“Apakah agama dan tradisi adalah dua hal yang berbeda atau salah satunya lebih kuat dari lainnya, yakni agama lebih kuat dari tradisi atau tradisi lebih kuat dari agama?”, Syafiq Hasyim, Direktur Senior ICIP (International Center for Islam and Pluralism) mempertanyakan kedudukan antara agama dan tradisi dalam Konferensi “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia” yang diadakan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kanada pada Kamis, 5 Maret 2015 di Hotel Aryaduta, Jakarta. Dalam konferensi ini, Syafiq menekankan bahwa membedakan antara agama dan tradisi merupakan persoalan yang harus dicari jawabannya. Selanjutnya, Syafiq menggarisbawahi apa yang disampaikan Musdah Mulia—yang juga menjadi pembicara dalam konferensi tersebut—bahwa orang lebih cenderung melihat “kembang-kembang” dalam agama daripada inti ajaran agama. Misalnya mengenai khotbah setelah pernikahan yang cenderung membatasi perempuan. Di mana tradisi menjadikan posisi perempuan berada dalam posisi yang tidak diinginkan. Menurut Syafiq dalam menyikapi posisi antara agama dan tradisi, pandangan Ulama dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, Islam sebagai produsen dari tradisi, karena itu jika ada perempuan diperlakukan tidak adil atau subordinat, hal itu semata-mata dari agama yang merembes ke tradisi. Kedua, Tradisi sebagai produsen dari Islam, di mana agama dipengaruhi tradisi itu sendiri. Sehingga jika tradisinya baik akan menjadi empowering, sementara jika tradisinya cenderung patriarkis tentu menghasilkan the rules of father. Lebih lanjut, Syafiq memandang ada kalanya agama memengaruhi tradisi dan begitupun sebaliknya dengan menekankan pada equal dan justice dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki. Syafiq melihat cara pandang Islam yang secara tekstual meletakkan perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan. Misalnya pada surat An-Nisa ayat 34 yang cenderung dilihat secara tekstual bahwa perempuan adalah sebagian dari laki-laki. Hal ini juga terjadi pada ayat penciptaan manusia serta ayat poligami. Syafiq menekankan, “Ini merupakan problem kita karena kita belum dapat menemukan jawaban yang krusial dan mantap, di mana ayat membela baik perempuan maupun laki-laki.” Sejauh penelitian yang dilakukan Syafiq mengenai sudut pandang ulama dalam persoalan perempuan, hampir sebagian besar bias gender. Bahkan banyak sejarawan muslim yang memandang bahwa peranan perempuan pascaRasulullah mengalami stagnasi. Sehingga menghasilkan produk-produk yang dalam istilah sekarang dikatakan tidak sensitif gender. Hal ini dapat dilihat dari pandangan ulama mengenai penciptaan manusia dan poligami. “Kita menemukan ribuan kitab yang membuat kita akan menangis melihat ulama terdahulu menggambarkan perempuan sebagai the secondary class,” tegas Syafiq. Mengenai penciptaan manusia, ulama terdahulu berpendapat bahwa perempuan diciptakan dari diri laki-laki. Ulama terdahulu menyandarkan argumennya bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk Adam dan pembuktiannya dengan memeriksa perbedaan tulang rusuk laki-laki dan perempuan. Mereka menegaskan bahwa tulang rusuk laki-laki sebelah kanan delapan belas dan sebelah kiri tujuh belas, dengan salah satu tulang rusuknya diambil perempuan. Padahal ulama terdahulu belum dapat membuktikannya secara medis, hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan akademisi saat ini, di mana ulama terdahulu mengambil pengetahuan yang bersumber dari tradisi pengetahuan pada masa itu sebagai taken for granted. Syafiq manyatakan hanya Muhammad Abduh yang menegaskan bahwa makhluk yang diciptakan pertama bukanlah laki-laki, sebagai mana yang diceritakan dalam the rib story. Dalam tafsir Al-Manar, Abduh mengatakan jika the rib story tidak diceritakan dalam Alquran dimana Adam dipandang sebagai sebab asal-usul penciptaan hawa. Menurut dia hal ini merupakan hasil tradisi Israiliyyat. Tradisi Israiliyyat berkembang pada masyarakat Judeo-Chrstian. Untuk itu, Syafiq mempertanyakan pada kaum nasrani mengenai tradisi biblistik dalam menggambarkan penciptaan manusia sebagai mana pada the rib story. Akan tetapi, kaum Kristen tidak membenarkan mengenai hal itu. Menelisik khazanah pandangan ulama di Indonesia pun masih terdapat bias gender. Pandangan Buya Hamka dalam buku Kedudukan Perempuan dalam Islam, sama seperti ulama terdahulu, sehingga tidak mengulas aspek-aspek penting bagi perempuan hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat normatif. Ulama saat ini pun kerap menyandarkan pada argumen ulama terdahulu yang tidak sensitif gender, misalnya Syeikh Nawawi Al-Bantani yang menjadi rujukan perihal persoalan perempuan. Padahal dalam diktum-diktumnya, terkhusus pada kitab ‘uquduz zain fi ‘uqudiz zaujain cenderung bias gender. “Lantas di mana posisi kita?”, Syafiq kembali mempertanyakan bagaimana kita memandang antara agama dan tradisi dalam mengatasi persoalan perempuan. Penerjemahan-penerjemahan pun dilakukan untuk mengatasi persoalan perempuan dengan menerjemahkan literatur-literatur berbahasa Inggris yang lebih banyak daripada literatur berbahasa Arab. Aksi nyata untuk mengatasi persoalan perempuan pun dilakukan Yayasan Kalyanamitra dan Yayasan Solidaritas Perempuan namun mereka mengalami kesulitan karena tidak mampu menjawab dari aspek agama. Padahal kecenderungan masyarakat ingin selalu menggunakan agama dalam segala aktivitasnya. Untuk itu Musdah Mulia serta Nasaruddin Umar berada dalam garis terdepan dalam mengatasi persoalan perempuan dengan pendekatan maqashidul syariah dan menghadirkan fiqhul nisa. (Agidia Oktavia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |