Senin (3/10/2022) Migrant CARE bekerjasama dengan Zero Human Trafficking Network, Inklusi (Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif), dan Penabulu Foundation mengadakan Pre-Event C20 Summit dan G20 Health Ministerial Meeting 2022 dengan tema “Situasi Kesehatan Pekerja Migran Indonesia dan Agenda untuk G20”. C20 merupakan singkatan dari Civil 20, sebuah organisasi masyarakat sipil sedunia untuk terlibat dalam pemerintahan negara Group of 20 (G20).Acara yang dimoderatori oleh Daniel Awigra (Human Rights Working Group—HRWG Indonesia) ini dihadiri oleh empat panelis yaitu Sr Laurenntina SDP (Justice, Peace, and Integration of Creatio—JPIC Divina Providentia Kupang), Dian Indraswari (Direktur Eksekutif Yayasan Pulih), Dini Andriani (Program Manager Yayasan Penabulu), dan Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE). Acara ini juga dihadiri oleh dua pemberi sambutan yaitu Bonanza Taihitu (Kepala Pusat Kebijakan Kesehatan Global dan Teknologi Kesehatan) dan Syamsul Ardiansyah (Project Manager C20). Dalam sambutannya, Bonanza Taihitu menjelaskan bahwa institusi keuangan dunia seperti World Bank adalah institusi yang dipercaya dapat menyelesaikan peninggalan Perang Dunia II. Lebih jauh dari itu, selama tiga tahun belakangan, dunia menghadapi pandemi Covid-19. Covid-19 sedikit banyak memunculkan kesadaran bahwa masalah ini harus diselesaikan secara bersama baik negara, sektor swasta, non-governmental organization (NGO), dan sipil.
Sejauh ini terdapat tiga pembahasan yang akan diajukan kepada negara di dalam G20. Tiga pembahasan tersebut adalah: 1) Membangun sistem kesehatan global yang tahan uji (ada dana penyerta untuk kesiapsiagaan dan respons bencana yang disetujui oleh World Bank dan World Health Organization [WHO]), 2) Harmonisasi sistem dokumen negara untuk kepentingan mobilisasi, 3) Memperluas kapasitas manufacturing (pengadaan vaksin) dan mendorong negara-negara selatan untuk berpartisipasi di dalamnya. Bonanza menjelaskan, dari ketiga pembahasan tersebut pemanfaatannya harus mengenai kesiapsiagaan bencana berbentuk riset yang berbasis trickle-down effect atau pemaksimalan manfaat sampai ke penerima manfaat. Sementara itu, Syamsul Ardiansyah membenarkan pentingnya harmonisasi sistem dokumen negara. Pasalnya hal ini berkaitan dengan kebijakan kesehatan pekerja migran yang diatur dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang sejauh ini belum bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh pekerja migran. Penyebabnya adalah dokumen tersebut hanya berlaku di Indonesia. Dalam G20 isu kesehatan pekerja migran akan dibahas, sehingga perlu ada gerak strategis dalam acara tersebut. Laurenntina SDP hadir sebagai panelis yang memperlihatkan fakta lapangan tentang kondisi pekerja migran. Laurenntina yang selama ini melakukan pendampingan pada Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Kupang menyatakan bahwa banyak sekali PMI non-prosedural. Sehingga banyak pekerja migran yang meninggal dunia karena bekerja tanpa keamanan yang ideal, bekerja melebihi jam kerjanya, dan tidak diberikan pelayanan yang baik ketika sakit. Ada diskriminasi pelayanan kesehatan kepada pekerja dalam perantauan. Biasanya biaya rumah sakit dibandrol dengan biaya tiga kali lipat dari penduduk asli. “Mengejutkan sekaligus menyedihkan ketika kita mengetahui ada pelayanan kargo untuk memulangkan jenazah PMI yang meninggal dunia, kargo tersebut berisi guci yang isinya adalah abu jenazah yang telah dikremasi,” tutur Laurenntina. Dalam kasus tersebut tentu ada pengabaian tentang harkat martabat manusia. Pemahaman yang luput adalah tentang, ”Bagaimana seharusnya jenazah diperlakukan?”. Persoalan ini bukan hanya saat PMI berada di negara tujuan, tetapi saat kepulangan banyak PMI yang terjangkit sakit kulit, hamil, melahirkan, bahkan keguguran. Sementara itu, Dian Indraswari menjelaskan urgensi penanganan kesehatan mental pada PMI. Selama ini kesehatan mental dianggap tersier. Belakangan, saat Yayasan Pulih membuka layanan untuk PMI, keluhan banyak datang dari isu keluhan ekonomi, tidak berdaya, tidak pasti, pandemi Covid, tekanan keluarga, merasa sendiri, dan merasa rendah diri. Melihat kebutuhan dari pelayanan kesehatan mental yang terus meningkat, Yayasan Pulih membuka dukungan kesehatan jiwa dan psikososial melalui program yang dinamakan Sosio Edukasi. Melalui program Sosio Edukasi, banyak PMI yang membutuhkan pelayanan kesehatan mental. Sebabnya, setelah kepulangan mereka dari negara tempat bekerja, banyak yang terkena depresi. Dari perspektif kesehatan pernapasan, Dini Andriani menjelaskan mengenai kasus tuberculosis (TBC). Menurut Dini, TBC merupakan preventable death (kematian yang dapat diantisipasi). Sayangnya, begitu banyak PMI yang terserang TBC hingga meninggal dunia. Saat ini TBC sudah dilupakan; bahkan banyak orang bertanya apakah penyakit TBC masih ada? Hal itu disebabkan oleh mayoritas orang yang hanya berfokus pada pandemi Covid-19. Sebenarnya Indonesia adalah negara ketiga penyumbang TBC terbesar di dunia. Risiko TBC pada PMI muncul saat berada lingkungan masyarakat, saat berada di penampungan sebelum berangkat ke negara tujuan, saat sudah berada di negara tujuan, dan saat kembali pulang ke negara asal. Penyakit TBC memiliki efek yang kompleks, sebab orang dengan TBC harus berobat secara rutin 6-9 bulan berturut-turut, dianjurkan melakukan isolasi mandiri, dan obat TBC berdampak pada stres dan depresi. Sehingga TBC menyebabkan dampak psikososial berupa pemiskinan dan depresi karena pengobatan yang mahal dan lama. Wahyu Susilo sebagai panelis penutup menekankan bahwa pada G20 ada tema besar yaitu “Recover together, recover stronger”. Menurutnya, tema besar itu tidak akan berhasil tanpa adanya keterlibatan dari isu PMI. Sebab saat Covid-19 melanda, PMI dianggap sebagai penyebar virus dan stigma yang diberikan pada mereka tidak adil bagi PMI. PMI selalu dikaitkan dengan penyebaran virus baru dan kemunculan penyakit baru. Bahkan dalam satu kesempatan Wahyu mengaku didatangi wartawan yang menanyakan kepulangan PMI dan identitas PMI. Terpaparnya PMI dengan ancaman kesehatan dan stigma perlu diperjuangkan dalam C20 dan G20. (Iqraa Runi Aprilia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |