Dosen sekaligus Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta TA. Prapancha Hary menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang cair. Dan ketika berbicara tentang psikologi maka setiap orang berbeda dan unik. Mengangkat tema Psikologi dan Seksualitas dalam diskusi publik tentang warna-warni seksualitas perempuan dan hak kesehatan reproduksi yang dihelat oleh Talita Kum dan SPEK-HAM dan didukung oleh Hivos di Griya Solopos Solo, Rabu (3/12/2014), ia mengatakan bahwa seksualitas manusia di satu sisi relatif bebas dari ritme waktu, fleksibel dalam objeknya dan leluasa dalam modalitas ekspresinya. TA. Prapancha Hary juga menyatakan bahwa keberagaman seksual apapun adalah anugerah. “Dalam soal-soal seksualitas, manusia mampu melakukan hampir semuanya. Seseorang dapat menstimulasi imajinasi seksualnya sampai tingkat berahi yang memabukkan. Di sisi lain seksualitas manusia diarahkan dan diberi struktur sangat kaku, misal kultus keperawanan, konsep aurat, permainan dalam pergaulan perempuan dan laki-laki, larangan seks di luar nikah, incest dan bahkan LGBT”, papar Prapancha Hary. Sementara itu, Direktur Talita Kum Reny Kistiyanti memaparkan tentang Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Body (SOGIEB). Dengan latar belakang era heteronormativitas dan gender biner dimana satu-satunya relasi yang direstui oleh masyarakat adalah relasi heteroseksual yang bertujuan prokreasi. Mengutip Galink, Reny menyatakan bahwa seksualitas adalah aspek inti manusia sepanjang hidupnya. Seksualitas meliputi jenis kelamin, identitas dan peranan gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi dipengaruhi oleh interaksi faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah, religi dan spiritual. Dengan bantuan gambar dari Sam Killerman yang mempermudah pengertian konsep SOGIEB bahwa antara seks, gender, orientasi seksual dan ekspresi adalah hal yang terpisah satu sama lain, Reny menyatakan bahwa kampanye SOGIEB baru dilakukan dua tahun terakhir. “Isu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) sudah tidak memadai lagi. Dan harus diingat bahwa kekerasan juga terjadi pada perempuan dengan seksual gender non mainstream,” tutur Reny. Menyinggung tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi berbasis keragaman seksualitas, Endang Listiyani Direktur SPEK-HAM menyampaikan payung-payung hukum yang beberapa sudah diratifikasi di Indonesia seperti DUHAM, CEDAW, ICPD Kairo 1994 serta Beijing Platform tahun 1999. “Tahun 1993 dunia mengatakan Homoseksual bukan dianggap sebagai gangguan jiwa, namun kita punya UU No. 4 tahun 2008 tentang Pornografi yang menganggap homoseksual adalah persenggamanan yang menyimpang. Undang-undang ini diperkuat dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Ini jelas diskriminatif dan mereduksi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual menjadi atas dasar status moralisasi kesehatan,” jelas Endang Listiyani. Ia juga menambahkan bahwa Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi mengatakan bahwa jaminan kesehatan reproduksi masih bersyarat. “Perempuan yang memiliki orientasi seksual non mainstream bahkan di ‘bully’ kalau mengakses layanan. Ini artinya tidak ada jaminan spesifik untuk layanan kesehatan bagi LGBT,” imbuh Endang Listiyani. Tentang peran media dalam sosialisasi SOGIEB, Ichwan Prasetyo jurnalis yang juga Redaktur Solopos sebagai narasumber mengatakan bahwa akan selalu terjadi dialektika dan keberagaman itu selalu ada. Dengan keberagaman maka akan ada idealisme. “Sesuatu yang non mainstream pasti akan menarik, karena ini akan menjadi dialektika. Dan dalam Kode Etik Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) orientasi seksual disinggung secara eksplisit,” jelas wartawan yang juga penguji di AJI ini. Saat sesi diskusi Elizabeth Yulianti Raharjo dari LPH-YAPHI mempertanyakan tentang media yang sering malah menyoroti soal orientasi seksual pada berita-berita kriminal, misalnya, dari sisi dan kemasan sehingga publik mempunyai opini sendiri. “Yang terjadi malah mengeksploitasi korban dan menjadikannya porsi besar,” tutur Elizabeth. Sementara Indriyati Suparno dari SPEK-HAM menyampaikan bahwa konsep SOGIEB masih sangat baru untuk kalangan publik dan stigma masyarakat atas homoseksual, misalnya, masih kental. Ia mempertanyakan tentang penyampaian konsep SOGIEB kepada masyarakat, baik di komunitas sendiri maupun ranah public. Reny Kistiyanti menanggapi pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa pihaknya tidak jemu-jemu untuk mensosialisasikan tentang SOGIEB termasuk hak-hak seksual dan reproduksinya. Salah seorang peserta diskusi, Farida dari Jaringan Radio Komunitas Indonesia menyatakan tentang pentingnya peran media dalam sosialisasi SOGIEB. “Media sulit untuk bersikap netral dan ada kendala salah satunya adalah belum banyak kawan-kawan SOGIEB yang berani untuk muncul,” tutur Farida. Menutup diskusi publik yang berlangsung selama lebih dari tiga jam tersebut, Reni Kistiyanti menyatakan bahwa walaupun menakutkan, pihaknya tidak berhenti dan mulai berdialog dengan kelompok-kelompok pemuka agama. “Kenyataan yang kami hadapi, yang di dalam komunitas saja belum selesai,” pungkas Reny pada diskusi yang dimoderatori oleh Rahayu Purwaningsih tersebut. (Astuti Parengkuh) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |