Jumat (10/12) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) dan Pusat Studi Anti Korupsi dan Hak Asasi Manusia (PUSKAHAM) mengadakan acara talk show dengan tema “Potret Kebijakan dan Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan Dalam Ragam Perspektif”. Acara ini diadakan dalam rangka memeringati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP). Dimoderatori oleh Ayub Wahyudin, MA., talk show ini mengundang dua narasumber yakni Ema Mukarramah, S.H.I. (Pegiat Sosial) dan Sondang Frishka, S.H, LL.M. (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan – Komnas Perempuan). Acara ini juga dihadiri oleh Marzuki Wahid (Rektor ISIF). Diskusi dimulai dengan pernyataan Marzuki Wahid “Perempuan adalah bagian dari jiwa kita, sebab semua dari kita terlahir dari perempuan”. Marzuki juga menyampaikan bahwa betapa tersayatnya insan santri atas munculnya berita kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di pesantren. Menurutnya hal itu disebabkan karena tidak semua sistem pendidikan di Indonesia memiliki sensitivitas terhadap isu kekerasan terhadap perempuan. Sehingga sudah pasti akan terjadi begitu banyak kekerasan terhadap perempuan.
Sementara itu, Sondang Frishka membahas kekerasan terhadap perempuan yang lebih spesifik yakni kekerasan berbasis gender siber (KBGS). Frishka menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2018 – 2020, Komnas Perempuan menerima laporan kasus KBGS sebanyak total 1.321 kasus. Kasus KBGS juga mengalami kenaikan signifikan pada tahun 2020 dengan presentase kenaikan sebesar 334% dari tahun sebelumnya – dengan penjabaran 81,8% korban KBGS mengalami lebih dari sekali, 10,1% sekali, dan 8,1% tidak teridentifikasi. Dari sejumlah KBGS yang dilaporkan terbanyak adalah sextortion atau pemerasan seksual. Sextortion biasanya dilakukan oleh pelaku dengan tujuan mengancam meminta berhubungan seksual dan/atau pemerasan uang. Kemudian, Frishka juga menjelaskan bahwa dari catatan tahunan Komnas Perempuan penyebaran korban terbanyak berada di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Mengapa korban di daerah tersebut tercatat banyak? Frishka menduga karena pada daerah tersebut korban mudah mengakses Komnas Perempuan atau Lembaga Penyedia Layanan lainnya. Sehingga ada pola atau jumlah yang tidak merata. KBGS adalah jenis kekerasan terhadap perempuan jenis baru dan terjadi begitu cepat, kompleks, dan rumit sebab pelaku juga bisa saja lintas negara. Sehingga membuat yurisdiksi penanganan sulit. Menurut Frishka sekarang ini peraturan perundangan yang ada belum bisa menyelesaikan persoalan KBGS. Sehingga perlu adanya kebijakan yang bukan hanya berperspektif korban namun juga canggih. Menanggapi pernyatan tersebut, Ema Mukkarramah menjelaskan bahwa dari segi kultur sosial ada urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30 tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS). Hal ini dikarenakan Kitab Undang-undang Hukum Pindana (KUHP) tidak mampu mengatur kepentingan korban. Di dalam KUHP perkosaan yang diakui hanyalah perkosaan dengan penetrasi penis. Sementara perkosaan jenis lain seperti dengan jari atau alat lain tidak diatur dalam KUHP. Menurut Ema hal ini menyulitkan korban, sebab unsur pidana tidak bisa diganggu gugat. Maka perlu ada kebijakan yang mengatur jenis kekerasan seksual secara rinci dan berpihak pada korban. Kemudian Ema juga menjelaskan bahwa dalam struktur hukum terdapat beberapa hambatan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Hambatan tersebut yakni 1) Minimnya jumlah petugas perempuan (meliputi polisi, jaksa, hakim) dalam pemeriksaan korban. 2) Tidak tersedia unit khusus terkait penanganan perempuan korban kekerasan di kepolisian sektor, kejaksaan, dan pengadilan. 3) Tidak meratanya ruang khusus pemeriksaan korban di institusi kepolisian. 4) Minimnya jumlah psikolog, advokat yang berperspektif korban. 5) Biaya visum korban kekerasan seksual masih menjadi tanggungan korban dan biayanya lebih mahal dibandingkan dengan kasus/ visum lain. 6) Pendamping korban berbasis masyarakat bekerja secara swadaya walaupun menjadi tumpuan besar dari masyarakat. (Iqraa Runi Aprilia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |