Film berjudul Sa Pu Sagu adalah film dengan durasi 15 menit yang bercerita bagaimana usaha penduduk Asmat di Kampung Yaosakor dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ikatan antara sagu, ritual dan tradisi yang serba instan. Sagu sebagai makanan pokok masihkah bisa dipertahankan? Adalah Mama Ambo yang bersama suaminya melakukan pangkur sagu di dusun. Mereka harus masuk ke hutan. Seberapa jauh mereka berjalan untuk menebang pohon sagu di dusun sagu tersebut adalah dengan melewati rawa-rawa dan sungai. Mama Ambo juga mencari makan dengan menjaring ikan yang hasilnya juga membutuhkan waktu juga. Sementara makanan dari luar kini gencar mengusik masuk di perkampungan dengan kedai yang dimiliki bukan oleh orang Asmat. Film Sa Pu Sagu disutradai oleh Saifuddin Hafiz yang mengaku bukan orang film dengan pernyataannya bahwa niatnya pergi ke Yaosakor hanya bermodal nekad dan berani. “Ini adalah salah satu realitas yang saya lihat bahwa sagu suatu hari akan hilang. Kita menjumpai mi hampir ada di kios-kios, dan tidak kita jumpai ada makanan berbahan dasar sagu. Ketika kita berbicara tentang Asmat maka kita tidak meninggalkan sagu,” terang Saifuddin Hafiz dalam diskusi usai film diputar di Pakem lantai 2 Surakarta, Sabtu (11/6). Sagu dalam waktu 13-15 tahun baru bisa dipanen. Ada beberapa pertanyaan mengemuka usai pemutaran film. Tergambar jelas bahwa dalam minggu ini kita masih bisa makan sagu, minggu berikutnya kita akan makan apa kecuali memangkur sagu lagi dan lagi. “Mereka daya belinya rendah, ritual atau siklus seperti ini akan hilang suatu saat. Kedua, kalau kita mengungkit masyarakat Asmat adalah bukan masyarakat pemalas, Mama Ambo kami anggap sebagai representasi Ibu Asmat,” ujar Fanny Chotimah, copy writer film Sa Pu Sagu. Asep Nanda Paramayana dari SATUNAMA sebagai salah satu juru kamera mengatakan bahwa ketika memotret ketahanan pangan di sana, Sagu menjadi panganan pokok, asli, sangat berkebalikan dengan yang serba instan. Asep menambahkan bahwa kondisi alam Yaosakor berada di satu distrik. Kalau cuaca baik tiga jam ke distrik berikutnya. Paling dekat satu jam jika cuaca baik. Penduduk Yaosakor berjumlah 300-an KK. “Mereka sudah dihantam dengan budaya membeli,” tutur Asep Paramayana. Menjawab salah seorang penanya, Asep mengatakan bahwa permasalahan utama dirinya memotret adalah dari studi ekonomi rumah tangga. Lalu baru memfokuskan untuk sagu dan nonsagu. Kalau ditanya tentang pendapatan, ketika mereka ditanya per bulan berapa, mereka tidak mengetahui karena tidak pernah menominalkan berapa yang dia dapat hari ini dan berapa yang dia keluarkan. Standar harga sagu antar distrik pun juga tidak ada. Kemajuan zaman, peradaban mulai dari banyak hal. Pesta ulat sagu mereka tidak menjadwalkan. Banyak distrik yang sudah tidak merayakan lagi pesta ulat sagu. Kalau masalah ekologi memang dusun sagu tidak satu kampung dengan mereka. Mereka harus masuk ke hutan. Kebanyakan remaja tidak ada yang melakukan pangkur sagu karena adanya pergeseran kebiasaan hidup harian yang disebabkan campur tangan kebijakan (misal sekolah, pergi ke gereja, urusan administrasi kampung). Problematika ini berkaitan tidak hanya satu. Rizky Hening, salah satu yang juga sebagai pengambil gambar mengatakan bahwa kalau kita berbicara tentang Asmat, sangatlah kompleks. “Sagu menjadi makanan pokok, tapi di sisi lain makanan instan sudah menggempur karena kapal besar masuk ke kampung-kampung. Karena kalau mau pangkur sagu, harus dibuat sendiri, kalau cari makan harus dengan cari sendiri. Lalu belum lagi kalau ada lalat babi. Jika musim hujan datang, tanah jadi berlumpur. Kalau musim kemarau sangat kering,” paparnya. Diskusi dan pemutaran film Sa Pu Sagu ditutup dengan pernyataan Maria Sucianingsih bahwa orang Asmat yang kita kenal seolah memiliki tiga “tuhan” (yang dianut). Tuhan pertama adalah tua-tua adat, dimana mereka mempunyai kepercayaan awal mulanya. Selanjutnya tuhan kedua adalah kaum rohani gereja/pastur. Mereka yang mengenalkan adanya cara hidup yang lain, misalkan tentang budaya berpakaian. Logika selanjutnya, kalau kenal baju maka kenal mencuci, sabun serta sampo. Artinya bahan-bahan itu belum bisa dipenuhi sendiri. Itu tuhan keduanya. Lalu tuhan ketiga adalah pemerintah. Setiap kali datang dari Sabang sampai Merauke yang ada adalah Jawanisasi. Pemerintah tidak punya cara lain. Jika dikatakan bahwa pemerintah membantu, apa benar memberdayakan atau memperdaya? Karena kalau dihitung jumlah penduduk masih banyak pendatangnya yang mempunyai akses. Sehingga timbul pertanyaan, mau tuhan yang bagaimana lagi? “Kami SATUNAMA tidak punya cara yang instan. Agama kami adalah agama keyakinan untuk saling berbagi dan belajar, kalau kita melakukan pemberdayaan. Kios-kios itu milik pendatang, nggak ada yang dari Asmat. Ekonomi masih dikuasi oleh pendatang. Pastur juga nggak ada yang dari Asmat. Di sisi lain, apakah pendidikan itu harus dengan cara “Jawa”? Kita menggunakan appreciative inquiry (AI) yakni kita memiliki keyakinan bahwa potensi kecil ini akan menjadi manfaat besar,” pungkas Maria Sucianingsih pada acara yang diselenggarakan oleh SATUNAMA dengan dukungan Bengkel Film dan Pakem. (Astuti Parengkuh) 16/6/2016 04:10:00 pm
Salam adil dan lestari Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |