Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa
Cerpen/Puisi Feminis

Tentang Lengan Kehidupan dan Lelaki Bermata Ibu

5/6/2021

 
Karya Zubaidah Djohar

​“Selamat Hari Ibu, Lengan Kehidupanku!”
ujar Arvin di suatu siang sepulang berlayar ilmu

Sang ibu tersentak dalam binar
Pantai mana yang menghantar bunyi padamu?

Arvin tersenyum manis. Amat manis.
Aku berguru pada sorot itu. Sambil menunjuk dua sungai
yang mengalir tenang di wajah sang ibu. Aku juga berguru

pada lidah Ibu. Segenap tindak yang mengentak
di langkah Ibu. Pada lembar buku Ibu.

Ketika kulihat perempuan berani bicara
Lantang melahirkan benak. Memperjuangkan raut
rentan terbiar, ditanduk ketidakadilan. Tetap berbagi
dalam keterbatasan diri. Tidak diam melihat luka
terserak di sudut sudut mana pun

Aku ingat mata dan lengan Ibu
Pepohonan yang meranggas, sungai yang kering
Gunung berganti bongkahan tandus, laut tergerus
semua. kesakitan Rahim Pertiwi!

Aku menerkanerka
Alam bawah sadarku mengepung kata
Inilah lengan kehidupan itu. Kehidupan bagi suara
yang ditinggalkan, diabaikan, ditiadakan. Dimusnahkan.


Suara yang menyelamatkan
Semangat yang tumpah ruah. Menjalin lengan
demi lengan. Bersama para puan. Para tuan yang sejalan.

Meski kuhidup lagi, ada saja yang takut. Menghantu
Meniliknilik dengan mata bersayap empedu. Menghakimi
derap keteguhan mereka. Yang sepatutnya
bergandeng suka.

Lalu keduanya tergelak getir. Lebur di gemuruh
hidangan siang.

Nabi pujaan umat yang selalu dibawabawa ketika sekarat
bagi yang mengaku suci, juga ahli menjahit lengan kehidupan
Telinganya nyaring pada yang dibisukan. Tak berpantang
dalam kancah laku di rumah. Tapi kenapa ini tak
jadi akar keteladanan? Ingatkan aku
bila kelak terkilirpikir, Ibu.

Pungkas Arvin tegas.
Ia pun membentang badan setelah hitungan jam
Meluruskan penat yang sempat merambat
Usai mengejar hari.

Ibunya kembali merambah perjalanan. Melanjutkan
pergulatan di sudut ruang.

*****
Menjelang sore Arvin bertanya tentang tanda
yang disematkan negeri pada kaum Ibu.

Sekelip di sudut mata, langkahnya jeda di antara ragu
melanjutkan bincang, atau melaju
menuju gerbang.

Ibunya membiarkannya memilin jenak di tungkai bimbang.
Andai denting gitar masih menanti dendang hati
ingin kudengar tutur Ibu tentang tanda itu,
katanya lagi
dengan senyum seperempat petang.

Arvin pun bergegas mengayuh langkah, tapi kemudian
berbalik arah menuju sang ibu. Menyemburkan
hangat melingkar lengan, lalu berujar pelan
“Tak sabar, kujejak ujung malam ...”

Ya. Waktu ketika mereka selalu bertukar kisah
menenun makna di setiap guratan waktu
Nan memanah.

Dalam senyum menitik ke dalam, sang ibu menatap
punggung yang memanggul alat musik
kesayangan.

Seputar dua putar waktu pun berlalu
Sampailah mereka di pucuk tunggu.

*****
Mengapa tanda itu jadi berbeda?
Siapa yang menjungkir mursnahkannya?
Tanya Arvin dalam kernyit kening usai Ibunya
bersabda hening.

Anakku si biran tulang, sang pualam kasih!
Dengarlah ...

Ibunya pun berkisah. Sesekali mengusap lengan
lelaki muda itu. Sambil tetap bersandar pada bahu malam
Bahu yang selalu setia memahat saksi. Pada tapak tumbuh
gemericik bening, pikiran
lelaki itu.


Dalem Jayadipuran – Raden Tumenggung Joyodipoero
Tempat beratusratus Perempuan Ibu
mengalungkan pita suara
pada dunia.

Dua puluh dua Desember dua Lapan
Mereka serempak, menyentak genderang telinga
Mengunyah segala tikam. Menghunus tiada. Membongkar
segala sumbat rentak kehendak
Rahim Kasih.

Tempat di mana hidup berulang. Berpulang
Melanjutkan dawai jiwa.

Tentang tarian pena kaum perempuan
Tentang
gebalau sangkut perkawinan ingkar
Tentang gununggunung menjelma sunting
meruntuhkan hidupkehidupan para gadis.

Tentang tulang yang menyangga kehidupan
Sendiri. Mengayuh biduk. Meninabobokan alam

Tentang anak-anak semesta
tak bertuan.

Perempuan-perempuan Ibu, berbaju kebaya berhati baja
Duduk selingkar. Tanpa ada yang merumahkan
Tanpa ada yang meminta pulang atas nama:
Ia adalah Ibu. Atas nama perempuan
Atas nama dilarang Tuhan
Atas nama kewajiban.

Semua berderap suka. Negara pun
turut serta, memberi
hujjah.
Tak lama berselang masa, negeri berganti tuan
Dawai jiwa menjelma puja. Cukup tanda cinta

sahaja!
Tanda cinta yang berapi sekam. Meluluhkan
dari dalam. Menggerogoti setiap jengkal
kehidupan para puan.

Berawal memancang tepat di tangan besi
berhati dingin. Sang tuan.

Ia rumahkan perempuan-perempuan Ibu
Ia hadiahkan penjara bertudung keabadian semu
Ia gemuruhkan tepuk di bawah tungku yang mengabu.

Semakin kusutlayu di ketiak tungku, semakin Ibulah Ia
Semakin sabar dari semak belukar kesewenangan
semakin wanitalah Ia.

“Oh. Jangan panggil perempuan,” kata mereka berbisik
Itu mengajak berani. Bisa liar nanti. Bisa keras kepala
Mereka mulia karena patuh menjaga
Yang ditata, yang siap luka. Apa pun badai
dari tangan kita. Menyembur.

Nyanyian kerangkeng para pemuja!
Arvin terkesiap menyimak kelam yang terungkap
Sorotnya panjang dan dalam. Si wajah lugu
bermata belalang itu.

Hari ini, Lengan kehidupan yang pernah diperjuangkan
para leluhur puan, terus bergandeng menyingsingkan
Mematut, menyibak, mendobrak segala yang punah
oleh serakah, oleh kuasa.

Mereka mendengar suara Yuyun dari Bengkulu
Mereka menyatu bersama Gunung Kendeng, Leuser
Liangpran, Soputan. Semua rongga di puncak rimba raya.


Mereka menitipkan bola mata di padang gurun Ka Pe Ka
Memperkuat nadi damai menuju Papua, Aceh, Ambon,
Talangsari, dan seluruh remuk luka negeri.

Mereka siaga. Dalam sengkarut tiada beda
Tak berkesudahan. Ringkih negeri.

*****
Jemari Arvin mengisyarat, gumamnya tajam
Tak kubiar kelam terus menghantam
Tak kusimpan bibir untuk bungkam
Tak pula buta kutiadakan.

Kita sama: sang pohon argan!
saling ampu, saling empu. Sepatutnya begitu.

Teringat sang ibu pada geram mata lelaki mudanya:
Melihat telunjuktelunjuk menukik menuju para puan
​Gurita para penguasa memamah tubuh
rakyatnya. Kusut masai jalan
berserak sampah keajaiban.

Teringat sang ibu pada Lembut lengan mengibaskan
Menghalau debu di setiap sudut perjumpaan.

Teringat semua tutur yang pernah bertukar kisah
Lelaki muda itu. Tanpa sekat.

“Selamat Hari Pergerakan Perempuan, Ibuku.”
Ujar Arvin teduh meninggalkan gemuruh.

~ Jakarta, 17 Januari 2019 ~ 


Comments are closed.

    Author

    Kumpulan Cerpen 

    Archives

    September 2022
    August 2022
    July 2022
    April 2022
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    June 2021
    November 2019
    October 2019
    September 2018
    June 2017
    February 2017
    October 2016
    August 2016
    June 2016
    April 2016
    February 2016

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa