Nadya Karima Melati (Writer and Historian - Bonn, Germany) "No theory, no history" - Werner Sombart dalam Modern Capitalism (1903) Tulisan ini dibuat untuk merespon pameran Selidik Jurik yang diinisiasi oleh Ressa Ria dan Khemal Andrias. Bekerja sama dengan seniman Fefia Suh dan Rininta, pasangan ini menyajikan sebuah pameran tentang fenomena perempuan hantu berjudul Selidik Jurig. Pameran tersebut memperlihatkan bagaimana masyarakat Indonesia memandang konsep hantu perempuan. Ressa dan Khemal memberikan deskripsi tentang fenomena hantu, bahwa identitas keperempuanan yang menjebak mereka menjadi hantu yang mengerikan. Mulai dari kuntilanak yang diperkosa, sundel bolong yang meninggal saat melahirkan atau suster ngesot yang dituduh penyihir. Sebagai antropolog mereka menyajikan persepsi masyarakat terhadap ketakutan dengan identitas perempuan, hal ini senada dengan yang saya kemukakan dalam buku saya Membicarakan Feminisme (Melati, 2020: 137). Saya terkesan dengan pameran yang diadakan secara luring dan daring ini, walau saya jauh di Jerman, saya tetap bisa menikmati pameran hantu-hantu perempuan yang disajikan melalui website selidikjurig.org dan Zine yang diterbitkan. Pameran ini menjelaskan bagaimana patriarki menyebabkan monsterisasi hantu-hantu perempuan namun belum cukup utuh untuk menjelaskan kapan monsterisasi terhadap hantu-hantu perempuan terjadi. Untuk itu, saya sebagai sejarawan menyumbang dimensi analisis tentang monsterisasi hantu-hantu perempuan dalam lingkup waktu. Menggunakan konsep Longue Durée untuk melihat posisi perempuan di masyarakat Kalimat "tanpa teori, tidak ada sejarah" dari Werner Sombart menjadi kalimat pertama yang dikutip Fernand Braudel dalam pengantar buku "Capitalism and Material Life 1500-1800." Menurut bapak dari metode penulisan sejarah Annales ini, penulisan sejarah membutuhkan sebuah model untuk menjelaskan sekumpulan peristiwa-peristiwa, entah baik atau buruk, untuk menjadi sebuah landasan interpretasi jalannya sejarah manusia. Buku tersebut juga menjadi seri perdana dari tiga serangkai buku Civilization and Capitalism. Tiga buku tersebut menjelaskan sebuah proses pertumbuhan ekonomi dunia, yang berpusat pada Eropa dan imperialismenya. Fernand Braudel melalui buku-bukunya mempopulerkan sebuah metode untuk melihat kesinambungan antara ketimpangan ekonomi pada hari ini melalui proses periodisasi yang panjang. Dimulai pada awal pertumbuhan kapitalisme di Eropa akibat lonjakan populasi, terbentuknya kota-kota yang saling terhubung, urbanisasi dan konsentrasi kekuasaan, kelas dan modal. Periode modern awal 1500-1800 menjadi titik baginya untuk melihat bagaimana ekonomi dan ketimpangan bisa dijelaskan pada hari ini. Dalam History and Social Science: The Longue Durée yang diterjemahkan oleh Immanuel Wallerstein, Fernand Braudel memusatkan perhatian analisis dari sebuah krisis dan mempersepsikan sejarah sebagai sebuah proses keberlanjutan. Metode Longue Durée yang ditawarkan Braudel berbeda dengan penulisan sejarah yang biasanya terpenjara pada peristiwa-peristiwa detil dan mencoba mencari pola yang berulang. Ia menawarkan untuk terlebih dahulu memulai bertolak pada krisis, misalnya ketimpangan ekonomi, dan kemudian menyelidiki struktur penyebab krisis dalam masyarakat dengan bantuan ilmu sosial. Penyelidikan struktur ini kemudian dijadikan landasan untuk melihat pola dari detail peristiwa-peristiwa yang terjadi (Braudel, 1958: 178). Pameran Selidik Jurig menggunakan pendekatan feminisme untuk melihat ketakutan masyarakat terhadap hantu perempuan sehingga kita bisa membuat asumsi bahwa ada krisis terhadap perempuan. Krisis ini kemudian harus kita telaah melalui metode ilmu sosial seperti feminisme. Dengan feminisme pula kita dapat menyelidiki struktur yang menyebabkan krisis terhadap perempuan. Struktur tersebut bisa dengan cepat kita katakan patriarki yang secara langsung juga membuat kategorisasi antara manusia dan hantu/monster. Sebagaimana yang ditampilkan dalam penggambaran monster di Selidik Jurig, bagian-bagian tubuh perempuan dan pengalaman perempuan menjadi sebuah monster yang penampakannya menakutkan. Payudara, darah menstruasi, rambut panjang menggambarkan sebuah ketakutan dialami oleh perempuan dan ditangkap sebagai peristiwa fenomena hantu perempuan di masyarakat Bandung oleh Ressa dan Khemal. Dengan memosisikan patriarki sebagai penyebab, perlahan-lahan kita bisa melihat terbentuknya sebuah struktur dan ketakutan di masyarakat yang menyasar tubuh dan identitas perempuan sebagai monster. Untuk menyelidiki struktur, kita harus memperluas lokus dan pola. Sebab patriarki ini terjadi tidak hanya di mata masyarakat Bandung, tapi juga masyarakat Asia Tenggara dan Oseania, di mana pola tentang hantu perempuan juga muncul di tengah-tengah masyarakat. Fenomena Kuntilanak yang menjadi asal usul kota Pontianak juga dijelaskan Timo Duile, Antropolog Jerman. Dalam jurnal Kuntilanak: Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia, Timo menjelaskan bagaimana posisi Kuntilanak dalam persepsi orang Kalimantan Melayu tentang relasi modernisasi lingkungan sekitar (ecology) dengan roh setelah kehadiran Islam Melayu (Duile, 2002: 282). Gambaran hantu perempuan menyeramkan dengan detail rambut panjang, gaun putih dan wajah pucat dipopulerkan oleh film-film horor. Dari masa ke masa gambaran hantu sebagai sosok perempuan menakutkan ditawarkan oleh beberapa film-film, sebut saja Suzana yang populer pada 1960-1970, Kuntilanak dari Rizal Mantovani pada 2000an awal hingga Joko Anwar Pengabdi Setan (2017). Pola dari film-film horor yang menawarkan sosok seram hantu perempuan kurang lebih serupa: perempuan digambarkan sensual dan jelita. Kemudian perempuan cantik ini mengalami tragedi yang disebabkan oleh keperempuanannya: perkosaan, hamil, melahirkan, menyusui. Pertanyaannya adalah, sejak kapan unsur-unsur keperempuanan menjadi hal yang menakutkan dalam masyarakat? Mengapa pengalaman menjadi perempuan seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui menjadi hal yang menakutkan? Krisis terhadap persepsi tubuh perempuan yang menjadi monster harus ditelisik lebih jauh, sebelum periode ketika film-film horor diproduksi atau foklore masyarakat terbentuk. Hal ini bisa ditelisik dalam karya sejarawan perempuan Asia Tenggara pada masa pra-modern seperti Barbara Andaya dan antropolog lain yang meneliti tentang kehadiran monoteisme dan pergeseran relasi manusia dan roh. Ambiguitas Perempuan masa Pra Modern Salah satu penelitian komprehensif tentang sejarah perempuan sebelum abad ke-20 yang baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah buku Kuasa Rahim: Reposisi Perempuan Asia Tenggara Periode Modern Awal 1400-1800 karya Barbara Andaya. Buku ini berusaha menggali posisi perempuan pada masa modern awal, jauh sebelum ide tentang negara merdeka di Asia Tenggara hadir dan identitas perempuan digabungkan melalui pengalaman-pengalaman tubuhnya. Barbara Andaya tidak menyajikan generalisasi tetapi ia menawarkan satu konsep yang terjadi pada perempuan-perempuan di masa tersebut yakni ambiguitas. Ambiguitas di sini berarti posisi perempuan tidak bisa serta merta digeneralisasikan tinggi atau rendah, melainkan ada kondisi-kondisi tertentu yang memainkan peran dan mengubahnya. Ia mengambil contoh tentang peran perempuan sebagai penyembuh dalam bab "Perempuan dan Perubahan Kepercayaan/keagamaan". Dalam bab ini, dijelaskan tentang posisi perempuan penyembuh di wilayah masyarakat yang masih menganut kepercayaan lokal. "Dari semua cairan tubuh, darah menstruasi dianggap yang paling sakti" (Andaya, 2006: 72). Perempuan pada masa pra modern, menurut Barbara Andaya memegang posisi penting khususnya dalam upacara kepercayaan lokal. Identitas keperempuanan dan kelelakian menjadi perpaduan unik simbol harmonisasi alam gaib dan manusia. Hal itu yang membuat sosok bissu, memegang posisi penting di masyarakat Sulawesi Selatan. Selain itu sosok perempuan baya/menopause (berhenti mengeluarkan darah menstruasi) juga penting untuk memimpin upacara-upacara yang menghubungkan roh dan manusia. Sebab perempuan yang sudah selesai menstruasi dianggap sakti dan memegang posisi tinggi dalam upacara dan rumah tangga. Namun, pada bab "Menjadi Perempuan" pengalaman keperempuanan seperti kematian saat melahirkan menyebabkan perempuan menjadi hantu. Pontianak, menurutnya, adalah legenda khas Melayu yang juga ditemukan dalam bahasa-bahasa Austronesia. Pada umumnya, tidak ada gambaran jelas bagaimana sosok roh perempuan dideskripsikan kecuali pada karya hikayat Abdullah Munshi yang menggambarkan bagaimana sosok pontianak bergentayangan dengan usus menjuntai dan menghisap darah bayi yang baru lahir (Andaya, 2006: 213). Perbandingan antara dua posisi perempuan dan pengalaman keperempuanannya menjadi semakin kentara dan tergeser ke arah monsterisasi, khususnya setelah kehadiran agama-agama monoteisme yang membabat habis sistem kepercayaan lokal dan menggantinya dengan ketuhanan yang esa. Kehadiran agama monoteisme menjadi wahana modernisasi yang juga memperkenalkan konsep patriarki, pemuka agama yang dicirikan dengan identitas laki-laki dan kemudian meminggirkan identitas perempuan dan identitas non-biner (bissu). Kehadiran Monoteisme dan Monsterisasi Perempuan Kehadiran monoteisme di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya harus dilihat sebagai proses panjang yang berangsur-angsur. Dalam proses panjang ini, perubahan-perubahan dalam struktur sosial dan peran-peran di masyarakat berubah. Termasuk dengan bagaimana patriarki menginfiltrasi posisi perempuan. Barbaya Andaya mengemukakan bahwa setelah abad ke-14, sosok perempuan sebagai raja tidak bisa lagi di temukan di wilayah Asia Tenggara. Perempuan ditaklukkan melalui agensi pernikahan dan tunduk terhadap posisi laki-laki sebagai pemimpin keagamaan di masyarakat. Agama monoteisme seperti Islam dan Kristen diperkenalkan bersamaan dengan patriarki. Mereka memperkenalkan konsep ketuhanan yang maskulin, menggeser kemudian menghancurkan kepercayaan lokal yang berhubungan dengan roh dan alam. Perjalanan struktur ekonomi-sosial masyarakat yang sebagaimana dikisahkan dalam Civilization and Capitalism Fernand Braudel berada dalam satu garis linear menuju apa yang disebut peradaban. Peradaban dalam konteks Asia Tenggara sering disebut dengan istilah pembangunan atau modernisasi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Timo Duile dalam konteks Melayu Kalimantan, proses modernisasi adalah adaptasi masyarakat dengan agama Islam. Menjadi modern adalah ketika sultan membuka hutan, mengusir kuntilanak dengan suara azan (Duile, 2020: 290). Peradaban yang dimulai dari infiltrasi agama monoteis-patriarki membentuk posisi perempuan dan tubuhnya pada hari ini. Sebuah pendapat yang kuat tentang evolusi roh sebagai hantu/monster di wilayah Indonesia dan Oceania dijabarkan oleh antropolog Jeannette Marie Maego and Alan Howard dalam buku Spirits in Culture, History and Mind (1996). Menurut mereka, kehadiran monoteisme tidak menghilangkan sosok dan relasi masyarakat dengan roh (spirits) sebagai kepercayaan asli mereka secara total, namun mengubah peran roh dalam masyarakat dan menjadikannya monster/hantu. Dalam kepercayaan lokal sebelum kehadiran agama monoteis, roh hidup berdampingan dan saling berkomunikasi. Roh berbeda dengan dewa yang memiliki kekuatan. Roh pada umumnya memiliki berbagai sifat sebagaimana manusia pada umumnya: ada yang baik, ada yang jahat atau ada yang netral. Untuk itu dibutuhkan perantara dari dunia manusia untuk bisa berkomunikasi dengan dunia roh. Perantara tersebut adalah sosok yang sakti seperti perempuan, sebab mereka menstruasi atau sosok dengan identitas harmonis seperti bissu. Kehadiran monoteisme menolak adanya sosok spiritual lain selain Tuhan. Monoteisme mengganti peran dewa-dewi menjadi sosok panteon, santa atau manusia super. Sementara roh dengan posisi yang setara manusia bergeser menjadi hantu/monster. Keagamaan monoteis-patriarkis juga mengajarkan biner antara baik dan buruk. Hal ini berimbas pada posisi identitas perempuan, laki-laki dan gender lainnya di masyarakat. Patriarki menggeser posisi identitas laki-laki sebagai pemimpin agama semakin ke atas dan berimbas pada posisi perempuan dan gender lainnya yang sebelumnya memegang peran sebagai perantara komunikasi dengan roh. Binaritas yang dijadikan landasan berpikir monoteisme hanya memperbolehkan kekuatan spirit Tuhan yang bernilai baik sementara kekuatan roh bernilai jahat. Dan ajaran biner membuat surga tidak bisa hadir tanpa keberadaan neraka. Monoteisme memosisikan roh sebagai sosok yang jahat, berbahaya, berasal dari neraka dan menakutkan disandingkan dengan ketuhanan yang baik dan penyelamat surga. Pergeseran ini membuat peran perempuan yang sebelumnya sebagai perantara roh menjadi dukun atau penyihir karena sebelumnya perempuan mampu berkomunikasi dan memerintahkan roh. Selain itu, upacara-upacara kepercayaan yang menggunakan metode komunikasi dengan roh seperti kegiatan yang berhubungan dengan proses transenden, diterjemahkan dalam agama monoteis sebagai kesurupan (possesion). Perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah dan mudah dirasuki oleh roh jahat, atau roh jahat itu berwujud seperti perempuan. Perempuan tidak dihalangi untuk beribadah secara monoteis, tetapi tentu kesulitan untuk menembus posisi sebagai pemimpin keagamaan monoteisme. Tidak adanya pengakuan perempuan sebagai pemimpin agama monoteis, menyebabkan struktur patriarki dalam agama monoteis sempurna dan semakin meminggirkan perempuan. Kesimpulan Pameran Selidik Jurig menyampaikan pesan: perempuan mengalami krisis dalam masyarakat. Patriarki telah melakukan monsterisasi terhadap pengalaman perempuan bahkan setelah perempuan mati. Perempuan dipuja atas sensualitas dan kecantikannya di sisi lain dijadikan hantu jahat dan menyeramkan ketika ia meninggal. Kita harus melihat monsterisasi perempuan dalam jangka waktu yang panjang dan berangsur-angsur. Alih-alih menyasar bahwa hantu perempuan adalah dampak dari patriarki, kita harus menelisik patriarki sebagai sebuah sistem dan ilmu sejarah dan antropologi berperan untuk menggali penyebab terbentuknya sistem yang merugikan perempuan tersebut. Dalam penyelidikan periode yang panjang, patriarki sebagai sistem sosial di masyarakat hadir bersamaan dengan masuknya agama monoteisme. Agama monoteisme memperkenalkan sistem biner, memberikan penghargaan lebih kepada laki-laki dan meminggirkan gender lainnya. Tidak hanya perempuan dan gender lainnya, monoteisme-patriarki juga melakukan monsterisasi terhadap roh. Monsterisasi terhadap roh membuat perempuan dan pengalaman keperempuanan menjadi hal yang misterius dan menakutkan. Dan peradaban manusia, dibangun di atas ketakutan terhadapnya.
1 Comment
|
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |