“Sebetulnya saya dilematis. Satu sisi saya harus dibebani tanggung jawab memberi nafkah. Kalau saya tidak memberi nafkah, saya salah. Perempuannya (pasangan-red) sebetulnya bisa memberi nafkah, tapi ini juga menjadi beban buat saya. Tradisi mengatakan kewajiban memberi nafkah adalah laki-laki, mengapa tidak sama-sama saja.” (KH. Husein Muhammad) Apa yang diungkapkan pemimpin Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon ini membantah anggapan keliru yang menyebut laki- laki adalah penguasa atas pasangannya. Nyatanya, sebagai laki-laki, Kiai Husein menyadari bahwa dirinya dan kaumnya juga menjadi korban atas ketidakadilan tradisi patriarki. Pembatasan tanggung jawab dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan coba ia terabas hingga Kiai Husein harus diadili oleh sejumlah kiai alumni Lirboyo, Kediri.
Perkenalannya dengan Masdar Farid Mas’udi (Direktur P3M/Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) menuntun Husein untuk hadir dalam setiap halaqah atau seminar. “Kajian kitab yang biasa untuk kontekstualisasi kitab, tidak menyinggung soal gender,” tutur laki-laki kelahiran 9 Mei 1953 ini. Hingga pada tahun 1993, Husein diundang untuk menghadiri seminar bertajuk “Perempuan dalam Pandangan Agama-Agama.” Sejak saat itu, sosok yang gemar menghabiskan waktu luangnya dengan membaca ini tercengang dan merasa tertantang dengan kompleksitas persoalan perempuan. “Saya merasa disadarkan bahwa ada peran para ahli agama, bukan saja Islam melainkan pula dari seluruh agama, yang turut memperkuat posisi subordinasi perempuan. Saya memang kaget dan bertanya, bagaimana mungkin agama bisa menjustifikasi ketidakadilan, sesuatu yang bertentangan dengan hakikat dan misi luhur diturunkannya agama kepada manusia. Setelah itu, saya mulai menganalisis persoalan ini dari sudut basis keilmuan yang saya terima dari pesantren,” tegas Husein. Dari sinilah Husein mulai berkenalan dengan gerakan feminisme. Keterlibatan Husein dalam gerakan feminisme bak gayung bersambut. Beberapa persoalan perempuan sering kali memberikan ruang kepada Husein untuk mengkaji dan menelaahnya dari fikih Islam. Pandangannya terkait dengan hak asasi manusia, khususnya perempuan, tak jarang lahir dari ketajaman olah pikirnya. Ia pun semakin merasa ingin melibatkan diri dalam gerakan feminisme melalui daya kritis dan analitisnya atas setiap persoalan perempuan. Manakala keberaniannya membela perempuan teruji dengan diadili oleh sejumlah kiai lulusan Lirboyo, Kediri, Husein kian mantap menapaki hidupnya sebagai “laki-laki baru” (baca: feminis laki-laki). “Menurut saya, laki-laki dan perempuan itu sama, setara, dan punya hak yang sama. Yang membedakan adalah kita sendiri yang bikin fatwanya. Tapi, ini juga berarti merugikan banyak orang. Apakah agama membolehkan kekerasan? Apakah agama meluruskan diskriminasi? Jadi, saya lebih banyak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan, bukan mengklaim harus begini. Apakahagama melakukan kekerasan?” tegas Husein. Pernyataan Husein menguak paradigma yang selama ini masih bercokol dalam kehidupan masyarakat kita. Ia sadar benar akan perannya dalam gerakan perempuan dan memutuskan untuk mengambil peran itu, yaitu membentuk paradigma baru tentang tradisi dan kesetaraan melalui cara pandang fikih/hukum Islam. “Kehidupan masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh sikap beragama masyarakatnya, pola tradisi, dan kebudayaan. Karenanya, pola hidup masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh norma-norma keagamaan, lebih khusus dari teks-teks keagamaan. Karena itu, pengaruh agama yang sangat besar terhadap kebudayaan, akan menjadi sangat strategis jika kajian-kajian masalah perempuan pun dilihat dari sisi agama,” tuturnya. Ia menegaskan, bukan sajapersoalanperempuan, melainkan persoalan lainyang juga disebabkan oleh pemahaman masyarakat terhadap teks-teks agama, patut dikaji ulang. “Analisis kita terhadap agama masih konservatif. Itulah penyebab dari ketimpangan sosial dan pemahaman yang bias,” imbuh pendiri Fahmina Institute Cirebon. Bagi sebagian orang kehadiran feminis laki-laki sebagai sesuatu hal yang mustahil. Namun, benarkah sesuatu yang mustahil tidak akan pernah hadir? Nyata sudah, bahwa kehadiran Kiai Husein dalam gerakan feminisme membantah anggapan sebagian tadi. “Intinya adalah saling menghormatilah, karena mereka punya potensi yang sama. Jadi, harus dihilangkan proses relasi yang timpang itu. Menurut saya, ini akan menguntungkan banyak sekali bagi kehidupan ini, bukan hanya menguntungkan perempuan, melainkan menguntungkan diri kita juga. (Konkretnya) kalau perempuan itu sehat, sehat secara reproduksi, fisik, mental, intelektual, maka ini akan menghasilkan banyak keuntungan bagi kita sendiri yang lelaki. Ia produktif, dapat melahirkan generasi-genarasi yang sehat dan cerdas. Anak-anak kita diasuh oleh perempuan yang cerdas,” ungkap Husein. Menurutnya, perempuan adalah manusia ciptaan Allah yang memiliki potensi sama dengan laki-laki. “Allah saja menghargai manusia, mengapa kita tidak menghargai manusia?” kata Husein. Mengutip dari pernyataan John Stuart Mill yang dilansir dari Jurnal Perempuan edisi XII, “Pikirkanlah apa akan terjadi kelak pada anak laki-laki yang tumbuh dewasa, entah menjadi orang bodoh atau pintar sekalipun, meyakini bahwa hanya karena ia laki-laki, dengan demikian ia adalah makhluk superior, lebih unggul dari perempuan. Rasa superioritasnya ini ia timba dari pengalaman dan rasa yang hidup selama bertahun-tahun di dalam rumahnya.” Terbit pertanyaan, apa saja yang Husein lakukan dalam keseharian di tengah anak dan istrinya? “Saya masak, goreng telor ceplok, ambil nasi sendiri. Tidak minta dilayani istri. Anak-anak kita gendong, kita ajak ke mana-mana. Enggak harus ibu. Itu yang konkret,” papar penulis buku Fiqih Perempuan, Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001). Pengalaman Husein menjadi feminis laki-laki tentu selaras dengan benturan yang harus ia hadapi. Kritik-kritiknya terhadap kondisi perempuan di pesantren, termasuk mengkritik kitab Uqud al Lujjayn (referensi yang digunakan di pesantren yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban suami istri), semata-mata karena Husein ingin mengartikan ulang, melakukan evaluasi, dan menerapkan paradigmanya bahwa substansi sebuah agama adalah keadilan. Dan, Husein paham benar bahwa mengubah paradigma pesantren harus melalui pesantren pula, termasuk pandangannya bahwa perjuangan perempuan adalah persoalan kemanusiaan yang juga harus diatasi secara manusiawi. (Nur Azizah) Catatan Belakang: Tulisan ini bersumber dari hasil wawancara dengan Kiai Husein dan buku Kyai Husein Membela Perempuan (Pustaka Pesantren, 2005). Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 64, 2009 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |