Untuk merespons krisis iklim dan ekologi pada satu dekade terakhir, Konferensi Tenurial Nasional 2023 dilaksanakan secara tatap muka pada 16 dan 17 Oktober 2023, di Wisma Serbaguna Senayan, Jakarta Pusat. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di bidang hukum, lingkungan, gender, dan masyarakat adat di Indonesia setiap 6 tahun sekali. Tahun 2023 ini, kegiatan diikuti oleh kurang-lebih 750 peserta, dengan 120 di antaranya merupakan peserta internasional. Selama dua hari, belasan panel diskusi dan talkshow yang menghadirkan puluhan pembicara dari seluruh Indonesia diadakan pada kegiatan ini. Fokus konferensi ini terdapat pada persoalan pangan, iklim, dan kerentanan masyarakat adat. Hal ini juga merespons dua periode pemerintahan Joko Widodo yang dinilai terlalu berpihak pada oligarki dan investor, sehingga mengesampingkan hajat hidup masyarakat marginal. Pada hari pembukaan kegiatan, Nora Hidayati selaku Ketua Panitia menyampaikan, “Krisis iklim dan pangan membutuhkan intervensi dan koreksi dari kelompok masyarakat marginal.” Hal tersebut merupakan titik berangkat dari konferensi ini. Dalam sesi konferensi pers, panitia menyebutkan bahwa Konferensi Tenurial Nasional 2023 dapat menjahit gerakan masyarakat lintas sektor, terutama masyarakat marginal dan masyarakat adat, dalam memantau dan menagih realisasi Reformasi Agraria, kedaulatan pangan, dan pemulihan hak masyarakat marginal yang sempat dijanjikan oleh kabinet Joko Widodo. Mengupayakan Kebijakan Ekologis yang Tidak Bias Urban Sesi pertama dalam konferensi ini adalah Dialog Nasional yang dihadiri Salsabila (perwakilan generasi muda), Bambang Prihadi (Dewan Kesenian Jakarta), Prof. Hariadi Kartodihardjo (Akademisi Universitas IPB), dan beberapa pembicara lainnya. Salsabila membuka sesi dengan menekankan pentingnya perspektif pemuda dalam gerakan agraria. Sebagai kaum muda urban, awalnya sulit baginya untuk membayangkan krisis ekologi dalam konteks rural. Sehingga, diperlukan distribusi pengetahuan yang tepat untuk mengenalkan masalah pada khalayak, khususnya kaum muda di perkotaan. Hal ini juga penting dilakukan untuk mengikis bias urban pada pola pikir kaum muda. Bambang Prihadi selanjutnya mengisi materi dengan mengingatkan bagaimana seni di Indonesia selalu berkaitan dengan tanah. Tanah dan kesejahteraannya menjadi hal penting dalam keyakinan masyarakat kita, tapi hal ini dikikis oleh pola pikir kolonial. Melalui seni, pemerintah kolonial menanamkan ideologi mooi Indie pada masyarakat Indonesia. Ideologi ini membuat kita memandang alam dalam kaitannya dengan keindahan saja dan mengesampingkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pemerintah kolonial hingga pemerintah sekarang ini. Disambung oleh Hariadi Kartodihardjo, terkikisnya ingatan masyarakat akan alam yang dirusak oleh industrialisasi diperparah oleh buruknya tata kelola lahan di Indonesia. Namun, kebijakannya yang masih sentralistik membuat masyarakat sekitar tidak bisa melakukan banyak perlawanan hukum, sementara masyarakat di daerah pusat tidak mengetahui kesulitan yang terjadi di perdesaan. Adanya mafia tanah makin merunyamkan kondisi ini. Sehingga, menurut Hariadi, diperlukan penguatan masyarakat sipil untuk melawan penyimpangan tata kelola negara. Perempuan dan Kaum Muda dalam Krisis Ekologi Panel yang sempat Jurnal Perempuan hadiri bertajuk “Perempuan, Generasi Muda, Kelompok Marginal dan Rentan, dalam Krisis Agraria-SDA Multidimensi”. Di sini, hadir Mama Fun (Kabupaten Mollo, Nusa Tenggara Timur), Solihin (Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan), Hasniah (Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia), Marice (Desa Tobati, Papua), Minawati (Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota), dan Asmaniah (Pulau Pari, DKI Jakarta). Paparan dibuka oleh Mama Fun. Ia adalah bagian dari komunitas Lakoat Kojawas di Mollo, sebuah komunitas pangan yang didominasi oleh perempuan. Awalnya sulit untuk menumbuhkan rasa kepemilikan tanah pada generasi muda Mollo. Namun, dengan penguatan isu pangan, sedikit demi sedikit kaum muda Mollo kembali ke kampungnya. “Tanah itu bagi kami ibu adalah ibu yang membesarkan kami, bagaikan daging untuk kami. Batu adalah tulang bagi kami, air adalah darah, dan hutan adalah jantung dan paru-paru kami,” ujar Mama Fun, ketika mengenalkan filosofi masyarakat Mollo. Menyambung paparan pertama, Solihin menyampaikan konflik sumber daya alam di Sinjai yang masih berlangsung. Bahkan, sejak tahun 2009, sudah 11 orang ketua adat yang ditangkap oleh aparat dengan tuduhan memasuki hutan industri secara ilegal. Berbagai tindakan represif dari aparat berhasil didokumentasikan oleh komunitas adatnya atas inisiatif kaum muda Sinjai dalam advokasi. Hasniah, sebagai bagian dari perempuan nelayan, melanjutkan diskusi. “Perempuan nelayan ini relatif dilupakan,” ungkapnya. Perempuan nelayan betul-betul termarginalkan, karena ruang hidup mereka yang kumuh, tidak tersanitasi dengan baik, berpendidikan rendah, berpengetahuan terbatas, serta dikerdilkan dalam masyarakat yang patriarki. Melalui peningkatan kapasitas dan kaderisasi, Hasniah bersama rekan-rekannya bahu-membahu memperbaiki kualitas hidup perempuan nelayan di daerahnya. Ketersingkiran perempuan juga dirasakan oleh Marice. “Hutan, bagi perempuan, itu tempat untuk berbicara,” ujar perempuan asli Papua itu. Domestikasi terhadap perempuan adat menyebabkan mereka tidak bisa menyatakan pendapatnya dengan bebas. Adanya penebangan hutan dan penimbunan yang kian menggerus luas hutan makin memperkecil ruang bagi perempuan adat Papua. Dalam konteks Jakarta, krisis ekologi juga menjadi masalah besar. Minawati menyatakan, penggusuran merupakan bentuk krisis ekologi urban, yang tentunya berdampak lebih besar pada perempuan dan anak. Bersama Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Minawati membuat kontrak politik dengan Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, pada tahun 2017, yang intinya adalah untuk menyejahterakan masyarakat miskin kota dan meniadakan penggusuran. Terobosan terbaru JRMK adalah memajukan 11 orang anggotanya menjadi calon legislatif. “Kalau tidak ada di dalam kabinet, kami tidak bisa mengawasi Undang-Undang dan pemerintah,” ujar Minawati. Meskipun sama-sama berasal dari wilayah DKI Jakarta, krisis yang dialami oleh Asmaniah jauh berbeda dengan Minawati. Asmaniah adalah perempuan dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Laki-laki Pulau Pari dikriminalisasi oleh perusahaan, sehingga tersisa kelompok perempuan yang berjuang mempertahankan pantai dan kebun mereka dari perusahaan terkait. Akibat aktivitas perusahaan, Pulau Pari mengalami abrasi hingga lebih dari satu hektar, meskipun luas pulau hanya 43 hektar. Perlawanan Perempuan Adat atas Perusakan Hutan
Hari kedua Konferensi Tenurial Nasional 2023 diisi oleh berbagai panel, salah satunya bertajuk “Perlindungan dan Pemenuhan HAM bagi Para Pejuang Lingkungan, Agraria, dan Masyarakat Adat”. Pada panel ini, hadir perempuan adat dari berbagai wilayah di Indonesia yang masih mengalami konflik dengan pemerintah maupun perusahaan. Mereka adalah Nyai Jusmah (Provinsi Jambi), Emilia (Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat), Rosita Tecuari (Desa Grime Nawa, Papua), dan Marlina (Kalimantan). Sebagai pembuka, Jusmah membagikan pengalamannya ketika perusahaan sawit yang beroperasi di Jambi melakukan represi pada masyarakat sekitar. Padahal masyarakat sekitar sehari-harinya bergantung pada hutan. Represi tersebut masih membekas dalam ingatannya. Represi yang sama juga terjadi pada Emilia. Berdasarkan penuturannya, perusahaan mengintimidasi masyarakat untuk menyerahkan wilayah kelola hutan mereka. Dalam melakukan intimidasi ini, perusahaan melibatkan aparat bersenjata untuk menakuti warga. Lain pula dengan yang dialami Rosita. Kelompok adat di Grime Nawa diadu domba perusahaan, sehingga terjadi perpecahan dalam kelompok adat. Hal ini menyulitkan gerakan masyarakat adat dalam menyatukan perlawanan. Tidak kokohnya gerakan masyarakat juga dialami oleh Marlina. Di desa Marlina, justru kepala desa yang berpihak pada perusahaan. Hal ini membuat masyarakat desa dilarang masuk ke dalam wilayah hutan. Tidak adanya pengetahuan untuk membuat sertifikat tanah membuat kondisi masyarakat makin sulit. Konferensi Tenurial Nasional 2023 diakhiri dengan seruan bersama untuk mengintervensi krisis dan kerusakan ekologis yang terjadi secara sistematik. Diharapkan konferensi ini dapat membekali masyarakat marginal dalam resistensi terhadap oligarki maupun pemerintah yang korup. Sehingga, mereka dapat merebut kembali tanah dan sumber daya warisan leluhur. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |