Di dalam acara Pelatihan Media Meliput LGBT yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, Hivos dan Ardhanary Institute pada hari sabtu (30/5) yang bertempat di Casakhasa Bistro Garden, Kemang Utara, RR Sri Agustine, sebagai pembicara dari Ardhanary Institute memberikan materi mengenai keberagaman gender dan seksualitas. Dua hal tersebut baginya tidaklah sama, dan juga keduanya merupakan elemen dasar SOGIEB (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, And Body). Berbicara mengenai seksualitas artinya berbicara mengenai jenis kelamin yang bersifat biologis. Di Indonesia ada dua jenis kelamin yang diakui negara yaitu laki-laki dan perempuan. Pendefinisian seksualitas sebagai jenis kelamin oleh negara dan KBBI, bagi Agustine akan menghilangkan queer karena ia tidak ada di dalam dua kotak normatif seksualitas. Pendefinisian Ardhanary Institute terhadap seksualitas memasukkan faktor biologis, yaitu kromosom. Berdasarkan hal itu, manusia memiliki banyak sekali jenis kelamin, hanya saja kita belum memberikan nama, kita hanya menyebutnya sebagai interseks. Menurut RS Kariadi, satu-satunya RS interseks di Indonesia, kurang lebih ada 48 jenis kelamin berdasarkan kromosom. Hal itu membuktikan bahwa sebenarnya seksualitas sangat beragam. Agustine mengatakan bahwa media seringkali keliru menyebut interseks sebagai gangguan jenis kelamin, kerancuan gender, ataupun sindrom. Di dunia ini ada 3 negara yang sudah mengakui keberadaan interseks, yaitu Jerman, Australia dan Amerika Serikat. Di samping seksualitas, ada banyak hal lain yang menyangkut elemen dasar SOGIEB, misalnya penghayatan akan perasaan atau subjektivitas diri, pilihan untuk menentukan identitas dan juga pengekspresian gender. Elemen-elemen itu bagi Agustine menentukan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan juga kebertubuhan seseorang. Jika persoalan seksualitas terkait dengan faktor biologis, berbeda halnya dengan peran gender yang merupakan pemberian masyarakat. Masyarakat seolah-olah biner karena hanya mengakui nama “laki-laki” dan “perempuan” padahal menurut Agustine masyarakat masih mengakui adanya gender ketiga, yaitu “banci” atau “bencong”, meskipun motifnya adalah diskriminasi. Menurut survey KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) di Indonesia dan Oprah di Amerika, ada banyak sekali kasus diskriminasi di sekolah yang berbentuk bullying terutama kepada laki-laki feminin. Masyarakat seringkali melabelkan peran gender menurut seksualitas, seperti laki-laki yang harus berekspresi maskulin. Penelitian Oprah menunjukkan tingginya angka bunuh diri laki-laki berusia <14 tahun karena bullying yang terjadi di sekolah. Bagi Agustine, bullying juga dilakukan media melalui stereotip yang diberikan hanya berdasarkan ekspresi gender yang biner. Seringkali dengan merujuk pada ekspresi gender, seseorang diberi label tertentu, padahal berkali-kali ia menegaskan apa gendernya. Keputusan seseorang dalam mengidentifikasi dirinya terkait dengan identitas gender, yaitu perkara penghayatan diri. Gender dan seksualitas merupakan hal yang kompleks. Ketika kita berbicara mengenai ketidakadilan gender kita tidak hanya berbicara soal perempuan dan laki-laki, tetapi juga gender lain yang ada di luar dua kotak itu. Media seringkali memancing seseorang untuk coming out padahal itu adalah persoalan hak dan martabat seseorang yang memiliki implikasi yang sangat besar pada kehidupan seseorang. Banyak kasus-kasus seperti itu yang akhirnya menyebabkan hancurnya kehidupan seseorang. Bagi Agustine, seharusnya media jangan terlalu banyak berasumsi, lebih baik tanyakan kepada narasumber agar pemberitaan yang ada bersifat akurat dan lebih adil. (Lola Loveita) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |