Damhuri Muhammad (Cerpenis, esais, dan kolumnis) [email protected] Setahun lalu, ia dara perawan. Bercita-cita ingin jadi penari. Sering ia berkhayal, membayangkan trofi-trofi tertata rapi di atas rak kayu di kamar kecilnya, sebagai hadiah atas prestasinya menjuarai festival tari. Kelak, trofi-trofi itu akan dipersembahkannya untuk ibu yang belum sungguh-sungguh yakin anak perempuannnya itu pandai menari. Namun hingga kini, gadis muda belia itu tak pernah beroleh trofi, meski ia masih saja menari. Sepanjang malam, angannya tiada henti menari-nari, mendambakan raut wajah lelaki yang berkenan menikmati gerak dan lenggok tariannya. Bukan di atas pentas, tapi di ranjang hotel berbintang. Karina, namanya. Nama yang ringkas. Seringkas jeda waktu saat paman Joel menebas kegadisannya. Malam itu, tante Mariani sedang dinas luar kota. Paman Joel meminta Karina mengerik punggungnya, karena (katanya) masuk angin. Setelah angin di dalam badan paman Joel dikeluarkan, lelaki bertubuh bongsor itu belum mengizinkan Karina keluar kamar. Barangkali masih ada yang perlu dikeluarkan lagi. Bila tidak, tentu paman Joel masih kurang enak badan, masih uring-uringan, dan pusing tujuh keliling. Karina patuh saja. Ia gadis lugu yang begitu penurut, lebih-lebih sejak paman Joel mengajaknya tinggal di kota dan bersekolah di sana. Pertama kali paman Joel merangkulnya, Karina menjerit ketakutan. Gemetar dan menggigil sekujur badannya. Lantas, paman Joel mendekapnya dan tangan lelaki itu mulai membelai-belai, menjelajahi setiap lekuk tubuhnya, Karina pun mendesah ketagihan.
Tak berselang lama sejak peristiwa malam itu, tiba-tiba Karina jatuh sakit. Badannya lemas. Kepalanya terasa pusing. Perutnya mual. Muntah-muntah. Tiga hari ia absen ke sekolah, tiga minggu ia telat datang bulan. Berengsek … pergi kau dari rumah ini! Bentak tante Mariani. Saya biayai sekolahmu, tapi kau tidur dengan suamiku. Perempuan tidak tahu malu! Makinya lagi. Bergegas Karina membuntal pakaian. Bersegera ia angkat kaki, meninggalkan kenangan yang sulit sekali terlupa, termasuk kenangan tentang gemerincing bunyi koin seratus perak yang terlempar ke lantai saat paman Joel meng-gelumang tubuhnya. ** Setahun lalu, perempuan muda pendiam itu siswi kelas tiga SMU. Rambutnya lurus, panjang sepinggang, dikepang dua, diikat pita merah kesumba. Beberapa hari sebelum Ujian Akhir Nasional, kursi tempat duduknya kosong. Ditinggalkannya gelak tawa teman-teman kelas saat mencemooh gaya mengajar ibu Sumiyati, guru bidang studi sejarah yang gagap dan suaranya terdengar seperti keluar dari lubang hidung. Sengau. Dilupakannya pula sanjungan pak guru Zaidan, pengajar matematika yang tidak bakal keluar kelas sebelum meninggalkan setumpuk soal geometri sebagai pekerjaan rumah (PR). Kamu cantik, tapi pemalas! Begitu omelannya setelah mengoreksi PR Karina yang tak pernah selesai. Dikerjakannya separuh saja. Itupun hampir semuanya salah. Karina memang kurang suka pelajaran berhitung. Baginya, matematika hanya bikin pening kepala dan kening bekernyut. Ia hanya menyukai pelajaran kesenian, lebih-lebih seni tari. Dijualnya giwang emas hadiah ulang tahun dari paman Joel, juga jam tangan warna kuning keemasan pemberian tante Mariani. Beban di perutnya kian terasa berat. Karena itu mesti segera dikeluarkan. Jangan cemas Nak, ini masih muda! Untung saja anak cepat datang ke mari, bujuk dukun beranak meredakan kegelisahan Karina. Setahun lalu, Karina masih mengenakan seragam putih berlogo OSIS di saku depan, rok warna abu-abu muda, sepatu hitam dan bahu kanannya menyandang tas berisi buku-buku pelajaran. Kini, Karina juga menyandang tas di bahu kanannya. Isinya bukan buku-buku pelajaran lagi, tapi pernak-pernik peralatan bersolek, lipstik, eyeshadow, parfum impor, tisu dan tak ketinggalan alat-alat kontrasepsi. Karina disebut-sebut sebagai “barang baru”—setidaknya baru datang dari jauh. Lelaki-lelaki kota ini ramah dan murah senyum. Om Aseng, lelaki pertama, menghadiahkan sebuah telepon genggam seri terbaru sebagai penghargaan atas kelincahan Karina menari. Lagi-lagi, bukan menari di atas pentas, tapi di kasur empuk VIP Room sebuah penginapan kelas menengah yang disewa lelaki sipit itu. Sejauh ini, Karina jarang kedatangan lelaki bertampang Melayu seperti paman Joel. Kalaupun ada, itu hanya lelaki berkepala cepak, berpostur kekar, sangar dan tak berseragam dinas—teman dekat om Aseng—yang tak pernah memberi tip. Pelit. Setelah memakai jasa Karina, ia pergi tanpa permisi. Sekadar mengucapkan terima kasih pun tidak pula. Jika mau dibayar, minta saja pada bapak Aseng! Gertak lelaki cepak itu, beringas. Jangan macam-macam! Saya ini anggota, alat negara! Ancamnya lagi. Karina diam. Tak ingin ia berdebat dengan lelaki pelit itu. Iya, tapi kelamin saya bukan kelamin negara! Umpat Karina dalam hati. Kini, Karina tinggal di rumah mewah, tak jauh dari pusat kota. Ditemani bu Onah, pembantu yang mengurusi makannya, mencucikan pakaiannya, dan segala tetek bengek kebutuhan perempuan secantik Karina, termasuk memijiti tubuh Karina yang lelah sepulang bekerja. Hidupnya sudah mapan. Mungkin lebih mapan dari keluarga tante Mariani dan paman Joel yang sudah lama ditinggalkannya, meski sulit dilupakannya. Setiap akhir pekan, Karina selalu kedatangan tamu. Lelaki seusia ayahnya. Ia memanggilnya “Ayah,” tepatnya “ayah angkat”, sementara lelaki itu menyebut Karina “anak angkat.” Karina bagai seorang anak gadis yang manja. Ia kerap meminta liburan berdua, dan ayah angkat tak kuasa menolaknya. Mereka bermalam di penginapan elit milik lelaki itu. Siang saya anakmu, malam saya kekasihmu, goda Karina. Iya Nak, siang saya ayahmu, malam saya suamimu, batin lelaki itu, menggerutu. Sebenarnya Karina kurang cocok dan tak seia sekata dengan lelaki itu. Pikirannya terlalu maju, mungkin karena terlalu banyak membaca buku. Gaya hidupnya terlalu mewah, bahkan caranya merayu pun Karina tidak suka. Terlalu formal barangkali. Tapi Karina sudah bertekad hendak menguasainya, menguras uangnya, meminta macam-macam fasilitas darinya. Lagi pula, di kota asing ini Karina tak punya siapa-siapa. Begitu pun di sana, di daerah asalnya. Ia sudah kehilangan ibu, ayah, adik-adik, paman Joel dan tante Mariani, kehilangan teman-teman sekolah, bahkan kerap pula kehilangan dirinya sendiri setelah menenggak bergelas-gelas tequilla. Saya bukan saja kekasihmu, tapi juga tuan yang mesti kau layani saban hari. Iya, Nak. Kau bebas pergi ke mana saja. Tapi, begitu saya merindukanmu, saya harap kau berkenan datang, balas lelaki itu. Saya menyayangimu seperti saya menyayangi anak perempuan saya. Tapi, saya juga memanjakanmu seperti saya memanjakan istri saya. Istri? Ah, itu hanya dalil basa-basi. Sejak lelaki itu bertekuk-lutut di hadapan Karina, ia tak pernah lagi merindukan istrinya, tak pernah pulang menengok anak perempuannya. Dunianya hanya pekerjaan yang menyita waktu, dan melepaskan letihnya di pangkuan Karina. Akhir-akhir ini kau agak dingin, ada apa denganmu? Sakit? Tanya ayah angkat penuh perhatian. Ia mencemaskan keadaan Karina. Bosan dengan suasana rumah ini? Apa kita perlu ke pantai atau ke hutan belantara? Saya ingin kau hangat lagi, seperti pertama kali kita melakukannya! Karina diam. Rasanya tak mungkin ia jujur menjawab tanya-tanya lelaki itu. Kehangatan? Bagi Karina kehangatan dan kepura-puraan tak ada bedanya. Di luar sana, banyak ayah angkat baru yang siap menggantikan posisi lelaki itu. Bila setoran kurang, ayah angkat ini akan ditendang. Kehangatan? Tunggu saya mabuk dulu, batin Karina. Tolonglah Nak, ayah bisa mati berdiri bila kau terus begini. Setahun lalu, Karina perempuan perawan. Usai jam sekolah, ia tak langsung pulang ke rumah. Karena Karina ikut latihan menari untuk persiapan mengikuti lomba menari antar SMU. Paman Joel mengomel, katanya tidak baik anak gadis kelayapan. Karina ingin memenangkan perlombaan itu, meraih trofi penghargaan dari bapak Walikota. Kini, Karina tak mungkin lagi meraih trofi, meski masih tetap menari. Angannya tiada henti menari dan menari, membayangkan senyum puas lelaki seusia ayahnya tatkala membelai, mengelus-elus, meraba-raba setiap lekuk tubuhnya. Bukan menari di atas panggung, tapi meliuk-liukkan tubuh ramping itu di pembaringan ayah angkatnya. Menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Menjilat-jilat serupa kucing kehausan. Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |