Globy mengadakan “Mini Indonesia SDGs Summit” yang bertajuk “World Pillars in 2022: Enhancing The Power of Women and The Development of Education” pada Sabtu (29/10) di Universitas Indonesia Kampus Depok. Konferensi mini ini mendatangkan lima perempuan untuk membicarakan dua tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu “Pendidikan Berkualitas” dan “Kesetaraan Gender”. Acara dibuka dengan sambutan dari SDGs Hub UI oleh Muhammad Caesar selaku Duta Kampus SDGs dan dari Globy oleh Muflih Dwi Fikri selaku CEO. Sesi “Pendidikan Berkualitas”: Kurikulum Merdeka dan Tantangannya Sesi pertama adalah diskusi panel tentang isu “Pendidikan Berkualitas” dengan tiga pembicara, yaitu Umi Kalsum dari Yayasan Guru Belajar, Julia Novrita selaku direktur program dan pengembangan di The Habibie Center, dan Reva Bosten yang merupakan brand ambassador di Raffles College. Pada awal diskusi, Reva membahas bagaimana banyak orang tua Indonesia yang mengirim anak bersekolah ke luar negeri. Padahal, menurutnya Indonesia memiliki lingkungan pendidikan yang kaya dengan otentisitas dan keberagaman. Julia meneruskan diskusi dengan mengangkat masalah pendidikan di Indonesia, yaitu bagaimana kita harus keluar dari tradisi pendidikan ala rezim Orde Baru yang sangat terstandarisasi dan homogen. Menurutnya, pendidikan masa kini harus mendorong kreativitas pelajar, "To help them to unleash their potentials."
Umi memutuskan untuk mengajak peserta ikut berdiskusi dengan bertanya apa makna “merdeka belajar” bagi mereka. Nabila, pelajar SMAN 1 Tangerang, mengaku iri pada adik kelasnya yang mendapatkan Kurikulum Merdeka, sebab ia melihat mereka lebih memiliki kebebasan belajar dibanding angkatannya yang masih menggunakan Kurikulum 2013. Peserta lain yang baru lulus SMA berpendapat bahwa “merdeka belajar” adalah dapat memilih cara belajar sendiri. Menurutnya, saat ini guru masih seperti mengontrol apa yang pelajar harus pelajari, sampai konsep berpikir mereka. Umi kemudian menanggapi dengan menceritakan pengalamannya bersama Yayasan Guru Belajar dalam pengawalan penerapan Kurikulum Merdeka. Menurut Umi, masih banyak guru yang belum siap beradaptasi dengan kurikulum baru, sehingga butuh didampingi. Julia kembali mengingatkan bagaimana sejarah memengaruhi sistem dan kerangka berpikir pendidikan kita. Menurutnya, merupakan tantangan besar untuk mengubah kebiasaan pendidikan “mendikte dan didikte” yang berlaku selama 30 tahun pada masa Orde Baru. “We talk about the changing of culture, the culture of education,” ujarnya. Menurutnya, kita butuh mendefinisi kembali pendidikan untuk dapat menjalankan Kurikulum Merdeka. Julia juga menyebutkan bahwa pendidikan semestinya menanyakan “what problem you want to solve”, bukan “what you want to be” kepada pelajar. Reva menambahkan bahwa sungguh miris bagaimana perkembangan pada teknologi seperti mobil dan ponsel sangat pesat, sementara sistem pendidikan cenderung stagnan seolah berhenti berkembang. Umi menyebutkan bahwa Kurikulum Merdeka belum diwajibkan, sebab tentunya butuh proses untuk mencapai kesiapan. Seperti Julia, Umi juga berpendapat bahwa kurikulum baru perlu menerapkan pembelajaran berbasis proyek dan penyelesaian masalah, yang tentunya tidak dapat dilakukan dengan hanya satu mata pelajaran. Untuk itu, perlu dilakukan pendekatan pembelajaran interdisipliner. Bagi Umi, pembelajaran semacam itu dapat tercapai tidak hanya dengan keterlibatan guru, tetapi juga pemimpin sekolah. Selain itu, Umi juga mengatakan bahwa sekolah perlu memahami lingkungan sekolah serta para pelajar. Sebelum memulai pembelajaran, guru harus melakukan asesmen, mengenali pelajarnya alih-alih memikirkan terlebih dahulu buku ajar apa yang harus digunakan. Julia pun menganggap bahwa selama ini pelajar hanya diperlakukan sebagai objek. Seperti Umi, Julia berpendapat bahwa pelajar harus menjadi subjek atau pelaku aktif. Dalam pembelajaran seperti itu, pelajar menemukan masalah dan guru berperan sebagai fasilitator dalam proses penyelesaian masalahnya. Julia berkata, “The government is preparing us to be working class and I’m not happy with that. We gotta be the thinking class to prepare for the future.” Sejalan dengan pemikiran Julia, Reva yang masih pelajar pun menemukan bagaimana bersekolah seringkali tidak berarti mendapatkan pendidikan. Ia berpikir bahwa sistem seperti ujian terstandarisasi tak ubahnya “one size fits all” yang mengasumsikan bahwa setiap individu berangkat dari garis yang sama dan harus tiba pada garis yang sama pula. Menurutnya, sistem semacam itu bahkan dapat dikatakan kekerasan intelektual. Terakhir, ketiga pembicara menjawab pertanyaan dari peserta, yaitu, “Apa masalah utama pendidikan Indonesia?” Menurut Julia, masalah utamanya adalah stigma. Kurikulum terus berganti, tetapi bagi para guru intinya sama. Reva menyebutkan bahwa investasi di bidang pendidikan masih kurang, dan masih banyak guru yang digaji kecil. Sementara itu, Umi berkata ia masih optimis dengan pendidikan di Indonesia. Ia masih menemukan sekolah berkualitas di beberapa daerah. Maka itu, baginya masalahnya adalah ketidakmerataan kualitas tersebut. Dengan komunitasnya, ia telah mendekati pemerintah daerah untuk mengatasi ketidakmerataan tersebut. Sesi ini cukup baik dalam menyuarakan suara perempuan pegiat pendidikan dari berbagai latar belakang. Sayangnya, meskipun ketiga pembicara adalah perempuan, isu perempuan dan ketidaksetaraan gender di bidang pendidikan sama sekali tidak muncul. Dalam membicarakan pembangunan pendidikan berkualitas dalam konteks Indonesia, penting untuk mengangkat isu-isu besar seperti kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dan perkawinan anak. Sesi “Kesetaraan Gender”: Sesi kedua yang membahas isu kesetaraan gender mendatangkan dua pembicara, yaitu Poppy R. Dihardjo yang merupakan perintis komunitas Perempuan Tanpa Stigma (PenTas) dan Herawati Sahnan yang merupakan peneliti di The Habibie Center. Ketika ditanya mengenai kondisi kesetaraan gender di Indonesia dari sudut pandang perempuan, Poppy berkata bahwa perempuan dikondisikan untuk mengabdi kepada orang tua, lalu kepada suami, dan harus menjadi layaknya seorang bidadari ketika menjadi ibu. Namun, ia juga melihat perubahan baik dalam kesetaraan gender, yaitu perempuan tidak hanya bersuara, tetapi dunia pun mulai mendengarkan. Kemudian, sebagai perempuan peneliti, Herawati membangun jawabannya dengan data. Menurutnya, peringkat indeks kesetaraan gender Indonesia secara global membaik, tetapi di lapangan masih ada kasus-kasus ketidaksetaraan gender. Ia juga menceritakan pengalaman pribadinya yang disuruh ke psikiater karena belum menikah pada usianya. Terakhir, ia menyebutkan masih banyaknya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia. Diskusi dibawa ke topik mengenai masih sedikitnya perempuan di posisi kepemimpinan. Bagi Poppy, lagi-lagi itu akibat pengkondisian sosial, yang terkadang membuat perempuan mengalami impostor syndrome. Poppy bercerita tentang bagaimana ketika pertama kali bekerja, banyak orang berkata ia mendapatkan posisi tersebut berkat wajah cantik. Dari situ ia membuktikan diri bahwa ia tidak sekadar cantik, tetapi juga berkompetensi tinggi. Bagi Herawati, ada faktor eksternal dan internal dari fenomena tersebut. Faktor eksternalnya adalah stigma dan stereotip, yang kemudian membentuk faktor internal, yaitu kepercayaan diri perempuan. Sebagai peneliti, Herawati kembali berargumentasi dengan data. Ia menceritakan tentang riset kecil-kecilan seorang dosen yang menunjukkan bahwa 50% laki-laki melakukan negosiasi gaji, sementara perempuan hanya 5%. Kemudian, sang moderator mengajak pembicara berdiskusi tentang cara mengatasi insecurity atau perasaan kurang percaya diri, yang agaknya cukup melenceng dari isu strategis pembangunan kesetaraan gender. Namun, pembicara tetap menjawab dengan profesional. Herawati berkata bahwa kita tidak boleh membandingkan diri dengan orang lain, sebab kita semua unik. Ia bercerita bahwa ia berasal dari lingkungan yang dikelilingi oleh kompleks perumahan elit. Saat kecil ia mulai bertanya-tanya, “How can i be there?” Ia tidak mau mengalami yang dialami orang tuanya, yaitu menjadi pekerja domestik informal. Ia menyadari bahwa ia tidak punya privilese, maka ia menjadikan pendidikan sebagai kekuatannya. Meskipun ia harus mengepel rumah orang sepulang sekolah, ia tetap memastikan pendidikannya. Herawati berkata, “Kita hanya butuh menjadi the best person we can be.” Sesi ini terus berlanjut ke arah pengembangan diri dan menjauh dari isu-isu kesetaraan gender. Topik-topik tersebut penting dibahas, tetapi tidak dalam konferensi bertajuk SDGs. Pembahasan mengenai pembangunan kesetaraan gender sebagai tujuan SDGs semestinya mengangkat isu sebagai masalah sistemik, bukan sekadar masalah individu yang bisa diatasi dengan pengembangan diri. Padahal latar belakang para pembicara sangat menarik dan strategi mereka dalam bidang masing-masing bisa digali lebih dalam. Misalnya, moderator dapat menanyakan kontribusi kerja penelitian Herawati dalam bidang kesetaraan gender dan tujuan SDGs lain. Kemudian, Poppy juga dapat diminta membagikan pengalamannya berjejaring dan beradvokasi. Pun begitu, acara terselesaikan dengan baik dan mendapat banyak atensi peserta. (Asri Pratiwi Wulandari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |