Karya Toeti Heraty Aku tuntut kalian ke pengadilan, tanpa pihak yang menghakimi siapa tahu, suap-menyuap telah meluas menjulang sampai ke Hakim Tertinggi Siapa jamin, ia tak berpihak sejak semula karena dunia, semesta, pria yang punya Sejak saat itu – sejak Hawa jadi Bunda
Ah, sudah lama sebelumnya kecut hatimu menyaksikan kebesarannya Induk Agung, yang melejitkan turunan makhluk-makhluk kecil, buta, telanjang – putus digigitnya tali pusar, dijilat bersih disusukan saksama, kemudian dijajarkan di seantero jagad raya begitulah mamalia dipersiapkan bagi Darwin dengan pertarungan hidupnya Perkara kecil membelenggu wanita dengan tetek bengek yang malah disyukuri olehnya secara serius, dungu dan syahdu – Sementara itu – karena memang kerdil, takabur dalam kelicikan – kau menggigil kekhawatiran lalu tanda jasa – status ayah – kau sematkan di dada tanpa ditunjang fakta biologis barangkali tidak apa, demi warisan, ego dan kelangsungan evolusi Kemudian kau dekritkan: wanita itu pangkal dosa sebungkah daging, segumpal emosi sekaligus imbesil dan bidadari dilipat jari kaki, dikunci pangkal paha dicadari, gerak-gerik dibebani menjadi tali lemah gemulai Ia tertunduk karena salah, gentar, patuh mengecam diri Dan akhirnya boleh juga, ia dimanja sekali-kali Lalu seperti anak-anak keranjingan, bukankah bahaya dan pengganggu telah disingkirkan Kau sibukkan diri dengan permainan: sepak bola, biliar, gulat dan perang jihad ilmu, teknologi karena bebas kreatif perang, polusi, proton, neutron Pingping antara Moskow, Peking dan Washington Gemetar tak sabar, ingin perang-perangan sementara menunggu saat saling memusnahkan laut dikuras, sungai-danau diracuni lapisan ozon digerogoti, sampah konsumen ke mana dibuang – percuma, itu urusan para antariksawan Bumi ini kue enersi yang halal dibagi-bagi pada pesta ulang tahun, dengan lilin yang nyala – sumbu bencana – Lalu menyanyi panjang usianya memang, upacara memberi khidmat, seperti diplomasi, jadi sandi-sandi yang semakin sulut untuk dipahami Kepada anak-anak ini berbaju seragam, bertanda bintang, berjubah hitam dengan wejangan, retorik, agitasi Telah kita percayakan nasib bumi Makhluk-makhluk kerdil, diburu kecemasan kastrasi hanya kenal satu bencana riil: impotensi membusungkan dada lewat psikoanalisa, karena solidaritas mafia dengan Bapa di Sorga Akhirnya merestui emansipasi wanita Aku tuntut kalian sekali lagi, – saatnya mungkin terlambat sudah perang telah berkecamuk, ekosistem telah buyar pengungsi di mana-mana, menipu, lapar, terkapar dan diplomasi jadi lawakan, yang sungguh tak lucu lagi Sementara kami telah diam cukup lama, berkorban demi egomu dan sekian banyak abstraksi Apa wanita kini harus selamatkan dunia tiba-tiba pembangunan jadi urusan kami juga! Kalian telah kehilangan gengsi seperti badut yang tunggang langgang lari dalam bencana akhirnya panggil ibu juga tapi – demi anakku laki-laki, tuntutan aku tarik kembali Dan jadi pengkhianat – atau – memang karena sudah terlambat September, 1980 Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |