Sepak Terjang Pergerakan Perempuan di Indonesia: Komnas Perempuan Setelah 25 Tahun Reformasi19/8/2023
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan merayakan 25 tahun Reformasi Indonesia sekaligus momen bersejarah berdirinya lembaga tersebut. Perayaan dimeriahkan oleh agenda Lomba Logo dan Slogan 25 Tahun Komnas Perempuan: Merayakan Upaya Bersama Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, pada Selasa, 15 Agustus 2023 lalu. Acara perlombaan sekaligus diskusi publik kali ini dibuka dengan sambutan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Perayaan kali ini bertujuan sebagai sarana edukasi tentang upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan sebelum dan setelah era reformasi. Serta sebagai bentuk kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Setelah pembagian hadiah kepada para pemenang, kemudian dilanjut acara berikutnya yakni diskusi pubik bertajuk, “Peran Pemuda Memaknai Kemerdekaan Hari Ini dan Melanjutkan Juang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan”. Diskusi dihadiri oleh empat narasumber, yaitu Ruth Indiah Rahayu (Aktivis dan Akademisi), Imam Nahei (Komisioner Komnas Perempuan), Raisa Widiastari (Program and Communication Officer Asia Justice and Rights–AJAR), Choirul Anam (Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu–PPHAM). Ruth Indiah Rahayu yang biasa disapa Yuyut membicarakan isu-isu yang diangkat oleh gerakan masyarakat sipil, khususnya perempuan dan anak muda sehingga bergulir menjadi gerakan inisiatif yang muncul pada saat sebelum dan sesudah reformasi. Sebelum reformasi, terdapat peristiwa Mei 1998 yang menghabisi nyawa 4 mahasiswa Universitas Trisakti, kemudian pemerkosaan massal pada perempuan Tionghoa. Saat itu, ia dan kawan-kawan aktivis perempuan bekerja mengadvokasi hak-hak korban dan keluarga. Mereka menerapkan metode “Mengupas Bawang Bombay”, yaitu memperoleh informasi dari lapisan terluar hingga ke lapis inti, yaitu keluarga korban. Kemudian, Yuyut merasa kekerasan pada perempuan semakin melebar, seperti kekerasan seksual terhadap perempuan di Aceh dan Timor Lester sebagai daerah operasi militer. Sejak itu ia belajar melayani, mendampingi, healing, kemudian investigasi pendataan terhadap kasus kekerasan tersebut. Sejak saat itu, muncul keberanian untuk membangun sistem pemulihan kerja untuk korban kekerasan berbasis komunitas. Ia dan kawan-kawannya pun menghadap presiden pengganti Soeharto, B.J Habibie. Akhirnya terbentuklah Komnas Perempuan yang berangkat dari gerakan akar rumput perempuan. Menyambung soal bagaimana gerakan sebelum reformasi yang menjadi gerakan bergulir sampai pascareformasi, salah satu komisioner Komnas Perempuan, yakni Imam Nahei, turut memberikan testimoni. Ia menegaskan bahwa gerakan tersebut hadir bukan tanpa sebab. Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan memantik kelahiran gerakan ini. Nahei mengulas tiga akar besar penyebab kekerasan terhadap perempuan. Pertama, cara pandang terhadap perempuan, yang membuat perempuan selalu dijadikan alat untuk merebut kekuasaan. Hal ini dikarenakan perempuan dianggap sebagai warga kelas dua yang pantas menerima kekerasan. Dalam lingkup yang lebih kecil lagi, yaitu keluarga, seringkali laki-laki merasa memiliki tanggung jawab untuk mendidik istrinya. Jika istrinya dianggap menyeleweng, maka suami kerap merasa berhak sampai melakukan kekerasan untuk mendidiknya. Kedua, cara pandang patriarki tersebut akhirnya membudaya. Kemudian patriarki yang membudaya itu terwujud dalam bentuk kebijakan-kebijakan negara. “Terdapat dua aspek yang disasar oleh Komnas Perempuan di ruang kebijakan,” ucapnya. Pertama, menghapus kebijakan-kebijakan yang berpotensi memunculkan kekerasan atau mengkriminalkan perempuan. Kedua, bagaimana mewujudkan kebijakan-kebijakan yang mendorong perempuan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia dan perempuan. Misalnya ketika Komnas Perempuan mendorong lahirnya Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, dan UU (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) TPKS. Raisa Widiastari sebagai anak muda yang aktif dalam dunia pergerakan perempuan menanggapi Yuyut dan Imam. Dalam pergerakan dan perjuangannya membela HAM dan perempuan, ia meyakini kekuatan kolaborasi. Menurutnya, hal ini tidak dapat dilakukan sendiri secara individu atau suatu komunitas saja. Satu komunitas dengan komunitas lain harus bekerja sama agar mencapai satu cita. Diskusi publik ditutup oleh sesi dari Choirul Anam yang tergabung dalam Tim PPHAM. Ia menjelaskan perspektif dan bentuk pemulihan seperti apa yang digunakan untuk menangani korban-korban perempuan pelanggaran HAM masa lalu. Tim bentukan Menkopolhukam Mahfud MD ini bertugas melaksanakan rekomendasi untuk memberikan hak pemulihan dan hak pencegahan pada korban pelanggaran HAM berat oleh negara. Anam mengatakan, dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang ada, semua korbannya adalah perempuan. Baik sebagai korban karena identitas perempuannya, maupun korban atas peristiwanya sendiri. Maka dalam hal ini ia menggunakan perspektif sensitive gender dan affirmative action. PPHAM akan berusaha memberikan hak pemulihan korban dan keluarganya dalam berbagai bentuk. “Terdapat hak kesehatan, hak pendidikan, hak pekerjaan, bahkan upaya memorialisasi yang sedang diuji coba di Aceh,” tutur Anam. (Hany Fatihah Ahmad) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |