Karya Zubaidah Djohar “Selamat Hari Ibu, Lengan Kehidupanku!” ujar Arvin di suatu siang sepulang berlayar ilmu Sang ibu tersentak dalam binar Pantai mana yang menghantar bunyi padamu? Arvin tersenyum manis. Amat manis. Aku berguru pada sorot itu. Sambil menunjuk dua sungai
yang mengalir tenang di wajah sang ibu. Aku juga berguru pada lidah Ibu. Segenap tindak yang mengentak di langkah Ibu. Pada lembar buku Ibu. Ketika kulihat perempuan berani bicara Lantang melahirkan benak. Memperjuangkan raut rentan terbiar, ditanduk ketidakadilan. Tetap berbagi dalam keterbatasan diri. Tidak diam melihat luka terserak di sudut sudut mana pun Aku ingat mata dan lengan Ibu Pepohonan yang meranggas, sungai yang kering Gunung berganti bongkahan tandus, laut tergerus semua. kesakitan Rahim Pertiwi! Aku menerkanerka Alam bawah sadarku mengepung kata Inilah lengan kehidupan itu. Kehidupan bagi suara yang ditinggalkan, diabaikan, ditiadakan. Dimusnahkan. Suara yang menyelamatkan Semangat yang tumpah ruah. Menjalin lengan demi lengan. Bersama para puan. Para tuan yang sejalan. Meski kuhidup lagi, ada saja yang takut. Menghantu Meniliknilik dengan mata bersayap empedu. Menghakimi derap keteguhan mereka. Yang sepatutnya bergandeng suka. Lalu keduanya tergelak getir. Lebur di gemuruh hidangan siang. Nabi pujaan umat yang selalu dibawabawa ketika sekarat bagi yang mengaku suci, juga ahli menjahit lengan kehidupan Telinganya nyaring pada yang dibisukan. Tak berpantang dalam kancah laku di rumah. Tapi kenapa ini tak jadi akar keteladanan? Ingatkan aku bila kelak terkilirpikir, Ibu. Pungkas Arvin tegas. Ia pun membentang badan setelah hitungan jam Meluruskan penat yang sempat merambat Usai mengejar hari. Ibunya kembali merambah perjalanan. Melanjutkan pergulatan di sudut ruang. ***** Menjelang sore Arvin bertanya tentang tanda yang disematkan negeri pada kaum Ibu. Sekelip di sudut mata, langkahnya jeda di antara ragu melanjutkan bincang, atau melaju menuju gerbang. Ibunya membiarkannya memilin jenak di tungkai bimbang. Andai denting gitar masih menanti dendang hati ingin kudengar tutur Ibu tentang tanda itu, katanya lagi dengan senyum seperempat petang. Arvin pun bergegas mengayuh langkah, tapi kemudian berbalik arah menuju sang ibu. Menyemburkan hangat melingkar lengan, lalu berujar pelan “Tak sabar, kujejak ujung malam ...” Ya. Waktu ketika mereka selalu bertukar kisah menenun makna di setiap guratan waktu Nan memanah. Dalam senyum menitik ke dalam, sang ibu menatap punggung yang memanggul alat musik kesayangan. Seputar dua putar waktu pun berlalu Sampailah mereka di pucuk tunggu. ***** Mengapa tanda itu jadi berbeda? Siapa yang menjungkir mursnahkannya? Tanya Arvin dalam kernyit kening usai Ibunya bersabda hening. Anakku si biran tulang, sang pualam kasih! Dengarlah ... Ibunya pun berkisah. Sesekali mengusap lengan lelaki muda itu. Sambil tetap bersandar pada bahu malam Bahu yang selalu setia memahat saksi. Pada tapak tumbuh gemericik bening, pikiran lelaki itu. Dalem Jayadipuran – Raden Tumenggung Joyodipoero Tempat beratusratus Perempuan Ibu mengalungkan pita suara pada dunia. Dua puluh dua Desember dua Lapan Mereka serempak, menyentak genderang telinga Mengunyah segala tikam. Menghunus tiada. Membongkar segala sumbat rentak kehendak Rahim Kasih. Tempat di mana hidup berulang. Berpulang Melanjutkan dawai jiwa. Tentang tarian pena kaum perempuan Tentang gebalau sangkut perkawinan ingkar Tentang gununggunung menjelma sunting meruntuhkan hidupkehidupan para gadis. Tentang tulang yang menyangga kehidupan Sendiri. Mengayuh biduk. Meninabobokan alam Tentang anak-anak semesta tak bertuan. Perempuan-perempuan Ibu, berbaju kebaya berhati baja Duduk selingkar. Tanpa ada yang merumahkan Tanpa ada yang meminta pulang atas nama: Ia adalah Ibu. Atas nama perempuan Atas nama dilarang Tuhan Atas nama kewajiban. Semua berderap suka. Negara pun turut serta, memberi hujjah. Tak lama berselang masa, negeri berganti tuan Dawai jiwa menjelma puja. Cukup tanda cinta sahaja! Tanda cinta yang berapi sekam. Meluluhkan dari dalam. Menggerogoti setiap jengkal kehidupan para puan. Berawal memancang tepat di tangan besi berhati dingin. Sang tuan. Ia rumahkan perempuan-perempuan Ibu Ia hadiahkan penjara bertudung keabadian semu Ia gemuruhkan tepuk di bawah tungku yang mengabu. Semakin kusutlayu di ketiak tungku, semakin Ibulah Ia Semakin sabar dari semak belukar kesewenangan semakin wanitalah Ia. “Oh. Jangan panggil perempuan,” kata mereka berbisik Itu mengajak berani. Bisa liar nanti. Bisa keras kepala Mereka mulia karena patuh menjaga Yang ditata, yang siap luka. Apa pun badai dari tangan kita. Menyembur. Nyanyian kerangkeng para pemuja! Arvin terkesiap menyimak kelam yang terungkap Sorotnya panjang dan dalam. Si wajah lugu bermata belalang itu. Hari ini, Lengan kehidupan yang pernah diperjuangkan para leluhur puan, terus bergandeng menyingsingkan Mematut, menyibak, mendobrak segala yang punah oleh serakah, oleh kuasa. Mereka mendengar suara Yuyun dari Bengkulu Mereka menyatu bersama Gunung Kendeng, Leuser Liangpran, Soputan. Semua rongga di puncak rimba raya. Mereka menitipkan bola mata di padang gurun Ka Pe Ka Memperkuat nadi damai menuju Papua, Aceh, Ambon, Talangsari, dan seluruh remuk luka negeri. Mereka siaga. Dalam sengkarut tiada beda Tak berkesudahan. Ringkih negeri. ***** Jemari Arvin mengisyarat, gumamnya tajam Tak kubiar kelam terus menghantam Tak kusimpan bibir untuk bungkam Tak pula buta kutiadakan. Kita sama: sang pohon argan! saling ampu, saling empu. Sepatutnya begitu. Teringat sang ibu pada geram mata lelaki mudanya: Melihat telunjuktelunjuk menukik menuju para puan Gurita para penguasa memamah tubuh rakyatnya. Kusut masai jalan berserak sampah keajaiban. Teringat sang ibu pada Lembut lengan mengibaskan Menghalau debu di setiap sudut perjumpaan. Teringat semua tutur yang pernah bertukar kisah Lelaki muda itu. Tanpa sekat. “Selamat Hari Pergerakan Perempuan, Ibuku.” Ujar Arvin teduh meninggalkan gemuruh. ~ Jakarta, 17 Januari 2019 ~ Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |