Tawa dan tangis menemani obrolan kami setiap malam. Malam ini, seorang di antara kami membuka obrolan, “Tadi gue telepon nyokap, eh nyokap gue lagi arisan di Bandung. Jadi kangen jalan-jalan ke Bandung gak sih, guys?”. Seorang lainnya menjawab, “Gue mah cuma kangen tidur di spring bed ukuran king! Sendirian pula”. Begitulah keluh kesah dari mulut teman-teman saya saat bercerita. Pasti tahu dong bagaimana tidur di atas spring bed empuk, sendirian, ditambah sejuknya AC di dalam kamar. Nah, itu yang paling diidam-idamkan oleh mayoritas penghuni di sini. Seorang teman yang baru saja bergabung dari lapak seberang nyeletuk, “Enak kali ya mengkhayal lagi di pantai, merasakan sepoi-sepoi angin pantai. Kangen gak sih, lo?”. Yang lainnya menimpali, “Kalau gue sih lebih kangen tidur dipeluk laki.” Sontak semua orang jadi tertawa mendengar banyolan teman kita yang kalau ngomong tidak jauh-jauh dari selangkangan. Untuk saya sendiri, yang paling saya rindukan adalah kebebasan. Cukup lama saya terkekang oleh kehidupan di sini. Kehidupan yang tidak bebas sama sekali. Mau ketemu nyokap, teman, atau siapapun harus menelpon mereka terlebih dahulu. Lalu bertanya kapan mereka ke sini? Sibuk atau tidak? Gue bahkan pernah memohon supaya mereka bisa mengunjungi gue di sini. Begitu rumitnya jikalau saya ingin bertemu dengan mereka. Iya, kalau mereka memang sedang tidak sibuk dan bisa langsung ke sini, tidak jarang saya diberikan harapan palsu oleh mereka yang katanya, “Iya besok ke sana ya”. Nyatanya, besok mereka tidak datang, ditelepon tidak diangkat. Sedih rasanya. Kalau dulu di luar, mau ketemu mereka, betapapun sibuknya mereka masih bisa janjian bertemu di suatu tempat. Belum lagi kalau saya lagi ingin makan sesuatu. Kalau di luar, kita bisa langsung datang ke tempat makan yang jual makanannya, pesan dan langsung bisa makan. Makanannya juga pasti masih panas. Nah, kalau di sini harus dipesan dulu makannya. Pesannya juga di koperasi dengan harga yang terkadang bisa tiga kali lipat lebih mahal. Sudah begitu, kita harus menunggu pesanannya datang. Ketika pesanannya sudah sampai di tangan, makannya sudah dingin. Kita tidak bisa makan makanannya ketika masih panas seperti saat di luar penjara. Tapi karena terlalu ingin, tetap kami makan dengan kondisi dingin. Akhirnya, saya dan teman saya hanya bisa mengkhayal apa yang kami rindukan dan menunggu sampai kami dapat merealisasikannya suatu saat nanti. Karena, pasti suatu saat nanti itu akan datang. Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.
Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |