Rena Asyari [email protected] (Lecture, founder seratpena) Jam 6 pagi, seperti sekawanan semut yang terkurung dalam kotak selama berjam-jam lalu ketika ada celah sedikit saja mereka akan berebutan keluar, perlahan-perlahan lalu membludak. Seperti itulah kira-kira gambaran di salah satu pabrik yang berlokasi di Jatiwangi Majalengka, per 8 jam sekali pintu-pintu gerbang membuka, karyawan pabrik berganti shif dan karena lokasinya yang berada tepat di sisi jalan nasional/jalan utama maka lalu-lintas pun menjadi macet. Kira-kira 17 tahun lalu, kurang lebih 7 km dari rumahku, berdiri dengan megah sebuah pabrik. Selebaran pun mulai di bagikan, gosip dari mulut ke mulut pun mulai menyebar, informasi pabrik tersebut membutuhkan banyak karyawan menjadi gegap gempita. Kabupaten Majalengka seakan diberi hadiah, terciptanya lapangan pekerjaan untuk ribuan pekerja.
Dengan berbekal ijazah SMA antrian lamaran kerja pun mengular, sebagian besar yang dibutuhkan pekerja perempuan berusia minimal 18 tahun. Wajah-wajah perempuan yang mengantri penuh harapan. Mereka saling berkenalan dan ternyata tujuan semuanya sama, mencari “Matahari” di Pabrik. “Matahari” yang akan menaikkan status mereka dan mencukupi kebutuhan ekonomi mereka. Saya termasuk salah satu dari mereka yang mengantri. 12 tahun lalu saya mendekap amplop berwarna cokelat, kepala saya tengadah mencari perlindungan. Yang saya dapatkan hanyalah sinar matahari terik dan bayangan wajah mereka yang memaksa semakin jelas. Geram, dan tentu saja marah. Tekad saya ingin sekolah tinggi harus kandas karena lingkungan yang memaksa semua perempuan muda menjadi serupa. Menjadi pekerja di pabrik. Yang hanya bisa dilakukan ketika itu adalah pasrah. Wajah-wajah pasrah pun saya dapati dari mereka yang sedang mengantri. Terpaksa, tak ada jalan lain. Sunda Perbatasan Majalengka, salah satu kabupaten yang terletak di sebelah timur Jawa Barat. Sunda yang melekat di Majalengka adalah Sunda perbatasan. Hal ini terlihat dari budaya dan tutur bahasa yang sangat berbeda dengan tanah priangan lainnya. Letaknya yang dekat dengan Cirebon mempengaruhi selera dan pandangan hidup orang Majalengka. Derasnya modernisasi yang minim filter menyebabkan cara hidup yang dominan dianut adalah cenderung praktis. Hidup hanya mengalir, tidak banyak protes, yang penting terus bergulir sama seperti yang lain. Pada saat itu awal tahun 2000-an berpendidikan tinggi bukanlah sebuah pencapaian bagi perempuan di desa saya. Tinggal di desa dan khususnya bagi yang miskin menyebabkan sekolah bukanlah tujuan. Mencari uanglah tujuan utama. Sedini mungkin, itu lebih baik. Hal ini berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi. Seolah tak mau beranjak dari kemiskinan, sang ibu yang menikah muda akan menyuruh anak perempuannya untuk menikah muda pula dengan harapan pernikahan akan mengurangi beban hidup. Ibu yang penakut akan melahirkan anak-anak yang penakut pula. Kebanyakan Orang Majalengka tak memiliki cita-cita untuk pergi jauh merantau, mencari penghidupan yang lebih baik. Hidup hanya tentang berkumpul, “tuang teu tuang nu penting ngempel”[1]. “Tak apa anak tak hidup mapan yang penting rumahnya tak jauh dari rumahku”, begitu kata salah satu ibu di sana ketika saya mewawancarainya. Anaknya 7, dan hampir semuanya tinggal di desa yang sama. Terperangkap dalam Arus Modernitas dan Konsumerisme Zaman berganti, modernitas masuk perlahan secara paksa. Perusahaan asing raksasa mulai mengincar desa-desa yang sumber daya manusianya masih rendah. Selain lahan yang masih tersedia, juga Upah Minimum Regional yang rendah mungkin menjadi alasan untuk mereka mendirikan perusahaannya. Pabrik raksasa sejatinya adalah perusahaan besar yang menjamin status pekerjanya, dari mulai asuransi kesehatan dan upah yang diberikan jauh lebih layak daripada bekerja sebagai buruh di pabrik genteng. Genteng adalah komoditas industri utama di Jatiwangi. Jatiwangi adalah salah satu kecamatan yang cukup populer di Majalengka. Ketika sebuah pabrik yang biasanya hanya bisa dilihat di televisi dan kini hadir di dekat rumah, harapan pun muncul di benak para orang tua. Anak perempuannya bisa melamar pekerjaan di pabrik, berpakaian bersih, bergincu dan tentu saja mendapat uang. Orang-orang tua euforia, mereka mendesak anak-anaknya untuk segera mengirim lamaran ke Pabrik, segala cara dilakukan dari mulai usia yang dimudakan, SKCK yang diada-adakan, KTP dan kartu keluarga yang mendadak dibuat, hanya untuk mengisi amplop warna coklat dan diserahkan pada pihak Pabrik. Hal yang belum ada sebelumnya. Booming Pabrik pun melanda, Pabrik menjadi oase, orang tua bangga anaknya bekerja di Pabrik. Desakan bagi perempuan muda untuk bekerja di Pabrik deras sekali, dari suami, orang tua dan para saudara. Terbangun dengan pola pikir yang pragmatis, maka perempuan muda di Majalengka pun banyak yang memilih menyerah. Bersekolah hingga SMA itu sudah untung, pikirnya. Perempuan muda pun bergairah, memakai gincu, pakaian bersih rapi, dan aroma parfum yang semerbak mewangi. Berangkat sesuai jadwal shift, ada yang shift pagi yaitu jam 06.00 ada yang shift siang yaitu jam 02.00 dan ada yang shift malam yaitu jam 22.00. Mereka menjadi lebih bergengsi bekerja di pabrik. Tempatnya tertutup dan tidak kotor meskipun tempat tersebut tidak menjamin bebas dari pelecehan seksual. Suka Duka Perempuan Pabrik Perekonomian meningkat, tentu saja status personal juga meningkat. Penghasilan yang diperoleh menyebabkan perempuan-perempuan muda pun lebih bergeliat. Supermarket menjadi pelarian ketika hari gajian tiba. Gajian biasanya diberikan per dua minggu. Ada pula uang tambahan lembur. Hidup di desa, bekerja, mempunyai uang adalah suatu pencapaian. Terlebih pencapaian itu bisa dilihat dari tas, sepatu, baju yang berganti-ganti. Mereka bergaya, mereka ceria. Konsumerisme telah melanda perempuan-perempuan muda di desa. Konsumerisme datang tanpa tedeng aling-aling memangsa, merobek, mengunyah dan melahirkan budak-budak kapitalisme. Perempuan-perempuan muda yang menghabiskan sebagian besar waktunya di Pabrik, merasa mendapat penghiburan dengan melihat tas, sepatu dan baju yang selalu mereka beli. Hampir tak ada ruang-ruang untuk belajar dan memperkaya pengetahuan apalagi berkontemlasi. Perempuan-perempuan muda ini kelak akan menjadi ibu dan mencetak generasi. Zaman boleh berganti tetapi sepertinya pandangan dan cara hidup tidak sebegitu mudah untuk diganti, jika pengetahuan dan pendidikan saja tidak diijinkan untuk hadir. Peran Perempuan Perempuan mengambil peran yang besar bagi roda perekonomian. Tanpa perempuan pabrik hanya sebuah gedung yang akan dihuni kelelewar. Pekerja pria tidak setelaten dan sesabar perempuan, rajut, linking, sontek, sewing, steam, packing, finishing, adalah bagian-bagian yang dikerjakan tangan perempuan dengan terampil. Perempuan tetap melakukan pekerjaan rumah sepenuhnya, meski dia adalah seorang pencari nafkah tunggal sekalipun. Pikiran yang enggan beranjak, memaksa perempuan-perempuan di Jatiwangi untuk menjadi “perkasa”, ya cari uang, ya melayani seluruh keluarga di rumah. Jika saja 12 tahun lalu saya tak memaksa untuk melanjutkan sekolah, mungkin saya akan menjadi bagian dari mereka, bersenda gurau, menggodai dan digodai laki-laki, bergairah dengan upah UMR, dan tentunya tak pusing dengan masalah politik dan sosial lainnya. Saya memilih jalan lain, meskipun didera dengan kata-kata yang menyakitkan dari orang-orang terdekat yatu untuk melamar sebagai pegawai pabrik. Saya cukup berbangga ketika banyak perempuan-perempuan muda di di daerah saya sudah berpenghasilan yang cukup, tetapi yang membuat saya sedih, anggapan bahwa sekolah tidak bisa membuat perut kenyang masih kencang terdengar. Alangkah baiknya jika tingkat kemapanan ekonomi diiringi juga dengan kemajuan cara berpikir. Hidup adalah pilihan. Menurut saya pengetahuan dan pendidikan, belajar dan sekolah masih pilihan terbaik untuk memperbaiki taraf hidup. Dibalik diri saya saat ini, saya masih juga bertanya mengapa pendidikan dan pengetahuan tidak menjadi salah satu orientasi bagi banyak perempuan di desa saya, yang pasti mereka memilih sebuah pilihan terbaik yang mereka tahu. Catatan Akhir: [1] “Tuang teu tuang nu penting ngempel” artinya makan tidak makan yang penting ngumpul
Alamsyah
28/2/2017 11:31:43 am
Artikel yg bagus utk bahan renungan wanita di Majalengka. Berpikir dan berbuat ke arah perubahan yg lebih baik agar selalu ada peningkatan dalam taraf hidup...keep spirit buat Rena.
Yane
6/5/2017 12:27:52 pm
"mereka memilih sebuah pilihan terbaik yang mereka tahu" saya suka dengan diksi yang dipilih.. :) Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
July 2024
Categories |