Women Champion sebagai Wujud Pemberdayaan Pemimpin Perempuan pada Isu Kehutanan dan Lingkungan9/12/2022
Dalam rangka menyambut hari perempuan, Rabu (07/12) yang lalu Gender Focal Point (GFP), di bawah The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Setapak dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengadakan seminar bertajuk Temu Nasional Perempuan Pemimpin dengan tema “Memperkuat Gerakan Perempuan Pemimpin (Women Champion) dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan yang Adil, Setara, dan Berkelanjutan di Indonesia”. Seminar ini bertujuan untuk membagikan pengalaman para Women Champion dalam memperjuangkan hak mereka dalam mengelola SDA di tingkat tapak. Para Women Champion yang hadir pada acara ini adalah Sumini (Ketua Lembaga Pengelola Hutan Kampung/LPHK Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh), Velin (penggerak muda perhutanan sosial Desa Rano, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah), Eva Susanti (Ketua Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan/KPPL Karya Mandiri, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu), Rita Warti (paralegal dari Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat), dan Nur Aena (Ketua Kelompok Baca Anggaran sekaligus Ketua Koordinasi forum Perempuan keadilan anggaran Kabupaten Maros).
Sebelum para Women Champion membagikan pengalaman mereka, beberapa sambutan diberikan sebagai pembuka acara. Prilia Kartika Apsari, sebagai ketua panitia dan perwakilan dari Gender Focal Point (GFP), memperkenalkan GFP sebagai salah satu upaya menggalakan pengarusutamaan gender (PUG). Prilia juga menyampaikan bahwa sehari sebelumnya, GFP sudah mengadakan acara lain dengan agenda pembacaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan kebijakan-kebijakan lainnya. Kegiatan tersebut membuka informasi yang luas untuk dapat mendukung kegiatan para women champion dan perempuan tingkat tapak lainnya. Pada seminar hari ini, Prilia berharap agar isu pengelolaan hutan dan lahan dapat meningkat dan menjadi lebih baik lagi. Sambutan yang kedua diberikan oleh Sandra Hamid selaku Country Representative TAF Indonesia. Sandra memberikan apresiasi terhadap GFP dalam mendorong agenda-agenda kegiatan perempuan. Ia juga menilai bahwa diskusi yang dilakukan sehari sebelumnya merupakan akses pengetahuan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung para women champion. Temu Nasional Perempuan Pemimpin kali ini merupakan yang kelima kalinya diselenggarakan oleh TAF sebagai bagian dari Festival Ibu Bumi. Sandra menyampaikan bahwa pertemuan sebelumnya sempat diselenggarakan di Manggala sehingga para champion dapat bertemu dan belajar langsung dari menteri Siti. Tidak hanya memberikan sambutan, Sandra juga mengklaim istilah women champion. Awalnya mereka disebut local champion tetapi dikoreksi olehnya. Karena, tidak hanya banyak kegiatan yang meningkatkan kondisi lokal hingga ke luar, akan tetapi prestasi tersebut berhasil diraih oleh para pemimpin yang didominasi oleh perempuan. Pada pertemuan kali ini, Sandra berharap para women champion tidak hanya bercerita mengenai kesulitan yang dialami tapi juga capaian baiknya dalam memperbaiki kondisi lingkungan, lahan, dan perhutanan di negara kita. Ia juga mengingatkan bahwa kesempatan yang didapatkan oleh women champion bukan diberikan tetapi harus direbut. Novia Widyaningtyas, Staf Ahli Menteri Bidang Industri, memberikan sambutan yang berikutnya. Novia menyampaikan perasaan bahagia karena mendapatkan aura yang positif dan penuh semangat dari pertemuan kali ini. Ia memulai dengan menyinggung isu pembangunan berkelanjutan yang dicetuskan pada Juni 1972 pada Deklarasi Stockholm. Pembangunan yang sensitif dan berkeadilan gender diperlukan dalam upaya menjaga dan melestarikan sumber daya alam (SDA). Novia selalu berprinsip bahwa bumi harus selalu dipastikan layak huni karena kita meminjam planet ini dari anak cucu kita. Setelah pembukaan dengan penyampaian sambutan, seminar dan paparan para women champion dimulai dengan moderator Ernawati Eko Hartono selaku Sekretaris Kelompok Kerja PUG KLHK. Erna memulai seminar dan diskusi dengan memperkenalkan keempat women champion dan enam penanggap. Ia memicu diskusi dengan pertanyaan apa yang membuat para champion bekerja keras serta harapan dalam memperjuangkan SDA di sekitar mereka. Sumini (Ketua LPHK Damaran Baru, Kab. Bener Meriah, Provinsi Aceh, woman ranger) menyampaikan bahwa banjir bandang yang terus terjadi dan mengancam masyarakat di kampungnya adalah motivasinya. Banjir yang disebutnya dengan air gila tersebut ternyata diakibatkan oleh orang-orang yang membuka lahan tanpa izin untuk kebun kopi. Walaupun dalam kondisi hamil, Sumini tetap masuk hutan dan menghadapi pelaku. Perjuangannya tersebut kemudian mendapatkan dampingan dari Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Sebagai harapan, Sumini berkeinginan untuk menggerakan ibu-ibu lain yang bukan women champion saja. Dukungan dari NGO dan pihak-pihak lain juga menjadi harapan Sumini agar hutan membaik dan tidak membawa bencana. Bantuan secara moril, pengetahuan, dan dana juga sudah disampaikan olehnya ke pihak NGO. Karena Sumini tidak mungkin berkegiatan secara swadaya terus-menerus. Harapannya, ada dana tetap yang bisa membantunya menjalankan perjuangannya. Champion berikutnya, Velin, memiliki semangat yang besar melindungi. Setelah ia mengikuti pembelajaran, Velin kemudian mengajak penggerak muda di Desa Rano untuk mengikuti tujuh kelas di Sekolah Mombine. Walau Velin memiliki keterbatasan fisik, ia tetap semangat dalam memikirkan bagaimana agar desanya berkembang. Salah satu jalan keluar yang ditemukannya adalah memberdayakan potensi wisata danau di desa Rano. Harapan Velin adalah bertambahnya penggerak muda yang semangat serta respons dengan baik dan cepat dari pemerintah desa terhadap para women champion, terutama penyandang disabilitas. Selain itu, Velin membutuhkan sosialisasi mengenai internet dan media sosial bagi para champion di desanya. Berikutnya, Eva Susanti bercerita bagaimana ia dan perempuan-perempuan di desanya memanfaatkan produk hutan, yaitu rebung, untuk diolah. Sayangnya ia harus sembunyi-sembunyi dari petugas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kebutuhan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut membawa mereka kepada kerja sama yang dijalin dengan TNKS yang merespons dengan baik. Eva bahkan diberikan 10 hektar lahan untuk dikelola bersama ibu-ibu lainnya. Ia kemudian berharap agar pemerintah memprioritaskan perempuan yang mengelola dan memanfaatkan hasil hutan. Karena, jika ada bencana, perempuanlah yang terlebih dulu terkena dampaknya. Jika hutan sehat, maka perempuan juga sehat. Pengalaman berikutnya dipaparkan oleh Rita Warti. Menurutnya, perusahaan yang masuk ke Mentawai di tahun 1975 mengakibatkan kerusakan hutan. Tidak hanya merusak, hutan di Mentawai yang tinggal sedikit tetap dieksploitasi oleh perusahaan tersebut. Rita kemudian berjuang dengan melawan perusahaan hingga menghadirkan solusi agar hutan tidak habis. Karena bencana alam lainnya juga dapat mengancam Mentawai seperti tsunami yang terjadi pada tahun 2010. Hutan yang menipis dapat mengakibatkan erosi dan juga erupsi. Harapan Rita adalah pemerintah tidak semudah itu memberikan izin kepada perusahaan yang mengeksploitasi SDA. Champion terakhir, Nur Aena, menyampaikan bahwa pelaku seringkali tidak sadar bahwa tindakan mereka membuka lahan sembarangan dapat merusak lingkungan. Salah satu akibatnya adalah banjir di Maros yang menghanyutkan empat jembatan dan membuat mobilisasi warga setempat kacau. Ia berharap adanya pendanaan yang mampu mendukung perjuangannya dan champion-champion lain. Seminar dilanjutkan dengan respons dari para penanggap yaitu Sugito (Direktorat Jendral Pembangunan Desa dan Perdesaan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi), Rina Kristanti (Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, KLHK), Mariana Lubis (Penyuluh Kehutanan Ahli Utama, Pusat Penyuluhan KLHK), Yussi Nadia (Analis Pemberdayaan Masyarakat, KLHK), Nur Amalia (Anggota Tim Penggerak Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial/TP3PS), dan Endah Prihatiningtyastuti (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak). Sugito menyampaikan bahwa kebijakan dan pembangunan yang dilakukan sekarang sudah berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) serta semua prinsip-prinsipnya. Konsep no one left behind menjadi apa yang diperjuangkan oleh institusinya. Selain itu, semua kegiatan para women champion juga diharapkan sesuai dengan program. Sugito juga menyampaikan adanya usaha membangun desa yang ramah perempuan dan peduli anak. Utamanya karena adanya 4120 kepala desa perempuan yang berpotensi mensukseskan upaya ini. Selain itu, tata kelola juga harus ramah dan sensitif gender. Hal tersebut berarti tidak hanya tanggung jawab pemerintah desa saja. Data, potensi, dan masalah yang dihadapi desa harus dilihat secara menyeluruh. Pendataan juga dapat dilakukan dengan tiga indikator; data keluarga, data RT, dan basis kewilayahan. Data tersebut dapat menunjukan potensi serta latar belakang warga. Selain itu, Sugito turut memaparkan bahwa hukum adat dan kearifan lokal juga bisa digunakan sebagai aturan dalam menjaga hutan. Harapannya melalui para perempuan champion, pembangunan desa yang inklusif dapat terwujud. Sebagai penanggap kedua, Rina Kristanti memaparkan presentasi bertajuk Peran dan Tantangan Perempuan dalam Aksi Pengelolaan Hutan Lestari Menuju FOLU Net Sink 2030. Pada paparan tersebut, ada beberapa dasar pijakan yaitu pengelolaan hutan lestari, tata Kelola lingkungan, dan tata Kelola karbon. Untuk perkembangan FOLU Net di Indonesia sendiri rencananya menyasar lokasi prioritas dan pendanaan. Pembangunan hutan tanaman juga peran perempuan dinilainya sangat baik dan bahkan dapat membawa keuntungan. Rina berharap penilaian dari auditor perempuan bisa ditingkatkan. Tanggapan ketiga disampaikan oleh Mariana Lubis. Menurut Mariana, regulasi harus disusun agar partisipasi perempuan tingkat tapak semakin diperhatikan. Kebutuhan perempuan yang beragam perlu diperhatikan. Selain itu, redaksi dalam regulasi-regulasi yang dibuat harus menjadi fokus agar dapat dipahami dan diimplementasi dengan baik. Berikutnya, Yussi Nadia memaparkan tanggapannya. Responsnya terhadap masalah yang terjadi tidak menunjukkan adanya kekhawatiran akibat peran gender yang tradisional. Menurutnya, sosiokultur yang membagi peran gender tradisional tidak menunjukkan konflik. Hal tersebut, menurutnya, diakibatkan oleh cukupnya jumlah perempuan terlibat dalam mengelola SDA. Namun ia menjanjikan bahwa bahan mentah akan diusahakan untuk dikelola dengan kualitas yang serupa. Tanggapan kelima diberikan oleh Nur Amalia. Pertama-tama ia memberikan apresiasi kepada para women champion serta semua penggerak dan inspirator penggerak perempuan untuk lingkungan. Ia kemudian memaparkan pemahaman ekofeminis secara singkat yang merepresentasikan perjuangan para champion. Menurut Nur Amalia, perempuan adalah kelompok yang paling membutuhkan dan dekat dengan lingkungan, tetapi selalu dinomorduakan. Semua informasi masih hanya diberikan ke kepala keluarga. Padahal akses Perhutanan Sosial dibuka untuk seluruh WNI, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk memastikan kemitraan yang tepat, jenis-jenis hutan seperti konservasi, lindung, dan produksi harus diperhatikan lagi dengan seksama. Selain itu, menurutnya dana desa seharusnya bisa digunakan namun harus disesuaikan dengan aturan bupati. Dalam menanggapi ketidakadilan gender, menurut Nur Amalia, masalah tersebut mencakup kekerasan psikis, mental, dan ekonomi. Perempuan harus diberi perhatian akan kebutuhannya karena dalam situasi bencana, perempuanlah pihak yang paling terdampak. Terakhir, tanggapan diberikan oleh Endah Prihatiningtyastuti. Menurut Endah, terdapat kesamaan dalam kemampuan pada champion dalam melihat dan merespons ketidakadilan hingga menghadirkan solusi. Ambisius dan optimisme yang terlihat harus terus dipertahankan. Menurutnya, pengembangan desa ramah perempuan dan anak yang memiliki kepala desa perempuan menghasilkan dampak-dampak yang baik sehingga layak untuk dipertahankan dan diperjuangkan. Setelah tanggapan diberikan, seminar ditutup oleh kalimat-kalimat penutup dari para women champion yang disambung dengan penutup oleh Apik Karyana selaku Kepala Biro Perencanaan KLHK. Ia menyampaikan rasa salut terhadap para women champion. Menurutnya, upaya ini harus dilakukan bersama-sama sehingga turut berpotensi menghapus kemiskinan. Usaha tersebut tentunya dapat dimulai dengan memberdayakan para women champion. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |