Lita Anggraini: Bias Kelas Masih Menjadi Hambatan Besar dalam Advokasi RUU Perlindungan PRT*15/2/2021
*Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan dalam JP 89 Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (2016) Lita Anggraini dikenal sebagai aktivis perempuan yang gigih memperjuangkan isu Pekerja Rumah Tangga (PRT). Ia bersama kawan- kawan PRT dan para aktivis ada dalam proses advokasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) selama 13 tahun yang hingga kini belum juga diundangkan. Tiga kali pergantian presiden dan tiga kali pula pergantian jajaran wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menyurutkan Lita yang menjabat sebagai Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) untuk mewujudkan kebijakan yang memberikan perlindungan dan situasi kerja yang layak bagi PRT. JALA PRT sendiri adalah jaringan nasional—yang merupakan kelanjutan dari RUMPUN Tjoet Njak Dein yang Lita dirikan bersama teman-teman aktivis perempuan dari berbagai organisasi seperti KAPAL Perempuan, RUMPUN Gema Perempuan, Serikat PRT Tunas Mulia, SA KPPD Surabaya, Perisai, Koalisi Perempuan Indonesia, Rifka Annisa, Komnas Perempuan, SPEKHAM Solo, LBH Apik Jakarta, Institut Perempuan—yang lahir sejak tahun 2004, berfokus pada advokasi kebijakan, pengorganisasian dan kampanye publik terkait perlindungan PRT. Isu perempuan pekerja, khususnya pekerja rumah tangga bukanlah hal yang baru bagi Lita, aktivismenya sudah dimulai sejak duduk di bangku kuliah. Tahun 1988 ketika ia menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, ia bergabung dalam gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Tahun 1989 bersama Damairia Pakpahan, Maria Pakpahan, Aida Milasari, Yuni Satya Rahayu, Hening Tyas Sutji, Siti Noor Laila dan Rebeka Harsono, ia membentuk Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta (FDPY) yang secara khusus memperjuangkan persoalan isu perempuan, seperti buruh perempuan dan perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), termasuk di dalamnya ialah petani perempuan dan perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Di tahun 1991 FDPY melalui wakilnya Hening Tyas Sutji melakukan advokasi terhadap perempuan PRT korban kekerasan asal Ngawi yang bekerja di Gresik. Bagi FDPY kasus tersebut adalah bukti nyata bahwa perempuan PRT adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan dan selama ini tidak mendapatkan perhatian khusus dari negara. Menurutnya pekerjaan rumah tangga/kerja domestik/care work memiliki persoalan yang berlapis, yaitu karena adanya bias gender, kelas, dan nilai. Selama ini mayoritas PRT adalah perempuan dari perdesaan yang memiliki pendidikan rendah, selain itu kerja-kerja domestik yang dilakukan tersebut tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus sehingga perempuan PRT diberikan upah rendah dan kerap kali diperbudak. Berbagai latar belakang tersebut yang membuat FDPY—yang pada tahun 1992 kemudian mengubah nama menjadi RUMPUN (Forum Perempuan)—akhirnya memberikan perhatian khusus dan mulai melakukan riset terkait isu-isu PRT. Tahun 1995 FDPY berubah menjadi Yayasan Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) dengan lebih memfokuskan diri pada upaya advokasi kebijakan terkait perlindungan PRT dan pengorganisasian perempuan PRT. Kerja-kerja pertama dimulai dari Dareah Istimewa Yogyakarta baik di wilayah asal dan wilayah kerja PRT. Melihat situasi selama melakukan pendampingan dan advokasi, RTND merasa bahwa isu PRT harus menjadi gerakan bersama di tingkat nasional, sebagai isu bersama, common interest, maka Lita mewakili RTND dan kawan-kawan dari berbagai organisasi membentuk Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) pada tahun 2004 dengan tujuan melanjutkan perjuangan yang telah lahir melalui FDPY dan Rumpun Tjoet Njak Dien ke tingkat nasional. Ada tiga tujuan utama JALA PRT yaitu advokasi kebijakan yang melindungi hak-hak PRT, melakukan pengorganisasian serta pendidikan terhadap PRT untuk lahirnya serikat- serikat PRT di seluruh wilayah di Indonesia, dan yang ketiga adalah melakukan kampanye publik mengenai situasi kerja layak dan hak-hak PRT. Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 189 tentang Kerja Layak PRT yang diadopsi tahun 2011 menjadi salah satu instrumen hukum internasional yang memperkuat langkah JALA PRT dalam melakukan advokasi kebijakan berupa UU maupun Peraturan Daerah (Perda) dan Ratifikasi Konvensi ILO 189 perlindungan hak-hak PRT di Indonesia. Pekerjaan Domestik Sama Bernilainya dengan Pekerjaan Publik Dalam kajian ekonomi feminis dijelaskan bahwa selama ini ada bias gender dalam disiplin ilmu dan praktik ekonomi yang melahirkan dikotomi dan label-label pada jenis pekerjaan tertentu. Dikotomi publik-domestik, maskulin-feminin, produksi-nonproduksi, pasar-nonpasar tersebut kemudian mengakibatkan ketidakadilan gender terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya dalam konteks kerja maupun ekonomi. Julie A. Nelson dalam esainya “Feminist Economics” mengkritik bahwa ilmu ekonomi masih jauh dari objektivitas. Studi ekonomi menurutnya hanya fokus pada kerja-kerja yang dilakukan oleh laki-laki, sedangkan kerja-kerja produksi di dalam rumah—yang dikerjakan oleh perempuan tidak masuk dalam perhitungan statistik ekonomi nasional. Sejalan dengan argumen Nelson di atas, Lita berpendapat bahwa selama ini pekerjaan rumah tangga/pekerjaan domestik memiliki bias berlapis yaitu bias gender dan kelas. Pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan khas perempuan dan dianggap bukanlah pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus. Selain itu menurut Lita bias tersebut bukan hanya terjadi di level rumah tangga namun juga negara. Dalam perjuangannya mendorong lahirnya UU PPRT, tantangan terbesar menurutnya adalah masih kuatnya anggapan anggota dewan bahwa PRT layak diberikan upah murah, menurutnya ada bias kelas antara majikan dan PRT. Lita mengakui bahwa majikan atau pemberi kerja itu berada di semua level rumah tangga dari menengah ke atas sampai menengah ke bawah, mulai dari pejabat, pengusaha, guru hingga buruh pabrik. Menurut Lita perlu ada pengakuan secara hukum dan sosial yang dibangun bahwa pekerjaan rumah tangga, pekerjaan domestik yang dilakukan PRT sama penting, bernilai dan berharganya dengan pekerjaan lain di ruang publik. Bagi perempuan kelahiran 1969 ini, pekerjaan domestik yang dilakukan PRT selama ini adalah hal yang vital bagi keberlangsungan rumah tangga dan pekerjaan di ruang publik. Menurutnya ada keterkaitan dan hubungan timbal balik antara pekerjaan domestik dan publik yang keduanya memiliki kontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi nasional dan perekenomian global. Dengan adanya PRT di dalam rumah, majikan/pemberi kerja dapat memfokuskan diri pada karier di ruang publik dan demikian pula anggota keluarga juga bisa beraktivitas secara maksimal karena pengadaan dan pemeliharaan kebutuhan dasar seperti makanan, kebersihan, kesehatan, pengasuhan dalam rumah sudah berjalan. Pemenuhan hak-hak dasar bagi PRT yang sama dan setara dengan hak-hak pekerja lainnya merupakan hal yang patut diperjuangkan baginya. Lita mengungkapkan bahwa perlu ada regulasi yang melindungi dan mengatur pemenuhan hak tersebut mulai dari jam kerja normatif, upah kerja, jaminan sosial, istirahat, libur mingguan, cuti, hak berkumpul berserikat, Tunjangan Hari Raya (THR), Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) hingga perlindungan terhadap kekerasan bagi PRT. Isu PRT ini menurutnya adalah isu yang multisektor dan memiliki efek domino yang besar. Keterkaitan antara domestik dan publik tersebutlah yang perlu diberikan perhatian oleh negara mulai dari struktur upah yang perlu ditentukan hingga adanya subsidi tempat penitipan anak yang masuk dalam jaminan sosial. UU Perlindungan PRT Untuk Mengurai Benang Kusut Hubungan Kerja PRT Konvensi International Labour Organization (ILO) 189 tahun 2011 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga menjadi salah satu instrumen hukum internasional yang menjadi acuan dalam perjuangan pemenuhan hak- hak PRT di Indonesia. Isi konvensi tersebut secara tegas mengakui status PRT sebagai bagian dari pekerja dan memiliki hak-haknya sebagai pekerja. Konvensi ini secara khusus juga dapat dijadikan rujukan bagi pemerintah untuk mengambil berbagai langkah strategis guna melindungi hak-hak PRT dan mewujudkan situasi kerja layak. Pada pasal 1(a) disebutkan bahwa istilah pekerjaan rumah tangga berarti pekerjaan yang dilaksanakan di dalam atau untuk satu atau beberapa rumah tangga. Kemudian pada pasal 1(b) disebutkan bahwa istilah pekerja rumah tangga merujuk pada setiap orang yang terikat di dalam pekerjaan rumah tangga dalam suatu hubungan kerja. Sayangnya, hingga kini Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut. Di Indonesia telah ada produk hukum berupa UU yang ditujukan untuk melindungi hak-hak pekerja, yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meski telah ada produk hukum tersebut, namun sayangnya tidak mengakomodir PRT sebagaimana pekerja lainnya. Kemudian ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang diharapkan dapat menjadi “pintu” status PRT sebagai pekerja yang berhak mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak. Namun Permenaker tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan bisa mengikat subjeknya. Sehingga menurut Lita kedua produk hukum tersebut belum mampu menjangkau persoalan PRT secara khusus seperti perihal standar upah, kontrak kerja, jam kerja, jaminan sosial, cuti dan sebagainya. Secara khusus menurutnya dibutuhkan UU yang menguraikan dan mengatur mekanisme kerja dan perlindungan PRT. Lita mengungkapkan bahwa JALA PRT sejak tahun 2004 telah melakukan advokasi untuk mendorong lahirnya UU PPRT yang dapat melindungi hak- hak PRT dalam lingkungan kerja. Lita Anggraini menegaskan bahwa pengesahan RUU PPRT adalah kebutuhan yang mendesak dan harus segera diundangkan karena situasi kerja PRT yang tidak layak tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk perbudakan modern. Absennya perlindungan hukum bagi PRT di Indonesia juga merugikan posisi negara di dunia internasional. Lita mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah PRT terbanyak—baik PRT domestik maupun migran—bahkan India dan Filipina pun kalah dalam hal jumlah. Sebagai negara asal PRT migran, seharusnya Indonesia memiliki kebijakan terkait perlindungan PRT sebelum menuntut perlindungan hukum dari negara tujuan PRT Migran. Bagi Lita absennya perlindungan hukum ini menyebabkan Indonesia tidak mampu melindungi para PRT Migran Indonesia yang mayoritas adalah perempuan dari perdesaan. Berbagai kasus kekerasan eksploitasi, pemutusan kerja sepihak dan penipuan dari agen maupun majikan yang tidak bertanggung jawab menunjukkan betapa status PRT Indonesia sangatlah rentan. Lita melihat bahwa PRT adalah korban dari pembangunan yang kapitalistik, ia menganalogikannya seperti petani yang dipaksa untuk tidak menaikkan harga beras agar perekonomian stabil, seperti itu jugalah PRT yang dibiarkan diberikan upah murah yang tidak sesuai dengan beban kerja agar rumah tangga aman. Dengan kondisi rumah tangga yang stabil maka produksi di ruang publik akan stabil. Rumah tangga menjadi lokasi paling pertama dalam rantai perekonomian. Lita menjelaskan bahwa salah satu prinsip kerja layak adalah perlindungan upah, yang artinya bahwa setiap pekerja berhak diberikan upah yang layak dan sesuai dengan jam kerja dan beban kerja mereka. Perlindungan upah yang dimaksud Lita ialah harus ada standar pengupahan bagi PRT. Menurutnya hal ini perlu keterlibatan negara dan tidak bisa dibebaskan pada pasar atau pada tiap-tiap rumah tangga. Salah satu isu krusial yang membuat pembahasan RUU PPRT menjadi mandeg di DPR ialah perihal mekanisme pengupahan bagi PRT. Perihal upah kerja bagi PRT, semua pekerja tidak terkecuali PRT seharusnya mendapatkan Upah Minimum Regional (UMR) yang berbasis pada kebutuhan hidup layak. Ia menjelaskan bahwa UMR adalah standar upah paling minimum yang seharusnya diberikan oleh pemberi kerja pada pekerja tanpa dipengaruhi latar belakang pendidikan dan pengalaman pekerja. UMR adalah hak dasar bagi pekerja. Dalam proses diskusi dan advokasi di DPR, Lita mengakui bahwa perihal standar upah bagi PRT ini menjadi perdebatan di kalangan wakil rakyat. Namun menurutnya hal tersebut menunjukkan masih minimnya pengetahuan dan tidak adanya perspektif pejabat publik dan masyarakat luas mengenai hak-hak pekerja dan hubungan kerja yang tidak diskriminatif dan eksploitatif. Secara tegas Lita mengungkapkan bahwa jika yang terjalin adalah hubungan kerja eksploitatif maka hal itu sama dengan mencuri, artinya pemberi kerja telah mengambil hak pekerja, majikan telah mengambil sebagian hak dari PRT. Bagi Lita perihal upah dan jaminan sosial untuk PRT perlu dibicarakan serius di tingkat Dewan Pengupahan Nasional. Meskipun ia juga mengakui bahwa banyak pihak yang keberatan terkait upah minimum tersebut namun bagi Lita kita sudah seharusnya melangkah maju dan yang terpenting adalah adanya pengakuan atas kerja-kerja domestik dan terwujudnya situasi kerja layak. Perlindungan upah bagi PRT ini juga merupakan bagian dari 20 unsur kerja layak yang diusulkan JALA PRT. Ada 20 unsur kerja layak PRT yang diajukan oleh JALA PRT dalam RUU PPRT, yaitu 1) perjanjian kerja secara tertulis; 2) perlindungan atas upah; 3) uang lembur; 4) tunjangan hari raya, sejumlah 1 bulan gaji; 5) batasan jam kerja, yaitu maksimal 8 jam per hari; 6) libur atau istirahat mingguan, minimal 24 jam per minggu; 7) libur tanggal merah; 8) cuti tahunan minimal 12 hari kerja per tahun; 9) cuti haid; 10) cuti hamil & melahirkan; 11) jaminan sosial; 12) kebebasan berkomunikasi dan berorganisasi; 13) fasilitas akomodasi ruang atau kamar yang sehat dan aman; 14) fasilitas makan yang sehat; 15) perlindungan Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3); 16) memegang dan menyimpan dokumen pribadinya; 17) uraian tugas yang jelas sesuai jam kerja; 18) penyelesaian perselisihan secara adil dengan perlindungan hukum; 19) pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah; 20) usia minimum bekerja adalah 18 tahun. Persoalan lain yang menurut Lita juga perlu diberikan perhatian khusus karena berdampak pada kekerasan ekonomi pada PRT ialah tentang mekanisme agen/jasa penyalur PRT yang berjalan selama ini. Meskipun kehadiran agen dalam hubungan kerja antara PRT dan majikan/pemberi kerja diberikan ruang dalam Konvensi ILO No. 189, namun Lita menganggap sistem agen harus dihapuskan. Menurutnya jika pun masih diberikan ruang, agen hanya berperan untuk memberikan informasi saja, tidak perlu melakukan pelatihan, menampung, merekrut PRT. Dalam berbagai kasus yang mengatasnamakan pelatihan, agen ternyata melakukan eksploitasi terhadap PRT, memungut uang perekrutan dan biaya selama penampungan. Lita menceritakan kasus yang ia temukan di lapangan menunjukkan bahwa kehadiran agen justru lebih banyak merugikan PRT. Ia menjelaskan bahwa agen tersebut kerap kali meminta PRT untuk membayar biaya yang cukup besar untuk dapat bergabung pada agen tersebut dan disalurkan. Relasi antara agen dan PRT ini pun tidak setara, Lita menjelaskan bahwa mayoritas PRT yang menyetujui perjanjian dengan agen tersebut tidak memahami secara detail isi perjanjian tersebut sehingga akhirnya dirugikan secara ekonomi. Bahkan Lita juga menceritakan ada kasus dimana PRT tidak disalurkan oleh agen namun tetap diharuskan membayar biaya pada agen. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kehadiran agen membuat PRT terjerat oleh dua rantai ketidakadilan sekaligus. Kehadiran agen dalam hubungan kerja PRT bukanlah hal yang baru di Indonesia. Di berbagai daerah perdesaan di Indonesia agen berperan dalam merekrut dan menghubungkan PRT dengan majikan, relasi ini yang menurut Lita sangat merugikan PRT. Jika dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud pemberi kerja adalah perseorangan/organisasi/perusahaan, maka majikan dalam hal ini adalah pemberi kerja yang seharusnya secara langsung membuat perjanjian kerja dengan PRT, bukan dengan agen. Peran agen sebagai perantara/penyalur ini pun dianggap Lita sangat pincang, karena jika terjadi kekerasan, eksploitasi dan sebagainya agen pun tidak mau melindungi PRT tersebut. Lita menginginkan bahwa peran agen hanya sebatas pemberi jasa informasi saja, tidak perlu melakukan pelatihan, perekrutan dan membuat kontrak kerja dengan PRT. Sehingga PRT dapat langsung bernegosiasi dan membuat kontrak kerja dengan pemberi kerja/majikan. Menurut Lita benang kusut persoalan hubungan kerja PRT inilah yang pertama-tama harus diurai, hadirnya UU Perlindungan PRT dianggap menjadi hal yang mendesak untuk menghadirkan standar kerja layak bagi PRT. UU Ketenagakerjaan saja tidaklah cukup melindungi hak-hak PRT. Demikian juga soal pelatihan untuk PRT, sudah seharusnya diselenggarakan oleh Pemerintah melalui Balai Latihan Kerja (BLK) secara berkualitas, gratis dan bisa diakses dari segi waktu, tempat dan transportasi. Tiga Belas Tahun JALA PRT: Advokasi, Pengorganisasian dan Kampanye Publik Tiga belas tahun JALA PRT, Lita mengakui bahwa perjuangan ini juga memiliki bias kelas. Keputusannya untuk fokus pada isu perlindungan hak- hak PRT juga disebabkan pada kenyataan bahwa isu ini tidak dianggap penting bagi sebagian kalangan. Lita mengungkapkan bahwa sejak awal JALA PRT telah memiliki 3 fokus utama dalam perjuangannya, yaitu advokasi, pengorganisasian dan kampanye publik. Menurutnya ketiga tujuan utama tersebut saling melengkapi satu sama lain, diibaratkan sebagai sebuah anak tangga yang saling mendukung untuk mewujudkan tujuan utamanya yaitu perubahan atas kondisi PRT baik di level kebijakan maupun praktik. Kebijakan yang melindungi hak-hak PRT bagi Lita adalah sebuah keharusan. Menurutnya negara harus hadir dan melindungi seluruh warga negaranya tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama, gender dan kelas sosial. Maka kerja-kerja advokasi yang selama ini digerakkan oleh JALA PRT perlu mendapat dukungan dari PRT itu sendiri sebagai subjek dan tentunya dari masyarakat luas. Dengan demikian menurut Lita advokasi perlu dilakukan juga, namun itu tidak cukup untuk mengubah keadaan. PRT sebagai subjek memiliki peran penting untuk melakukan perubahan, sehingga bagi Lita pengorganisasian dan membangun sikap kepemimpinan PRT juga penting dilakukan. JALA PRT hingga tahun 2017 setidaknya telah mengorganisasi 11 organisasi dan serikat PRT. Upaya pengorganisasian ini dimaksudkan untuk membangun gerakan PRT yang lebih luas sehingga isu pemenuhan hak- hak PRT dapat menjadi isu yang diperjuangkan bersama-sama. Menurut Lita pengorganisasian ini nantinya akan menjadi sebuah gerakan PRT dan menjadi bagian dari gerakan sosial lainnya yang mendapatkan perhatian dan ruang yang lebih besar. Lita berharap PRT dapat berperan aktif sebagai subjek dalam gerakan ini. Salah satu media dari pengorganisasian adalah lahirnya sekolah-sekolah alternatif untuk PRT. Lita mengungkapkan bahwa menghidupkan nafas gerakan PRT di Indonesia ini sangat sulit karena masih kuatnya diskriminasi kelas dan stereotip pada PRT, terlebih lagi soal kepentingan pemberi kerja—yang ada di semua kelas masyarakat—yang merasa terganggu dengan hadirnya gerakan ini, maka bagi Lita advokasi kebijakan tidaklah cukup, perlu juga penguatan di level akar rumput, yaitu dengan pengorganisasian berserikat. Kampanye publik menjadi salah satu agenda besar JALA PRT, terlihat dengan banyaknya posting di akun media sosial organisasi tersebut, baik twitter maupun facebook. Berbagai flyer, booklet, poster, stiker, dan buku- buku telah diproduksi oleh JALA PRT guna memberikan penyadaran dan pengetahuan ke masyarakat luas tentang pentingnya menghargai hak-hak PRT sebagai pekerja, tentang standar kerja layak, tentang pentingnya RUU Perlindungan PRT untuk segera disahkan. Buku Kompilasi Penanganan Kasus Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) kerjasama International Labour Organization (ILO), JALA PRT, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK) yang terbit pada Juni 2017 merupakan upaya JALA PRT untuk membawa narasi tentang PRT ke permukaan. Bagi Lita, kampanye publik adalah usaha yang perlu dijalankan secara paralel dengan upaya advokadi dan pengorganisasian. Promosi terkait pemenuhan hak-hak PRT perlu gencar dilakukan dengan memanfaatkan kehadiran teknologi sehingga perubahan dapat cepat terwujud. JALA PRT melalui kampanye publiknya dengan jelas mengakui bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam mengubah kondisi PRT yang sekarang masih marginal. Ketiga tujuan di atas tidak mudah untuk diperjuangkan, Lita menceritakan bahwa selama 13 tahun melakukan advokasi banyak sekali tantangan yang harus dihadapi, salah satunya adalah kesulitan untuk memberikan pemahaman pada pemangku kebijakan bahwa isu perlindungan pada PRT adalah hal yang penting bukan hanya di dalam negeri tapi juga perlindungan PRT Migran. Lita mengungkapkan seharusnya negara sadar bahwa PRT Migran Indonesia sangat rentan terhadap kekerasan sehingga perlu ada produk hukum yang spesifik mengatur dan melindungi hak-hak PRT. Selama ini Lita mengakui bahwa banyak dari pembuat kebijakan yang malah mempertanyakan hak bagi majikan yang juga perlu dilindungi. Tentu bagi Lita ini menjadi sangat bias, karena seperti melupakan bahwa PRT adalah korban dalam hubungan kerja yang tidak memenuhi standar kerja layak tersebut, padahal ketika sudah ada kontrak antara pemberi kerja/ majikan dengan PRT maka hak-hak kedua individu tersebut telah dijamin. Tak hanya saat advokasi, bias kelas terhadap isu PRT juga ditemui saat proses kampanye publik. Lita tidak memungkiri bahwa ketika melakukan kampanye di media sosial banyak yang menanggapi dengan baik dan ada juga yang kurang positif, dengan mempertanyakan kembali hak-hak majikan. Lita mengakui bahwa hampir setiap masyarakat Indonesia pasti pernah berhadapan dengan PRT, baik itu di rumah, tetangga terdekat, di komunitas, di kantor-kantor. Namun sayangnya pekerjaan domestik, pengasuhan dan perawatan tidak masuk dalam struktur upah yang jelas, maka yang terjadi adalah pembebanan kerja rumah tangga dari satu warga ke warga lainnya. Menurutnya perlu ditinjau kembali peran negara dalam menyokong kerja- kerja domestik warganya, khususnya mengenai layanan perawatan dan pengasuhan (care work). Negara perlu hadir dengan memberikan subsidi terhadap pekerja yang selama ini menjadi majikan di keluarganya, subsidi yang dimaksud Lita ialah seperti adanya tunjangan PRT bagi pegawai/ pekerja, adanya day care yang difasilitasi negara. Jika masyarakat sudah bisa melihat persoalan ini dari perspektif tersebut maka sebenarnya Undang- Undang Perlindungan PRT adalah untuk kepentingan bersama. Tentang Sekolah PRT Aktivismenya dalam memperjuangkan pemenuhan hak-hak PRT ia lakukan dengan semangat bahwa perbudakan dalam bentuk dan rupa apapun adalah sesuatu yang memalukan dan harus dihapuskan. Sikap ketertundukan, jam kerja dan beban kerja tak terbatas yang selama ini ada dalam relasi PRT dan majikan tidaklah benar, menurutnya PRT juga memiliki hak asasi sebagai manusia, sebagai perempuan dan sebagai seorang pekerja yang harus dipenuhi tanpa terkecuali. Menurutnya dengan adanya pemenuhan hak-hak tersebut dapat menciptakan situasi kerja layak bagi PRT. Bagi Lita pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk melakukan perubahan. PRT harus berorganisasi dan memperjuangkan hak-haknya. Sekolah PRT menjadi salah satu program JALA PRT guna mewujudkan tujuan tersebut, dengan mengorganisasi PRT dan membuat serikat untuk membangun dan mengembangkan kepemimpinan PRT dalam gerakan. Sekolah PRT yang didirikan JALA PRT memiliki 3 level, dasar, menengah dan lanjut. Para anggota baru nantinya akan mendapat materi dasar, yaitu pemahaman tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Asasi Perempuan (HAP), hak-hak pekerja, perlindungan anak, hak warga negara dll. Lita menjelaskan bahwa materi yang disampaikan lebih cenderung pada penguatan analisis agar para PRT dapat merefleksikannya dengan realitas situasi kerjanya. Misalnya materi tentang HAM, kawan-kawan PRT akan belajar tentang HAM dan mekanismenya, kemudian setelah itu mereka harus merefleksikannya dan menganalisisnya dengan peristiwa atau kebijakan terkait PRT. Dengan demikian menurut Lita, PRT akan berpikir dan bersikap kritis, baik dalam tataran individu ataupun kolektif, dan mampu menjelaskan dan bernegosiasi tentang hak-haknya sebagai pekerja, setelah itu diharapkan juga dapat memulai mengorganisasi kawan PRT untuk melakukan hal serupa. Materi Sekolah PRT tingkat menengah adalah tentang pengorganisasian dengan metode RAP, yaitu metode untuk mengajak orang bergabung melalui penggalangan suara dari pintu ke pintu, metode RAP artinya mendatangi, mengenalkan, menggali masalah, membangun pemahaman bersama dan mengajak bergabung dalam organisasi untuk melakukan tindakan bersama. Meteode ini diadopsi dari pengorganisasian Urban Poor Consortium (UPC). Pada level menengah ini mereka akan belajar tentang cara pengorganisasian, merekrut, merawat dan mengembangkan anggota di berbagai wilayah di Indonesia, juga belajar untuk mengorganisasi dan merancang suatu kegiatan yang dimulai dari Tim 10 hingga komunitas yang lebih besar – gabungan dari sejumlah Tim 10. Materi ini ditujukan untuk PRT pemimpin di tingkatan Tim 10 atau komunitas. Di samping materi pengorganisasian, ada juga materi advokasi dari legislasi, advokasi kasus, hingga kampanye. Kawan-kawan PRT diajak untuk mendalami tentang kebijakan, mekanisme pembuatan UU dan kampanye publik terkait isu perlindungan PRT serta penanganan kasus yang dilakukan bersama di antaranya dengan LBH dan LBH Apik. Kemudian materi lainnya adalah tentang berserikat. Tentang pengelolaan organisasi, membangun serikat, mengelola konflik, melakukan dialog sosial. Setelah itu ada Sekolah PRT tingkat lanjut yang ditujukan untuk pimpinan serikat dalam melakukan pendidikan terhadap anggotanya. Lita menjelaskan bahwa Sekolah PRT ini bertujuan untuk membangun kesadaran PRT akan hak-haknya agar dapat mengatasi berbagai persoalan kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi. Dalam Sekolah PRT ini pembahasan tentang instrumen hukum internasional dan nasional, jaminan sosial, standar kerja layak juga diberikan pada PRT. Menurutnya hal ini tidaklah mudah karena situasi kerja dan tinggal PRT yang berada dalam tekanan kerja dan kebutuhan. Dibutuhkan konsistensi dan keberanian untuk mulai mengatakan tidak pada jam kerja eksploitatif, mengatakan tidak pada beban kerja yang tidak sesuai, mengatakan tidak pada segala bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, maupun ekonomi dan aktif bersuara tentang hak-haknya sebagai pekerja. Bagi Lita perjuangan para PRT yang selama ini ia temui dan hasil berbagi cerita bersama sangatlah bernilai dan menginspirasi. Menurutnya dalam menyikapi berbagai kesulitan yang dihadapi, PRT harus bernegosiasi dengan lingkungan kerja, keluarga dan dirinya sendiri. Strategi dalam menyikapi berbagai kesulitan dan situasi kerja yang tergantung pada majikan adalah sesuatu yang berharga untuk dipelajari. Lita mengungkapkan bahwa akibat dari absennya negara dalam hubungan kerja PRT dengan majikan, maka situasi kerja PRT selama ini sangat bergantung pada pola pandang dan sikap majikannya. Majikan menentukan nasib PRT di tempat kerjanya. Dalam proses pengorganisasian Lita mengungkapkan bahwa banyak temuan penting dan inspirasi dari kawan-kawan PRT yang sebelumnya tidak berani bersuara menjadi berani, yang sebelumnya takut mengambil risiko sebagai pilihan perjuangan menjadi berani mengambil risiko. Banyak sekali tantangan yang dihadapi para PRT dan JALA PRT harus menyadari hal itu. Lita berharap akan ada perubahan menuju ke arah yang lebih baik bagi PRT. Dengan kesadaran akan banyaknya tantangan yang harus dihadapi PRT untuk berserikat dan bergabung dengan sekolah PRT, JALA PRT sendiri menggunakan strategi 6 langkah untuk mengajak PRT bergabung dan aktif bersuara yang disebut 6 langkah RAP, yakni langkah yang diadopsi dari pengorganisasian yang dilakukan UPC. Langkah pertama ialah perkenalan, yaitu mengenalkan diri pada calon anggota guna mengetahui latar belakang mereka secara detail. Langkah kedua adalah penggalian masalah, yaitu mengajak calon anggota untuk berbicara tentang situasi kerja maupun kondisi keluarga, tujuannya adalah untuk mengetahui apa saja persoalan yang dihadapi PRT—hasilnya dapat menjadi masukan bagi organisasi. Langkah ketiga adalah penyadaran, setelah diketahui masalah- masalah yang dihadapi PRT, maka calon anggota tersebut perlu diberikan penyadaran tentang hak-hak pekerja. Langkah keempat adalah menjelaskan cara mewujudkan situasi kerja layak di lingkungan kerja. Ini dilakukan dengan membangun mimpi bersama organisasi, yaitu menjelaskan bahwa JALA PRT akan membantu mewujudkan situasi kerja layak bagi PRT. Langkah kelima ialah mengajak calon anggota untuk datang, artinya diajak untuk bergabung dan aktif dalam kegiatan JALA PRT. Langkah keenam ialah merancang dan melakukan tindakan bersama organisasi untuk perubahan bersama JALA PRT. Keenam langkah tersebut ialah strategi JALA PRT untuk mengajak para perempuan PRT di seluruh Indonesia agar dapat melakukan perubahan baik di level individu maupun di level organisasi. Lita berharap para PRT nantinya dapat aktif bersuara memperjuangkan hak-haknya, mewujudkan situasi kerja layak dan mendorong lahirnya produk hukum yang mampu melindungi hak-hak PRT sebagai pekerja bersama-sama JALA PRT (Andi Misbahul Pratiwi). Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |