Pada 7-8 November 2023 lalu, Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI) menyelenggarakan “The Postgraduate Conference on Crime and Social Justice” secara bauran di Kampus UI Depok. Konferensi internasional ini diikuti oleh 4 universitas dalam negeri dan 8 universitas luar negeri. Salah satu tujuan dari konferensi ini adalah mempublikasikan penelitian-penelitian akademisi di bidang kriminologi dan keadilan sosial yang relevan dengan kondisi kini—baik dalam konteks nasional maupun global. Pidato Kunci diberikan oleh Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM Indonesia. Pada pengantarnya, ia mengingatkan bahwa kita sudah masuk dalam era disrupsi yang mengaburkan batas-batas ruang dan waktu. Ini juga memengaruhi batas-batas antarnegara yang semakin samar karena adanya globalisasi dan internet. Demikian, persoalan-persoalan hukum yang terjadi sudah tidak dapat dilihat secara positivistik. Dibutuhkan refleksi untuk menyelaraskan sistem peradilan yang ideal dengan kecepatan laju informasi.
Jurnal Perempuan berkesempatan meliput sesi diskusi di hari Rabu (8/11/2023). Sesi ini berfokus pada tulisan-tulisan mengenai kekerasan berbasis gender di ranah digital. Sebagai presenter pertama, Fajar Martha mempresentasikan tulisannya, Revenge Best Served Online: A Content Analysis of Non-Consensual Distribution of Intimate Images’ Portrayals in Contemporary Indonesian Cinema. Dalam tulisannya, Non-Consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) atau distribusi gambar intim tanpa persetujuan dalam perfilman Indonesia menunjukkan peningkatan kesadaran publik. Contohnya, film Penyalin Cahaya, film Indonesia tentang NCDII, disangsikan banyak penontonnya sebab penulis skenario film tersebut adalah terduga pelaku kekerasan seksual. Ini mengindikasikan gerakan feminisme global dalam lima tahun terakhir cukup sukses menantang logika patriarki di masyarakat. Meskipun, penolakan terhadap representasi perempuan dalam film tetaplah ada. Tulisan Disciplinary Power in Gender-based Prostitution Policy dipresentasikan selanjutnya. Hasil penelitian oleh Vivi Rahmawati ini mengkaji prostitusi dalam dua kerangka: Pertama, prostisusi sebagai kekerasan terhadap seksualitas. Kedua, prostitusi sebagai model kerja. Dua kerangka tersebut membuat pekerja seks terpolarisasikan ke dalam status pelaku atau korban. Polarisasi ini menyulitkan pembuatan kebijakan terkait prostitusi. Di sisi lain, ketiadaan kebijakan yang mengatur prostitusi menempatkan pekerja seks perempuan pada stigma dan kerentanan berlapis. Retno Daru Dewi G.S. Putri menyambung sesi dengan presentasinya yang berjudul Implementation of Gender-responsive Law in Seeking Justice for OGBV Victims. Daru yang juga staf redaksi Jurnal Perempuan ini membuka presentasi dengan memaparkan beberapa kasus Kekerasan Gender Berbasis Siber (KGBS) yang pernah dipublikasikan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa korban KGBS kebanyakan adalah perempuan. KGBS bermula dari kekerasan terhadap perempuan di dunia nyata, yang perlahan-lahan bergeser ke ruang digital. Indonesia sudah memiliki berbagai landasan hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan. Namun, implementasinya sangat sulit dilaksanakan sepenuhnya karena pola pikir patriarki yang masih kental, bahkan pada aparat penegak hukum. Oleh karena itu, penelitian Daru—yang menggunakan basis Theory of Justice dari John Rawls dan perspektif interseksionalitas—berusaha melihat bentuk hukum secara lebih adil. Sehingga dapat mengakomodasi perlindungan terbaik dari KGBS. Penelitian Daru menggugat realita hukum di Indonesia, yang seharusnya dapat diubah sesuai dengan kebutuhan dan interseksionalitas dalam masyarakat. Terdapat beberapa hal yang dapat diperbaiki dari hukum kita, contohnya pada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang belum memaparkan definisi KGBS. Hal yang sama pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang masih menyulitkan pelaporan KGBS, dibandingkan pelaporan kasus pencemaran nama baik. Hukum yang ada kini tidak akomodatif pada perempuan dan menihilkan urgensi KGBS. Kondisi tersebut, ujar Daru, menggembosi upaya pemenuhan keadilan gender. Presentasi terakhir yang dipaparkan di sesi ini adalah Relentless Victimization: A Case Study of Rape Victims Who Experience Unwanted Pregnancies oleh Rantri Ridho Salma. Rantri menyoroti bagaimana Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) pada korban perkosaan tidak ditangani dengan adil oleh aparat penegak hukum yang ada. Menggunakan pisau bedah feminis radikal, Rantri menegaskan patriarki sebagai sebab utama viktimisasi pada perempuan. Dalam penelitiannya, ia menemukan relasi kuasa sebagai akar dari perkosaan. Dari ketiga narasumber penelitiannya, keseluruhannya sudah menolak ajakan seksual dari pelaku, tapi consent mereka tidak dipedulikan. Mitos bahwa perempuan turut menikmati perkosaan, ditambah penyangkalan terhadap kesaksian korban, membuat narasumber penelitian tidak dapat mengakses layanan aborsi ketika membutuhkan. Adanya kriminalisasi jika aborsi dilakukan di atas 14 minggu kehamilan memperparah kondisi korban. Penelitian ini menyoroti kebijakan hukum di Indonesia yang absen mempertimbangkan trauma dan ancaman yang diterima korban perkosaan. Dalam perspektif viktimologi, perempuan korban perkosaan adalah kelompok rentan. Bertambah rentan jika mereka berada di bawah garis kemiskinan, tinggal di perdesaan, tidak mendapat akses pengetahuan dan informasi, dan merupakan disabilitas. Penelitian-penelitian yang mengungkap kondisi-kondisi ini perlu dijadikan acuan aparat penegak hukum dan pembuat kebijakan. Terutama dalam memperbaiki sistem hukum yang rumpang, tidak akomodatif, dan tidak berperspektif korban. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |