Oleh: Abby Gina Rubrik: Wawancara JP 110 Perempuan dan Inisiatif Keadilan Galuh Wandita adalah Direktur Asia Justice and Rights (AJAR). Galuh adalah seorang aktivis kemanusiaan. Secara konsisten ia telah mengadvokasi pemenuhan hak bagi orang-orang yang mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Lebih dari 30 tahun, ia bergelut pada isu ini. Pada tahun 1997, Galuh menjadi salah-satu pendiri organisasi perempuan pertama di Timor-Timur yang bekerja untuk isu kekerasan terhadap perempuan dalam konflik, Fokupers. Setelah jajak pendapat (1999), Galuh bekerja sebagai petugas HAM bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk wilayah Timor-Timur. Pada tahun 2002, ia diangkat sebagai wakil direktur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sebelum terlibat dalam kerja advokasi untuk Timor-Timur, selama 10 tahun sebelumnya ia telah aktif dalam kerja kemanusiaan bersama organisasi masyarakat sipil, termasuk upaya membangun jaringan solidaritas antara perempuan Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Timor-Timur. Pengalaman advokasi yang begitu kuat, menjadi basis Galuh untuk terus memperjuangkan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM dan memerangi segala bentuk impunitas. Galuh Wandita, mendapatkan gelar Bachelor of Art dari jurusan Antropologi, Swarthmore College dan gelar Masters in International Human Rights Law dari Universitas Oxford. Dalam wawancara bersama Jurnal Perempuan, Galuh menuturkan tentang konsep-konsep penting dalam upaya inisiatif keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Menurut dia, mekanisme keadilan transisi menjadi penting untuk dipahami dan dipraktikkan dalam upaya demokratisasi dan perlindungan HAM. Lebih jauh Galuh menyatakan pentingnya keterlibatan perempuan korban pelanggaran HAM dalam upaya membangun masa depan yang lebih baik.
Bisa dijelaskan apa itu keadilan transisi dan kenapa hal ini menjadi penting untuk pemenuhan hak korban dari peristiwa konflik di berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat? Di berbagai belahan dunia, juga di Indonesia, konflik terjadi karena perebutan sumber daya, perbedaan politis, prasangka antar etnis dan agama yang berbeda. Pengetahuan tentang keadilan transisi yang umum kita kenal cenderung memiliki bias terhadap pengalaman Amerika Latin, Afrika, atau Eropa. Pendekatan ini mencakup berbagai upaya negara maupun masyarakat untuk mengatasi warisan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam skala masif, akibat sebuah rezim otoriter atau konflik bersenjata. Keadilan transisi bermula dari pengalaman masyarakat Amerika Latin dan dengan cepat menyebar secara global. Kita berhutang pada keberanian para perempuan yang dikenal dengan nama Madres Plaza de Mayo di Argentina yang terus mencari anak-anak mereka yang dihilangkan. Tuntutan mereka untuk mengetahui keberadaan anak-anak mereka yang diculik oleh rezim militer akhirnya menegaskan adanya hak atas kebenaran sebagai salah satu hak korban. Hak atas kebenaran ini telah diakui oleh mekanisme HAM regional di benua Amerika dan kini telah diakui secara internasional. Korban pelanggaran HAM juga memiliki hak atas keadilan, hak atas reparasi, dan hak untuk mendapatkan jaminan bahwa pelanggaran HAM tidak akan terulang. Namun tantangan berat masih terjadi di Asia, apalagi di Indonesia, sebab siklus konflik yang berulang masih berlangsung. Reformasi di Indonesia tidak menghasilkan sebuah tekanan yang cukup kuat untuk menghasilkan tatanan politik baru. Memang ada perubahan besar misalnya perubahan sistem pemilihan yang menjadi sistem pemilihan langsung, polisi dipisahkan dari militer, dan amandemen HAM pada konstitusi. Namun demikian, pertanggungjawaban terhadap pelanggaran HAM pada masa Orde Baru tidak berjalan. Sehingga, misalnya, persoalan korupsi masif pada periode itu belum sungguh dipersoalkan apalagi dituntaskan. Seharusnya negara dapat mengambil alih hasil korupsi demi kebaikan demokrasi. Tidak diambilalihnya hasil-hasil korupsi berdampak pada tetap berdayanya para pelaku kejahatan di era tersebut. Mereka adalah individu atau kelompok yang kuat karena memiliki modal untuk terlibat dan menentukan politik. Persoalan yang sama tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Filipina misalnya, anak-anak mantan diktator Ferdinand Marcos terus masuk dalam peta perpolitikan sampai sekarang. Meskipun era kepemimpinannya telah berakhir sejak tahun 1986, hingga saat ini warisan dan pengaruh politiknya masih dirasakan di Filipina. Di Sri Lanka, sempat terjadi pergeseran politik di mana berbagai mekanisme keadilan transisi dibentuk (komisi kebenaran, komisi orang hilang, komisi reparasi, dan lainnya), namun dalam waktu singkat penguasa rezim otoriter kembali berkuasa. Rezim politik otoriter terparah terjadi di Myanmar. Di sana, militer berkuasa selama lebih dari 60 tahun. Dalam konteks Myanmar, memang sempat ada semacam transisi pada pemerintahan sipil, yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, tetapi tidak secara penuh. Alhasil dalam prosesnya terjadilah kudeta militer pada 1 Februari 2021 ini. Inilah relevansi keadilan transisi. Fokus dari keadilan transisi adalah memastikan adanya perubahan yang holistik, di mana sebelumnya terjadi pelanggaran HAM dalam skala yang luas bertransformasi menjadi negara yang menjunjung HAM. Gagasan ini memastikan bahwa pelanggaran HAM yang telah terjadi dikenali, diakui dan konsekuensi-konsekuensinya diatasi. Keadilan transisi meliputi reformasi, keadilan, reparasi, pengungkapan kebenaran--yang bertujuan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap negara dan memastikan agar pelanggaran tersebut tidak terulang kembali. Keadilan transisi bertujuan untuk memastikan tidak adanya impunitas terhadap pelanggaran HAM, agar sebuah masyarakat yang lebih demokratis, adil dan sejahtera untuk semua dapat dibangun. Keadilan transisi merupakan sebuah cara pandang, metode, alat untuk menegakkan hak-hak korban, menghukum pelaku yang paling bertanggung jawab, dan membangun tatanan masyarakat yang baru. Keadilan transisi juga memastikan bahwa kasus pelanggaran HAM tidak mengenal istilah kedaluwarsa, artinya penegakannya terus relevan untuk diperjuangkan. Seperti halnya kasus pelanggaran HAM terhadap korban 1965, sekalipun korban telah meninggal, negara tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses pengungkapan dan pemulihan hak-hak korban. Maka saya tidak menggunakan ungkapan pelanggaran HAM “masa lalu”, sebab ini mengasumsikan bahwa pelanggaran HAM telah berakhir, padahal kenyataannya masih berlanjut. Apa saja komponen yang ada di dalam kerangka kerja keadilan transisi? Di dalam hukum HAM, korban punya empat hak. Hak tersebut antara lain: hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas reparasi, dan sebuah janji dari masyarakat dan negara bahwa pelanggaran yang telah dialaminya tidak boleh terulang kembali. Di Indonesia, proses pengungkapan kebenaran menempuh jalan berliku. Bagian dari janji awal reformasi adalah komitmen negara untuk membentuk sebuah Komisi Kebenaran, tertuang dalam sebuah TAP MPR. Namun, sampai dengan sekarang janji untuk sebuah mekanisme resmi untuk mendengarkan kesaksian korban pelanggaran HAM di era Orde Baru, mulai dari suara korban 1965, Timor-Timur, Aceh, Kekerasan Mei 1998 belum terwujud. Kerap kali yang terjadi adalah upaya-upaya pembungkaman. Sejumlah institusi dan masyarakat sipil telah berupaya mengungkap fakta dan pengalaman korban. Hal ini dapat kita lihat dari adanya pembentukan berbagai tim pencari fakta pada periode awal reformasi, Komnas HAM dan Komnas Perempuan juga melakukan pengungkapan kebenaran dengan caranya sendiri, dan sebuah Komisi Persahabatan dengan Timor-Leste telah melihat (walaupun Komisi Kebenaran di tingkat nasional tetap tidak ada). Masyarakat sipil akhirnya membuat sebuah Tahun Kebenaran, dengan laporan yang berjudul “Menemukan Kembali Indonesia” yang mencoba mencontohkan bagaimana proses dan produk pengungkapan kebenaran harusnya berlangsung. Dalam situasi impunitas yang panjang ini, sebuah Komisi Kebenaran untuk Aceh telah didirikan berdasarkan Perjanjian Perdamaian Helsinki (2005), dan sebuah peraturan yang dikeluarkan oleh DPR Aceh. Komisi ini telah bekerja selama 5 tahun, dan pada saat ini sedang menuliskan temuannya. Ini sebuah terobosan untuk Indonesia. Berdasarkan pengakuan kebenaran seharusnya negara melakukan reformasi pada institusi-institusi terkait: sektor keamanan, judisial, dan sumber daya alam. Salah satunya juga sektor pendidikan--dengan melakukan perubahan pada kurikulum. Menurut saya, kurikulum pendidikan harus mencerminkan kebenaran. Ini adalah tanggung jawab kita pada generasi penerus. Elemen keadilan transisi yang berikutnya adalah keadilan. Di Indonesia, pengadilan HAM dengan yurisdiksi atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida dibentuk pada tahun 2000, akibat tekanan internasional untuk mengadili pelaku kekerasan di Timor-Timur. Sayangnya hanya tiga kasus yang berhasil dibawa ke pengadilan ini: kasus Timor-Timur (1999), kasus Tanjung Priok (1984), dan Abepura, Papua (2001). Dari ketiga kasus tersebut, semua terdakwa yang dinyatakan bersalah, dibebaskan pada saat naik banding ke Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme judicial kita terlalu lemah. Implikasinya adalah para pelaku bebas dan masih memengaruhi arah perjalanan bangsa ini. Aspek lain dari keadilan transisi adalah aspek reparasi atau pemulihan. Negara memiliki kewajiban untuk memulihkan penderitaan dan ketidakadilan yang dialami oleh korban, tetapi lebih jauh mekanisme ini diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan korban pada negara. Artinya korban merasa dirinya sebagai warga negara seperti halnya warga negara lainnya, dia memiliki hak dan dilindungi oleh negara. Proses reparasi dimulai dengan pengakuan tentang keberadaan korban, mereka yang mengalami penahanan hingga tahunan tanpa adanya proses pengadilan, mereka yang mengalami penyiksaan dan kekerasan, mereka yang keluarganya dihilangkan. Bahwa mereka tercerabut dari aksesnya untuk menikmati haknya sebagai warga negara, apakah itu hak untuk mendapat pendidikan, pekerjaan, hak untuk bebas dari kekerasan—diskriminasi dan lainnya. Reparasi berarti negara harus mengakui bahwa hal-hal tersebut terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan. Negara alih-alih melindungi warganya malah melanggar HAM warganya. Semangat dari keadilan transisi adalah mengungkap bahwa ada pelanggaran HAM dalam skala besar. Kebenaran kemudian dijadikan landasan untuk melakukan reformasi terhadap institusi yang terlibat dalam pelanggaran HAM, landasan untuk merujuk proses untuk mengadili para pelaku kejahatan, sebagai dasar memberikan pemulihan terhadap korban, dan menjadi basis komitmen agar hal serupa tidak terulang kembali. Dalam upaya memberikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM muncul kebijakan/perjanjian yang mengatur tentang reparasi terhadap pelanggaran HAM. Namun dalam implementasinya tidak demikian. Bagaimana pandangan Ibu mengenai situasi semacam ini? Reparasi adalah upaya memulihkan korban dari dampak pelanggaran HAM yang dialaminya. Hak atas reparasi meliputi beberapa elemen yaitu restitusi, kompensasi, rehabilitasi, jaminan tidak akan terulang lagi dan kepuasan. Penting untuk memahami bahwa reparasi bukan semata-mata membayar kompensasi, tetapi ada pendekatan yang lebih luas untuk memulihkan martabat korban. Benar bahwa di Indonesia ada beberapa kasus pelanggaran HAM berat di mana korban mendapatkan semacam kompensasi atau pelayanan psikososial dan kesehatan secara terbatas. Tetapi kalau kita melihat elemen-elemen reparasi: restitusi dimaksudkan untuk mengembalikan korban pada kondisi sebelum terjadinya pelanggaran HAM, bahwa kepuasan berarti korban merasa diakui dan diperlakukan secara adil, dan adanya jaminan ketidakberulangan. Jika korban mendapat kompensasi atau pelayanan tetapi di lain hari korban mengalami kekerasan dan diskriminasi lagi, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai reparasi. Tidak pula dapat disebut reparasi jika bantuan yang diberikan tidak begitu signifikan sehingga tidak ada nilai transformatif yang bisa memperbaiki kehidupan korban. Dalam pengalaman advokasi selama ini, reparasi di Indonesia berjalan dengan lambat dan minimalis. Kelemahan utama dari aturan yang ada adalah digantungkannya pemenuhan reparasi pada putusan pengadilan yang menyatakan pelaku bersalah. Alhasil, meskipun pengadilan HAM ad hoc telah menetapkan reparasi kepada korban, tetapi tak dapat dilaksanakan karena pelaku dibebaskan di tingkat Mahkamah Agung. Juga, korban yang telah diambil kesaksiannya (dan menghasilkan sebuah Berita Acara Pemeriksaan) oleh Komnas HAM bisa dirujuk untuk mendapat pelayanan dari Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). Namun situasi ini juga hanya berlaku untuk kasus-kasus yang dinyatakan terjadi dugaan pelanggaran HAM berat dan dirujuk untuk proses pengadilan HAM (yang notabene tidak berjalan). Sementara itu, upaya reparasi dalam bentuk kompensasi hanya diberlakukan pada kasus tertentu seperti misalnya di Aceh yang dikenal dengan nama diyat, dengan menggunakan dasar syariat Islam. Setelah adanya perjanjian perdamaian tahun 2005 yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, maka diputuskan bahwa ada bantuan reintegrasi bagi kombatan dan bagi masyarakat sipil yang terkena dampak konflik. Saat itu dibentuklah sebuah badan untuk reintegrasi di Aceh. Badan tersebut kemudian mengumpulkan data korban-korban pembunuhan dan penghilangan paksa yang terjadi di Aceh selama peristiwa konflik. Berdasarkan data yang dihimpun diketahui ada hampir 20.000 keluarga korban yang diberikan dana kompensasi. Namun dana tersebut tidak mengakomodasi kebutuhan korban untuk menjadi pulih dan berdaya. Maka kita dapat katakan bahwa ini bukan praktik reparasi sesuai prinsip-prinsip dan best practice dalam pengalaman keadilan transisi. Kini Komisi Kebenaran Aceh juga sudah merekomendasi 400-an nama korban untuk mendapatkan reparasi mendesak dan sedang mengembangkan rekomendasi untuk 5000-an korban konflik untuk mendapatkan reparasi komprehensif. Ini sebuah terobosan penting. Mekanisme reparasi lain yang ada di Indonesia adalah lewat LPSK. Melalui LPSK, ada bantuan asistensi yang bisa diberikan untuk pemulihan psikososial. Telah banyak korban 1965 yang sudah mendapatkan bantuan itu. Tapi lagi-lagi, bantuan itu sangat minimalis. Bentuk bantuan antara lain pelayanan kesehatan secara gratis selama 6 bulan. Padahal para korban 1965 adalah mereka yang saat ini telah berusia lansia dengan kebutuhan dukungan akses kesehatan yang lebih kompleks. Inisiatif yang dilakukan oleh LPSK hanya bersifat sementara. Negara seharusnya menciptakan sebuah proses pemberian bantuan dan dukungan terhadap korban 1965 yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip HAM dan memenuhi tuntutan konkret para korban, termasuk partisipasi korban dalam merancang sebuah program reparasi. Akhir-akhir ini Pemerintah mendorong sebuah unit khusus untuk pemulihan korban. Namun, upaya ini belum diikuti dengan pengakuan terhadap korban serta tidak jelas proses yang akan dijalankan. Kita perlu mengawal proses ini agar benar-benar dapat memenuhi hak reparasi korban yang substantif. Apakah mekanisme keadilan transisi yang ada di Indonesia sudah mengakomodasi pengalaman dan kepentingan korban perempuan? Kita tahu bahwa lahirnya Komnas Perempuan (KP) merupakan respons negara terhadap kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada bulan Mei 1998, khususnya pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa di berbagai kota besar di Indonesia. Para pendiri Komnas Perempuan sendiri merasa bahwa institusi ini adalah mekanisme transitional justice. Komnas Perempuan mencoba untuk mendengarkan suara korban melalui proses menerima pengaduan dan kemudian membuat laporan khusus. Komnas Perempuan selama ini telah membuat laporan tentang kasus 1965, Mei 1998, Papua, Aceh, Poso, Maluku, dan berbagai konflik lainnya. Tapi upaya yang dilakukan Komnas HAM, LPSK dan juga Komnas Perempuan ini tidak cukup. Upaya pemberian keadilan ini bukan hanya tanggung jawab instansi yang saya sebutkan tadi, melainkan tanggung jawab bersama. Melihat situasi para perempuan korban pelanggaran HAM, saya rasa pemenuhan hak korban perempuan belum tercapai—masih jauh. Dalam berbagai konteks konflik misalnya, kawan-kawan masyarakat sipil berjaringan dengan Komnas Perempuan untuk mendata korban pelanggaran HAM (di Aceh, Poso, Papua, dll.) tetapi hingga saat ini belum ada pengakuan yang memuaskan dari negara. Salah satu wujud tidak diakomodasinya kepentingan perempuan dalam mekanisme keadilan transisi di Indonesia saya saksikan dalam kasus Timor-Timur. Waktu itu diadakan sidang pengadilan ad hoc terhadap para pelaku pembantaian di Gereja Suai. Dalam proses persidangan, salah satu saksi perempuan mencoba menceritakan tentang bagaimana keponakannya, seorang anak perempuan berusia 12 atau 13 tahun bernama Alola, diambil oleh milisi di depan tentara Indonesia dan kemudian dibawa dari perbatasan kota Suai ke Atambua, Timor Barat. Sampai sekarang, Alola masih ada di Timor Barat. Pada persidangan tersebut, alih-alih berempati terhadap korban, hakim malah membuat lelucon tentang pernyataan ibu korban. Saat itu tante korban menyatakan bahwa “Anak saya mau diambil oleh milisi”, yang merujuk pada keponakannya akan diambil oleh milisi. Tetap hakim malah menyatakan 'Oh mau, maksudnya dia (anak perempuan korban) mau (ingin diculik)?' Pernyataan tante korban yang disampaikan dalam bahasa Indonesia yang tidak lancar/fasih pun dijadikan sebuah bahan guyon oleh hakim. Pemikiran dan praktik bias yang dilakukan oleh aparat hukum membungkam keluarga korban. Persidangan pelanggaran HAM di Indonesia sangat berbeda dengan praktik yang terjadi untuk kasus Rwanda. Di sana, kesaksian kecil tentang terjadinya perkosaan di tengah genosida, diproses secara humanis oleh hakim. Hakim secara aktif dan empatik menanyakan pengalaman korban. Proses tersebut pun kemudian menghasilkan terobosan hukum, di mana putusan pengadilan menyatakan bahwa perkosaan terjadi sebagai bagian dari praktik genosida di Rwanda. Keadilan transisi harus menghasilkan transformasi sosial. Ketika terjadi konflik di satu wilayah, bentuk-bentuk pelanggaran HAM berat apa saja biasanya yang terjadi atau yang menimpa kelompok perempuan? Sebenarnya masyarakat sipil, baik dia laki-laki dan perempuan mengalami kerentanan saat terjadi konflik. Mereka berpotensi mengalami pelanggaran HAM. Kedua gender berpotensi mengalami pembunuhan, penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan lain sebagainya. Dalam situasi konflik atau peran, laki-laki sangat disasar karena dianggap sebagai kombatan atau musuh. Jadi kalau kita lihat data korban misalnya konteks Aceh, Papua, atau Timor Timur, saya pikir juga korban 1965, memang kebanyakan korban adalah laki-laki. Namun perempuan mengalami kekerasan yang spesifik karena aspek gendernya. Dalam situasi konflik tentu terdapat korban perempuan yang mengalami pelanggaran yang sama seperti laki-laki, namun lebih jauh, perempuan lebih rentan terhadap perkosaan, pelecehan seksual, perbudakan seksual, dan lain sebagainya. Dalam situasi perang dan konflik, perempuan juga tercerabut dari akses kehidupan ekonomi. Mereka tidak dapat menjalankan usaha yang sebelumnya menjadi sumber pencaharian mereka. Banyak perempuan di wilayah konflik yang menjadi kepala keluarga atau orang tua tunggal karena suaminya diculik atau dibunuh. Dalam situasi tersebut, perempuan harus bekerja keras luar biasa untuk memastikan keberlangsungan keluarga, pindah tempat tinggal dan lainnya. Beban tersebut berlipat lagi, sebab dalam situasi konflik, tak jarang perempuan mengalami luka dan sakit fisik hingga menjadi difabel. Situasi konflik membuat kerentanan perempuan berlipat-ganda. Bertahan di tempat tinggal semula ataupun menjadi pengungsi sama-sama memiliki konsekuensi yang berat. Dalam situasi konflik perempuan rentan mengalami kekerasan seksual dan/atau perkosaan baik dari keluarga, komunitasnya, kekerasan seksual dari tentara atau kelompok milisi, dan lain sebagainya. Kesehatan seksual dan reproduksi perempuan sangat rentan dalam situasi konflik. Dalam berbagai konteks, perempuan mengalami gangguan sistem reproduksi sebagai dampak konflik. Pengalaman inilah yang harus digali dan didokumentasikan sebab ada jenis-jenis kekerasan dan ketimpangan yang spesifik menyasar perempuan karena gendernya. Pengalaman ini harus menjadi panduan untuk transformasi sosial untuk membangun masyarakat yang damai dan demokratis. Apa saja yang telah dilakukan negara untuk memulihkan korban kekerasan seksual semasa konflik? Di Indonesia, saya pikir belum ada upaya sistematis untuk pemulihan perempuan korban kekerasan seksual. Seperti saya paparkan sebelumnya ada bantuan psikososial dari LPSK kepada korban 1965 dalam bentuk bantuan medis. Juga upaya di Aceh dengan diyat dan sekarang Komisi Kebenaran. Tetapi bantuan secara spesifik untuk korban kekerasan seksual pada masa konflik saya rasa belum. Konteks pemulihan kekerasan seksual memiliki sejumlah tantangan. Tantangan pertama adalah masih kuatnya stigma terhadap korban kekerasan seksual di masyarakat kita. Masyarakat sering mengucilkan dan menyebabkan reviktimisasi korban kekerasan seksual. Maka dari itu ketika kita bicara tentang proses pemulihan korban kekerasan seksual, sangat dibutuhkan keterlibatan korban sebagai agen perubahan. Penting agar proses pemulihan ditentukan bersama dengan cara yang direncanakan bersama korban. Cara-cara pengungkapan, dokumentasi, dan artikulasi pengalaman mereka seharusnya melibatkan partisipasi penuh dari korban. Namun dalam konteks Indonesia, belum ada mekanisme yang resmi untuk pemulihan korban kekerasan seksual di situasi konflik. Kita bisa belajar banyak dari negara-negara lain. AJAR baru selesai menulis sebuah publikasi “Truth, Bread and Tea” sebuah panduan tentang pelajaran penting dari Bosnia, Timor-Leste, Kamboja, Nepal, Nigeria, Uganda, Rwanda tentang reintegrasi dan pemulihan korban kekerasan seksual pasca-konflik. Mengacu pada pengalaman advokasi yang ibu lakukan, seperti apa proses pemulihan HAM yang holistis? Jadi, pendekatan keadilan transisi itu memberi sebuah perspektif holistik. Artinya kita tidak sekadar berkutat pada mengingat saja tanpa melakukan upaya konkret mengubah situasi sosial dari para korban. Dokumentasi penting sebagai basis ingatan kolektif, tetapi lebih jauh, hal ini harus menjadi basis komitmen agar tidak terjadi lagi. Perlu ada upaya untuk memberdayakan korban, agar korban dapat mengambil peran penting dalam memutus mata rantai kerentanan dan impunitas. Artinya, diakui pelanggaran HAM yang mereka alami tetapi mereka tetap tereksklusi dari kesempatan kerja, hak atas pendidikan, kesehatan, dan dari diskriminasi. Hidup mereka harus diperbaiki. Dalam salah satu kasus yang saya dampingi, seorang perempuan mengalami perkosaan. Korban melahirkan anak hasil perkosaan dan membesarkannya. Dia menjadi orang tua tunggal, mereka hidup dalam kemiskinan. Ibu dan si anak menjadi target diskriminasi dari komunitasnya. Akhirnya si anak juga mengalami kekerasan dari komunitasnya—pelanggaran dialami oleh generasi berikutnya. Maka penting merancang dan mempraktikkan pemulihan yang bersifat transformatif, yang mampu mengubah situasi sosial yang sebelumnya timpang menjadi situasi di mana korban berdaya dan dapat menikmati keadilan, dalam semua aspek hidupnya. Tugas transformatif ini adalah tugas yang berat dan perlu didukung oleh semua pihak. Dalam praktiknya, telah banyak inisiatif keadilan yang muncul dari masyarakat sipil. Bentuk-bentuk inisiatif keadilan yang sudah dilakukan masyarakat sipil antara lain terlihat pada kerja-kerja yang dilakukan oleh Koalisi Pengungkapan Kebenaran dan Keadilan (KPKK) dan berbagai kerja organisasi masyarakat sipil yang menginisiasi public hearing (dengar kesaksian), membuat sejumlah pendokumentasian, dan pengungkapan kebenaran tentang pelanggaran HAM dan bentuk kekerasan terhadap perempuan selama konflik dan lainnya. Teman-teman dari Solidaritas Korban Pelanggaran-HAM (SKP-HAM) Palu misalnya menggunakan metode partisipatif yang dikembangkan oleh AJAR (Lihat “Manual Pemulihan Batu-Bunga”) untuk mengumpulkan suara dan cerita korban. Inisiatif ini tujuannya mengajak korban untuk saling berbagi pengalaman dan dari situ mereka mencoba merumuskan dan mengagendakan perubahan di tingkat lokal maupun nasional. Mekanisme ini sudah digunakan di Papua, Aceh, untuk korban 1965, dan berbagai kasus lainnya. Bisa dijelaskan seperti apa wujud pemberdayaan terhadap korban pelanggaran HAM berat yang mengakomodasi tujuan transformasi sosial? Dalam situasi konflik, segala rajutan kontrak sosial di masyarakat telah tercabik-cabik. Agar sebuah bangsa bisa bangkit dari pengalaman kekerasan ini, maka salah satu hal yang harus dilakukan adalah empowering the survivors—perlu dilakukan program-program penguatan bagi penyintas sehingga penyintas dan keluarganya bisa memainkan peran dalam membangun visi masyarakat baru, bersama. Tanpa itu, maka sangat mungkin untuk sebuah masyarakat mengulang lagi kekerasan serupa. Misalnya dalam konflik Nepal, pemulihan tidak bisa sekadar dengan memberikan kompensasi dan membuat dokumentasi tentang konflik. Tanpa adanya revitalisasi budaya dan reformasi sistem kasta maka konflik serupa berpotensi terjadi kembali. Sementara di Indonesia, konflik sosial dengan basis rasisme seperti yang terjadi di Papua, tidak dapat diputus ketika tidak ada pengakuan negara bahwa terjadi praktik diskriminasi terhadap orang Papua, baik dari aspek politik, sumber daya alam, dan lain sebagainya. Diskriminasi yang tidak direspons secara serius dan holistis berpotensi untuk berulang lagi di kemudian hari. Karena akar masalahnya tidak disentuh, maka rasa tidak adil itu tetap terjadi dan mengakar di sana. Berdasarkan pengalaman advokasi Ibu, bagaimana bentuk-bentuk daya lenting perempuan korban pelanggaran HAM berat? Kami melakukan sebuah penelitian yang melibatkan 140 korban konflik di Indonesia, Timor-Leste, dan Myanmar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa impunitas berdampak panjang namun demikian perempuan bertahan. Publikasi tersebut, Enduring Impunity: Women Surviving Atrocities in the Absence of Justice, menunjukkan bagaimana kebutuhan ekonomi dan persoalan stigma menjadi hambatan besar untuk perempuan bisa mendapatkan keadilan dan kembali menjadi warga negara yang produktif. AJAR juga mendokumentasikan tentang cara para perempuan korban bertahan lewat kumpulan foto, Surviving on Their Own (2014). Buku ini menarasikan bahwa perempuan penyintas bertahan dari perjuangan dan keringat mereka sendiri. Hampir tidak ada sentuhan negara bagi korban perempuan, dimulai dari kasus 1965, Aceh, maupun Papua. Dokumentasi pengalaman tersebut menunjukkan bahwa sekalipun para perempuan korban menghadapi berbagai tantangan, misalnya harus mengungsi dari rumah mereka, mengalami kekerasan fisik, kehilangan suaminya, dan lain sebagainya, mereka tidak menyerah—mereka berjuang dan menjadi tumpuan keluarga. Bagi saya, narasi ini adalah narasi sejarah bangsa kita yang merefleksikan realitas pengalaman korban. Maka penting agar setiap orang untuk mengetahui sejarah ini. Setiap orang perlu mengetahui kejahatan ini, khususnya bagaimana situasi tersebut memberikan dampak tidak simetris bagi perempuan. Sebagai bentuk komitmen terhadap pemenuhan dan penegakan HAM, pengalaman korban perempuan harus diketahui dan dipastikan ketidakberulangannya. Bagaimana kaitan antara pemenuhan hak korban pelanggaran HAM dengan proses demokrasi kita di Indonesia? Bagi saya, ini inti dari pentingnya mempersoalkan pelanggaran HAM, yaitu memastikan dampaknya pada penguatan demokrasi sebuah negara. Dalam konteks Amerika Latin dan Eropa, keadilan transisi mentransformasikan kondisi masyarakat yang berada dalam rezim otoritarian, konflik berkepanjangan, pelanggaran HAM masif, menjadi negara yang menjunjung tinggi HAM, dan menegakkan demokrasi. Kebenaran dan pengakuan pelanggaran HAM adalah fondasi dari proses demokratisasi. Bila pelaku pelanggar HAM tidak dihukum—terjadi impunitas maka mereka akan sangat mungkin masuk kembali ke dalam arena perpolitikan, berupaya merebut kekuasaan dan mengulang kekejaman yang sama, meraup kuasa dan keuntungan. Bila kasus pelanggaran HAM tidak ditangani dengan serius maka akan sulit membangun sebuah tatanan baru masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat. Dalam konteks Indonesia, masyarakat sipil, gerakan perempuan, gerakan lingkungan, gerakan HAM perlu mencari terobosan untuk menghentikan impunitas untuk pelanggaran HAM. Saya rasa dengan mekanisme yang ada: Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK, serta inovasi di tingkat-lokal (seperti kita lihat Komisi Kebenaran Aceh dan juga yang dijanjikan sebagai bagian dari otonomi khusus di Papua) bisa membangun kesadaran baru tentang kanker yang ada melekat dalam tubuh bangsa ini. Dari kesadaran dan political will kita harus membangun proses peradilan untuk mengadili mereka yang paling bertanggung jawab, dan menuntut pertanggungjawaban institusi-institusi dan perusahaan yang telah diuntungkan oleh impunitas yang telah berjalan panjang di Indonesia. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |