Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), digitalMamaID mengadakan acara diskusi bertajuk "Setiap Kita Bisa Jadi Korban" pada Senin (24/11/2023). Kegiatan tersebut sukses diselenggarakan secara virtual melalui live Instagram. Kegiatan dipandu oleh Ratna, melalui akun resmi @digitalmamaid. Dalam sesi interaktif tersebut, Ratna menyambut dua narasumber perempuan, yakni Retno Daru Dewi Putri G.S.P (Redaktur Jurnal Perempuan) dan Ivy Sudjana (Tim Media dan Jaringan di Srikandi Lintas Iman), untuk memberikan wawasan mendalam terkait perjuangan mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau 16 Days of Activism Against Gender Violence adalah inisiatif global yang bertujuan untuk mendorong langkah-langkah penghapusan kekerasan terhadap perempuan di berbagai belahan dunia. Ratna membuka acara dengan menuturkan bahwa kampanye ini dimulai pada tanggal 25 November, yang juga dikenal sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, dan berlangsung hingga 10 Desember, yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Selanjutnya, Ratna mengungkapkan bahwa menjadi seorang perempuan dalam suatu lingkup masyarakat memiliki potensi risiko yang signifikan. Risiko yang dihadapi perempuan mencakup rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, dan lain sebagainya. Ratna menyoroti pentingnya memahami dinamika ini dan mengajukan pertanyaan kepada Daru dan Ivy untuk mendapatkan pandangan mereka mengenai isu ini. Menurut Daru, peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia disebabkan oleh pandangan masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai gender kelas kedua. Di negara-negara progresif atau maju, tingkat kekerasan terhadap perempuan mungkin lebih rendah karena adanya dukungan dari sektor pendidikan dan kesadaran masyarakat. Namun, Daru menggarisbawahi kekerasan yang semakin meningkat di Indonesia. Menurutnya, dua faktor utama penyebabnya adalah sudut pandang patriarki dan norma gender tradisional serta pembagian peran gender yang kental dengan tradisi. Daru menyimpulkan bahwa kedua faktor tersebut menjadi pemicu risiko kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Selanjutnya, Ivy menyoroti pentingnya fenomena "No Viral, No Justice!" dan menekankan bahwa menjadi perempuan membawa risiko rentan terhadap kekerasan. Dia menganggap peran media sosial saat ini sebagai upaya untuk mengadvokasi kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan, memberikan wadah bagi setiap individu untuk bersuara. Meskipun demikian, Ivy juga mencatat bahwa media sosial dapat menjadi pemicu atau meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan, yang dikenal sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Menyusul penjelasan dari kedua narasumber, Ratna menyampaikan pertanyaan mengenai posisi masyarakat dalam media sosial ketika dihadapkan pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diungkapkan di platform tersebut. Kunci pentingnya, kata Daru, adalah adanya rasa empati. Daru menanggapi bahwa empati menjadi faktor krusial dalam mendukung upaya advokasi dan penanganan kasus-kasus kekerasan tersebut. Dalam kategori berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menonjol sebagai kasus dengan angka tertinggi. Kasus KDRT seringkali terjadi di lingkungan keluarga, di mana hubungan dekat antara korban dan pelaku menyebabkan korban enggan mengungkapkan kekerasan yang diterimanya. Faktor ini menjadi penyebab utama mengapa kasus KDRT secara konsisten menduduki peringkat pertama dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan. Hal ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam menangani dan mencegah kekerasan dalam rumah tangga di masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Ratna menanyakan pandangan Ivy dan Daru terkait situasi ini. Dalam upaya memberikan dukungan sistem bagi korban kekerasan terhadap perempuan, perubahan pandangan terhadap norma gender tradisional dan peningkatan empati terhadap korban dianggap kunci utama. Memahami bahwa setiap individu berhak atas perlindungan dan keamanan, terlepas dari jenis kelamin, diharapkan dapat membantu meruntuhkan norma-norma yang mendukung kekerasan terhadap perempuan. Dengan menekankan empati terhadap pengalaman korban, masyarakat diharapkan dapat menjadi lebih proaktif dalam mendukung upaya pencegahan dan perlindungan terhadap kekerasan terhadap perempuan. Mengakhiri diskusi pada acara tersebut, Ratna menyampaikan pertanyaan penutup kepada kedua narasumber. Dengan penuh ketertarikan, Ratna bertanya, “Bagaimana strategi yang perlu dilakukan dalam menghadapi isu atau kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia?” Dalam menghadapi prevalensi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, strategi krusial yang perlu diterapkan adalah memulai pendidikan peran gender di lingkup keluarga. Pendidikan ini dianggap sebagai langkah penting untuk mengubah norma sosial dan memberdayakan masyarakat dalam menanggapi kekerasan terhadap perempuan. Upaya perlu difokuskan pada memberikan pemahaman yang mendalam tentang kesetaraan gender, menghilangkan stereotipe berbahaya, dan membangun kesadaran terhadap hak-hak perempuan. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat menjadi kunci dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan peran gender yang efektif di tingkat keluarga. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi perempuan di Indonesia. “Stop kekerasan terhadap perempuan dan ubahlah persepsi kita tentang norma gender tradisional,” menjadi salah satu gerakan yang penting dilakukan. Gerakan ini menekankan urgensi untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap norma gender tradisional sebagai langkah kritis untuk memberantas kekerasan terhadap perempuan. Dengan fokus pada edukasi dan kesadaran, gerakan ini bertujuan untuk menciptakan perubahan mendasar dalam pola pikir dan perilaku yang masih mendukung tindakan kekerasan. Dengan semangat perubahan ini, harapannya adalah bahwa gerakan ini dapat memberikan kontribusi positif dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas kekerasan bagi semua perempuan di Indonesia. (Maria Noviyanti Meti) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |