Rabu, tanggal 21 Februari 2018, bertempat di Rumah Kembang Kencur, Pejaten Barat, Jakarta Selatan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama dengan Robert Bosch Stiftung mengadakan acara yang bertajuk “Bincang-Bincang Toleransi dan Perdamaian di Bulan Kasih Sayang”. Acara ini melibatkan sepuluh anak muda yang terpilih menjadi agen perubahan melalui acara “Human Rights Cities Youth Fellowship INFID”. Agen yang terpilih diharapkan dapat menjadi agen perubahan di tengah-tengah derasnya permasalahan intoleransi di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa permasalahan intoleransi disebabkan karena tumbuhnya paham membenci perbedaan. Sehingga, sangat mungkin intoleransi menyerang Indonesia, sebab Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki multietnis. Tetapi, perlu dipahami bahwa perbedaan seharusnya tidak menjadi alasan untuk bersikap intoleran. Intoleransi yang menyerang sebagian besar anak muda, mendorong INFID untuk mengajak anak muda dalam mempromosikan toleransi melalui sosial media. Bukan hanya itu INFID juga melakukan survei terhadap 1200 anak muda di 6 kota yaitu Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Pontianak, Makassar dan Surabaya. Survei ini dilakukan untuk melihat sejauh mana paham anak muda tentang radikalisme agama dan toleransi yang didalamnya terdapat 7 indikator yang dibahas yaitu indikator ketaatan beragama, persepsi radikalisme dan kekerasan berbasis agama, persepsi dan sikap toleransi, akses media, nasionalisme, pihak yang berpengaruh membentuk keyakinan beragama dan yang terakhir solusi menghindari radikalisme dan ekstrimisme. Dari survei yang dipaparkan, terdapat kesimpulan bahwa mayoritas responden secara tegas menolak bentuk kekerasan berbasis agama, tetapi pemahaman toleransi di kalangan anak muda masih rentan. Sebab hasil survei pada pernyataan tentang pemeluk agama non-muslim sebagai kafir memiliki angka yang cukup tinggi. Hal ini membuat INFID berusaha untuk mendorong agen perubahan untuk melakukan sesuatu, khususnya dalam menyampaikan idenya kepada pemangku kebijakan. Pendekatan yang dilakukan oleh agen perubahan diantara lain adalah menyampaikan ide mereka tentang sebab dan juga penyelesaian masalah intoleransi. Hal ini ditanggapi oleh Kepala Kesbangpol Bojonegoro, Kusbiyanto bahwa dalam menyikapi intoleransi memang memiliki kesulitan tersendiri, karena pada dasarnya rasa toleran berawal dari pikiran. ”Perlu adanya promosi toleransi secara terus menerus, agar suara orang-orang yang toleran tidak kalah dengan mereka yang intoleran”, tutur Kusbiyanto. Kurangnya pemahaman tentang Hak Asasi Manusia dalam demokrasi membuat banyak anak muda terjebak pada demokrasi yang hanya fokus pada kebebasan berpendapat. Sementara secara bersamaan ada ketegangan antara aturan menghormati Hak Asasi Manusia dengan ide mengemukakan pendapat pada demokrasi. Sehingga, dalam memahami demokrasi perlu adanya penguatan pemahaman Hak Asasi Manusia, agar dalam praktik demokrasi tidak ada hak dari kelompok tertentu yang dicederai. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |