Oleh: Abby Gina Boang Manalu Rubrik: Wawancara JP 111 Perempuan dan Perhutanan Sosial Ir. Erna Rosdiana merupakan salah satu perempuan pejabat tinggi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pada 21 Juni 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya melantik sembilan orang pejabat pimpinan tinggi pratama (eselon II). Dari sembilan orang pejabat eselon II, terdapat tiga pimpinan perempuan dan Erna Rosdiana merupakan salah satunya. Sejak saat itu, Erna Rosdiana menempati posisi strategis sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial sendiri merupakan program prioritas nasional dalam membangun sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/ hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraan keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.
Erna mengemban tugas pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan negara. Dalam wawancara bersama Jurnal Perempuan, Erna menyatakan bahwa ia memiliki keprihatinan dan keinginan untuk memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang kerap mengalami persoalan kemiskinan dan peminggiran. Persoalan lain yang menjadi perhatiannya adalah terkait isu deforestasi. Menurut Erna, bentuk pemberdayaan dari pemerintah terhadap warga sekitar hutan adalah dengan memberikan mereka akses atau hak kelola hutan berupa Persetujuan Perhutanan Sosial yang diwujudkan dengan Surat Keputusan (SK) Menteri yang membidangi kehutanan sesuai amanat Undang-Undang. Erna memiliki komitmen untuk mendorong partisipasi perempuan di tingkat tapak. Menurut dia, kebijakan perhutanan sosial merupakan peluang penting untuk pemberdayaan perempuan. Namun demikian, berdasarkan kunjungankunjungan yang dilakukan, ia mendapati bahwa perempuan di tingkat tapak masih menghadapi hambatan berlapis dari aspek struktural juga kultural untuk dapat berpartisipasi secara utuh dalam program Perhutanan Sosial. Komitmen untuk mendorong kesetaraan gender diwujudkan dengan penguatan pengadaan data terpilah gender yang digagas dan diperkuat pada masa mengemban tugasnya. Dalam wawancara bersama Jurnal Perempuan, Erna menyatakan tentang pentingnya pelibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan untuk mendorong pengelolaan hutan yang lebih baik. Menurut Erna, berbagai praktik baik di lapangan, membuktikan bahwa pengetahuan dan kapasitas perempuan telah memotori berbagai perubahan dari aspek ekonomi dan ekologi di tingkat desa. Salah satu tujuan program Perhutanan Sosial (PS) adalah distribusi yang adil dan pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Apakah perempuan merupakan target dari program tersebut? Jika iya, bagaimana bentuk keterlibatan perempuan dalam program PS? Melalui program Perhutanan Sosial, negara menunjukkan komitmennya untuk mendistribusikan keadilan bagi masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada hutan. Melalui berbagai skema perhutanan sosial, masyarakat diberi peluang terlibat dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Langkah utama yang perlu dilakukan agar program ini berjalan adalah dengan pemberian akses legal. Selanjutnya, para pemegang izin perlu memiliki pemahaman terkait pengelolaan hutan secara lestari dan juga menjadikan hutan sebagai sarana mengembangkan ekonomi—bisnis. Komitmen KLHK untuk mendorong Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Perhutanan Sosial sudah terlihat dalam kebijakan, data terpilah gender, penganggaran berbasis gender, dan dilakukannya sejumlah program penguatan kapasitas pada jajaran staf KLHK hingga pendamping masyarakat. Sebagai wujud komitmen KLHK terhadap keadilan gender, saat ini ada sembilan peraturan menteri yang sudah mengintegrasikan isu gender. Dalam kebijakan-kebijakan tersebut tertulis bahwa penerima manfaat Perhutanan Sosial adalah masyarakat baik itu laki-laki dan perempuan. Permen LHK No. 9 Tahun 2021 secara jelas menyatakan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan merupakan subjek atau pelaku utama dalam mengelola hutan. Permen ini membuka kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki agar memiliki akses legal untuk mengelola hutan. Namun demikian, implementasi mendorong keadilan gender dalam Perhutanan Sosial memang masih banyak tantangan. Berdasarkan data terpilah gender yang baru kami mulai tahun 2019 lalu, baru 13% perempuan yang tercatat sebagai penerima Persetujuan Perhutanan Sosial dalam berbagai skema Perhutanan Sosial yang ada. Pemberian akses legal atau persetujuan Perhutanan Sosial sendiri sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2007 namun sebelumnya belum ada data terpilah. Oleh sebab itu, belum semua peran perempuan dalam perhutanan sosial tercatat dalam database. Di samping itu, pemberian akses legal Perhutanan Sosial basisnya adalah keluarga sehingga mayoritas nama yang tercatat di dalam Surat Keputusan adalah kepala keluarga yang umumnya laki-laki, kecuali suaminya meninggal barulah kepala keluarga adalah perempuan. Kebijakan perhutanan sosial secara khusus memang dirancang untuk menyasar kelompok masyarakat kecil dan bisnis skala kecil-menengah. Jadi kebijakan perhutanan sosial itu sendiri ruhnya adalah keberpihakan kepada yang lemah, marginal, dan terpinggirkan. Maka secara harfiah kebijakan perhutanan sosial ini spiritnya adalah keseimbangan gender dalam arti luas, termasuk juga membuka peluang yang sama untuk perempuan dan lakilaki. Hal ini untuk menjawab persoalan ketidakseimbangan peran laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan yang disebabkan struktur sosial yang patriarki. Upaya pemanfaatan hutan oleh masyarakat tidak berhenti pada pemberian izin atau SK Perhutanan Sosial. Setelah adanya izin maka hal yang perlu dilakukan adalah peningkatan kapasitas masyarakat termasuk memberdayakan peran perempuan dalam pengambilan keputusan, baik pada tahap pemilihan jenis bibit yang akan ditanam maupun pada kegiatan-kegiatan di hilir seperti pengelolaan hasil hutan. Dengan adanya SK, masyarakat pemegang SK berhak mendapatkan fasilitasi pelayanan pembangunan dari sektor non-kehutanan berupa pelatihan, bantuan sarana produksi, pengadaan kebutuhan pengolahan hasil hutan, dan lain-lain. Fakta di lapangan peran perempuan dalam mengelola hutan cukup tinggi. Para perempuan di desa keluar-masuk hutan untuk mencari bahan makanan, obat-obatan, kayu bakar, bahan pewarna kain tenun, dan berbagai hasil hutan lainnya. Dengan demikian, peran perempuan dalam program Perhutanan Sosial sangatlah nyata. Apa saja tantangan keterlibatan perempuan di Perhutanan Sosial khususnya di tingkat tapak? Keterlibatan perempuan baik di tingkat tapak maupun di tingkat pengambilan kebijakan dalam program Perhutanan Sosial sudah cukup nyata. Walaupun masih ditemui suami yang melarang keterlibatan istri dalam kegiatan organisasi, jumlahnya relatif sedikit dibandingkan dengan banyaknya perempuan aktif dalam kegiatan perhutanan sosial. Anggapan bahwa tugas perempuan adalah kerja rumah tangga—perawatan anak di rumah memang terjadi di beberapa tempat, namun pada umumnya dalam program Perhutanan Sosial melalui proses peningkatan kapasitas dan pembelajaran bersama masyarakat, anggapan tersebut mulai terkikis. Dalam program Perhutanan Sosial, perempuan diundang atau dilibatkan dalam diskusi tingkat desa atau kelompok pada kegiatan penyuluhan untuk diminta pendapatnya dalam pembuatan rencana kelola perhutanan sosial atau dalam pelaksanaannya. Berdasarkan kunjungan saya ke wilayah tapak, pada awalnya perempuan malu untuk mengutarakan pendapatnya namun bila di-encourage dan diberi kesempatan biasanya perempuan dapat mengutarakan pendapatnya yang cemerlang. Jadi melibatkan perempuan memiliki tantangan sendiri namun umumnya tidak terlalu sulit ketika proses-proses partisipasi dikembangkan dengan baik oleh fasilitator diskusi. Jadi memang perlu ada strategi-strategi tertentu untuk meng-encuorage perempuan. Memang awalnya banyak saya temukan perempuan di tingkat tapak yang kesulitan untuk sekadar menyebutkan namanya di kegiatan publik. Mereka merasa sangat malu dan grogi. Namun melalui proses pendampingan para perempuan banyak yang berhasil memiliki kapasitas berbicara di ruang publik sehingga mampu menyuarakan pengetahuan, aspirasi, dan kebutuhan mereka. Bahkan menjadi pembicara di berbagai pertemuanpertemuan nasional perhutanan sosial, seperti Festival Perhutanan Sosial Apa saja strategi yang perlu dilakukan agar perempuan di tingkat tapak menjadi berdaya dan dapat berpartisipasi secara penuh dalam Perhutanan Sosial? Kelompok yang memiliki peran sangat penting dan dekat dengan masyarakat di tingkat tapak adalah pendamping masyarakat. Para pendamping masyarakat biasanya membangun relasi dengan para perempuan di tingkat tapak. Mereka akan melihat keseharian para perempuan menjadi teman berbicara hingga akhirnya memiliki pengetahuan tentang kesulitan yang dialami perempuan. Biasanya para pendamping akan berstrategi agar bisa mengajak para perempuan berorganisasi dan tampil dalam diskusi-diskusi tingkat desa. Pendamping biasanya juga melatih para perempuan agar punya keberanian dan rasa percaya diri untuk bicara di depan umum. Strategi yang dilakukan para pendamping adalah dengan membangun kelompok perempuan. Cara ini terbukti efektif untuk meningkatkan kapasitas dan rasa percaya diri perempuan di wilayah tapak. Di dalam kelompok-kelompok perempuan, mereka dapat saling memberdayakan. Dalam komunitas perempuan biasanya para perempuan mulai berani berbagi pengalaman, belajar berorganisasi, dan bekerja sama. Mereka yang tidak berani bersuara atau takut terlibat dalam kehidupan publik di tingkat desa mulai didorong dan tumbuh keberaniannya ketika berada dalam kelompok organisasi. Menurut saya, para pendamping memiliki peran penting dalam memberdayakan masyarakat desa, mereka tidak hanya perempuan tetapi seluruh masyarakat desa. Oleh sebab itu, KLHK merasa penting untuk melakukan pemberdayaan lewat seminar, pelatihan, dan program lainnya bagi para pendamping. Saat ini jumlah pendamping Perhutanan Sosial 22% adalah perempuan—tidak sebanyak jumlah pendamping laki-laki. Kerjakerja Perhutanan Sosial yang medannya tidak mudah dan membutuhkan mobilitas tinggi, mungkin adalah alasan tidak banyak perempuan yang terlibat sebagai pendamping dalam program Perhutanan Sosial. Selain pendamping masyarakat yang berasal dari pemerintah, sejumlah CSO juga melakukan pemberdayaan terhadap perempuan di tapak. Pemberdayaan biasanya dilakukan dengan memberikan pengetahuan gender. Menurut saya, edukasi tentang gender penting untuk diberikan oleh para pendamping pada masyarakat desa, lebih jauh, pengetahuan perlu diberikan tidak hanya pada perempuan tetapi juga pada laki-laki di desa. Artinya, laki-laki juga harus diajak berdialog dan dijadikan sasaran edukasi. Mereka harus dibangun kesadarannya bahwa jika perempuan terlibat dalam Perhutanan Sosial kesejahteraan keluarga bisa meningkat. Mengapa penting melibatkan perempuan dalam akses dan tata kelola Perhutanan Sosial? Pengetahuan dan keterlibatan itu penting sekali, ya. Pertama, perempuan secara sosial adalah orang yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan dan kesejahteraan keluarga. Jika terjadi kerusakan atau bencana alam, mereka adalah kelompok yang paling kesulitan. Karena alasan inilah, di banyak wilayah kelompok perempuan memiliki semangat dan inovasi untuk memastikan tidak berulangnya suatu bencana. Upaya yang dilakukan oleh kelompok perempuan antara lain menanami lahan yang terbuka untuk mencegah banjir dan longsor. Mereka juga ikut memantau kebakaran hutan. Banyak sekali kisah sukses konservasi hutan yang terjadi karena kerja-kerja kelompok perempuan. Berdasarkan data yang dimiliki KLHK, banyak perempuan di tapak yang menjadi pahlawan air, yaitu mereka melakukan penanaman di wilayah yang mudah longsor, menjaga kebersihan sungai, dan mengedukasi masyarakat agar terlibat dalam pelestarian sungai dan lahan. Ekosistem yang lestari akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat. Lebih jauh, ketika lingkungan hutan mengalami perbaikan, masyarakat setempat bahkan dapat mengembangkan strategi pengelolaan hutan yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, antara lain seperti yang ditemui pada beberapa komunitas masyarakat pengelola perhutanan sosial yang saat ini telah mengembangkan ekowisata di daerahnya. Beberapa wilayah yang menunjukkan praktik baik antara lain di Provinsi Aceh dan Bengkulu. Dua wilayah tersebut menunjukkan bahwa ketika kelompok perempuan terlibat dalam pengelolaan perhutanan sosial maka angka deforestasi menurun, pengawasan kawasan hutan menjadi lebih baik, dan perencanaan pengelolaan hutan menjadi lebih inovatif. Sejumlah praktik di tingkat tapak menunjukkan bahwa akses dan pengelolaan hutan menjadi lebih baik dan efektif ketika perempuan dan laki-laki dapat bekerja sama mengembangkan perhutanan sosial. Menurut hemat saya, laki-laki dan perempuan di tingkat tapak bisa jadi memiliki pengetahuan yang berbeda. Laki-laki bisa saja memiliki pengetahuan pada komoditas hutan tertentu seperti misalnya kayu, tetapi perempuan memiliki pengetahuan yang mendalam terkait tanaman obat dan konsumsi. Ketika keduanya bekerja sama, maka pengetahuan mereka dapat saling melengkapi dan memperkuat inovasi. Pengolahan dan pengembangan perencanaan perhutanan sosial selama 35 tahun akan dapat dilakukan secara efektif dan efisien ketika pengetahuan yang berbeda ini dibuat saling melengkapi. Menurut saya, jika perempuan tidak dilibatkan dalam tata kelola hutan maka akan banyak pengetahuan dan kapasitas penting dari perempuan yang akan kita lewatkan. Sebaliknya, jika perempuan terlibat biasanya akan muncul inovasi dan catatan perubahan yang penting, perempuan akan memberikan perspektif terkait kepentingan kelompok perempuan juga kesejahteraan keluarga yang kerap luput dari pemikiran para laki-laki. Bagaimana dampak program Perhutanan Sosial terhadap kelompok perempuan? Perhutanan Sosial ini tujuannya memang untuk memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat di wilayah sekitar hutan. Manfaat dari program Perhutanan Sosial seharusnya berdampak langsung bagi laki-laki dan perempuan. Berdasarkan sejumlah riset yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa 98% masyarakat yang memegang izin perhutanan sosial itu merasakan adanya peningkatan pendapatan. Namun demikian, seberapa jauh peningkatannya sangat relatif dan bergantung pada beberapa aspek antara lain potensi dan daya dukung di wilayahnya. Aspek lain yang menentukan peningkatan kesejahteraan ekonomi adalah kapasitas dan motivasi dari masyarakat di tingkat tapak itu sendiri. Perhutanan Sosial sejatinya memang bertujuan mendorong kapasitas masyarakat di tingkat tapak untuk melakukan pengelolaan hutan yang bermanfaat bagi kesejahteraan mereka dalam arti luas. Pemantauan KLHK menunjukkan bahwa sebelum bergabung dengan perhutanan sosial perempuan sudah terlibat dalam hampir seluruh kerja-kerja pengelolaan hutan, mereka juga mengolah hasil hutan menjadi kuliner atau kerajinan tangan untuk konsumsi keluarga. Dengan akses legal dalam pengelolaan hutan, mereka terbuka untuk menerima fasilitasi pelayanan program pembangunan dari instansi-instansi terkait. Mereka mendapatkan fasilitasi sesuai dengan kebutuhan di lapangan, bantuan alat, bantuan bibit, pupuk, dan alat pertanian lainnya. Bila mereka sudah memiliki kemampuan mengolah hasil hutan, mereka juga dapat menerima fasilitas atau pelatihan tentang cara mengelola secara lebih baik. Selain itu, mereka juga dihubungkan dengan instansi-instansi yang bisa membantu pemasaran produk mereka. Melalui program Perhutanan Sosial, beberapa kelompok perempuan di tingkat tapak telah mampu memasarkan produk mereka hingga tingkat kota, provinsi, dan bahkan ke luar negeri. Implikasi langsung adalah meningkatnya pendapatan ekonomi dari kelompok perempuan. Dengan terlibat dalam Perhutanan Sosial, perempuan dapat menguatkan jaringannya pada pemerintah desa, pemerintah provinsi, CSO, dan juga universitas. Kesejahteraan perempuan terbukti meningkat dengan terlibat pada program Perhutanan Sosial. Selain kesejahteraan dalam bentuk materiil atau peningkatan ekonomi yang terukur, perlu diperhatikan juga bahwa bentuk kesejahteraan juga mencakup rasa aman dan terjamin. Manfaat utama yang dirasakan para perempuan setelah terlibat dalam perhutanan sosial adalah adanya ketenangan batin karena mereka diakui secara legal sebagai pengelola hutan. Dengan persetujuan perhutanan sosial mereka bisa mengelola hutan secara tenang. Dalam jangka waktu kelola selama 35 tahun, masyarakat yang tinggal di desa, di dalam, dan sekitar hutan baik itu laki-laki maupun perempuan bisa berkreasi dan berinovasi. Mereka bisa memikirkan mau melakukan apa terhadap wilayah kelola yang ada dalam jangka waktu yang cukup panjang 35 tahun tersebut. Apa upaya yang dilakukan KLHK untuk meningkatkan partisipasi perempuan di Program Perhutanan Sosial? Komitmen KLHK mendorong kesetaraan gender jelas dan kuat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kebijakan yang membuka peluang yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Bentuk komitmen terhadap keadilan gender juga dibuktikan dengan jumlah pegawai perempuan sebanyak 40% di Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL). Untuk mendorong keterlibatan perempuan, kami juga memastikan agar perempuan berada pada posisi strategis yang menentukan kebijakan. Saat ini dari 5 direktur di Ditjen PSKL, ada 2 orang perempuan. Di setiap jajaran eselon di bawahnya, setidaknya ada 40% perempuan. Mengacu pada data KLHK, hingga saat ini hanya 13% perempuan yang terlibat dalam Perhutanan Sosial. Menurut Ibu, apa hambatan terbesarnya? Apakah dapat diartikan bahwa kebijakan yang ada belum cukup untuk mendorong kesetaraan gender pada program Perhutanan Sosial? Menurut saya, kebijakannya sudah membuka ruang partisipasi bagi perempuan dan laki-laki di tingkat tapak tetapi ada persoalan dalam implementasi dari visi-misi kebijakan tersebut. Ada sejumlah tantangan yang dialami KLHK dalam mempraktikkan program pengarusutamaan gender. Tantangan utama adalah keterbatasan anggaran. Pendanaan pengarusutamaan gender dari pemerintah lewat APBN juga seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Dana APBN untuk PSKL menurut saya tidak mencukupi sehingga pendanaan untuk program pemberdayaan perempuan atau keadilan gender nominalnya sangat kecil. Persoalan lain saat ini hanya ada lima Unit Pelaksana Teknis (UPT) untuk pelayanan tingkat tapak seluruh Indonesia. Artinya, kami sangat terbatas baik secara kuantitas dan kualitas sehingga pelayanan balai PSKL sulit menjangkau secara intensif sampai tingkat tapak. Maka untuk merespons situasi ini, menurut saya dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Salah satu cara yang kami lakukan untuk memastikan agar program pemberdayaan perempuan terlaksana adalah melalui dana hibah luar negeri, bekerja sama dengan CSO lokal, dan upaya lainnya. Kerja kolaboratif ini penting untuk mendorong keadilan gender. Hal menarik yang saya temukan dalam program kerja sama dari dana hibah luar negeri adalah adanya sistem yang ketat dan terstruktur untuk memastikan agar perempuan menerima manfaat program sejak dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program. Sejak awal perencanaan kegiatan atau program sudah mengacu dan membuat data terpilah gender sehingga dari tahap perencanaan sudah terdokumentasi daftar penerima manfaat baik itu laki-laki dan perempuan. Misalnya dalam Proyek Penguatan Perhutanan Sosial yang didukung oleh dana hibah luar negeri, sejak awal data terpilah gender telah menunjukkan berapa persen kelompok perempuan yang terlibat, ada indikator terkait manfaat yang diterima perempuan, perubahan sosial yang dirasakan, dan lain sebagainya. Namun demikian dana hibah luar negeri umumnya bersifat terbatas sehingga hanya beberapa wilayah yang menjadi kelompok target. Dapat dikatakan bahwa program kerja sama atau dana hibah tersebut memberikan capaian perubahan dalam lingkup kecil. Di sisi lain, dana APBN memang ditujukan untuk menyasar pada perubahan dalam skala besar dan cepat sehingga program-program di dalamnya tidak dapat mengakomodasi kebutuhan pemberdayaan perempuan di tingkat tapak secara intensif, detail, dan spesifik. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |