Oleh: Iqraa Runi Aprilia Rubrik: Tokoh JP113 Feminisme dan Keadilan Iklim Farwiza Farhan lahir di Banda Aceh 1 Mei 1986. Farwiza Farhan adalah seorang aktivis lingkungan dan konservasionis yang namanya ramai diperbincangkan dalam beberapa bulan belakangan ini. Farwiza masuk ke dalam jajaran sosok perempuan berpengaruh menurut Majalah TIME pada TIME 100 Next 2022 kategori leaders. Perempuan yang akrab disapa Wiza ini adalah pendiri Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAkA). Pada tahun 2007, Wiza mendapatkan gelar sarjananya dari jurusan Biologi Kelautan, Universitas Sains Malaysia. Ia melanjutkan studi masternya pada tahun 2009 di University of Queensland Australia pada bidang Manajemen Lingkungan. Saat ini Wiza merupakan kandidat doktor di Departemen Antropologi Kultural dan Studi Pembangunan, Radboud University. Kontribusinya dalam perjuangan lingkungan bermula sejak tahun 2010 bersama Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) sebelum akhirnya BPKEL dibubarkan pada tahun 2012. Masa Kecil dalam Ingatan Farwiza: Pendidikan dan Karier yang Tidak Standout
Dalam ingatan Farwiza, masa kecilnya sama seperti anak kecil lain yang tinggal di daerah: berlarian di tengah hari, bersepeda ke rumah tetangga, main di selokan air, memanjat pohon, dan menghabiskan waktu di sekolah. Wiza merasa tidak ada yang spesial dalam perjalanan masa kecilnya. Ia tidak datang dari keluarga yang terlalu berprivilese, tetapi juga bukan dari keluarga yang kekurangan. Kedua orang tuanya adalah akademisi di Universitas Syiah Kuala; ayah mengajar Farmakologi dan ibu mengajar Teknik Kimia. Privilese yang ia terima adalah bahwa orang tuanya berpikir terbuka dan mendukung anak-anaknya untuk memaksimalkan potensi dan keahlian masing-masing. Menurutnya, kebebasan dan kepercayaan inilah yang menjadi faktor pendukung capaian-capaian yang telah ia dapatkan sampai saat ini. Capaian Wiza saat ini luar biasa. Ia didapuk sebagai perempuan berpengaruh dalam Majalah TIME pada TIME 100 Next 2022 kategori leaders. Sebelumnya Wiza juga pernah menerima beberapa penghargaan nasional, seperti National Geographic Wayfinder Award 2022, Pritzker Emerging Environmental Genius Award 2021, TED Fellow 2021, Future for Nature Award 2017, dan Whitley Award 2016 karena kerja-kerjanya dalam menjaga lingkungan. Wiza menyadari bahwa apa yang ia capai tidak terlepas dari latar belakang kehidupannya. Wiza mengaku bahwa saat ia kecil, ia adalah anak yang susah diatur. Wiza muda memiliki jiwa pemberontak yang tidak mudah ditundukkan oleh aturan atau standar-standar normal anak perempuan pada usianya. Menurut Wiza, capaian akademiknya di awal perkuliahan biasa saja, dan baru di pertengahan masa studi S1-nya peminatannya mulai mengerucut dan terfokus pada isu lingkungan. Peminatan tersebut dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam tugas dan riset lapangan pada perkuliahan tingkat akhir. Tugas dan riset lapangan membawanya untuk memahami realitas secara lebih kompleks tetapi penuh kegairahan. Titik balik inilah yang menjadi momentum keterlibatan Wiza sebagai pejuang lingkungan yang militan hingga saat ini. Wiza menyadari bahwa kerja aktivisme perlu didukung dengan kecakapan akademik untuk menguatkan upaya advokasinya. Di masa awal lulus kuliah S1, ia merasa sulit untuk mendapatkan pekerjaan pada institusi yang bergerak di isu lingkungan dan konservasi. Wiza mencoba mengirim lamaran ke sejumlah lembaga/institusi lingkungan, tetapi hampir tidak ada kesempatan untuknya. Semua pekerjaan yang tersedia waktu itu mensyaratkan pengalaman kerja minimal 5-10 tahun dan/atau untuk mereka yang memiliki gelar master. Berefleksi dari pengalaman dan dengan tekad untuk bisa terlibat dalam aktivisme lingkungan, Wiza memutuskan untuk meningkatkan kapasitasnya melalui pendidikan formal jenjang Strata 2 di University of Queensland Australia dengan bidang Manajemen Lingkungan. Dengan bersekolah lagi, ia berharap akan memenuhi syarat dari pekerjaan-pekerjaan yang ia dambakan. Selama proses mengejar gelar masternya, Wiza mempelajari banyak teori tentang upaya perlindungan lingkungan, upaya perlindungan satwa, mendesain area, melakukan perhitungan populasi, dan sebagainya. Menurutnya, teori-teori tersebut sangat berguna. Selain itu, ia juga banyak mendapat pengetahuan berguna lainnya selama bersekolah di Australia. Setelah menyelesaikan studinya, Wiza kembali ke Banda Aceh dan berkesempatan untuk bergabung dengan BPKEL yang pada saat itu memiliki otoritas di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Wiza kembali ke Banda Aceh dengan penuh percaya diri—datang sebagai anak pintar, membawa sejumlah jawaban atas masalah-masalah lingkungan. Namun, realita menghantamnya dengan fakta-fakta lapangan yang jauh berbeda dari teori yang telah ia pelajari. Wiza kesulitan ketika harus berhadapan dengan pola pikir yang sama sekali berbeda dengan teori yang dipelajarinya di bangku sekolah. Ia berjumpa dengan hal-hal yang semestinya tidak terkait dengan dunia konservasi, seperti pola pikir yang beranggapan bahwa kerusakan alam dan bencana terjadi karena tingkah laku perempuan menyimpang (memakai rok pendek, tidak bisa menjaga diri, dan tidak memakai hijab), bukan karena kerusakan hutan dan lingkungan. Menurut Wiza, semua anggapan itu tidak masuk akal dan diskriminatif. Di beberapa forum, Wiza mendengar langsung asumsi bahwa perilaku perempuan merupakan penyebab dari sebuah bencana. Anggapan tersebut beredar di masyarakat luas di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) setelah terjadinya bencana Tsunami pada tahun 2004 silam. Tahun 2012, Wiza dan kolega-kolega yang dulu bekerja di BPKEL mendirikan Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAkA) ketika BPKEL dibubarkan pada tahun yang sama. Saat itu Wiza tidak sendirian, ia bersama rekan-rekannya menginisiasi Yayasan HAkA dengan alasan sederhana, yaitu mereka tidak ingin berhenti berjuang melindungi hutan. Pembentukan Yayasan HAkA adalah upaya mengubah paradigma menyoal isu lingkungan. Paradigma utama yang harus diubah adalah pertentangan antara isu perlindungan lingkungan dengan pemenuhan ekonomi. Selama ini perlindungan lingkungan dan pemenuhan ekonomi dianggap sesuatu yang bertentangan. Padahal menurut Wiza, kedua hal tersebut berkesinambungan bahkan dapat mendukung satu sama lain. Stigma Membebani Perempuan Secara Tidak Berimbang Keresahan Wiza terkait diskriminasi gender berangkat dari refleksinya atas berbagai pernyataan dan pertanyaan yang sering kita dengar dalam keseharian. “Mengapa kamu main terus di luar? Kok perempuan panas-panasan? Nanti kulitnya hitam, tidak ada yang mau.” Contoh pernyataan dan pertanyaan di atas adalah ekspresi keseharian yang kerap ditujukan pada perempuan. Bagi Wiza, kalimat tersebut dapat memengaruhi seorang perempuan dalam menilai, membangun citra diri, dan mengambil keputusan. Tanpa refleksi dan kesadaran kritis, stigma semacam ini dapat berdampak pada terbatasnya partisipasi dan pilihan perempuan untuk terlibat dalam kehidupan publik. Pembagian peran berdasarkan gender telah membuat perempuan secara sistematis diarahkan pada pilihan dan juga kerja-kerja yang sesuai dengan gender mereka. Perempuan akan cenderung berada dalam ruang domestik dan menjadi kelompok yang termarjinalisasi dari ruang pengambilan keputusan. Begitu banyak stigma yang dilekatkan pada perempuan secara tidak berimbang. Mulai dari objektifikasi tubuh perempuan sebagai sumber masalah pada isu lingkungan, sejumlah tabu, nilai dan aturan yang cenderung membatasi pilihan dan gerak-gerik anak perempuan, hingga penyingkiran perempuan dari dunia perhutanan karena anggapan bahwa hutan sarat dengan kerja dan aktivitas maskulin. Bagi Wiza, pengalamannya sebagai aktivis hutan beriringan dengan pengalamannya sebagai perempuan. Wiza menjelaskan, waktu awal bergabung dalam perlindungan Leuser ia sering direndahkan hanya karena ia seorang perempuan. Ia dianggap tidak bisa, tidak mampu, dan ikut-ikutan sebagai aktivis lingkungan semata-mata agar terlihat ‘keren’. Beberapa kali Wiza mendapatkan sexist joke yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan dan manusia. Suatu kali, saat ada pekerjaan lapangan yang mengharuskan semuanya memesan kamar, ada seorang rekan kerja laki-laki yang melontarkan pernyataan “Farwiza nanti kamarnya share sama saya saja, saya jaga keselamatannya tapi tidak kehormatannya.” Berefleksi dari pengalaman dan pengetahuannya, Wiza melihat bagaimana diskriminasi gender membuat keterlibatan perempuan dalam konservasi memiliki tantangan berlapis. Selama ia bekarier di dunia konservasi, isu pelecehan seksual adalah salah satu tantangan bagi pekerja konservasi perempuan. Wiza menuturkan satu lagi pengalaman diskriminatif yang ia alami pada saat ia mengikuti sebuah pertemuan resmi yang tertutup. Saat itu, ia duduk dan melihat seorang kepala institusi (laki-laki) yang tidak lama menyambanginya dan bertanya, “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Wiza menjawab dengan yakin, “Iya, kita pernah bertemu sebelumnya.” Kemudian laki-laki tersebut melanjutkan pertanyaanya, “Apakah kita bertemu di hotel X?” dengan menggiring dugaan bahwa Wiza adalah seseorang yang menyambangi hotel X untuk tujuan asusila ataupun berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Ini adalah potret kecil bahwa sensitivitas gender apalagi keadilan gender belum dihidupi dalam dunia konservasi hutan. Dalam wawancara bersama Jurnal Perempuan, Wiza menjelaskan bahwa ia adalah seseorang yang sangat menghargai pilihan seorang perempuan yang bekerja sebagai PSK. Itu adalah sebuah pekerjaan yang saat ini dapat mereka lakukan. Namun, anggapan PSK dari kepala institusi laki-laki tersebut kepada Wiza adalah sebuah tindakan merendahkan martabat perempuan, sebuah tindakan yang tidak bisa menghargai pilihan Wiza sebagai seorang perempuan yang tidak memilih jalan tersebut. Alih-alih dikenali dan diakui kerjanya pada bidang konservasi, lagi-lagi yang Wiza terima adalah objektifikasi terhadap tubuh karena ia perempuan. Bukan kepakarannya yang dipertimbangkan melainkan seksualitas dan tubuhnya yang direndahkan. Wiza meyakini bahwa seksisme dan stigma yang termanifestasi dalam ancaman, dominasi, dan intimidasi dirasakan oleh banyak perempuan terlepas dari seluruh privilege yang mereka miliki. Lebih lanjut, menurut Wiza, meskipun belakangan ini istilah pengarusutamaan gender telah cukup disuarakan di kalangan masyarakat dan instansi-instansi yang ada, kenyataannya keadilan gender dalam bentuk partisipasi perempuan kerap masih dipahami sebagai “kosmetik” belaka. Dalam kegiatan-kegiatan formal yang diadakan oleh sebuah instansi lingkungan, perempuan hadir secara angka atau sekadar ada dalam sebuah kegiatan. Padahal keterlibatan yang dimaksudkan adalah keterlibatan substantif, yaitu mereka terlibat sebagai peserta yang setara, dapat berbicara, dan didengarkan. Namun, kenyataannya di lapangan, pengetahuan atau keahlian perempuan kerap direndahkan atau dipertanyakan validitasnya. Melalui pengalamannya, Wiza memahami bahwa dalam perjuangan melindungi lingkungan, ada tahap ia harus bertahan dalam ketidakadilan mulai dari perlakuan seksis, objektifikasi tubuh perempuan, dan dikecilkan. Hal itu dilakukan semata karena saat itu ia belum memiliki kapasitas untuk melawan. Namun, pertahanan yang Wiza lakukan adalah bertahan dengan semangat optimisme. Setelah Wiza berada pada posisinya saat ini yang lebih berdaya, ia baru bisa melakukan perlawanan dengan menjadikan pengalaman pahitnya sebagai bahan pembelajaran bagi banyak perempuan. Wiza mengaplikasikan partisipasi perempuan dalam gerakan lingkungan. Selain itu, pada setiap kesempatan Wiza juga selalu menyarankan perempuan untuk saling dukung. Hutan dan Partisipasi Perempuan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menjadi kawasan konservasi yang Wiza pilih untuk jaga dan restorasi karena Wiza berasal dari Aceh. Selain itu juga karena Leuser adalah tempat terakhir di dunia yang masih memiliki 4 satwa langka (gajah, badak, harimau, dan orang utan) hidup berdampingan di dalamnya. Menurut Wiza, tidak banyak diketahui bahwa ada perbedaan antara Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Taman Nasional Gunung Leuser bersifat seperti kawasan yang dilindungi dengan luas 8.302,36 km². Sementara KEL memiliki luas 2,6 juta hektare yang terbentang dari Aceh hingga Sumatra Utara. Daerah konservasi Yayasan HAkA bukan hanya Taman Nasional Gunung Leuser, melainkan KEL yang lebih luas. Dalam data yang dituliskan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), 80% orang utan Sumatra hidup di luar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser tetapi berada di dalam KEL. Ini alasan kuat mengapa KEL harus dikonservasi. KEL menyumbangkan begitu banyak manfaat untuk masyarakat yang tinggal di sekitarnya seperti udara dan air bersih. Namun keadaan sulit ketika terjadi krisis iklim. Menurut Wiza, banyak orang berpikir bahwa bencana disebabkan oleh deforestasi dan bukan karena perubahan iklim. Padahal kondisi keduanya memperparah satu sama lain. Perubahan iklim terjadi secara global, tetapi pada wilayah yang diobservasi yaitu Leuser, terdapat sejumlah masalah spesifik. Siklus kekeringan (kemarau) dan banjir (penghujan) menjadi tidak menentu. Dampak ini semakin berlipat ketika curah hujan deras dan tidak menentu berhadapan dengan deforestasi atau kondisi hutan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada kondisi seperti ini, masyarakat yang tinggal di hilir akan merasakan dampak paling parah sebab banjir menyapu bersih desa, jembatan, sekolah, dan kebun. Akhirnya masyarakat harus menjadi pengungsi—berbagi ruang dengan masyarakat lain. Berdasarkan pengalaman Wiza berdialog dengan ranger (perempuan penjaga hutan), kesadaran perempuan di tingkat tapak muncul ketika mereka dihadapkan pada berbagai situasi bencana. Lingkungan hutan adalah lingkungan yang berdampak langsung pada kehidupan dan keseharian para perempuan. Mereka ternyata mengalami kerentanan berlipat dibandingkan laki-laki ketika berhadapan dengan bencana. Dampak langsung kerusakan lingkungan dan perubahan iklim adalah relasi mereka dengan air. Lingkungan yang rusak menghasilkan banjir atau kekeringan. Kesulitan akses terhadap air bersih terasa sangat nyata dalam pemenuhan Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) perempuan, misalnya banyak ibu-ibu dan anak perempuan yang kesulitan untuk membersihkan diri ketika menstruasi. Belum lagi banyak mitos beredar sejak lama bahwa “darah haid harus dibersihkan, jika tidak akan dimakan setan”. Pemahaman perempuan tentang HKSR terbatas pada mitos dan kebiasaan setempat. Akibatnya, selain memiliki persoalan akses air bersih, perempuan juga menanggung ketakutan karena mitos dan nilai budaya. Menurut Wiza, krisis iklim tidak hanya soal kelangsungan lingkungan tetapi beriringan dengan berbagai persoalan sosial, khususnya terkait keadilan dan kesejahteraan. Menurut Wiza, krisis iklim akan semakin membebani kelompok marjinal. Bagi perempuan, isu keberlangsungan lingkungan berkaitan langsung dengan kesehatan, ekonomi, dan keberlangsungan keluarga. Karena peran gendernya, perempuan kerap memiliki perhatian dan inisiatif lebih terkait pemeliharaan lingkungan. Bagi Wiza, untuk mencapai keadilan lingkungan, perempuan harus terlibat dalam akses dan pembuatan keputusan. Perempuan memiliki pengetahuan dan inisiatif penting yang terbukti efektif mendorong pelestarian lingkungan. Asosiasi hutan sebagai arena laki-laki juga kerap membuat partisipasi perempuan menjadi hilang atau diabaikan. Berangkat dari ide bahwa pengelolaan hutan yang efisien haruslah inklusif, Wiza bersama Yayasan HAkA kemudian mendorong keterlibatan perempuan dalam hutan dengan menjadikan mereka mitra. Partisipasi perempuan dalam konservasi hutan tidak sekadar sebagai partisipasi secara jumlah, tetapi berbentuk partisipasi bermakna. Ketika kelompok perempuan penjaga hutan atau ranger hutan diberikan ruang dan pengakuan formal, banyak capaian yang dirasakan. Perubahan yang dicapai tidak hanya perubahan pada bagaimana hutan dikelola secara berkelanjutan tetapi juga peran sosial perempuan yang menjadi semakin diakui oleh masyarakat. Wiza bersama Yayasan HAkA berupaya mendorong partisipasi perempuan desa terkait konservasi hutan. Sebelum terlibat dalam organisasi, ketika ada rapat desa para perempuan cenderung hanya terlibat sebagai seksi konsumsi. Namun ketika telah berorganisasi, perempuan mampu terlibat dalam rapat desa untuk membahas anggaran, rencana pembangunan setahun ke depan, dan memutuskan apa yang ingin dilakukan dengan dana desa. Hal-hal tersebut tidak lepas dari pengalaman dan kepentingan mereka sebagai perempuan. Perubahan ini tentu bukan hal yang begitu saja diterima oleh masyarakat desa. Namun dalam perjalanan waktu, inovasi, dan capaian baik yang para perempuan ranger tunjukkan, menghasilkan pengakuan dan penerimaan secara luas dari komunitas desa setempat. Setelah perempuan terlibat dalam konservasi hutan, banjir tidak lagi terjadi, pembalakan liar berkurang, dan bahkan saat ini desa mereka mendapatkan penghargaan sebagai desa yang asri dan berpotensi menjadi kawasan ekowisata. Berdasarkan praktik baik ini, Wiza percaya bahwa ketika perempuan dilibatkan, pelestarian hutan akan menjadi semakin baik. Keadilan Gender dan Perubahan Iklim Perspektif dan harapan seorang Farwiza Farhan menyoal krisis iklim dan keadilan gender tidak muluk-muluk. Farwiza memiliki perspektif bahwa kita perlu berpijak dari kondisi dan situasi dengan keterbatasan masing-masing. Baginya, tidak mungkin seseorang yang baru belajar mengenai hutan dan krisis iklim langsung dapat meninggalkan atau mengubah spektrum dunianya dan berkontribusi untuk hutan sepenuhnya. Namun, Wiza percaya bahwa setiap orang berada pada spektrum perjalanan untuk menjadi lebih sadar serta lebih peduli untuk berbuat. Baginya sendiri, itu adalah perjalanan panjang. Sampai saat ini Wiza masih belajar untuk memahami realita persoalan lingkungan yang jauh berbeda dari teori-teori yang ia pelajari. Dalam proses Wiza mengajak seseorang untuk berkontribusi demi lingkungan, ia berupaya sebisa mungkin mengajak secara inklusif dan tidak judgemental. Menurutnya, perlindungan hutan dan alam tidak bisa dibebankan pada aktivis lingkungan atau pemerintah saja, sebab semua pihak berperan penting dalam menjaga hutan dan alam. Masalah food insecurity, imigrasi, inequality, dan krisis iklim adalah persoalan bersama yang terjadi karena pilihan-pilihan yang kita buat bersama. Kerusakan lingkungan selalu dianggap berada di luar sana, padahal kerusakan lingkungan berada pada tempat kita tinggal saat ini. Wiza berharap bahwa apa pun fokus perjuangannya, isu lingkungan harus menjadi basis perjuangan. Dalam upaya memperjuangkan hutan dan alam, Farwiza memiliki beberapa saran. Yang pertama, membangun support system untuk membangun safe space ketika perjuangan itu terasa berat. Support system bisa dibangun dari teman-teman, mentor, keluarga, pasangan apa pun itu. Yang kedua, jangan lupa berteman, berjejaring, dan menguatkan satu sama lain. Saat ini banyak sekali cerita toxicity sesama perempuan (saling menjatuhkan). Secara bersamaan juga, banyak perempuan mengalami impostor syndrome—merasa tidak layak atas pencapaian yang mereka gapai. Menurut Wiza, perempuan harus menjaga solidaritas untuk berbahagia atas pencapaian perempuan lain. Selain itu, perempuan juga perlu menentukan lingkaran/komunitas yang berisi orang-orang yang ikut merayakan keberhasilan diri dan berbahagia atas pencapaian perempuan lainnya. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |