*Tulisan ini pernah dimuat dalam Wawancara pada JP 107 Perempuan dan Pandemi Covid-19 Dr. Pinky Saptandari saat ini adalah Dosen Senior di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP Unair Surabaya. Ia mengampu mata kuliah Antropologi Gender & Seksualitas, Antropologi Pembangunan, Antropologi Kesehatan & Gizi, Antropologi Psikologi & Psikiatri dan Antropologi Hukum. Pinky menempuh studi S1 bidang Sosiologi di Universitas Airlangga, lalu meneruskan pendidikan S2 bidang Antropologi di Universitas Indonesia. Pinky menamatkan studi S3 dan mendapatkan gelar doktor dari departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia dengan memepertahankan disertasinya yang berjudul Kebijakan Kesehatan Reproduksi dalam Wacana Tubuh Perempuan. Lebih dari 20 tahun, secara konsisten Pinky terlibat dalam upaya-upaya mendorong keadilan gender di Indonesia. Berbagai karya ilmiah baik berupa buku, modul dan jurnal ilmiah yang mengangkat isu keadilan gender telah ia hasilkan. Pinky secara kritis memberikan kritik-kritik terhadap situasi yang ketimpangan gender di Indonesia. Baginya isu-isu seperti kekerasan seksual, hak pekerja migran, perkawinan anak dan banyak lagi perlu mendapatkan perhatian serius dari negara dan masyarakat agar target SDGs tentang keadilan gender dan pemberdayaan perempuan sungguh tercapai di Indonesia. Pada periode 2009 hingga 2014, ia aktif menjadi Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Dalam perannya sebagai Ketua Wilayah bersama Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), Pinky terlibat aktif dalam merespons situasi Covid-19. Dalam kerja-kerja sosial yang ia lakukan, Pinky melihat bahwa perempuan memegang peran penting dalam merespons situasi bencana pandemi Covid-19. Dalam pengamatannya, agensi perempuan dan aksi-aksi kolektif berbasis pengetahuan lokal telah menghasilkan insiatif baik di tengah situasi kebencanaan. Dalam wawancara bersama Jurnal Perempuan, Pinky menyatakan bahwa dalam situasi pandemi perempuan mengalami kerentanan khusus karena pengaruh sistem budaya yang patriarkis, dan belum dipahaminya gagasan mengenai pola pengasuhan yang adil gender. Oleh sebab itu, menurut Pinky penting agar pengalaman perempuan dikenali dan diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pencegahan, penanganan dan pemulihan Covid-19. Baginya, kebencanaan Covid-19 ini perlu dilihat sebagai momen penting bagi negara dan masyarakat untuk lebih memahami dan menerapkan program pengarusutamaan gender, sebagai program kebencanaan responsif gender, jika tidak maka perempuan akan terus menerus mengalami kerentanan berlipat. Berikut adalah wawancara Pinky Saptari bersama Jurnal Perempuan. Bagaimana dampak pandemi Covid-19 terhadap perempuan jika dibandingkan dengan dampak pandemi Covid-19 terhadap masyarakat secara umum? Pandemi berdampak pada setiap aspek kehidupan manusia, tetapi dampak tersebut dirasakan secara berbeda-beda. Faktor-faktor seperti norma, budaya, ketidaksetaraan gender dan nilai patriarki membuat perempuan menjadi lebih rentan dalam menghadapi krisis ini. Dari aspek ekonomi, kita tahu bahwa ketika suatu keluarga mengalami tekanan ekonomi, suami mengalami PHK dan hilangnya pemasukan, maka perempuan akan jadi kelompok yang paling terdampak, sebab peran gender dan struktur sosial masyarakat kita mensyaratkan bahwa perempuan lah yang bertanggung jawab atas kelangsungan keluarga. Dengan demikian adanya pukulan ekonomi membuat beban perempuan menjadi meningkat. Ia harus berpikir dan berusaha lebih keras untuk bertahan di masa seperti ini. Pukulan ekonomi menimpa semua orang, tapi lagi-lagi dirasakan secara berbeda berdasarkan latar belakangnya. Perempuan miskin, perempuan kepala keluarga, perempuan difabel tentu mengalami covid secara lebih berat. Misalnya pada kolompok perempuan difabel tuna netra akan terdampak secara berbeda dengan kelompok difabel lainnya. Kelompok difabel, seperti pasangan suami-istri tuna netra, mereka yang semula mata pencahariannya adalah pemijat, telah tercerabut dari kerja-kerja tersebut dikarenakan pandemi Covid-19 ini. Pada kelompok ini mencari alternatif profesi bukan hal yang mudah. Pada kelompok tuna rungu misalnya, jika mereka tercerabut dari kerja mereka, dalam beberapa kasus mereka dapat beralih profesi menjadi pedagang makanan atau kue. Sedangkan pada perempuan tidak difabel dan berasal dari ekonomi yang berada, walaupun terdampak tetapi mereka memiliki pengetahuan, pemahaman tekonologi informasi (penguasaan sosial media), jaringan, dan modal-modal lainnya. Bagi para perempuan yang memiliki modal-modal ini, meski pandemi pasti berdampak pada kehidupan mereka, tetapi adanya kapasitas-kapasitas tadi memungkinkan mereka untuk melakukan bisnis makanan secara daring. Bersama AAI, selaku tenaga ahli, saya mendapat kepercayaan melakukan kajian tentang Pengembangan Model & Respon Kesehatan Komunitas Lewat Pendekatan Antropologi Dengan Mengintegrasikan Pemahaman Sosial Budaya ke dalam Kebijakan Percepatan Penanganan Pandemi Covid-19. Berdasarkan pendampingan dan pengamatan yang saya lakukan, saya mengetahui bahwa banyak perempuan ataupun kelompok mencoba beralih profesi lain, misalnya mereka mencoba usaha jejamuan, warung angkringan, warung makanan dan lainnya, sebagai cara bertahan di tengah pandemi ini. Mencoba usaha atau profesi baru tentu tidak mudah, sebab regulasi kesehatan atau protokol kesehatan yang ada mempengaruhi aktivitas masyarakat - mempengaruhi ruang gerak perempuan. Bagi perempuan yang mungkin lebih memiliki modal, kemampuan teknologi informasi, dan jejaring media sosial, peralihan profesi menjadi pedagang makanan secara daring mungkin tidak seberat pada perempuan dengan ekonomi yang lebih miskin dan akses internet terbatas. Dalam beberapa temuan, situasi Covid malah bisa melahirkan peluang bisnis bagi perempuan dan/atau kelompok perempuan. Misalnya banyak perempuan yang membuka bisnis makanan, bisnis jamu dan lain sebagainya. Beberapa perempuan yang memiliki penguasaan teknologi informasi dan kemampuan marketing yang baik melalui sosial media mungkin dapat lebih beradaptasi dengan situasi ini. Artinya mereka tidak begitu saja menjadi terpuruk. Perempuan yang memiliki modal, kemampuan melakukan ekonomi kreatif, modal sosial (jaringan), tentunya mengalami Covid-19 secara berbeda dengan kelompok yang tidak memiliki modal-modal tersebut. Tapi tentu ada alternatif dan peluang bagi perempuan-perempuan untuk jadi lebih berdaya, misalnya mereka yang terlibat dalam kelompok-kelompok, atau organisasi yang memiliki komitmen memberdayakan perempuan dan mendorong isu kesetaraan gender. Misalnya para perempuan yang terlibat dalam Sekolah Perempuan Nusantara. Di antara mereka banyak yang putus sekolah dan korban kekerasan, tetapi dalam prosesnya mereka tercerahkan dan diberdayakan dalam banyak hal termasuk dalam hal ekonomi. Tantangan perempuan dalam merespons dan beradaptasi dengan situasi Covid-19 sangat beragam berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Masih dalam kaitannya dengan akses terhadap internet dan penguasaan tekonologi informasi, perempuan mengalami kendala berlapis. Kita tahu bahwa Covid-19 ini membuat kegiatan belajar-mengajar anak berpindah dari sekolah ke ke rumah dengan basis internet dan tekonologi informasi. Pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan internet anak sekolah mengalami peningkatan, belum lagi beban pengasuhan umumnya dilimpahkan pada perempuan sebab masyarakat kita belum begitu memahami dan menerapkan pola pengasuhan yang adil gender. Ilustrasi ini menunjukkan sedikit dari banyaknya persoalan yang dihadapi perempuan secara khusus dalam situasi pandemi. Sedangkan dari segi kesehatan secara umum, dalam kaitannya dengan keterpaparan Covid, data menunjukkan bahwa kondisi perempuan tidak lebih rentan daripada laki-laki. Hal ini tampak dari angka positif Covid pada perempuan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu dari aspek kesembuhan, tingkat kesembuhan pada perempuan juga lebih tinggi. Tingkat kematian perempuan karena Covid juga lebih rendah. Tingkat kematian yang rendah ini bisa jadi berkait dengan tingkat angka harapan hidup ya, sebab angka harapan hidup perempuan secara umum memang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini juga mungkin dipengaruhi oleh tingkat kesadaran atas kesehatan dan kepatuhan terhadap protokol yang berlaku. Di antropologi sosial ada istilah vocabulary of illness, di mana perempuan cenderung lebih mudah dan leluasa untuk menyampaikan kondisi sakitnya dibanding dengan laki-laki. Faktor ini memengaruhi bagaimana kesadaran perempuan terhadap situasi pandemi ini, yang kemudian berdampak pada praktik pengobatan dan hingga pada proses pemulihan yang mereka lakukan. Bagaimana resiliensi perempuan semasa pandemi Covid-19? Karena nilai-nilai budaya, perempuan cenderung menjadi manusia yang lebih patuh terhadap aturan dan juga memperhatikan kesehatan. Kita tahu bahwa perempuan kerap dikaitkan dengan peran-peran perawatan keluarga dan lain sebagainya. Kepedulian perempuan memiliki peran sosial di tingkat individu, keluarga, komunitas dan masyarakat untuk mendorong perubahan. Berbagai inisiatif dari individu dan kelompok perempuan telah dilakukan dalam merespons pandemi Covid-19 ini. Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan bersama kelompok akar rumput di Surabaya, perempuan melakukan sejumlah inisiatif untuk mendorong kesehatan bersama, salah satunya melalui pengobatan dengan rempah-rempah. Peran perempuan dalam mengolah jejamuan ini didukung oleh Walikota Surabaya, dengan menjadikan program layanan bantuan jamu untuk membantu pasien Covid-19 yang sedang isolasi mandiri. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam aksi kolektif ini kemudian setiap hari membuat jamu yang diyakini dapat meningkatkan imunitas tubuh, untuk kemudian diberikan pada orang-orang yang diisolasi atau positif Covid. Menurut saya, hal yang menarik dari fenomena Covid-19 ini adalah meningkatnya kesosialan dalam bingkai lokal. Dan perempuan mengambil peran besar dalam membangun kesosialan itu. Hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan sifat altruisme pada perempuan. Mereka memilki semangat berkorban yang adalah modal penting dalam menggalang kesetiakawanan sosial. Namun tentu nilai altruis yang dilekatkan pada perempuan ini harus dilihat secara hati-hati juga. Dalam situasi pandemi ini, banyak perempuan yang menjadi motor gerakan-gerakan sosial. Mereka banyak melakukan inisiatif untuk saling membantu. Saya melihat aksi kolektif seperti yang dilakukan oleh perempuan-perempuan dari kelompok akar rumput Sekolah Perempuan. Dalam merespons Covid-19 ini banyak kearifan lokal dan pengetahuan perempuan yang hadir sebagai respons positif terhadap situasi sulit ini, salah satunya tadi lewat jejamuan. Saya melihat bahwa resiliensi atau adaptasi perempuan terhadap Covid ini kuat. Mereka tidak menyerah pada keadaan melainkan mencari berbagai alternatif dan cara melawan kondisi. Hal lain yang juga menarik dari aksi kolektif perempuan di akar rumput ini adalah kehendak perempuan untuk berbagi pengetahuan. Karena sifat kepedulian dan sosialnya, para perempuan kerap berbagi kemampuan dan pengetahuan mereka bagi lingkungannya. Artinya kemampuan dan pengetahuan mereka tidak sekadar bermanfaat bagi diri sendiri tetapi dibagikan dan direplikasi dalam komunitas. Misalnya, ketika perempuan berhasil dengan usahanya, para perempuan ini kemudian akan berbagi pada komunitasnya. Aksi individu dan kolektif dari para perempuan champion yang saya amati ini kemudian memberikan efek snow ball. Dalam hal usaha jamu yang dilakukan oleh kelompok perempuan misalnya, walaupun awalnya dilakukan hanya untuk meningkatkan imunitas pribadi dan keluarga, namun dalam prosesnya kemudian malah bermanfaat untuk meningkatkan imunitas komunitas yang lebih luas dan bahkan menjadi kesempatan bisnis yang memberdayakan perempuan secara ekonomi. Perubahan pada sistem belajar-mengajar dan batasan untuk aktivitas di luar rumah terhadap anak-anak membuat mereka jadi memiliki banyak waktu luang, sebab waktu belajar-mengajar online mereka hanya dua jam per hari. Perubahan waktu belajar ini tentu memberi dampak besar bagi anak-anak, terkait seperti apa mereka menghabiskan sisa waktu yang biasa dipakai belajar di sekolah, kemudian bagaimana mereka tidak dapat bermain dengan teman sebaya secara langsung karena protokol kesehatan dan berbagai perubahan lainnya. Anak-anak seperti halnya orang dewasa, mengalami masa-masa yang sulit. Mereka kebingungan dengan situasi pandemi ini, mengalami perubahan pada pola interaksi dari yang sebelumnya tatap muka menjadi serba daring. Mereka juga kebingungan atas larangan untuk bermain dan keluar rumah. Dalam konteks kebencanaan, anak adalah kelompok yang terdampak tapi kerap tersisihkan dalam program-program pemberdayaan dan/atau pemulihan. Pengalaman Covid tentu adalah suatu yang juga traumatis bagi anak, sehingga penting untuk melakukan edukasi dan juga sejumlah pendekatan untuk proses trauma healing. Anak-anak perempuan juga merespons Covid dengan menarik. Komunitas anak di sini (Surabaya) tentunya terdampak juga oleh Covid. Dalam merespons situasi yang serba berubah tersebut ternyata banyak juga inisiatif baik yang lahir dari anak-anak perempuan. Upaya-upaya pemenuhan pemulihan itu diantara lain dilakukan lewat sejumlah kegiatan dan pelatihan seperti program pemeliharaan lingkungan, pemeliharaan tanaman, hewan, wirausaha, lomba-lomba yang mengasah kreatifitas dan lain sebagainya. Aksi-aksi kolektif di tingkat komunitas dimotori untuk mengisi waktu luang dengan berbagai aktivitas positif. Anak-anak perempuan kemudian menginisiasi kegiatan-kegiatan positif selama masa karantina/ pembatasan sosial skala besar. Mereka terlibat dalam kegiatan wirausaha yang berbasis pelestarian lingkungan. Ada program ”Bocah Wira-Usaha”, di mana mereka mengumpulkan tanaman-tanaman, kemudian membibitkannya, lalu saat tanaman besar kemudian dijual. Bersama teman-teman AAI dan keterlibatan di Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) Jawa Timur, selama masa pandemi Covid-19 kami mendorong & mencari para champion di setiap daerah. Mereka tidak harus orang-orang yang memiliki status formal dalam organisasi masyarakat. Mereka bisa warga biasa tetapi memiliki perhatian dan keinginan berbuat di dalam situasi pandemi ini. Kami berusaha menunjukkan dan mendorong inisaitif-inisiatif lokal untuk memperbaiki situasi kita. Mayoritas champion yang kami dampingi adalah para perempuan dewasa dan anak perempuan. Menariknya, kerja-kerja perempuan yang awalnya karena keterpanggilan untuk memperbaiki kondisi kesehatan dan lingkungan (ekologis) di tingkat individu dan keluarga, ternyata berdampak bagi komunitas yang lebih luas, yaitu masyarakat setempat, dan bahkan berimplikasi pada pemberdayaan ekonomi komunitas. Saya melihat bahwa perempuan memainkan peran penting dalam pemulihan ekonomi keluarga. Berbagai aksi kolektif yang dilakukan oleh perempuan dan anak perempuan dimotori oleh berbagai pihak. Ada yang dimotori oleh organisasi tertentu seperti misalnya Sekolah Perempuan. Aksi kolektif yang didampingi oleh komunitas Tanoker, di Ledokombo Jember, dan Sekolah Perempuan di seluruh Nusantara, adalah contoh berbagai aksi kolektif yang dimotori oleh perempuan dan anak. Sekolah Eyang adalah dampingan Tanoker yang tak kalah hebatnya tampil sebagai influencer, dengan berbagai aktivitas membudidayakan ikan dan membuat jejamuan. Di tingkat RT/ RW ada yang diinisiasi oleh PKK, dan ada juga yang diinisiasi oleh individu. Di Surabaya kebetulan ada program “Kampung Tangguh”, yang tujuannya adalah membangun komunitas tangguh dengan keberanian memelihara lingkungannya. Bagaimana peran agensi perempuan dalam merespons situasi pandemi Covid-19 ini? Dalam merespons pandemi Covid-19, saya melihat bahwa perempuan memiliki peran penting yaitu sebagai agen perubahan. Menurut saya, perempuan memainkan peran penting dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19, yang menjadi sarana untuk mendekonstruksi peliyanan terhadap perempuan. Agensi para perempuan champion ini penting dalam menyebarkan pesan; mengedukasi keluarga dan masyarakat; memperjuangkan hak-hak pemberdayaan; dan pemulihan terhadap perempuan dan anak semasa Covid. Para perempuan di tingkat RT/ RW dan desa juga melakukan fungsi-fungsi pengawasan terkait bantuan sosial dan juga menyampaikan aspirasi pada pemangku kebijakan seperti kepada kepala desa, walikota, dan lainnya agar kepentingan perempuan diperhitungkan dan dijamin. Contoh-contoh inisiatif baik ini banyak dilakukan oleh para anggota Sekolah Perempuan Nusantara. Saya melihat berbagai aksi-aksi kolektif yang dilakukan oleh perempuan sebagai wujud otonomi perempuan dalam merespons situasi sulit ini. Di Jember ada sekolah Embok-Embok. Mereka mencoba mengemas kekuatan lokal. Keterlibatan perempuan dalam kelompok dan atau organisasi perempuan yang ada telah mencerahkan dan memberdayakan mereka. Di sekolah perempuan misalnya, anggotanya adalah perempuan-perempuan yang putus sekolah, korban perkawinan anak. Tetapi di sana mereka mempelajari sejumlah kemampuan seperti berorganisasi, kepemimpinan, public speaking yang baik, keberanian untuk hadir dan terlibat dalam kegiatan publik. Banyak diantara mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi, tetapi kemampuannya berpartisipasi dalam gerakan sosial sangat cakap. Tentu bentuk aksi kolektif memiliki berbagai tujuan utama, seperti misalnya membangun ketahanan terhadap Covid-19. Tetapi dalam kegiatan-kegiatan tersebut, aspek kesadaran akan keadilan gender juga ditumbuhkan dan dikuatkan. Aksi kolektif yang dilakukan dan diikuti perempuan memiliki peran penting dalam mendorong keadilan gender, sebab aspek pencerahan di tingkat akar rumput ini akan berimplikasi pada praksis sosial mereka. Dengan terlibat dalam aksi kolektif seperti organisasi perempuan, posisi tawar mereka di dalam masyarakat juga menjadi semakin kuat. Pendampingan dari organisasi perempuan, misalnya, memberikan daya dorong dan legitimasi pada inisiatif-inisiatif perempuan setempat. Bergabungnya individu-individu perempuan ke dalam sebuah kelompok membuat aspirasi mereka di tingkat RT, RW, desa, dan lainnya lebih terdengar. Dengan terlibat dalam aksi kolektif, aspirasi perempuan menjadi lebih direkognisi. Aksi kolektif perempuan yang juga penting semasa Covid-19 ini adalah inisiatif mereka untuk merevisi data kemiskinan. Kelompok-kelompok perempuan menyadari adanya ketidaksesuaian data masyarakat miskin di daerahnya. Mereka memberikan kritik terhadap pemerintah setempat dan mendapakan respons. Bentuk pengakuan dari pemerintah setempat adalah dengan dilibatkannya para perempuan untuk memperbaharui data tersebut. Artinya aksi kolektif perempuan mengambil peran dalam melakukan fungsi pengawasan sosial. Penting agar perempuan mendapatkan penyadaran kritis atas hak-haknya agar mereka dapat memperjuangkan haknya dan hak kelompok lain disekitarnya. Namun demikian, kita tetap harus hati-hati. Benar bahwa perempuan memiliki peran penting dalam berbagai gerak kesosialan di masa pandemi ini. Aspek-aspek seperti agensi dan motor perubahan yang dilakukan oleh perempuan adalah kerja yang baik, tetapi kita tetap harus waspada pada ideologi ibuisme, yang menaturalisasi peran gender perempuan dengan kerja-kerja domestik, kerja perawatan, dengan sifat-sifat gender lain yang kerap jatuh pada esensialisme. Seperti yang menjadi perhatian para pemikir feminisme multikultural. Ibuisme bisa menjebak, membelenggu perempuan, karena menjadi ideologi yang mengamini tindakan apapun yang diambil perempuan yang dilakukan untuk keluarga, bahkan negara, tanpa mengharap jasa, kekuasaan atau prestise sebagai imbalan. Artinya, kerja-kerja yang dilakukan perempuan malah disalah artikan sebagai kewajiban dan beban yang harus diemban oleh perempuan sendiri yang kemudian berimplikasi pada beban ganda selama pandemi. Dalam konteks tersebut, kesadaran kritis dalam bingkai feminisme dan pluralisme budaya, menjadi amat penting. Bagaimana dampak norma sosial tentang perempuan sebagai perawat/ penanggung jawab keluarga memberi beban berlapis bagi perempuan selama pandemi (khususnya pada masa karantina/ PSBB) bagi kerja-kerja reproduksi perempuan? Secara umum dampak berlapis bagi perempuan karena gender pasti ada ya. Masyarakat Indonesia masih sangat patriarki sehingga pasti berdampak pada peran-peran gender di masyarakat, kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat. Ketimpangan gender pasti memengaruhi kerentanan perempuan selama pandemi Covid-19. Tanpa pandemi covid-19 saja beban ganda masih menjadi isu yang coba dilawan oleh kelompok perempuan di masyarakat kita. Sebab masih rendahnya pemahaman soal keadilan gender dan pola pengasuhan yang patriarki membuat kerja-kerja perawatan di dalam rumah tangga diletakkan pada perempuan saja. Dalam situasi ini, hal yang paling umum dialami oleh perempuan adalah beban kerja reproduksi perempuan menjadi jauh lebih tinggi dibanding hari-hari biasa. Kerja-kerja ini meliputi perawatan dalam rumah tangga, memastikan kesehatan keluarga, memenuhi kebutuhan keluarga, memastikan pendidikan anak berjalan dengan baik dan lain sebagainya. Di masyarakat kita masih banyak orang yang beranggapan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak adalah tugas perempuan. Norma gender memosisikan perempuan sebagai penanggung jawab utama dalam pengasuhan anak, implikasinya, ketika terjadi perubahan dalam sistem belajar-mengajar, perempuan-perempuan yang memiliki anak dalam usia sekolah mendapatkan tambahan kerja dan tanggung jawab. Perempuan harus memastikan proses belajar-mengajar selama dua jam perhari berjalan lancar. Perempuan memastikan anak mengikuti kegiatan sekolah, memastikan tersedianya sarana-prasarana persekolahan daring, tidak hanya sampai disitu, perempuan juga perlu memastikan bagaimana anak-anak menghabiskan waktu di rumah secara positif dan aman dari paparan penyakit. Menurut saya penting sekali memahami dan menerapkan pengarusutamaan gender di dalam masyarakat, termasuk di dalamnya memberikan edukasi tentang keadilan gender, secara khusus dalam kaitannya dengan pola pengasuhan yang adil gender. Pendidikan dan perawartan anak seharusnya dilakukan secara bersama-sama. Di masa pandemi Covid-19 ini salah satu persoalan yang dialami perempuan adalah meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan dan sulitnya pemenuhan HKSR perempuan. Bagaimana pandangan ibu atas situasi ini? Perubahan situasi ini tentunya menimbulkan ketidaknyamanan bagi semua. Tekanan ekonomi, kecemasan terhadap Covid-19, suami mengalami PHK, hilangnya sumber-sumber pendapatan, membuat perempuan menjadi lebih rentan. Sebab kondisi ketidaknyamanan dalam keluarga membuat perempuan juga menjadi semakin rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Tidak hanya dialami oleh perempuan, kerentanan semacam ini juga dialami oleh anak. Selain masalah keamanan dalam rumah tangga, tantangan lain yang dihadapi perempuan selama pandemi Covid-19 adalah tercerabutnya mereka dari akses terhadap Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual (HKSR), seperti meningkatnya kehamilan tidak diinginkan, sulitnya akses HKSR terkait kehamilan karena teror pandemi dan ketiadaan uang untuk mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Dalam situasi seperti ini, akses terhadap KB, pemeriksaan kehamilan ke bidan dan atau dokter menjadi semakin sulit untuk dilakukan oleh perempuan. Seperti telah saya katakan di awal, bahwa pandemi Covid-19 telah memberikan dampak bagi semua orang, tetapi dialami secara berbeda berdasarkan identitas sosial yang berbeda-beda. Pandemi Covid-19 menghasilkan sejumlah persoalan berbasis gender bagi perempuan. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan di tingkat global, setidaknya telah terjadi 7 juta kehamilan tidak diinginkan selama pandemi ini. Jawa Barat juga sudah merilis naiknya tingkat kehamilan tidak diinginkan. Covid-19 juga berdampak pada kehamilan di usia muda karena sulitnya akses layanan kesehatan. Prioritas pemerintah saat ini adalah memberikan respons cepat terhadap penanggulangan Covid, berbagai kajian dan program berfokus pada isu-isu seputar vaksin. Saat ini prioritas seluruh rumah sakit, jajaran kementrian dan dinas kesehatan terfokus pada penanganan Covid. Namun demikian, isu-isu perempuan tidak boleh dikesampingkan. Pendekatan gender dalam merespons kondisi pandemi Covid-19 sangat penting untuk dilakukan, sebab pola-pola ketimpangan relasi gender di struktur masyarakat kita yang dihadapkan dengan situasi Covid memperburuk quality of life dari perempuan. Dalam masyarakat yang patriarki, perempuan dilekatkan dengan sifat altruis, mereka sedari awal telah diinternalisasi untuk berkorban dan mengutamakan kepentingan orang lain di luar dirinya. Hal ini akan memengaruhi pada kesejahteraan diri perempuan sendiri. Dalam banyak kasus perempuan akan mengutamakan kepentingan pasangannya, anaknya, orang tuanya, dan lainnya. Inilah mengapa diperlukan pendekatan yang berperspektif gender, agar pola-pola ketimpangan relasi tadi terbaca secara jelas. Apakah kebijakan penanganan pandemi Covid-19 perlu memasukkan dimensi gender? Apakah kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia telah memiliki pendekatan yang sensitif gender? Yang perlu menjadi perhatian kita bersama adalah bagaimana penanganan kebencanaan pandemi Covid-19 ini memasukkan perspektif gender. Kebijakan-kebijakan yang telah ada belum jelas mengenali persoalan yang dihadapi perempuan selama pandemi. Salah satunya tadi adalah soal peningkatan kekerasan dalam rumah tangga selama pandemi. Saat ini memang fokus kebijakan lebih kepada menangani Covid, membuat vaksin, fokus pada menekan kematian, persoalan pemakaman, dan lain-lain. Implikasinya, persoalan khas perempuan seperti tercerabutnya perempuan dari HKSR, peningkatan kekerasan seksual, peningkatan perkawinan anak, dan lain sebagainya menjadi luput dari perhatian dan penanganan masyarakat dan juga negara. Menurut saya, penting untuk mendorong kebijakan-kebijakan penganggulangan Covid yang memasukkan perspektif gender. Artinya, kalau kita bicara pencegahan Covid, penanganan dan pemulihan, maka pengalaman perempuan harus dipertimbangkan. Sebab seperti telah dijelaskan sebelumnya, dampak Covid-19 dirasakan berbeda dalam kaitannya dengan stratifikasi sosial yang berbeda di tiap orang. Artinya, walalupun Covid-19 berdampak pada setiap orang, tetapi tantangan dan hambatannya bisa menjadi berlipat ganda terkait dengan aspek-aspek seperti gender, kelas sosial, ekonomi dan lainnya. Menurut saya, kebijakan yang hadir untuk merespons situasi pandemi Covid-19 perlu mengenali dan mengakomodasi pengalaman-pengalaman tersebut. Misal dalam bentuk bantuan ekonomi yang ada. Kita tahu bahwa sejumlah kementerian telah menyalurkan dana-dana bantuan untuk menganggulangi dampak Covid-19 di masyarakat, tetapi tentunya penting untuk memastikan bahwa bantuan tersebut tepat sasaran. Biasanya bantuan ekonomi diberikan pada kepala keluarga yang kita tahu sebagian besar adalah laki-laki. Padahal di dalam masyarakat kita, secara umum perempuanlah yang berurusan langsung dengan ekonomi keluarga. Dalam beberapa kasus pemberian bantuan ekonomi langsung pada laki-laki, uang tersebut digunakan bukan ditujukan pada kesejahteraan keluarga melainkan untuk kepentingan pribadi, apakah itu untuk membeli rokok dan/atau untuk bermain judi. Kebijakan kebencanaan perlu mengenal pengalaman seperti ini dan memastikan bahwa perempuan adalah kelompok yang menerima manfaat dari bantuan tersebut. Dengan demikian, selain kebijakannya sendiri, aspek pengawasan juga memiliki peran penting di sini. Efektifitas program bantuan keuangan, pencegahan, penanganan, dan pemulihan, harus dipastikan sampai pada perempuan. Dalam situasi kedaruratan semacam ini program PUG (Pengarus Utamaan Gender) sangat penting dipastikan untuk dijalankan. Hal lain yang perlu dipastikan dalam kebijakan penanganan dan pemulihan dari pandemi Covid-19 adalah tentang hak-hak anak. Hal ini penting tapi sering terlupa. Ketika bicara soal anak, masyarakat dan negara harus ingat bahwa kalau bicara soal hak anak artinya kita bukan cuma soal hak anak laki-laki tetapi juga hak anak perempuan. Sebab di masyarakat kita masih kental budaya patriarkinya. Bahkan dalam beberapa suku, ketika kita bicara soal anak, maka definisi yang muncul adalah anak laki-laki saja. Perspektif terkait hak anak perempuan dalam penganangan Covid sangat penting untuk diperhatikan. Dalam situasi pandemi seperti ini aspek kesejahteraan dan keselamatan anak sering terlupakan. Dalam situasi yang sulit dan serba tidak nyaman di dalam keluarga anak perempuan kerap kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal-hal semacam ini harus diperhatikan. Oleh sebab itu data-data kekerasan terhadap perempuan dan anak khususnya semasa pandemi harusnya menjadi dasar petimbangan pemerintah untuk kemudian menghasilkan kebijakan yang sensitif gender. Sebetulnya upaya-upaya pemberdayaan dan pemulihan terhadap perempuan dan anak telah banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah. Sudah banyak best practice, yang sangat bisa dijadikan sebagai pedoman dan dapat direplikasi agar perempuan dilibatkan dan dipastikan memperoleh manfaat. Bagi saya pengarus utamaan gender dalam kebijakan kebencanaan pandemi Covid-19 sangatlah penting. Pandemi ini seharusnya menjadi momentum bagi kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPPPA), beserta jajarannya, untuk lebih giat lagi memasukkan aspek keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, dalam aspek ekonomi, kehidupan beragama, politik, sosial dan lainnya. Hal ini menjadi penting agar dampak pandemi Covid-19 terhadap perempuan dapat diminimalisasi. Program pemberdayaan KPPPA dan kementerian lain harus mengenali pengalaman gender dan mendorong keadilan gender. Jadi kita tidak boleh mengkotak-kotakkan bahwa saat ini prioritasnya adalah pada vaksin sementara mengabaikan persoalan gender yang terjadi. Artinya pengalaman perempuan yang beragam tadi harus dikenali dan diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan. Jangan sampai kita berfokus pada mencegah kematian karena Covid-19, tetapi abai terhadap kematian karena kekerasan selama masa pandemi ini. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |