Oleh: Asri Pratiwi Wulandari Rubrik: Profil JP 116 Partisipasi Politik Perempuan dan Kelompok Muda dalam Demokrasi Ketika memikirkan keterlibatan politik perempuan, yang pertama terbayang mungkin perempuan dewasa yang tergabung di suatu partai dan menyalonkan diri pada pemilihan. Namun keterlibatan politik perempuan sesungguhnya beragam bentuknya dan dapat bermula sejak kanak-kanak. Pada kesempatan kali ini, Jurnal Perempuan berbincang-bincang dengan Maya Kornelia Musa, perempuan muda yang telah terlibat aktif dalam aktivitas politik sejak usia anak. Maya adalah perempuan muda yang aktif menyuarakan isu kesetaraan gender melalui konten media sosial dan organisasi masyarakat sipil yang digagasnya. Aktivis kesetaraan gender kelahiran tahun 2000 ini mendapatkan gelar sarjana dari jurusan Administrasi dan Manajemen Bisnis IPMI International Business School dengan beasiswa penuh. Ia menjabat sebagai anggota Youth Advisory Panel dari Yayasan Plan International Indonesia sejak 2017 dan pernah menghadiri berbagai konferensi internasional sebagai anak muda. Dari berbagai pengalaman kerja sukarelanya terkait isu kesetaraan gender (menjadi fasilitator program terkait sunat perempuan di UNFPA dan beberapa kegiatan Plan International), ia kemudian mendirikan yayasan bersama perempuan muda aktivis lain. Saat ini ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif Be With You, yayasan yang berfokus pada isu kesetaraan. Di bawah kepemimpinannya, Be With You telah menjangkau berbagai daerah di Indonesia yang cukup luas dan memiliki hubungan kerja sama berskala mancanegara.
Bagaimana mungkin seorang anak perempuan berpolitik? Maya sendiri dulu bukanlah anak yang memiliki privilese berlebih, justru ia mengalami berbagai hambatan yang membuatnya harus berjuang ekstra untuk mengakses ruang belajar. Melalui bincang-bincang dengan Maya, kita bisa paham bahwa kunci partisipasi politik anak muda adalah sistem pendukung. Sistem yang Mendukung Partisipasi Politik Perempuan Sejak Usia Anak Kisah Maya mengawali keterlibatan politiknya memberi bukti atas betapa pentingnya sistem pendukung yang baik. Ia bercerita tentang bagaimana guru di sekolahnya mendukungnya untuk menjadi Ketua OSIS dan menjelaskan kepadanya langkah apa saja yang perlu ia lakukan. Yang tidak kalah penting, sang ibu juga sangat mendukungnya. Maya kembali terharu ketika bercerita tentang bagaimana sang ibu menemaninya menulis dan berlatih pidato. Sang ibu juga mengingatkan Maya bahwa ia masih anak-anak dan bisa menjadi dirinya sendiri sebagai anak-anak. Berkat usaha dan dukungan tersebut, Maya pun terpilih menjadi Ketua OSIS di SMP-nya. Setelah menjabat, suatu hari ia menghadiri acara yang diadakan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan. Saat itulah ia bertemu dengan Forum Anak yang kemudian menjadi sistem pendukung lain yang memberikannya kesempatan untuk belajar berpolitik dan menyuarakan pendapatnya sebagai anak perempuan. Di Forum Anak Kabupaten Bogor, Maya tidak hanya belajar tentang pentingnya mempertimbangkan suara anak dalam proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Ia juga belajar tentang gender dan isu-isu anak perempuan dari ketua forum yang menjabat saat itu. Sejak 2014, ia juga mulai mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Plan Indonesia. Ia belajar lebih mendalam di antaranya tentang kekerasan berbasis gender dan pendidikan seks. Pengetahuan baru yang didapat membuatnya menyadari ketidakadilan gender yang terjadi di sekitarnya selama ini. Di sisi lain, ia juga semakin mengagumi sang ibu. “Meskipun single parent, mamaku benar-benar strong. Dia ngajarin aku banyak hal, support aku banget. Dia gak pernah bilang, ‘Ah, kamu anak perempuan. Ngapain sih, jadi Ketua OSIS?’” Sampai saat ini pun sang ibu masih terus mendukung pilihan-pilihan Maya, termasuk keputusannya untuk membuat konten terkait berwisata seorang diri sebagai perempuan dan isu-isu keamanan yang menyertainya. Terkait role model dalam berpolitik, Maya belum memikirkannya ketika masih usia sekolah. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari masalah sulitnya menemukan panutan dengan minimnya keterwakilan perempuan dalam politik. Ia mengaku bahwa bahkan saat itu belum tahu betul tentang Najwa Shihab sehingga tidak terbesit untuk menjadikannya panutan. Sebagai anak perempuan, maka Maya menjadikan teman-teman sebayanya di organisasi anak muda sebagai panutan. Misalnya, ia bercerita tentang pengalamannya menyaksikan pemilihan ketua di Forum Anak. Maya menyebutkan pengalaman ini sebagai salah satu momentum penting yang membuatnya yakin bahwa ia ingin memperjuangkan isu-isu penting. Ia juga banyak belajar dari teman-teman sebaya lainnya, termasuk melalui momen-momen berbagi pengalaman di ruang aman mereka. Dari momen berbagi pengalaman ini Maya menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya mengalami kekerasan berbasis gender. Secara berangsur, ia pun menyadari bahwa ia pernah mengalami kekerasan seksual ketika masih kecil, “Oh ternyata selama ini saya mengalami. Ternyata selama ini di lingkungan saya banyak yang mengalami juga. Oh, ya ampun, ternyata saya korban.” Maya bercerita tentang bagaimana ia mengalaminya di lingkungan rumah ketika masih TK, dan di lingkungan sekolah ketika SMP. Forum Anak secara khusus membuat Maya memahami isu-isu anak seperti Hak Anak, tetapi selain itu ia juga mulai bertemu dengan feminisme. Ia bercerita tentang bagaimana setiap akhir pekan ia dan teman-teman Forum Anak lain bertemu dan belajar mengenai isu gender. Dari rangkaian diskusi itu, ia semakin menyadari bahwa ia dan orang-orang di dekatnya pernah mengalami ketidakadilan gender. Berangkat dari ruang aman inilah kemudian Maya memutuskan untuk fokus pada isu-isu feminis. Namun, sebagai penyintas ternyata membuat Maya perlu menavigasi diri dalam melawan kekerasan berbasis gender. Ia butuh proses beberapa tahun untuk menyadari bahwa ia telah mengalami kekerasan seksual, kemudian dapat menceritakannya. Berkat sistem pendukung yang baik dan bantuan profesional, Maya sampai di titik di mana ia bisa menceritakan pengalamannya sebagai penyintas sebagai salah satu cara untuk menyuarakan perlawanannya. Berangkat dari pengalaman dan proses pemulihannya, ia juga menyuarakan tentang pentingnya pendidikan seks untuk anak-anak. Ia ingat bagaimana waktu ia mengalami kekerasan seksual pada usia anak, ia belum paham bagian-bagian tubuhnya yang tidak boleh disentuh. Tantangan Partisipasi Politik bagi Perempuan Muda Ketika masih usia anak, Maya harus berjuang ekstra keras demi mengakses ruang untuk belajar berpolitik. Berdomisili di Depok saat itu, ia menemukan ruang ini di Forum Anak Kabupaten Bogor. Forum Anak merupakan ruang penting agar anak dapat menyuarakan pendapat terkait pengambilan keputusan di daerah mereka. Selain itu, forum tersebut juga menyediakan akses bagi anak untuk belajar berorganisasi dan mendiskusikan isu-isu yang berdampak pada mereka sendiri. Menyadari berharganya ruang seperti itu, Maya bahkan pernah harus berjalan kaki dari Depok ke Bogor untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keorganisasian. Ia menyampaikan bahwa ia berjuang sejauh itu karena sangat ingin terus berada di organisasi yang mendukungnya saat itu. Lain waktu, ia juga berjualan agar punya ongkos bolak-balik ketika harus menghadiri kegiatan. Dari cerita-ceritanya, Maya mengingatkan bahwa kita perlu menyadari betapa keterlibatan politik merupakan hal yang membutuhkan sumber daya. Tidak semua anak memiliki akses yang mudah untuk belajar berpolitik sejak kecil. Ketika menemukannya, Maya harus berjuang keras hanya demi mengaksesnya. Dari pengalaman inilah kini ia juga sering berbagi informasi tentang cara mencari pekerjaan, beasiswa, dan kesempatan lain yang dibutuhkan oleh anak muda demi bisa memiliki sumber daya yang dibutuhkan dalam berpolitik melalui platform aktivisme. Sebagaimana perempuan kerap mengalami pendisiplinan penampilan di publik, Maya juga pernah mengalaminya. Ketika ia hadir di suatu acara di Kementerian Keuangan, anak-anak yang hadir di acara itu diminta duduk sejajar dengan Sri Mulyani, sang Menteri Keuangan. Namun Maya yang mengenakan rok di bawah lutut saat itu entah mengapa tidak dibolehkan duduk bersama mereka, dengan alasan pakaiannya terlalu terbuka. Sementara semua orang duduk di depan, ia sendiri yang diminta duduk di belakang. Saat itu ia perlu membela diri sehingga akhirnya diperbolehkan duduk bersama yang lain. Meskipun Maya memakai kemeja dan rok yang pantas, bentuk tubuhnya membuatnya memiliki pendisiplinan pakaian secara khusus. “Masa cuma gara-gara, misalnya badanku bohay, pakai rok di bawah lutut dianggap revealing?” Hambatan lain yang menyulitkan langkah perempuan dalam berpolitik adalah isu keamanan. Selain menjadi anggota dewan penasihat muda dan fasilitator dalam program-program terkait gender, Maya juga kemudian memulai aktivisme digital. Ruang digital sebagai ruang kontestasi isu feminis dan keadilan gender memang memiliki harapan, tetapi sekaligus juga kerentanan (Pratiwi 2021). Berbagai kampanye dan gerakan yang dilakukan secara digital menjadi jalan baru untuk meraih keadilan, misalnya dengan penggunaan tagar kampanye. Ada juga strategi membuat utas yang dilakukan korban kekerasan seksual untuk mengekspos pelakunya. Namun, ruang digital juga memberikan tantangan sendiri bagi perempuan muda dalam melakukan aktivisme. Saat ini Maya menyuarakan isu melalui konten-konten travel yang cenderung lebih ringan daripada kampanye feminis spesifik. Ia menggunakan strategi ini karena pernah mendapatkan serangan dan harus berhenti melakukan kampanye daring. Dari memerhatikan teman yang juga menyuarakan isu di media sosial, ia belajar bahwa perempuan muda butuh siasat agar tetap aman ketika berpendapat. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Jadi, jejaring, branding, media sosial, dan dukungan dari orang-orang sekitar itu penting. Kalau tidak bagus, ibaratnya kita tidak punya back up plan.” Maya mengalami serangan ketika beberapa tahun silam mengkritisi pemerintah yang waktu itu terus mengundur pengesahan RUU TPKS. Beberapa video yang ia buat menjadi viral dengan total jutaan penonton, tetapi sebesar itu pula serangan yang ditujukan kepadanya secara pribadi. Namun, kejadian spesifik yang membuatnya berhenti memproduksi konten selama setahun lebih adalah ketika ia membela seseorang yang mengalami penyalahan korban. Ia mendapatkan berbagai komentar seksis misalnya “Mbak-mbak kayak gini mah gak ada yang mau.” Yang lebih mengancam, penyerangnya sampai mencari tahu informasi pribadi dan alamat Maya sehingga ia memutuskan untuk mundur sejenak. Ketika mulai memproduksi konten lagi pun, ia butuh melalui proses transisi hingga dapat merasa cukup aman, mengingat kencangnya serangan yang ia alami. Masalah keamanan ini tentunya berdampak nyata kepada Maya. Risiko penyerangan membuatnya kehilangan waktu kerja yang cukup banyak sebagai aktivis di media sosial. Teman-teman yang awalnya memiliki akun lebih kecil dapat berkembang sampai memiliki jutaan pengikut sementara ia terhenti di angka seratus ribu. Pada masa ini Maya memutuskan untuk fokus ke pendidikannya, sehingga ia dapat lulus S1 dalam waktu 3.5 tahun dengan IPK 3.9. Ia juga tidak pernah berhenti bekerja sejak semester kedua perkuliahannya. Yang Dibutuhkan Perempuan Muda dalam Berpolitik Meskipun Maya sering kali mengakses pengetahuan terkait isu perempuan, anak, dan sebagainya dari ruang dan proses yang cukup informal, ia menyebutkan bahwa pendidikan formal sangat penting bagi keterlibatan perempuan dalam politik. Sebab, menurut pengalamannya, ia kerap mendapatkan pertanyaan seperti “Gelar kamu apa? Memangnya kamu sudah pernah melakukan apa?” ketika berpolitik memperjuangkan isu sebagai perempuan muda. Sebagai perempuan muda yang aktif menggunakan teknologi informasi, Maya juga tidak luput melihat potensi media sosial sebagai alat memperjuangkan isu. “Kalau punya background pendidikan yang bagus, branding yang bagus, kita lebih didengar. Kalau kita punya followers yang bagus juga, kita jadi punya double power.” Maya memang aktif membuat konten “women empowerment” di akun-akun pribadinya yang memiliki cukup banyak audiens. Ia secara rutin berinteraksi dengan audiensnya terkait isu-isu kesetaraan gender. Salah satu alasan Maya aktif memproduksi konten adalah karena ia sedang membangun komunitas di media sosial supaya ketika butuh menyuarakan sesuatu pada kemudian hari, ia sudah memiliki massa yang cukup besar. Selain audiens di media sosial, ia juga membangun jejaring dengan organisasi masyarakat sipil (OMS) terkait isu feminis. Misalnya, Be With You menjadi presidium Jaringan AKSI, jaringan organisasi dan aktivis yang saat ini berfokus pada isu keadilan gender pada remaja perempuan. Melalui Be With You, ia juga melakukan kerja sama misalnya dengan Rutgers Indonesia dan United Nation Girls’ Education Initiative (UNGEI). Ketika merefleksikan kembali pengalamannya, Maya menyadari bahwa kredibilitasnya kerap dipertanyakan. Ketika mengikuti suatu musyawarah terkait pembangunan di Kabupaten Bogor, ia tidak dibolehkan berbicara karena dianggap hanya siswi SMA. Dari pengalaman ini, tampak bagaimana perempuan muda atau anak perempuan tidak hanya disepelekan karena gendernya, tetapi juga usianya. Padahal masukan anak dan anak muda juga semestinya dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Banyak orang juga menganggapnya bergantung secara finansial pada laki-laki, meskipun Maya selalu membagikan informasi tentang cara mencari kerja berdasarkan pengalamannya selama ini. Segenap pengalaman ini membuatnya paham bahwa ia perlu berstrategi dengan memiliki gelar pendidikan. “Aku mau S2 di luar negeri, soalnya pasti pemerintah lebih mau mendengarkan karena background-ku lebih kuat.” Sebagai perempuan muda, ia mengalami pengalaman diremehkan ketika tidak langsung lanjut kuliah. Ia sadar bahwa gelar pendidikan adalah modal yang dapat digunakan untuk mengukuhkan kredibilitas. Ia mengambil contoh Maudy Ayunda dan Cinta Laura yang tetap memerlukan latar pendidikan formal yang kuat agar tidak diremehkan meskipun sebelum itu mereka sudah memiliki massa yang besar sebagai pekerja industri hiburan. Melalui pengamatannya terhadap sikap masyarakat Indonesia terhadap perempuan, Maya bermimpi untuk berkuliah di universitas internasional kenamaan. “Aku punya mimpi, ketika aku membawakan isu gender, mereka tahu bahwa, ‘Maya, lho. Yang kuliah S2 gender di Oxford, sehinggarang-orang tidak punya celah untuk merendahkan suara ku karena aku punya latar pendidikan yang kuat. Karena lagi-lagi, sebagai anak perempuan dan perempuan muda, aku selalu mendapatkan rejection karena latar belakangku.” Selain terkait branding, Maya sendiri merasakan bahwa kampus dapat menjadi ruang pengembangan diri dan berjejaring yang baik selama ia menempuh program sarjana. Hak Untuk Berproses dan Berpartisipasi dalam Politik Refleksi atas pengalaman-pengalaman pribadi Maya dapat terasa kehadirannya pada bagaimana ia mengelola Be With You. Ia mendirikan Be With You dengan teman-temannya, awalnya untuk membangun ruang aman bagi perempuan. Kemudian seiring maraknya kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), mereka memutuskan untuk fokus pada isu tersebut. Ketika mengajak orang-orang bergabung, Maya memutuskan bahwa mereka tidak boleh membatasi ruang aman hanya kepada orang-orang yang memiliki curriculum vitae mentereng. Be With You dibuat terbuka untuk siapa saja yang ingin mempelajari kesetaraan gender, asal tidak melanggar prinsip organisasi seperti sikap diskriminatif. Maya tampak senang bercerita tentang perkembangan teman-teman yang bergabung di Be With You. Ia bercerita tentang anggota yang mengawali dari nol di Be With You hingga melakukan advokasi tingkat internasional. Ia menekankan, “Semua orang punya hak untuk berproses.” Ia tidak ingin gerakan feminis menjadi eksklusif untuk mereka yang sudah mampu mengakses pendidikan dan memiliki keterampilan menyuarakan pendapat, melainkan harus terbuka bagi semua. Meskipun ia sendiri butuh berjuang untuk mengakses kesempatan belajar berpolitik ketika masih usia anak, ia sadar bahwa bahkan ada orang-orang yang tidak seberuntung dirinya dalam menemukan ruang pendukung. Seperti halnya ia memiliki sosok yang membuatnya belajar tentang kesetaraan gender dan sebagainya, ia kemudian menjadi sosok serupa melalui Be With You. Sebagai pendiri dan direktur, ia mendengarkan apa yang ingin dipelajari anak-anak muda yang bergabung. “Sesederhana ada yang ingin belajar bahasa Inggris, Be With You bisa buka kelas bahasa Inggris setiap minggu.” Tentu ini beresonansi dengan pengalamannya belajar tentang isu gender bersama-sama ketika masih di forum anak dulu. Maya berharap agar anak perempuan dan perempuan muda memahami bahwa mereka yang ingin aktif berpolitik akan berproses. “Tidak ada yang lahir tiba-tiba jadi Najwa Shihab.” Maksud Maya, perempuan-perempuan hebat yang kita lihat saat ini pun pernah berada dalam proses belajar. Ia juga berharap mereka belajar berjejaring, sebab ia yakin bahwa belajar dari satu sama lain akan membuat seseorang lebih berkembang dibandingkan belajar seorang diri. Referensi: Pratiwi, Andi Misbahul. "Mengupayakan Keadilan Bagi Korban Kekerasan Seksual Melalui Aktivisme Tagar: Kesempatan dan Kerentanan di Indonesia (Initiating Justice for Sexual Violence Victims via Hashtag Activism: Opportunity and Vulnerability In Contemporary Indonesia)." Jurnal Perempuan 26.3 (2021): 197-206. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |