Webinar Peluncuran Laporan ICJR Tahun 2021: Menghapuskan Pidana Mati Lewat Reformasi Hukum31/1/2022
Pidana mati sudah menjadi salah satu metode penghukuman tertua di dunia. Pun begitu, pidana mati dilihat sebagai suatu metode penghukuman yang jauh dari kata ideal. Diskursus hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) modern telah banyak menentang pidana mati, sebab menghukum seseorang dengan mencabut nyawanya mengingkari nilai-nilai HAM. Di Indonesia, pidana mati juga banyak menuai prahara. Masih adanya pidana mati dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi pemantik perdebatan relevansi pidana mati. Merespons hal tersebut, banyak lembaga akademisi dan nonpemerintah yang berusaha menggugat pidana mati, salah satunya adalah Perkumpulan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang rutin menerbitkan Laporan Situasi Kebijakan Pidana Mati di Indonesia. Dalam rangka peluncuran Laporan Situasi Kebijakan Pidana Mati di Indonesia tahun 2021, Perkumpulan ICJR menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Ketidakpastian Berlapis: Menanti Jaminan Komutasi Pidana Mati Sekarang!”. Dalam webinar ini, laporan dari ICJR dipaparkan oleh Iftitasari (Peneliti ICJR). Laporan tahun 2021 ditanggapi oleh Prof. Dr. Harskristusi Harkrisnowo, S.H., M.A (Tim Perumus RKUHP), Dr. iur. Asmin Fransiska, S.H., LL.M (Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta), dan Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M (Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia-DPR RI), dan dipandu oleh Dr. Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H., LL.M (Peneliti Senior ICJR).
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, membuka dengan memaparkan kondisi pidana mati di Indonesia pada era pandemi COVID-19. Di masa pandemi ini, angka pidana mati cukup memprihatinkan. Sepanjang 2021, terdapat 146 tuntutan pidana mati di Indonesia. Saat ini, jumlah terpidana mati di Indonesia mencapai lebih dari 400 orang, dengan 79 orang di antaranya sudah menjalani masa tunggu lebih dari 10 tahun. Kondisi tersebut—serta berbagai kondisi lainnya—membuat banyak perdebatan hukum yang mempersoalkan kelayakan pidana mati. Iftitasari, yang biasa disapa Tita, menerangkan hasil pengamatan ICJR dalam laporan tahun 2021. Salah satu hal menarik yang diketahui dari laporan ini adalah, pada tahun lalu, terdapat 10 Pengadilan Negeri (PN) yang menjatuhkan pidana mati pada terpidananya. Di tahun ini, terdapat 10 PN lainnya yang mengajukan pidana mati. Sementara itu, terdapat 404 terpidana mati yang berada dalam masa tunggu. Angka tersebut dilihat sangat tinggi. Terlebih, mayoritas terpidana mati merupakan narapidana kasus narkoba dan psikotropika. Berdasarkan pasal 6 ayat (2) Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum No. 36 Pasal 6 ICCPR, dijelaskan bahwa sifat kejahatan narkotika yang sekalipun serius tidak akan pernah dapat dijadikan dasar untuk penjatuhan hukuman mati. Sehingga menurut konvensi internasional kasus narkotika di Indonesia tidak seharusnya dijadikan justifikasi untuk menjatuhkan hukuman mati. “(Karena itu—red) kami menyimpulkan, tidak boleh sama sekali ada hukuman mati di situ (kasus narkotika—red),” tegas Tita. Ia juga menerangkan salah satu rekomendasi yang termaktub dalam laporan tahunan ICJR, yaitu moratorium (penundaan) penuntutan dan evaluasi hukuman mati di Indonesia. Sebagai penutup, ia juga menyinggung pentingnya intervensi dari pemangku kebijakan guna mengubah kebijakan penghukuman narkotika untuk menghapuskan hukuman mati. Menanggapi paparan Tita, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, yang kerap disapa Prof. Tuti, menjelaskan pidana mati dari perspektifnya. Dalam RKUHP, pidana mati tetaplah ada sebagai pidana khusus yang bersifat alternatif dan mandatoris. Artinya, kendati pidana mati tidak menjadi pidana pokok, pidana mati tetap dapat diberikan tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan. Ia menjelaskan, kekuasaan dalam menentukan keputusan mengenai pidana mati masih berada di tangan pemerintah dan DPR selaku lembaga legistatif. Prof. Tuti tidak menyangkal maraknya reaksi penolakan dan dukungan terhadap pidana mati dalam RKUHP, karena masyarakat Indonesia tidak hanya terdiri dari satu golongan saja. “Harus kita perhatikan juga bahwa isu pidana mati ini akan tetap menjadi debatable issue, karena dia adalah bagian dari reaksi sosial masyarakat,” ujarnya. Dr. iur. Asmin Fransiska turut memberikan tanggapannya atas laporan tahunan ICJR. Ia menilai beberapa poin dalam laporan adalah tepat dan sesuai dengan kondisi zaman modern. Salah satunya adalah mengenai usangnya pidana mati. Saat ini, banyak negara yang maju dalam sistem hukumnya sudah meninggalkan pidana mati. Sebab, pidana mati terbukti tidak menimbulkan efek jera, terutama pada kasus narkotika. Negara-negara yang sudah maju tersebut menekankan penanganan kasus narkotika pada aspek pencegahan dan kesehatan, bukan pidana. Lebih lanjut, dari 404 terpidana mati di Indonesia, 12 orang di antaranya adalah perempuan, yang mayoritas terjerat kasus narkotika. Dalam hal ini, juga terdapat isu yang tak kalah penting, yaitu marginalisasi perempuan terpidana mati narkotika. Perempuan yang terjerat pidana mati lebih sulit mengakses bantuan hukum dibanding terpidana laki-laki. “Marginalisasi ini harus dibawa dalam diskusi reformasi hukuman mati di Indonesia,” jelas Asmin. Menutup sesi pemaparan, Taufik Basari menyatakan harapan terbesar untuk menghapuskan pidana mati berada di tangan pemerintah. Untuk mencapai penghapusan pidana mati, dibutuhkan waktu, terutama untuk mereformasi sistem hukum Indonesia. Lebih dari itu, dibutuhkan dukungan masyarakat yang bersifat populis. Namun, Taufik menyatakan masyarakat Indonesia masih menjadi masyarakat yang gemar menghukum. Hal ini membuat pembumian prinsip-prinsip HAM harus lebih digalakkan pada masyarakat. Kasus-kasus pidana mati memperlihatkan bagaimana Indonesia masih belum dapat mereformasi paradigma hukumnya. Pidana mati juga memperluas ketimpangan gender. Meski saat ini perempuan terpidana mati jauh lebih sedikit dibanding laki-laki, tapi mereka lebih sulit menggapai keadilan karena terbatasnya akses dan stigmatisasi pada mereka. Dari banyak kasus hukuman mati kepada perempuan, mereka kerap menjadi korban yang berulang. Dalam kasus narkoba, misalnya, mayoritas perempuan terpidana mati dijebak dalam skema penjualan narkotika, dan tidak bisa membela dirinya ketika tertangkap. Atas hal tersebut, menjadi penting bagi kita untuk mereformasi sistem hukum kita, dari retributive justice menjadi restorative justice. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |