Oleh: Retno Daru Dewi G. S. Putri Rubrik: Profil JP 111 Perempuan dan Perhutanan Sosial Margaretha Tri Wahyuningsih adalah Program Officer Environmental Governance Unit (ENVGOV) di The Asia Foundation (TAF) yang memiliki program yang fokus pada peningkatan tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan. Menggunakan pendekatan advokasi, Margaretha dan timnya turut berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan dan membantu kelompok marginal termasuk kelompok perempuan untuk terlibat dan mendapatkan manfaat dari pelaksanaan program. Dalam tim kerja, ia bertugas memastikan implementasi Gender Mainstreaming dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan. Sebanyak kurang lebih 25 Civil Society Organization (CSO) sudah didampinginya dalam implementasi hibah untuk kegiatan masing-masing organisasi. Di dalam mendampingi CSO, Margaretha memastikan bahwa dalam setiap pelaksanaan program terdapat manfaat, partisipasi, dan keterlibatan perempuan dalam gerakan perubahan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan. Implementasi ini sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional. Inpres tersebut diharapkan dapat memberdayakan perempuan dari pembuat kebijakan dan pengambil keputusan hingga tingkat tapak.
Dalam lingkup lingkungan hidup dan kehutanan, terdapat salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk memberikan manfaat bagi komunitas dan kelompok perempuan di tingkat tapak. Program yang dinamakan dengan Perhutanan Sosial (PS) tersebut merupakan sistem yang melibatkan peran masyarakat dalam mengelola hutan setempat. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P.83/MENLHK/SEKJEM/KUM.1/10/2016, PS diharapkan dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan di wilayah adat atau perdesaan mereka sendiri. Partisipasi perempuan tingkat tapak diperlukan untuk mendukung sistem ini. Sayangnya, dalam PS masih banyak perempuan tingkat tapak yang tidak memegang izin pengelolaan hutan baik secara legal maupun adat. Hal ini dikarenakan adanya bias gender yang dipengaruhi oleh masyarakat dengan sudut pandang dan budaya patriarki. Dalam menegaskan PUG, Margaretha beserta CSO yang didampinginya yang memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam mengelola PS di berbagai wilayah di Indonesia. Lembaga Kajian Advokasi dan Edukasi (LivE), Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan (PBHK), SAMPAN Kalimantan, Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat (Elpagar), JARI Indonesia Borneo Barat, Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), FITRA Riau, dan Indonesia Budget Center (IBC) adalah beberapa CSO di daerah Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat, dan tingkat nasional yang didampingi oleh Margaretha dalam mengimplementasikan PUG dalam kerja-kerja mereka sejak tahun 2014. Ia memastikan bahwa CSO dapat berperan aktif dalam menerapkan PUG sebagai pisau analisis dalam membangun keadilan dan kesetaraan gender dalam sektor-sektor strategis program lingkungan hidup dan kehutanan. Beberapa contoh sektor yang dimaksud adalah pengurangan deforestasi, alih fungsi lahan dan hutan, perhutanan sosial, dan kegiatan-kegiatan ekonomi pascaperhutanan sosial. Tidak hanya CSO, sejak tahun 2018, Margaretha telah menjalin kerja sama dengan Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Pokja PUG KLHK). Semangatnya patut diberikan apresiasi karena di balik proses yang tidak singkat dan perjalanan yang panjang, Margaretha menjadi sosok yang selalu semangat dalam mengusung keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam isu lingkungan hidup dan kehutanan termasuk perhutanan sosial. Pengalaman Lekat sebagai Motivasi Aktivisme pada Isu Gender dan Lingkungan Dilahirkan di sebuah kabupaten di pelosok Kalimantan, Margaretha dibesarkan di Pontianak yang dikelilingi oleh keluarga dan lingkungan yang membuatnya sangat dekat dengan isu gender. Kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi hampir tidak diraihnya. Pemikiran orang tua yang sangat tradisional membuat Margaretha terancam tidak kuliah. Akan tetapi, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura ini akhirnya berhasil mendapatkan gelar sarjananya. Tidak berhenti di tingkat sarjana saja, jenjang pendidikan diteruskan Margaretha hingga ia mendapatkan gelar Master of Arts pada bidang Gender and Women Studies dari University of Bradford, Inggris. Sebagai bagian dari angkatan pertama beasiswa International Fellowships Program Ford Foundation, Margaretha merasakan pentingnya informasi serta pengetahuan yang merata di bidang pendidikan. Kesempatannya berkuliah di Inggris sangat menantang bagi kemampuan bahasa Inggrisnya yang penting bagi keberlangsungan studinya. Menurut Margaretha, belajar bahasa Inggris di awal tahun 2000-an tidaklah mudah baginya. Pontianak belum menikmati jaringan internet yang mumpuni dan belum banyak orang yang dapat belajar bahasa secara online. Refleksi atas pengalaman ini membuka wawasan Margaretha tentang pentingnya mendampingi perjuangan kaum marginal, terutama perempuan yang tidak selalu beruntung mendapatkan hak istimewa dalam hidup mereka. Peminatannya dengan isu gender dan perempuan tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi keluarga. Lingkungan di sekitar Margaretha turut memicunya untuk memahami permasalahan yang kerap mengecilkan posisi perempuan di dalam bermasyarakat tersebut. Terlahir di keluarga suku Dayak, ia kemudian mempelajari bahwa ritual-ritual adat Dayak lebih banyak yang membebani perempuan daripada laki-laki. Hukuman yang diberikan kepada perempuan yang mengalami kehamilan tidak terencana sebelum menikah menjadi salah satu contoh yang disaksikan oleh Margaretha. Hukuman adat yang disebut dengan Ngampank ini menuntut perempuan untuk menyucikan kampungnya dengan darah ayam yang sudah diberkati tetua adat setelah melahirkan. Kewajiban itu harus dijalani karena perempuan yang hamil di luar ikatan pernikahan dianggap sebagai sebuah tindakan asusila yang memalukan. Hukuman tidak hanya berhenti saat perempuan hamil. Bayi yang dilahirkan juga harus diarak dengan cara digendong sang ibu keliling kampung sebagai bukti hasil dari hubungan yang dianggap hina di lingkungan tersebut. Sembari menggendong bayinya, sang ibu kembali ‘membersihkan’ kampungnya dari kesalahan yang ia perbuat. Sayangnya hukuman ini tidak sebanding dengan sanksi ringan yang diterima oleh pihak laki-laki. Ayah dari bayi yang dikandung di luar hubungan pernikahan tidak mendapatkan hukuman yang sama beratnya dengan sang ibu. Praktikpraktik seperti inilah yang membuat Margaretha tergerak untuk melakukan perubahan sehingga peminatan studi dan pekerjaan yang digelutinya berfokus pada isu serupa, terkait mendorong keadilan gender. Tidak hanya permasalahan gender secara umum, isu gender dan lingkungan juga menjadi perhatian dari pekerjaan Margaretha. Menyaksikan langsung perempuan-perempuan yang hidup di sekitar hutan Kalimantan Barat mengolah dan memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dengan konsep berkelanjutan membuat Margaretha paham betul perjuangan mereka dalam mempertahankan hak-haknya demi kesejahteraan keluarga. Diskriminasi yang terjadi hingga saat inilah yang mendasari kegiatan Margaretha selama memberdayakan CSO-CSO lokal dalam mendampingi kelompok perempuan tingkat tapak di perhutanan sosial. Kerja keras dalam memastikan implementasi PUG dalam kebijakan lingkungan dan perhutanan juga tidak selalu mulus. Dalam penguatan CSO selama mendampingi kelompok perempuan dan menciptakan women champion, tidak jarang Margaretha menemukan hambatan. Bahkan ada kalanya para pengambil keputusan bersikap bias atau malah terangterangan mendiskriminasi kelompok perempuan. Dalam menyikapi hal ini, Margaretha memiliki strateginya sendiri. Menyampaikan analisis kebijakan yang berdasarkan bukti merupakan salah satunya. Pemaparan mengenai advokasi yang didorong koalisi CSO dampingan dalam membuat perubahan bagi kebijakan dan anggaran turut menjadi strateginya yang lain. Margaretha bersama jejaring aktivis perempuan sempat mengirimkan analisis kebijakan tentang Gender Impact Assessment dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kepada KLHK. Analisis tersebut menekankan pentingnya keterlibatan perempuan dalam proses penyusunan AMDAL. Tidak lama setelahnya, KLHK mengeluarkan Permen 26 tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan dan Penilaian Serta Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup dalam Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. Hal ini menunjukkan keberhasilan Margaretha dan jejaring aktivis perempuan dalam mendorong penerapan konsep dari Gender Impact Assessment yang dikirimkan oleh mereka. Bermodalkan fakta dan landasan hukum, Margaretha juga membangun dialog dengan pengambil kebijakan untuk mendorong implementasi PUG dalam program pembangunan sektor lingkungan hutan. Terutama dalam memperjuangkan perempuan tingkat tapak di PS, ia akan selalu mengacu pada aturan-aturan PUG yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Pengalaman Menyaksikan Langsung Ketimpangan dan Konflik Masyarakat Perhutanan Bekerja selama empat tahun untuk program kehutanan di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal membuat Margaretha sangat akrab dengan perempuan dan perhutanan yang menjadi fokus advokasinya hingga saat ini. Peminatannya dalam gender dan lingkungan disalurkan melalui pekerjaan pertamanya. Setelah lulus dari Universitas Tanjungpura, Margaretha bekerja sebagai enumerator yang membantu jalannya berbagai riset di daerah-daerah terpencil di Kalimantan Barat. Ia kemudian melanjutkan kariernya sebagai penulis Kalimantan Review untuk Institut Dayakologi. Selama bekerja untuk Institut Dayakologi, ia melihat banyak ketimpangan di antara warga yang dikunjunginya. Tidak hanya minimnya akses, masyarakat yang ditemuinya hidup di dalam kemiskinan, ketidaksetaraan, dan ketimpangan pendidikan yang membuat mereka banyak yang buta huruf. Menyaksikan berbagai macam ketimpangan dan konflik Sumber Daya Alam (SDA), Margaretha semakin paham bahwa kerugian dari pertikaian antara masyarakat dan pemegang izin industri berbasis lahan akan lebih sering dialami oleh perempuan dan warga tingkat tapak. Tidak hanya meminggirkan perempuan dan kelompok marginal lainnya, konflik lahan selalu berpotensi dalam menambah angka kemiskinan. Sayangnya, akibat dari diskriminasi yang dialami oleh perempuan seperti pelabelan, pemiskinan, dan beban ganda maka kemiskinan pada komunitas tersebut semakin meminggirkan kelompok perempuan tingkat tapak. Dengan pengalaman tersebut, Margaretha semakin dekat dengan isu gender dan lingkungan yang semakin memotivasi aktivismenya hingga kemudian bekerja sebagai Program Officer di TAF. Ia tahu bahwa dengan semakin berpartisipasi maka perubahan baru melalui implementasi PUG di PS bisa direalisasikan. Tantangan dalam Menerapkan Pengarusutamaan Gender pada Program Perhutanan Sosial Pada praktiknya, implementasi pengarusutamaan gender pada perhutanan sosial tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan pengalaman Margaretha, kurangnya analisa kritis menjadi salah satu penyebab utama dari hambatan implementasi PUG di PS. Pemahaman CSO tentang penggunaan pisau analisis gender dalam program LHK yang tidak mumpuni menjadi penyebabnya. Pengalaman Margaretha bekerja sama dengan pemberi hibah untuk program yang memperjuangkan hakhak perempuan di isu lingkungan dan perhutanan membuatnya sadar akan masalah tersebut. Awalnya, ia mengakui bahwa proyek yang donor driven atau digerakkan oleh pemberi hibah memang tidak selamanya baik. Hal tersebut dikarenakan beberapa sponsor menginginkan adanya penerapan nilai-nilai yang belum tentu sesuai dengan kegiatan di lapangan. Akan tetapi, salah satu donor yang pernah bekerja sama dengan Margaretha di TAF sangat mendidiknya untuk berpikir kritis dalam menganalisa peran perempuan pada isu lingkungan dan kehutanan. Donor yang mendidik Margaretha dan timnya untuk lebih kritis dalam menggunakan pisau analisis gender membuat mereka berhasil mendekonstruksi stereotip perempuan. Berbagai strategi juga dipraktikkan pada berbagai kegiatan agar dapat melibatkan perempuan tingkat tapak. Salah satu implementasi yang diterapkannya adalah analisis pembagian jam kerja. Perempuan tidak pernah lepas dari pekerjaannya. Sejak matahari terbit hingga terbenam, perempuan selalu bekerja untuk dirinya sendiri dan keluarga. Hal inilah yang menyulitkan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang dapat memberdayakan dan menambah wawasan mereka akan isu lingkungan dan perhutanan. Dengan menerapkan analisis pembagian jam kerja, Margaretha dan tim akhirnya dapat melibatkan perempuan-perempuan tingkat tapak untuk terlibat dalam kegiatan perhutanan. Strategi yang kritis benarbenar dilakukan olehnya untuk mendapatkan waktu yang sesuai bagi para perempuan agar dapat menghadiri sosialisasi dan pelatihan yang diselenggarakan. Dengan adanya analisis tersebut, perempuan tingkat tapak turut belajar mengenai pembagian peran di dalam rumah tangga mereka. Beberapa jadwal sosialisasi dilakukan setelah para suami mereka pulang kembali dari ladang. Hal tersebut memungkinkan adanya pergantian dalam menjaga rumah dan menjaga anak-anak sehingga laki-laki juga ikut belajar menjalankan peran domestik mereka yang tidak terbatas sebagai kerja perempuan saja. Dari pengalamannya tersebut, Margaretha juga belajar bahwa dalam menghadapi masyarakat tingkat tapak, ‘pisau’ analisa yang digunakannya untuk memecahkan masalah berbeda dengan ketika menghadapi komunitas di kota besar. Hal ini disebabkan oleh kultur atau budaya masyarakat setempat yang mengungkung dan membatasi pergerakan serta kesempatan perempuan. Berbagai lapisan pola pikir yang bias gender pada setiap komunitas yang dihadapi menjadi sasaran utama yang didekonstruksi oleh Margaretha. Sayangnya, semangat Margaretha belum dimiliki oleh semua pemangku kebijakan dan pengambil keputusan. Tidak jarang ia bertemu dengan pihak-pihak yang pasrah dan mengglorifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada niat menjembatani kesetaraan yang dibutuhkan sama sekali. Bahkan absennya dukungan dari sesama perempuan juga pernah dialami oleh Margaretha. Aktivis-aktivis perempuan yang ditemuinya ada saja yang mengecilkan advokasi dari perjuangan hakhak perempuan tingkat tapak yang ia lakukan. Margaretha menganggap hal ini sebagai kurangnya pemahaman pihak-pihak tersebut akan PUG. Alih-alih meningkatkan kapasitas dengan edukasi, wawasan yang minim tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran untuk semangat belajar. Hal ini menyebabkan pelanggengan diskriminasi terhadap perempuan tingkat tapak di PS semakin menguat. Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi dalam Memastikan Implementasi Pengarusutamaan Gender pada Program Perhutanan Sosial Implementasi Pengarusutamaan Gender (PUG) menurut Margaretha membutuhkan adanya kontrol dari institusi dan pihak-pihak pemangku kebijakan. Salah satu cara adalah pengadaan standardisasi pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan tujuan PUG. Dalam melakukan pekerjaannya, Margaretha memiliki dokumen yang disebut dengan Gender Mainstreaming Check List (GMCL) Pada Program Environmental Governance The Asia Foundation. GMCL tidak hanya menjadi pedoman yang diberikan kepada mitra CSO dan Program Officer yang bekerja sama dengan Margaretha dan timnya di TAF. Check list tersebut dibahas dan juga dievaluasi setelah pelaksanaan kegiatan. Hal ini menjadi verifikasi bahwa pengarusutamaan gender benarbenar diimplementasikan untuk memaksimalkan peran perempuan pada setiap kegiatan yang didampingi oleh Margaretha. Dengan menggunakan Gender Responsive Approach (GRA) dalam memastikan penerapan PUG, GMCL memiliki empat area utama yang dipastikan berjalan. Keempat sasaran PUG dalam check list tersebut adalah Grant Development, Implementasi Program, Fasilitasi di Tingkat Komunitas, dan Monitoring serta Evaluasi. Sebelum pelaksanaan kegiatan, pengalokasian dana harus dipastikan mendukung PUG. Grant Development ini turut mendukung penyusunan standar operasional prosedur yang mengutamakan pengarusutamaan gender di lembaga mitra serta tempat kerja yang sensitif dan responsif gender. Margaretha menegaskan bahwa pihak-pihak yang menjadi pengambil keputusan, baik institusi negara maupun swasta, seharusnya mendukung Indonesia dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDG) nomor 5 tentang kesetaraan gender dengan anggaran yang mendukung implementasi PUG pada kegiatannya. Manfaat dari check list Grant Development ini justru memastikan bahwa anggaran yang ada akan dialokasikan sebagian untuk pengarusutamaan gender. Selain pendanaan, implementasi program dalam GMCL juga menjadi salah satu penjamin bahwa kegiatan yang dilakukan mengutamakan responsive gender. Dari hasil kegiatan hingga pihak-pihak yang berpartisipasi, daftar periksa ini memastikan bahwa hasil dari program yang dilakukan bermanfaat bagi perempuan. Yang menarik, GMCL juga memastikan bahwa male panel (manel) atau dominasi panelis laki-laki yang kerap terjadi di diskusi publik dapat dicegah. Margaretha mengaku pernah menolak membiayai CSO yang hendak mempraktikkan manel dalam sebuah seminar. Margaretha dan timnya dengan tegas tidak akan mendukung CSO yang melanggar perjanjian bahwa harus mencari narasumber perempuan di dalam sebuah diskusi maupun kegiatan publik lainnya. Sama halnya dengan pendanaan dan implementasi program, check list yang disusun oleh Margaretha dan rekan-rekannya di TAF ini turut meyakinkan adanya fasilitasi tingkat komunitas yang menerapkan PUG. Dengan adanya aspek ini, komunitas dan anggota masyarakat yang berada di sekitar lokasi implementasi program dapat merasakan manfaat dari kegiatan tersebut sehingga selain sasaran dari program yang dijalankan, manfaatnya juga diterima oleh orang banyak. Tidak hanya digunakan untuk merancang dan memandu jalannya program, panduan ini turut digunakan untuk mengevaluasi hasil kegiatan. Tujuannya adalah memastikan PUG telah berjalan dengan baik, dapat dikoreksi, dan akan diimplementasi kembali secara lebih baik pada kegiatan-kegiatan berikutnya. Dengan implementasi Gender Mainstreaming Check List, kegiatan yang dipandu oleh Margaretha pada isu lingkungan dan hutan dapat memastikan partisipasi perempuan dan pelaksanaan PUG. Selain itu, kelompok marjinal lainnya pun ikut berdaya karena sifat inklusif dari panduan tersebut. Edukasi Bertahap dan Kegiatan yang Tepat sebagai Kunci Keberhasilan Proses Implementasi Pengarusutamaan Gender pada Program Perhutanan Sosial Panduan yang berbasis pendekatan gender seperti GMCL menjadi faktor penting dalam implementasi PUG. Tidak hanya pada isu lingkungan hidup dan kehutanan, acuan tersebut dapat memberi manfaat yang sangat baik pada area lainnya yang membutuhkan lebih banyak peran perempuan. Akan tetapi, kendali berupa checklist yang sudah disediakan oleh TAF tersebut tidak selalu digunakan dan berjalan dengan efektif. Salah satu sebab dari hambatan implementasi PUG dan peran perempuan adalah rasa tidak sabar yang seringkali dialami oleh CSO. Menurut Margaretha, penerapan pengarusutamaan gender tidak dapat dilakukan dengan cepat. Proses belajar adalah kunci dari perwujudan pemahaman para pemangku kebijakan dan pengambil keputusan. Awalnya, Margaretha dan timnya pun tidak berhasil secara kilat. Keinginan belajar di TAF dalam mendorong PUG di lingkungan hidup dan kehutanan membuat mereka belajar menganalisis dan melaporkan segala proses secara kritis. Jika keinginan implementasi PUG ingin dilakukan dengan efektif, Margaretha berharap adanya kesadaran dan keinginan pihak-pihak institusi untuk mempelajari isu gender dan pemberdayaan perempuan dengan lebih baik lagi. Bantuan dari pihak eksternal untuk mengedukasi pun akan sia-sia apabila dari pihak internal sendiri masih enggan untuk menyempurnakan pengetahuan tentang implementasi PUG. Salah satu strategi Margaretha dalam memotivasi pihak pengambil keputusan seperti KLHK adalah dengan berdiskusi hingga menghasilkan ide siniar atau podcast yang mengedukasi khalayak ramai. Sejak tahun 2021, Margaretha dan TAF sudah bekerja bersama KLHK dalam membuat delapan seri siaran yang dipublikasikan di kanal YouTube milik Beritabaru.co sebagai mitra media. Kedelapan judul tersebut adalah Harmonisasi Pengarusutamaan Gender di KLHK dalam Mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs, PESTA (Pekan Ecogender dan Pelestarian Alam) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Implementasi Gender dalam Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Cerita Baik Tentang Gender dari Bali, Gender Mainstreaming di Hutan Konservasi, Perempuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan, Penghargaan KALPATARU yang Responsif Gender, dan Mendorong Kawasan Ekosistem Esensial yang Responsif Gender. Dari rangkaian podcast tersebut, sebanyak 267 artikel berita telah dipublikasikan secara daring pada situs-situs berita seperti Berita Baru, Pewarta Nusantara, Info Negeri, RCTI Plus, Progress News, dan Serikat News. Selain itu, rekaman suara dari siaran yang sudah ada juga diunggah oleh Beritabaru.co pada akun Breaker, Anchor.fm, Google Podcast, Radio Public, Spotify, Overcast, dan Pocket Cast milik mereka. Kepala Biro Perencanaan (Karocan) Pokja PUG KLHK, Apik Karyana, juga sempat menyampaikan pada Margaretha bahwa podcast ini signifikan untuk mengampanyekan praktik baik KLHK dalam mengimplementasikan PUG pada sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang mampu memberdayakan peran perempuan dan kelompok rentan lainnya. Tidak hanya mengedukasi masyarakat, podcast ini turut membantu pihak KLHK untuk meningkatkan pengetahuan mereka mengenai PUG dan peranan perempuan dalam program-programnya. Dengan demikian, harapannya KLHK pun mampu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya implementasi PUG dan peranan perempuan di setiap kebijakan dan kegiatan yang dilakukan. Selain podcast, Margaretha juga berkolaborasi dengan Pokja PUG KLHK untuk mengadakan sebuah seminar daring. Bertajuk Praktik Baik Ibu Bumi Dalam Mengelola Hutan: Memperkuat Peran Kelompok Perempuan dalam Program Perhutanan Sosial di Indonesia, seminar yang diadakan pada 25 Agustus 2021 yang lalu ini memiliki empat tujuan. Keempat tujuan tersebut adalah memperkuat agenda pemerintah dalam pelibatan kelompok perempuan dalam pengelolaan hutan di Indonesia melalui skema PS, berbagi pengalaman dan cerita baik kelompok perempuan pengelola PS, mendiskusikan tantangan dalam memperkuat keterlibatan kelompok perempuan dalam pengelolaan PS, dan membangun strategi bersama melalui kolaborasi dan inovasi para pihak untuk penguatan kelompok perempuan pengelola PS. Acara ini turut memberikan kesempatan bagi delapan perempuan champions tingkat tapak untuk membagikan pengalaman serta keberhasilan mereka dalam mengelola PS. Kerja sama yang dicetuskan oleh Margaretha dan timnya di TAF dengan KLHK juga meliputi penulisan tulisan ilmiah yang melibatkan Jurnal Perempuan. Melalui program ini diharapkan akan terhimpun berbagai pengetahuan tentang keterlibatan perempuan dalam PS. Seperti apa yang diyakini Margaretha bahwa data dan analisis ilmiah merupakan alat advokasi yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi arah kebijakan dan praktik di lapangan. Pengalaman Margaretha yang dekat dengan isu gender dan lingkungan telah membawanya hingga menjadi salah satu tokoh kunci dalam implementasi PUG pada program PS. Bersama TAF, ia telah menjalin kerja sama dengan berbagai CSO di Indonesia, beberapa pemerintah daerah terkait, dan KLHK. Aktivismenya dalam mengutamakan kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan tentu tidak berhenti sampai di sini saja. Di masa yang akan datang, Margaretha berharap paling tidak kewajiban partisipasi perempuan dalam PS untuk mencapai angka 30% meningkat hingga 50%. Dengan demikian, motivasi para pemangku kebijakan dan pengambil keputusan seperti KLHK akan terus berkembang dan selalu menerapkan PUG di dalam setiap program mereka. Di masa yang akan datang, perempuan tingkat tapak pada perhutanan sosial dapat terus berpartisipasi dalam mengelola hutan secara berkelanjutan, meningkatkan penghidupan dari HHBK, dan berdaya secara adil dan setara dalam mendapatkan hak-hak mereka pada sektor lingkungan hidup dan kehutanan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |