran saat itu. Menurut saya itu adalah pemberontakan budaya yang revolusioner pada zamannya,” jelasnya. Namun, tentu saja itu tidak cukup. Kartini seperti Mary Wallstonecraft di Inggris. Iapemikir, tapi ia tidak melaksanakan apayang menjadi pikiran-pikirannya. Meskipun demikian, Marianne mengakui, Kartini menjadi inspirasi bagi pemikir- pemikir perempuan lainnya. Di belakang hari, ada perempuan-perempuan yang lebih revolusioner dalam memperjuangkan hak-haknya. Sebut saja, Dewi Sartika di ranah Pasundan. Ia berani melawan budaya yang menempatkan perempuan di posisi-posisi yang lemah. Dewi Sartika mendirikan sekolah-sekolah khusus perempuan yang di dalamnya mengajarkan nilai-nilai kesetaraan. Sementara itu, di Tanah Rencong ada Cut Nyak Dien. Ia adalah panglima perang yang strateginya sangat licin dan menyulitkan. Sejarah mencatat, Belanda tidak pernah bisa menaklukan daerah yang kini bernama Nanggroe Aceh Darussalam itu atau di Minang banyak perempuan pendidik yang menolak bantuan dari Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah—karena mereka ingin independen. “Kalau mau dibandingkan dengan apa yang dilakukan Kartini, maka Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan lain-lain itu, jauh lebih revolusioner. Makanya, saya menolak kalau orang hanya mengagung-agungkan Kartini, apalagi menilainya sebagai satu-satunya pejuang perempuan Indonesia.” Lagi pula, menurutnya, Kartini itu bisa jadi tokoh yang “diciptakan” Belanda. Kartini dikatakan sebagai perempuan yang maju, berkembang, dan berani mengkritik karena berkat pendidikan Belanda. Belanda pada saat itu memang sedang gencar melakukan politik etis, politik balas budi. Jadi, Belanda itu memakai Kartini untuk menunjukan bahwa orang Indonesia kalau mau maju harus ikut pendidikan Belanda; harus memiliki pemikiran seperti yang diajarkan Belanda. Pendeknya, menjadi tiruan Belanda. Marianne memilih untuk hidup sendiri, tidak menikah. Sebenarnya bukan tidak ingin, tapi tidak laku, katanya berseloroh. Diakuinya kini, ia mulai merasa kesepian, apalagi ia jauh dari akses informasi seperti internet, padahal di zaman sekarang, akses informasi itu sangat penting. Itu pula yang membuatnya sulit untuk berkorespondensi dengan teman-temannya. Beberapa kali selama dalam pembicaraan, ia menyinggung keinginannya untuk pulang ke Tomohon, tanah kelahirannya. Mungkin kesepiannya telah memuncak. Ia percaya sebuah syair bahwa tak ada sesuatu pun yang dapat menggantikan kesepian. Marianne Katoppo memang bukan sosok Marianne simbol Republik Perancis, pejuang cita-cita republik semasa revolusi abad ke-18. Akan tetapi, ia tetap female warrior yang bukan bersenjatakan pedang, melainkan pena. Itu pun kalau kita tidak lupa. (MB. Wijaksana) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2003 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 30, 2003. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mayling Oey-Gardiner, pengajardi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) sejak tahun 1971, adalah Guru Besar FEUI, perempuan pertama yang dikukuhkan pada tahun 2001 dan menjadi Ketua Senat Akademi dan Sekretaris Dewan Guru Besar FEUI untuk periode 2003—2007. Pendidikan tinggi sempat dienyam oleh Mayling Oey di dua sekolah tertua di Amerika Serikat, yaitu College of William and Mary (1968—1970) dan Harvard University (1972—1974). Mayling Oey adalah orang Indonesia pertama yang mencapai Ph.D di bidang demografi yang diperolehnya dari Australian National University tahun 1982. Mayling banyak berperan di lembaga penelitian dan konsultasi Insan Hitawasana Sejahtera (IHS) yang berfokus pada masalah sosial, ekonomi, dan demografi, seperti kemiskinan, gender, dan keterbatasan akses kaum marginal pada sarana dan prasarana sosial serta pelayanan publik. Di samping itu, Mayling baru menyelesaikan tugas sebagai anggota DRN (Dewan Riset Nasional) periode 2005—2011 dan sejak 2008 menjadi anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia).[1] Pengabdian Mayling Oey pada masyarakat ditujukan oleh keterlibatannya dalam berbagai LSM dalam maupun luar negeri. Tulisan berbentuk artikel dan buku telah banyak dihasilkan, beberapa di antaranya The Role of Manufacturing in Labour Absorption: Indonesia since the 1970s, Changing Works Patterns of Women in Indonesia during 1970, serta buku berjudul Demographic Factbook of Indonesia. Buku-buku Mayling lainnya berjudul Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini dan Indonesian Women: The Journey Continues. Untuk pidato pengukuhan sebagai Guru Besar FEUI, Mayling Oey menyiapkan “Mendobrak Langit-Langit Kaca: Lambat Memang namun Tak Terelakkan”. Jurnal Perempuan mewawancarai Mayling Oey tentang kebijakan dalam hal kependudukan berkaitan dengan status ekonomi perempuan dan dampaknya pada kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan. Di rumah yang teduh dan penuh buku, kami diajak ke pondok kerjanya untuk membahas segala persoalan ini dengan panjang lebar. Jurnal Perempuan (JP): Ibu Mayling adalah ahli pertama di Indonesia dalam bidang demografi. Apakah yang perlu kita ketahui tentang demografi? Mayling Oey (MO): Demografi bila dipahami secara awam adalah mempelajari soal perubahan penduduk yang disebabkan oleh ada yang dilahirkan (juga disebut fertilitas) dan ada yang meninggal (disebut juga mortalitas), juga ada yang pindah masuk (migrasi masuk), dan ada pula yang pindah keluar (migrasi keluar)—berkaitan dengan TKI. Di samping itu, demografi juga mempelajari tentang lamanya hidup seseorang atau sekelompok orang dan dinamika kependudukan berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi dan tentu saja kesejahteraan. Dengan latar belakang pendidikan saya sebelumnya, yaitu sosiologi, demografi yang saya geluti tidak menekankan pada matematika atau hitungannya, tetapi lebih mempelajari aspek sosial dari kependudukan itu. Misalnya, kesejahteraan berhubungan terbalik dengan harapan hidup. Semakin kurang sejahtera seseorang, kemungkinan umurnya semakin pendek, atau sebaliknya, semakin sejahtera, semakin tinggi kemungkinan dia bisa hidup lebih lama. Kalau tidak sejahtera, kemungkinan dia lebih rentan terhadap penyakit sehingga bisa menyebabkan kematian. Umumnya, yang lebih sejahtera lebih mampu bersekolah, lebih mampu menjaga kesehatan. Misalnya, saya bisa bayar dokter karena saya sudah cukup sejahtera. Orang yang lebih atau kurang sejahtera, seperti apakah pendidikan dan kesehatannya? Bagaimana pola dan cara hidupnya? Semua itu dapat dipelajari. Studi kependudukan dapat dipahami dengan pertanyaan awam: mengapa kematian bayi tinggi? Mengapa ibu yang melahirkan, ada yang meninggal ada yang tidak? Itu kalau kita bicara soal kematian ibu. Lalu, pekerjaan apa yang dilakukan oleh mereka yang lebih sejahtera atau yang kurang sejahtera? Biasanya semua itu sangat terkait dengan perekonomian. Sampai sekarang yang masih sukar dicapai adalah meningkatkan proporsi angkatan kerja di sektor formal. Data BPS tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya 1/3 (34%) pekerja terserap dalam sektor formal (Sakernas Agustus 2011). Sebaliknya, 2/3 terpaksa mencari sesuap nasi di sektor informal. Apakah sektor formal itu? Yaitu sektor yang terlindungi oleh hukum. Pekerja sektor formal diikat dengan tanggung jawab dan hak yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja, lembaga yang berbadan hukum yang harus mengikuti aturan negara. Karena mengikuti aturan negara, maka pekerjaannya terlindungi oleh aturan negara tersebut. Sektor informal yang meliputi 2/3 keseluruhan pekerja, banyak diisi perempuan. Jadi, perempuan kecenderungannya lebih banyak di sektor informal atau sektor yang tidak terlindungi. Dulu banyak literatur yang mengatakan, “Perempuan mau saja diperlakukan tidak adil, mereka diam saja.” Menurut saya, mereka berperilaku demikian bukan karena tidak berani, melainkan memang kelemahan status mereka. Mereka memang tidak mampu untuk berjuang setingkat laki-laki. Status mereka dipekerjakan jauh lebihrentan daripada laki-laki walaupun belakangan ini memang terjadi perubahan. JP : Perubahan seperti apa yang dimaksud? MO: Perubahannya sangat dipengaruhi perubahan mendasar di pendidikan. Pendidikan sekarang makin dapat diakses oleh perempuan. Mungkin 20 tahun yang lalu perempuan ketinggalan, tetapi sekarang tidak lagi. Anak perempuan diberi akses sama pada pendidikan seperti anak laki-laki. Hal ini tidak hanya berlaku pada tingkat pendidikan terendah, tetapi hingga perguruan tinggi. Perkembangan di Indonesia sebenarnya searah dengan yang terjadi di dunia. Paling menarik adalah gejala di dunia, termasuk Indonesia, mengenai perkembangan di tingkat perguruan tinggi yang jauh lebih cepat untuk perempuan daripada laki-laki. Antara 1970 hingga 2008, jumlah siswa perempuan meningkat lebih dari tujuh kali (dari 10,8 juta menjadi 80,9 juta), sedangkan jumlah siswa laki-laki hanya meningkat empat kali (World Bank, World Development Report 2012: 108). Kalau dahulu kesenjangan gender begitu lebar, sekarang sudah praktis tak ada dan bahkan telah berbalik. Contohnya, semester lalu saya mengajar empat kelas. Isinya lebih banyak perempuan semua. Di pascasarjana, dari 14 mahasiswa, 10 adalah perempuan. Ini merupakan pengalaman pertama untuk saya ketika perempuan begitu dominan di kelas saya. Siangnya saya mengajar di S1 yang mencatat 20 dari 34 mahasiswa saya adalah perempuan. Ini di fakultas ekonomi. Di sekolah swasta yang agak mahal, rupanya juga lebih banyak perempuan. Hipotesis saya dulu adalah bahwa laki-laki lebih banyak sekolah daripada perempuan karena memang dalam keterbatasan keuangan keluarga, prioritas diberikan kepada laki-laki, karena waktu itu kesempatan kerja untuk perempuan sangat terbatas sehingga investasi dalam pendidikan kurang memberikan hasil bagi keluarga di kemudian hari. Dulu, perempuan kelas menengah atas diberi tahu, buat apa sekolah nanti, kan, juga berakhir di dapur saja. Memang masuk akal karena ketika itu perempuan hampir tidak ada kesempatan kerja, hanya akan berakhir di dapur. Perubahan status ekonomi ini sebetulnya juga didorong oleh pendidikan, yang di satu pihak memperluas wawasan dan kemampuan, di lain pihak sistem pendidikan juga membuka kesempatan kerja bagi perempuan. Hal ini dimulai sejak 1970-an ketika Indonesia punya uang berlebih yang tiba-tiba, dihasilkan bukan karena kita kerja, melainkan karena harga jual minyak bumi yang tiba- tiba naik dan cadangan masih banyak. Sebagian dana itu dialirkan ke sektor sosial, sebagai, misalnya, program SD Inpres yang membutuhkan tenaga guru, pekerjaan yang layak bagi perempuan. Inilah kesempatan pertama bagi perempuan memperoleh pekerjaan di sektor formal sebagai pegawai negeri karena persyaratan SD Inpres adalah agar terdapat sekurang-kurangnya satu sekolah per desa. Program ini betul-betul meluas. Akibat lain adalah bahwa sekolah menjadi dekat. Kalau sebelumnya perempuan tidak diperbolehkan sekolah karena jarak sekolah yang sangat jauh, SD Inpres mendekatkan sekolah pada rakyat. Itulah awal orang mengatakan, “Ternyata perempuan itu bisa juga dapat pekerjaan.” Dan, pekerjaan tersebut di sektor formal. Investasi kedua waktu itu adalah dalam bidang kesehatan. Bersamaan dengan program SD Inpres, juga diberlakukan program puskesmas. Kalau SD pada tingkat desa, puskesmas pada tingkat kecamatan. Memang belum banyak, tetapi jauh lebih banyak dari sebelumnya. Puskesmas juga membuka kesempatan kerja bagi perempuan. Kedua program ini betul-betul mendobrak kepercayaan bahwa perempuan tidak perlu sekolah karena, toh, hanya berakhir di dapur. Sejak itu orang tua sadar bahwa anak perempuan tetangga bisa menjadi pegawai negeri karena sekolah. Berarti, anak perempuan yang bersekolah akan lebih mampu mengurus orang tua ketika mereka menjadi tua, sebagai jaminan hari tua. Tahun ‘70-an, fertilitas (angka kelahiran) masih tinggi dan mulailah BKKBN berperan untuk mensosialisasikan sesuatu pengertian yang salah, yaitu “banyak anak banyak rejeki”. Sebenarnya, keadaan yang berlaku adalah bahwa banyak anak banyak kemiskinan. Ketika itu, banyak sekali program pembangunan sosial dan ekonomi terjadi bersamaan. Pada masa itu, fertilitas tinggi, mortalitas (angka kematian) juga tinggi, dan orang tua perlu kepastian bahwa nanti waktu mereka tua, masih ada yang mengurus mereka. Kalau anak cuma satu atau dua, begitu tua siapa yang mengurus dia? Semua ini juga berkaitan dengan agama. Semua agama mengatakan menikah itu untuk reproduksi, disuruh beranak- pinak. Kalau sekarang, anak yang diharapkan mengurus dia diganti tabungan atau harta untuk bisa bayar ke dokter. Dengan adanya pendidikan, dengan sarana prasarana kesehatan membaik, orang juga bisa hidup lebih lama. JP : Bagaimana dengan periode tahun berikutnya? MO: Pada pertengahan 1980, kita tidak begitu kaya lagi. Harga disesuaikan kebutuhan anggaran. Waktu harga minyak naik lagi, cadangan sudah berkurang dan tidakseimbang lagipengeluaran kitadengan kebutuhan. Apakahyangterjadi bila anggaran berkurang? Di mana pun termasuk Indonesia, akan dilakukan pengurangananggarandi sektorsosial,yaitupendidikandan kesehatan. Memang kelihatan waktu itu ada penurunan sedikit, sementara dirasakan harus ada sesuatu yang dilakukan. Waktu itu menteri keuangan melaksanakan deregulasi atau mengurangi regulasi yang memungkinkan swasta lebih berperan. Aturan perbankan diubah, lalu bank-bank berjamuran. Demikian juga berbagai aturan perizinan diubah. Akibatnya terjadi yang dinamakan substitusi impor, ketika asing berinvestasi di sektor industri Indonesia. Kita mulai menghasilkan barang-barang jadi yang sebelumnya diimpor. Industri padat karya berskala internasional seperti merek sepatu Nike dan lain-lain berkembang di Indonesia. Inilah yang membuka kesempatan kerja bagi perempuan yang dianggap lebih sabar dan teliti. Fakta ini mengubah pandangan orang tua tentang pendidikan anak perempuannya. Pendidikan buat anak perempuan akan sangat berarti, akan memungkinkan anak perempuannya memperoleh kesempatan kerja yang dibayar. Orang tua mengetahui bahwa pendidikan membawa harapan, termasuk harapan mengurus dirinya di hari tuanya. Perubahan itulah yang menyadarkan orang tua akan pentingnya kesediaan orang tua berinvestasi dalam pendidikan anak perempuannya. JP: Kembali tentang sektor formal dan pendidikan yang kini dapat diakses perempuan, apakah sudah cukup? MO: Tentu saja masih jauh dari cukup. Masalahnya, perekonomian kita belum mampu membuka kesempatan kerja di sektor formal dengan kecepatan yang memadai keluaran sistem pendidikan tinggi. Walaupun demikian, sebagaimana saya ungkapkan sebelumnya, di Indonesia pun perempuan makin mendominasi mahasiswa perguruan tinggi. Keadaan Universitas Indonesia memberi gambaran yang dapat dianggap sebagai pedoman perkembangan komposisi gender mahasiswa perguruan tinggi umumnya. Di antara pelamar tahun akademik 2011—2012, 55% adalah perempuan. Mahasiswa baru 55% adalah perempuan, lulusan universitas 50% perempuan, lulusan cumlaude 70% perempuan. Di sektor formal, perempuan sudah banyak masuk, tetapi begitu sebagai pengambil keputusan, “pintu ditutup”. Karena KKN masih banyak terjadi di daerah yang masih mengandalkan organisasi tradisional, maka dalam pemilihan dan penempatan PNS tetap saja prioritas diberikan kepada pria. Jadi, kalau lihat skala nasional, tetap masih hanya di beberapa kota seperti di Jakarta yang makin banyak karyawannya adalah perempuan. Di lembaga pemerintah eselon rendahan, makin banyak diduduki perempuan yang memang juga lebih mampu secara akademis. Hal ini berkaitan dengan lebih sukarnya untuk perempuan memperoleh kesempatan kerja dan kedudukan manajerial di pemerintahan, maka perempuan yang berhasil memang diperoleh secara lebih selektif. JP : Apakah akan berubah? MO: Ya. Saya percaya bahwa keadaan harus berubah. Dengan Indonesia terus berusaha mengejar pembangunan, maka organisasi lembaga pemerintahan juga harus berubah menuju organisasi modern dan rasional, memberikan kedudukan pada yang mampu. Perubahan itu akan terjadi dengan pendidikan. Karena pendidikan, bagaimana pun juga, memberikan perluasan wawasan, kemampuan, dan menaikkan kepercayaan diri. JP : Bicara ekonomi dan perempuan, muncul banyak konsep tentang feminisasi kemiskinan. Bagaimana menurut Ibu? MO: Terus terang, saya tidak tahu bagaimana mengukur feminisasi kemiskinan secara nasional. Kalau dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu, iya. Maksud saya, dalam banyak masyarakat, perempuan hidup lebih lama. Maka, di antara yang miskin dan tua dan makin tua, kebanyakan adalah perempuan. Tapi, secara nasional tidak bisa diukur karena secara nasional, kemiskinan itu diukur dari pendapatan atau pengeluaran rumah tangga. Di situ jumlah laki- laki dan perempuan hampir sama. Kalau dikatakan makin banyak perempuan yang jadi tua, misalnya Merapi meletus, yang menjadi korban kebanyakan perempuan dan tidak ada bantuan dari negara, itu iya. Feminisasi kemiskinan itu sebetulnya konsep dari subkontinen sekitar India yang belum tentu benar untuk di sini. Begitu juga konsep di Amerika yang belum tentu bisa benar untuk di sini. Budaya dan agama India menentukan status perempuan di bawah laki-laki dan perempuan praktis menjadi milik keluarga laki-laki ketika menikah. Di Amerika benar ketika perceraian meningkat perempuan menjadi sulit karena tanggungan setelah cerai harus diurus sendiri. Meskipun dapat perlindungan sosial dari negara, itu tidak cukup, dan itu jumlahnya banyak. Di sini kita tak bisa ukur, kecuali secara nasional. Kalau dikatakan itu tadi (feminisasi kemiskinan), di antara perempuan yang masih single banyak sekali yang kaya, yang main di bursa. Jumlah mereka ini mengimbangi kelompok perempuan yang miskin itu. Jadi, kalau dirata-ratakan secara nasional, tidak ada feminisasi kemiskinan. Belum lagi yang muda-muda berpendidikan tinggi seperti bankir, memangnya mereka miskin? Begitu pun dengan ibu rumah tangga yang tinggal di apartemen. Ibu muda juga ada yang bergaji besar sekali. Kalau saya bertemu, mereka yang muda-muda mampu belanja di toko, di mal yang mahal-mahal. Mereka ini mengimbangi yang kalau dihitung total, they’re very educated, high incomes yang angkanya saja puluhan juta, belanjanya merek-merek mahal. Pertumbuhan mereka bahkan lebih cepat dari yang tua dan miskin itu. JP: Apakah komitmen kita tentang MDGs (Millenium Development Goals) akan tercapai? MO: Dalam bidang kesehatan tidak akan tercapai. Bidang pendidikan, ya, sudah tercapai. Kalau diukur sebagai Angka Partisipasi Kasar[2] yang digunakan pemerintah, maka untuk tingkat SD sudah mencapai 112%, tingkat SLTP 80%, tingkat SLTA 63%, namun untuk tingkat pendidikan tinggi baru mencapai 16% (BPS, Susenas 2010). JP : Bila SD, SMP, sampai SMA berhasil mencapai lebih dari 50%, mengapa tingkat perguruan tinggi hanya 16%? MO: Inisoal demand dan supply karena tidak banyak pekerjaanyang membutuhkan pendidikan tinggi sehingga permintaan akan pendidikan tinggi juga terbatas. Pada tingkat pascasarjana, permintaan pendidikan tergantung dari bidang ilmu. Saya bicara dengan Dikti. Saya dari fakultas ekonomi yang guru besarnya sedikit sekali, terutama akuntansi dan manajemen. Kita mau merekrut lulusan kita untuk melanjutkan pendidikannya ke pascasarjana. Hal itu tidak mudah karena mereka memilih langsung kerja. Sementara, di fakultas sains, penuh doktor dan profesor, justru karena tidak laku (di lapangan kerja). Mahasiswa mencari yang mudah karena hanya meminta secarik kertas saja (ijazah). Pasar pendidikan tidak untuk mencari pengetahuan, tetapi “membeli ijazah”. Kalau perguruan tinggi swasta, programnya cenderung occupational. Jadi, yang dibuka adalah program yang mengajarkan skills (keterampilan), bukan ilmu pengetahuan. Program seperti ini, biasanya akuntansi, manajemen, arsitektur, desain produk, desain komunikasi visual, komunikasi, psikologi, dsb. Negara lain, seperti Malaysia, berani investasi di bidang pendidikan. Di Indonesia, pendidikan disubsidi sampai 20% dari APBN dan APBD. Sayangnya, sebagian besardigunakan untuk gajian, sedangkan bagian yang benardigunakan untuk mengembangkan pendidikan, tinggal sedikit, antara 10—20%. JP : Bagaimana dalam hal kesehatan? MO: Di MDGs kita berjanji untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) hingga 3/4 dari keadaan tahun 1990 atau menjadi 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Perkiraan terakhir (yang juga tidak terlalu pasti) menunjukkan angka 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup untuk periode 2003—2007 (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI, 2007). Memang, masa lampau Indonesia berhasil menurunkan AKI dari 390 untuk periode 1990—1994 menjadi 334 untuk periode 1993—1997 dan 307 untuk periode 1998—2002 (SDKI), cukup drastis, yaitu sekitar 21%. Namun, menurunkan AKI dari 200-an kematian tidak terlalu mudah. Jadi, kalau angkanya masih jelek sekali, memperbaiki gampang. Kalau sudah membaik, perbaikannya tidak begitu gampang. Salah satu alasannya begini. Memang kelahiran yang dibantu dengan tenaga terdidik meningkat, sekarang sebagian besar kelahiran sudah ditangani tenaga terdidik, terdiri dari dokter umum (1%), dokter ahli kandungan (12,6%), dan perawat, bidan, atau bidan di desa (59,4%) (SDKI 2007). Tetapi, sekarang penyebab kematian ibu adalah karena kasus yang sulit, yaitu bukan soal kelahiran normal. Kalau kelahiran sukar, dampak kematian seperti pendarahan harus cepat ditangani. Untuk ke Puskemas yang letaknya di ibu kota kecamatan, kemungkinan terlalu jauh, terutama bagi yang kurang mampu. Nah, makin banyak pendarahannya. Sesampai di puskesmas, ternyata kasusnya lebih sulit dari yang diperkirakan. Puskesmas terdekat sering tidak dapat menanganinya dan merekomendasi agar ditangani di rumah sakit. Sementara, rumah sakit letaknya di kabupaten. Sampai puskesmas saja, si ibu sudah pingsan, sampai rumah sakit akhirnya banyak yang meninggal. Jadi, ini soal mata rantai yang kepanjangan. Dan, jangan lupa, kebanyakan bidan itu swasta, begitu pula dokternya. Segi lain, pengetahuan bidan terbatas. Bidan di desa sering tidak dapat mengidentifikasi komplikasi karena tidak punya pengetahuan yang dibutuhkan. Kemudian dia harusapa, juga tidak tahu. Saya ke Papua, kepadatan penduduknya rendah sekali, jaraknya berjauhan. Saya waktu di Wamena, untuk ke kecamatan sebelah itu jaraknya berjam-jam. Sampai sana tidak ada bidan. Bidannya di kota. Atau pula, bidan yang ada, pengetahuannya sangat terbatas. Bagaimana mau mengajari, sekolahnya saja tak ada. Desa sangat kurang sekolah. Jadi, bagaimana dia tahu kalau ada komplikasi? JP : Apakah kesulitan tersebut disebabkan pula oleh tidak adanya program atau kebijakan daerah setempat? MO: Pusat (nasional) tetap memegang peran besar. Daerah memang tidak ada uang walau sebetulnya itu menjadi tanggung jawab daerah. Misalnya, untuk membayar bidan, anggaran sudah dihabiskan untuk hal-hal lain. Dulu, program imunisasi mudah karena sentralisasi. Adanya desentralisasi, adanya otonomi, tapi tidak bertanggung jawab pada konstituennya, tanggung jawab pada kantong sendiri. Sekarang, program pemerintah banyak yang kerjanya membangun gedung. Puskemas banyak yang bagus, tetapi begitu masuk bagian darah, saya tidak betah karena kotor. Bayangkan, bagian darah dengan ruangan yang kotor? Saya jadi memilih rumah sakit swasta yang terjamin kebersihannya. Kita ini tidak punya sense. Dapat membangun gedung, tapi lihatlah dalamnya. Pemerintah hampir tidak menyediakan dana pemeliharaan. Kalau dahulu tidak ada kapro (kepala proyek) pemeliharaan, sekarang tidak ada satker (satuan kerja) pemeliharaan. Yang ada, ya, proyek membangun gedung dan membeli barang, seperti proyek Palembang dan Hambalang yang sekarang menjadi kasus yang ditangani oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). (Mariana Amiruddin) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2012 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 74, 2012. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. [2] Angka Partisipasi Kasar diukur sebagai rasio antara semua penduduk yang mengikuti suatu tingkat pendidikan dibagi penduduk usia tingkat pendidikan bersangkutan. Karena masih banyak siswa SD terlambat memulai sekolah dan harus mengulang kelas, maka mereka berusia melebihi usia formal SD, 12 tahun. Hal ini lebih banyak ditemukan di antara anak kurang mampu. Pada suatu hari, Heni datang ke sebuah rumah besar di wilayah Godean, Yogyakarta. Kedatangannya adalah untuk memintakan izin Lasmi, Pekerja Rumah Tangga (PRT) di rumah tersebut kepada majikannya untuk mengikuti pertemuan yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Rumah Tangga yang anggotanya juga para pekerja rumah tangga. Sesampai di rumah majikan Lasmi, Heni langsung bertemu dan bicara secara baik-baik dengan majikan atas niat kedatangannya untuk meminta izin bagi Lasmi. Namun, bukan izin yang ia terima, sang Majikan justru marah karena ajakan Heni itu dianggap mengganggu tugas dan pekerjaan Lasmi sebagai PRT. “Lasmi belum boleh keluar rumah karena Lasmi masih harus mengerjakan pekerjaan yang belum selesai. Jam kerja Lasmi nanti selesai jam 20.00. Ia harus mengerjakan tugas akhirnya mencuci piring sehabis kita makan malam,” ujar sang majikan seperti yang ditirukan oleh Heni. Itulah bagian dari kehidupannya yang harus terus dihadapi oleh perempuan muda bernama lengkap Yuli Maiheni ini. Di kalangan sejumlah PRT, sosok Heni tidaklah asing sebagai “pejuang” perlindungan hak-hak PRT. Kegigihannya dalam memperjuangkanperlindunganhukumbagi PRTinilahyang membuatnyadipercaya oleh teman-teman sesama PRT untuk menjadi ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga Tunas Mulia yang memang sudah ia geluti sejak beberapa tahun yang lalu. Di Serikat PRT inilah ia kini mengorganisasi sebanyak 150 orang PRT yang mencakup seluruh wilayah di Yogyakarta. Ia sadar bahwa apa yang dilakukannya bukanlah pekerjaan mudah. Tidak hanya kultur masyarakat yang masih memandang rendah pekerjaan PRT, namun juga struktur negara masih belum bisa mengakomodasi kebutuhan PRT sebagai pekerja yang mempunyai hak-hak yang perlu dilindungi. Heni adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir di Yogyakarta, 15 Juli 1975. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh orang tuanya, membuat Heni akhirnya harus tinggal dan diasuh oleh neneknya di DIY. “Saya korban broken home, orang tua saya bercerai dan masing-masing kini sudah menikah kembali. Maka, jadinya saya dititipkan ke si Embah,” ujar Heni. Ia pun sadar bahwa keterbatasan biaya membuatnya tidak bisa melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Sekolah Menengah Pertama adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ia selesaikan, setelah itu ia mulai bekerja. Awalnya ia tidak pernah menyangka bahwa harus menjadi PRT. Namun, kondisilah yang membuatnya harus melakukan pekerjaan itu. Ajakan menjadi PRT awalnya datang dari tetangga yang mencari PRT untuk sebuah keluarga di Jakarta. Meski mulanya sempat ragu, desakan ekonomi membuat ia menerima tawaran itu. Empat tahun ia menjalaninya untuk kemudian kembali lagi ke Yogyakarta. “Ini suatu pengalaman lucu. Saya itu, kan, relatif dimanja oleh nenek saya, hampir semua pekerjaan rumah, nenek yang melakukannya. Apalagi memasak, saya enggak bisa sama sekali. Saya sempat kebingungan selama beberapa minggu sama apa yang saya lakukan. Tapi, syukurlah saya bisa belajar dan menjalani pekerjaan dengan baik,” kenang Heni. Setelah empat tahun bekerja di Jakarta, sang Nenek memintanya untuk tidak melanjutkan pekerjaan itu. Heni pun memutuskan untuk mencari pekerjaan di Yogyakarta saja. Sampai akhirnya, ia menemukan keluarga yang baru di wilayah Godeaan, Yogyakarta. Perempuan ini bersyukur karena di tempatnya bekerja ia diberi banyak sekali kemudahan dan kesempatan bagi dirinya untuk berkembang. Selain dibuka selebar-lebarnya untuk mengikuti kegiatan di perumahan, Heni pun mendapat sejumlah keterampilan, seperti memasak, menjahit, dan sebagainya. Membangun Posisi Tawar PRT Sama halnya ketika ia menjadi PRT untuk pertama kalinya, menjadi aktivis PRT pun bukanlah cita-cita yang ia kehendaki sebelumnya. Meskipun tidak mempunyai cita-cita menjadi aktivis, berorganisasi adalah aktivitas yang sudah ia tekuni sejak masih sekolah. Ia pernah menjadi pengurus Karang Taruna di tempat tinggalnya, sebelum ia memutuskan untuk bekerja. Kepedulian akan nasib PRT yang hampir selalu ia dengar dari sesama PRT, membuatnya tersentak untuk memperjuangkan suara hati PRT yang sering kali tidak pernah muncul di ruang publik. Dalam mengorganisasi PRT, hal mendasar yang menjadi substansi dari aktivitas ini adalah membangun posisi tawar PRT, khususnya di hadapan para majikan. Dalam banyak kesempatan, posisi PRT sering tidak setara di hadapan majikan. Inilah yang menyebabkan munculnya sejumlah persoalan antara PRT dan majikan. Hal ini tentunya berujung pada PRT yang selalu menjadi korban akibat ketidakberdayaannya. Membangun posisi tawar, kedudukan, dan peran PRT inilah yang menjadi motivasi Heni untuk terus berjuang mengorganisasi PRT. Ia getol melakukan penyadaran hak-hak terhadap teman-teman PRT-nya. “Sebagian besar PRT itu tahunya hanya kewajibannya. Hampir sebagian besar tidak mengetahui apa hak- hak mereka sebagai PRT. Lemahnya pengetahuan akan hak-hak ini membuat PRT sering menjadi korban eksploitasi para majikan yang tidak bertanggung jawab,” ujar Heni. “Hal penting yang terus diperjuangkan untuk PRT, yaitu mengenai hak dan kewajiban PRT secara adil. PRT berhak mendapat perlindungan, PRT berhak mendapat upah, PRT berhak libur satu hari dalam satu minggu, PRT berhak mendapat cuti hari besar, PRT berhak mendapat THR, PRT bebas berorganisasi, dan PRT berhak atas jaminan kesehatan,” jelas Heni. Namun demikian, apa yang diperjuangkan Heni ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia harus menghadapi persepsi masyarakat yang masih menganggap bahwa PRT adalah pekerjaan yang rendah. Ia sangat maklum jika dirinya tidak boleh lelah untuk selalu berhadapan dengan para majikan yang masih belum terbuka kesadarannya akan hak PRT, termasuk juga Heni harus menghadapi ketidaksensitifan pemerintah dalam memandang persoalan PRT yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal yang lebih sulit lagi menurut Heni adalah menghadapi teman-temannya sesama PRT yang masih belum menyadari akan pentingnya berorganisasi dan pentingnya mengetahui hak-hak sebagai PRT. “Kadang kala, ada ketakutan dari teman-teman PRT sendiri ketika diajak berorganisasi dan menuntut haknya. Mereka biasanya takut tidak mempunyai pekerjaan lagi setelah ia dipecat oleh majikannya gara-gara menuntut haknya,” jelas Heni. “Biasanya kalau saya mendapat keluhan semacam ini, saya langsung tunjukkan data yang ada. Data itu menunjukkan bagaimana tingkat permintaan akan PRT itu tinggi, hal ini berarti PRT masih sangat diperlukan. Jadi, tidak perlu takut keluar dari satu keluarga karena masih banyak keluarga yang akan menampung,” tambahnya. Ia tidak pernah gentar dengan segala kesulitan itu. Justru dengan banyaknya tantangan inilah, ia semakin yakin bahwa apa yang ia perjuangkan adalah sesuatu yang benar meskipun ia sendiri terkadang merasa lelah menghadapi semua itu. “Pekerjaan ini susah dan melelahkan, terkadang saya sering frustasi, sudah susah payah saya mengajak, ternyata tidak ada respons. Belum lagi marah-marah majikan yang selalu saya terima, pusing jadinya,” keluh Heni. “Setiap saya mendengar masalah yang datang dari PRT, hati saya seolah- olah selalu terpanggil untuk melakukan sesuatu. Kalau sudah begini, saya tidak mempedulikan lagi segala kesulitan yang akan saya hadapi, yang penting saya bisa membantu,” tegasnya. Itulah sepenggal motivasi yang terus ia pertahankan. “Saya ingin teman-teman saya yang PRT menjadi sadar akan hak-haknya. Mereka selama ini lemah, tidak mempunyai posisi tawar yang baik di hadapan majikan. Akibatnya, gaji mereka tidak jelas, jam kerja mereka tidak jelas, mereka tidak dapat libur, kasihan. Belum lagi, tindakan kekerasan yang sering dialami PRT oleh majikan karena alasan yang tidak jelas pula,” ungkap Heni. “Kebanyakan majikan ini tahunya hanya kewajiban PRT, tetapi mereka tidak mau tahu soal hak PRT,” ungkap Heni. Bila mengenang perjalanan hidupnya, lagi-lagi ia bersyukur dan merasa beruntung mempunyai majikan yang begitu terbuka terhadap kemajuan dirinya. Kesempatan inilah yang tidak disia-siakan olehnya untuk mengikuti kegiatan organisasi di sekitar tempatnya bekerja. Kebetulan, waktu itu ada sekelompok masyarakat yang peduli akan nasib PRT di masjid sekitar tempat Heni bekerja yang melakukan pengajian khusus untuk para PRT. Dari sejumlah pengajian inilah, ia akhirnya mengenal Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND), sebuah organisasi masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap para PRT. RTND menawarkan pendampingan kepada para PRT di wilayah tempat Heni bekerja untuk lebih mengenal hak-hak dan melakukan pengorganisasian. Ia tidak menyia-nyiakan tawaran ini, apalagi hal itu akan memberikan kontribusi yang positif bagi dirinya dan teman-temannya. “Saya waktu itu memang tidak mengerti sama sekali apa itu hak-hak PRT, jadinya ketika ada semacam pendampingan dari teman-teman RTND, saya sangat tertarik untuk bergabung,” ujar Heni. Heni “terjebak” di ruang yang benar. Ia tenggelam dalam kerja-kerja pendampingan, penyadaran, dan pengorganisasian para PRT dengan tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai PRT. Ia pun mendapat dukungan yang kuat dari majikannya, bahkan sang Majikan beberapa kali menawarkan kepada Heni untuk membuat pertemuan di rumahnya ketika sang Majikan pergi. “Majikan saya itu baik benar. Waktu itu saya minta izin mau ada pertemuan, namun sang Majikan akan pergi. Majikan saya bukannya melarang, malah saya ditawari untuk bikin pertemuannya di rumah saja, sambil menunggu rumah. Jadi, pertemuannya tetap dilakukan dan rumah tetap terjaga dengan baik,” kenang Heni. Setelah beberapa tahun mendapat pendampingan, Heni dan teman-teman sesama PRT mulai merasakan manfaatnya. Di samping hak-hak yang semakin ia pahami, ia pun bersepakat membentuk organisasi yang semua anggota dan pengurusnya adalah PRT. Jadilah OPERATA, Organisasi Pekerja Rumah Tangga. Organisasi ini kini telah berkembang di delapan wilayah di Yogyakarta. Berkat keseriusannya, Heni pun terpilih menjadi koordinator OPERATA. OPERATA melakukan sejumlah kajian dan penyadaran kepada PRT di delapan wilayah dampingannya. Selain pengetahuan tentang hak-hak PRT, OPERATA juga melakukan penyadaran akan pentingnya kesehatan reproduksi perempuan, masalah gender, juga saling memberi sejumlah keterampilan. “Agar kami tetap kuat, jaringan OPERATA hampir rutin melakukan pertemuan yang bergantian tempatnya di delapan wilayah. Dalam pertemuan itu, kami saling berbagi pengalaman dan cerita nasib teman-teman PRT di tiap wilayah. Dari pertemuan ini pula, kami bisa memperoleh gambaran sejumlah persoalan-persoalan yang muncul di dalam PRT yang terus kami jadikan alasan mengapa OPERATA harus tetap ada,” kata Heni. Terbentuknya OPERATA tentunya bukanlah berita baik bagi para majikan. OPERATA terkadang dianggap organisasi yang akan mempengaruhi para PRT untuk malas bekerja dan menuntut macam-macam. Ketertutupan keluarga tempat para PRT tinggal ini menjadi hambatan yang paling serius yang dialami Heni dan teman-temannya ketika ingin mengorganisasi para PRT. “Jangankan untuk bergabung dan menjadi peserta aktif, bertemu para PRT ini saja sulit. Biasanya majikan melarang mereka, apalagi pertemuan ini dianggap tidak ada untungnya bagi sang Majikan,“ ujar Heni. Berangkat dari kondisi inilah, Heni dan teman-temannya bersepakat untuk membuat buletin Swara OPERATA. Meskipun dalam bentuk yang sederhana dan hanya ditulis tangan, buletin ini cukup informatif bagi para pembacanya. Swara OPERATA ditulis oleh para PRT dan ditujukan untuk PRT sehingga meskipun mereka tidak bisa hadir untuk mengikuti sejumlah pertemuan, mereka tetap mendapatkan informasi mengenai hak-haknya sebagai PRT dan berbagai informasi lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, Heni merasa jaringan OPERATA ini masih dianggap lemah, khususnya ketika berhadapan dengan pihak pemerintah. Sejumlah persoalan akhirnya harus kalah hanya karena posisi tawar yang rendah. Melalui sejumlah diskusi, akhirnya Heni dan teman-temannya sepakat memperluas lingkup organisasi ini menjadi sebuah serikat pekerja. Jadilah, Serikat Pekerja Rumah Tangga Tunas Mulia yang dideklarasikan pada 27 April 2003. Seiring dengan perubahan organisasi, mereka mengganti buletin Swara OPERATA menjadi Swara Serikat dengan lingkup yang lebih luas. Heni pun segera mendaftarkan kedudukan Serikat Pekerja Rumah Tangga ini ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Propinsi DIY. Anehnya, waktu yang dibutuhkan untuk pencatatan di Disnaker terbilang sangat lama. “Saya heran mengapa pencatatan ini cukup lama, sampai makan waktu enam bulan, padahal menurut informasi dari teman-teman serikat pekerja lainnya, paling lama pengurusan pendaftaran ini hanya membutuhkan waktu satu minggu. Jadi, itulah, posisi PRT di lingkungan pemerintah pun belum dilindungi,” ujar Heni. Sosok Heni tidak hanya dikenal di kalangan PRT. Sejumlah LSM pun sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh Heni. Lita, misalnya, salah seorang aktivis PRT yang juga menjadi sahabatnya mengatakan bahwa Heni adalah sosok yang bisa dijadikan contoh bagaimana cara mengorganisasi PRT. “Heni adalah kawan saya belajar berorganisasi, belajar memetakan masalah, baik sebagai PRT maupun sebagai perempuan. Ia dan teman-temannya sangat tekun belajar sampai akhirnya mampu memperjuangkan nasib PRT melalui pendirian serikat,” kata Lita. Menurut Lita, Heni adalah sosok yang tidak mudah menyerah. Kegagalan bukan merupakan akhir segalanya. Heni selalu mencari jalan lain untuk mencapai sukses. “Beberapa kali dia menghadapi kegagalan karena memang mengorganisasi PRT ini sulit, jangankan untuk berorganisasi, kadang kala untuk hidupnya sendiri saja, PRT merasa kesulitan. Kegagalan itu akhirnya ia pecahkan bersama teman- teman untuk mencari jalan alternatif lainnya,” jelas Lita. KetekunannyadalampengorganisasianPRTmembuatnyamendapatkesempatan untuk belajar berbagai pelatihan dan mengikuti sejumlah seminar dan loka-latih, baik yang diselenggarakan di Yogyakarta, Jakarta, dan daerah-daerah lainnya. Bahkan, Committee For Asia Women pernah memintanya untuk hadir sebagai delegasi dari Indonesia guna menghadiri pertemuan yang membahas masalah PRT di Hongkong beberapa waktu yang lalu. “Saya senang sekali mendapat kesempatan berangkat ke Hongkong. Saya bisa bertukar pikiran dengan teman-teman dari Filipina, Thailand, Hongkong, Malaysia, dan sebagainya,” ujar Heni. Merebut Perubahan Perubahan datang bukan seperti kado yang hadir begitu saja, perubahan harus direbut. Itulah yang dilakukan oleh Heni, ia tidak menanti perubahan akan nasib PRT, ia merebutnya melalui agenda-agenda yang terus ia kampanyekan. “Salah satu agenda yang terus saya desakkan adalah terwujudnya perda tentang perlindungan buruh migran. Perda ini kedudukannya sangat penting untuk memberi perlindungan bagi PRT. Dengan perda, hak-hak PRT dan kewajiban PRT akan terakomodasi dengan baik dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang harus ditaati oleh semua masyarakat,” ujar Heni. Menurut Heni, sejumlah kasus-kasus yang menimpa PRT menjadi tidak bisa diproses lebih jauh karena belumadanyaperlindungan hukumyanglebih baik untuk melindungi PRT. Heni mencontohkan kasus yang menimpa PRT bernama Sutini. Sutini ini sudah jelas-jelas disiksa oleh majikannya, namun karena perlindungan hukumnya belum ada, penderitaannya seperti tidak berarti apa-apa. Selain perlindungan hukum, dengan adanya perda ini, posisi tawar PRT di hadapan majikan akan jauh lebih kuat. PRT akan mempunyai surat kontrak kerja, akan jelas hak-haknya, kewajibannya, upahnya, dan sebagainya. Heni pun pernah merasakan sendiri ketika ia bekerja menjadi baby sitter dengan kontrak kerja yang jelas. Waktu itu ia pernah bekerja untuk orang Jepang yang bekerja di Yogyakarta. “Dengan kontrak kerja, pekerjaan saya menjadi lebih jelas. Saya bisa bernegosiasi soal gaji, saya mendapat jatah libur. Bagi orang Jepang itu, mereka merasa terbantu dengan apa yang saya lakukan, jadi tidak ada masalah dengan kontrak kerja,” ungkap Heni. Selain terbentuknya perda tentang perlindungan PRT, Heni juga berharap masyarakat sudah seharusnya memandang PRT secara lebih adil dan setara. PRT bukanlah pekerjaan yang rendah. PRT adalah pekerjaan yang perlu mendapat perhatian karena di dalamnya terdapat aspek kemanusiaan. “Agar penyadaran ini terjadi, saya dan teman-teman terus membuat agenda-agenda kampanye, baik yang ditujukan kepada masyarakat maupun kepada para PRT. Harapannya agar semua bisa menyadari pentingnya penghormatan kemanusiaan bagi PRT,” ujar Heni. Itulah sosok Heni, perempuan muda dengan sejuta keberanian untuk memperjuangkan hak-hak Pekerja Rumah Tangga. Ia adalah taman belajar yang memercikkan arti penting sebuah keadilan manusia. Ia tidak saja pejuang Pekerja Rumah Tangga, ia adalah pejuang kemanusiaan. Ia adalah matahari bagi Pekerja Rumah Tangga. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 39, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. |
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |