Pendiskusian mengenai keterwakilan dan partisipasi perempuan di ruang publik bukanlah hal yang baru. Alih-alih, topik ini senantiasa hadir karena rendahnya keterlibatan perempuan di ruang publik merupakan persoalan yang tidak lekang oleh zaman. Pembahasan serupalah yang coba diangkat oleh Yayasan Jurnal Perempuan melalui forum diskusi yang mempertemukan antarkawan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) pada Minggu, (26/2). Forum diskusi dengan tajuk “Gathering SJP Talks” ini telah kali ketiga terselenggara sebagai upaya mempercakapkan isu-isu terkini yang beririsan dengan perempuan bersama kawan-kawan SJP sebagai pelanggan Jurnal Perempuan. Secara khusus, SJP Talks ketiga ini membahas mengenai hubungan kompleks dan problematis antara media dengan perempuan. Dengan tajuk “Partisipasi Perempuan di Media”, forum ini menghadirkan Sonya Hellen Sinombor, Jurnalis Senior di Kompas sekaligus SJP yang bergabung sejak 2012. Forum diskusi yang dibersamai oleh Iqraa Runi Aprilia selaku Manager Subscription Jurnal Perempuan tersebut memiliki dua fokus pembahasan: 1) pemberitaan mengenai perempuan; dan 2) representasi perempuan pada media. Sonya mengawali pembahasan dengan menyorot citra yang dihadirkan oleh media mengenai perempuan. Ia menyebutkan bagaimana pemberitaan mengenai perempuan di media hanya akan tayang apabila perempuan hadir dalam konteks ‘negatif’. “Perempuan tampil lebih dominan ketika pemberitaan itu menyoroti isu yang sensasional, berhubungan dengan penampilan, busana, atau kriminalitas. Karena itu, perempuan didorong menjadi objek (pada-red) pemberitaan di media,” tegas jurnalis Kompas yang kerap mengkampanyekan ‘Stop Kekerasan!’ pada media sosialnya tersebut. Sonya memberi contoh dengan kasus yang sedang ramai diperbincangkan satu pekan terakhir ini. Kasus penganiayaan terhadap D yang melibatkan Mario Dandy sebagai pelaku penganiayaan dan seorang anak perempuan di bawah umur yang dicurigai oleh warganet sebagai katalis kasus tersebut. Terlepas dari berbagai cacian terhadap pelaku, berbagai media menggunakan anak perempuan tersebut sebagai bulan-bulanan, bahkan menyandingkannya dengan Putri Chandrawati, tersangka pada kasus pembunuhan lain, dan melabeli keduanya sebagai perusak reputasi institusi negara. Sonya menyampaikan dari dua kasus ini terlihat bagaimana media membungkus perempuan sebagai kambing hitam dan kriminal. Bagi Sonya, persoalan pemberitaan bernada negatif menihilkan peran dan kiprah perempuan yang sebetulnya besar dalam berbagai bidang. Ikut membagikan pandangannya, Sunarto, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, menyoroti keadaan demikian dengan intensi media yang selalu pada keuntungan material. Maka, untuk membuat pemberitaan yang mendulang clickbait, media harus mengemasnya semenarik mungkin, bahkan apabila hal tersebut kerap bertabrakan dengan etika jurnalistik. Kemudian beralih pada poin pembahasan kedua, Sonya menyebutkan bagaimana pada taraf keprofesian, mengutip hasil penelitian Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), jumlah perempuan dalam ruang redaksi (newsroom) masih rendah. Hal tersebut lebih mencolok pada tataran redaktur dan dewan redaksi sebagai pusaran pengambilan keputusan. Sonya menegaskan bahwa ketiadaan perempuan dalam posisi atas pada media merupakan kelindan dengan beban ganda yang dipanggul perempuan. Ia mengatakan, “Karena itu, perempuan sulit untuk punya kesempatan turut serta dalam liputan hebat dan ikut berbagai pelatihan.”
Selaras dengan hal tersebut, Laksmi Rachmaria, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, turut menyampaikan bahwa dunia jurnalistik merupakan dunia yang identik dengan laki-laki dan sangat male-gaze. Menanggapi pandangan Laksmi, Sonya menyebut bahwa representasi perempuan berprofesi jurnalis berkontribusi pada peran besar pemberitaan. Ia menyampaikan bahwa pengalaman perempuan dapat memberikan pendekatan yang lain untuk pemberitaan. Kendati demikian, Sonya mengingatkan kita dengan menggarisbawahi bahwa banyaknya perempuan di ruang redaksi tidak serta merta berbanding lurus dengan pemberitaan yang berperspektif gender. Baginya, kunci untuk tidak menghasilkan pemberitaan yang diskriminatif adalah pelatihan-pelatihan berulang mengenai ragam perspektif dari kelompok yang terpinggirkan, yang mana juga adalah perspektif gender. SJP Talks ditutup dengan sesi ramah-tamah dengan awak redaksi Jurnal Perempuan dan SJP yang hadir. Salah satu wacana yang muncul pada akhir acara adalah untuk menyelenggarakan lokakarya jurnalistik berperspektif gender bagi jurnalis perempuan. (Ayom Mratita Purbandani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |