Senin, 27 Agustus 2018 bertempat di rumah AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat mengadakan konferensi pers tentang RUU (Rancangan Undang-Undang) Masyarakat Adat. Dalam kesempatan itu Muhammad Arman, Devi Anggraini, Khalisa Khalid dan Siti Rahma memaparkan urgensi dari RUU Masyarakat Adat. Nurul Firmansyah selaku moderator menyampaikan bahwa tema konferensi pers tersebut adalah “Bineka adalah Keniscayaan”. Menurut Nurul tema ini menjadi relevan karena masyarakat adat merupakan pilar kebangsaan Indonesia, masyarakat adat lebih dahulu hadir sebelum lahirnya republik Indonesia, dan masyarakat adat juga merupakan manifestasi dari keberagaman. Sehingga menurutnya, kehadiran UU (Undang-Undang) Masyarakat Adat menjadi penting dalam upaya mengakomodasi hak masyarakat adat dan menjamin kebudayaan. Saat ini draft RUU Masyarakat Adat versi DPR RI sudah berada pada tahap pembahasan di Baleg (Badan Legislasi) DRP RI, namun dari segi substansi draft tersebut mengandung sejumlah persoalan karena draft RUU tersebut berpotensi menghilangkan keberadaan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Mengacu pada policy brief yang telah disusun oleh koalisi, setidaknya ada 6 aspek yang perlu diperhatikan dalam membincang hak masyarakat adat yaitu; hak atas wilayah adat, hak atas budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak dan pemuda adat, hak atas lingkungan hidup, hak untuk berpartisipasi. Aspek-aspek ini seharusnya menjadi perhatian dan harus hadir di dalam UU masyarakat adat. Muhammad Arman selaku Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) menyatakan bahwa sejumlah konflik terjadi karena ketiadaan UU khusus yang mengatur tentang masyarakat adat. Setidaknya ada 127 kasus yang dihadapi oleh komunitas masyarakat adat yang berdampak pada pemenjaraan 262 orang. Arman juga mengatakan bahwa terdapat 3,2 juta masyarakat adat yang saat ini terancam hak kewarganegaraannya dan tidak dapat mengakses hak politiknya karena mereka hidup di kawasan konflik yaitu kawasan hutan dan kawasan HGU (Hak Guna Usaha). Arman menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri tidak mau memberikan bukti kependudukan bila masyarakat adat masih menempati daerah konflik tersebut, padahal bukti kependudukan adalah hak warga negara. Khalisah Khalid dari WALHI menyatakan persoalan lain terkait pengabaian pengetahuan masyarakat adat. Khalisa melihat bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan, nilai dan praktik dalam mengelola kekayaan alam dengan keragamannya. Tetapi dalam pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) negara menerapkan perspektif monokultur, artinya pengelolaan SDA mengacu pada satu sumber yaitu pengetahuan modern dan mengabaikan keterlibatan pengetahuan dan pengalaman masyarakat adat. Padahal pengetahuan masyarakat adat merupakan fondasi dari kebudayaan. Persoalan pengabaian pengetahuan masyarakat berdampak pada relasi perempuan di dalam masyarakat. Devi Anggraini dari Perempuan AMAN dalam kesempatan tersebut mengajak para hadirin untuk berefleksi tentang dasar didirikannya negara ini. Menurut Devi semangat berdirinya Indonesia adalah semangat perlawanan terhadap penindasan dan terhadap relasi yang tidak setara. Menurutnya, sedari awal bangsa ini dibangun, sudah ada kesadaran bahwa Indonesia dibangun atas dasar kebinekaan. Ironis bahwa dalam kebangsaan Indonesia, keragaman identitas tergerus sedemikan rupa. “Kami dari Perempuan AMAN, mengikuti proses draft RUU Masyarakat Adat ini, kami sadar betul bahwa banyak masukan terkait perspektif gender yang tidak ada di dalam RUU versi DPR RI, baik di awal gagasan hingga diskusi yang telah cukup panjang di Baleg DPR RI dan AMAN,” tutur Devi. Bagi Devi hal kesetaraan gender penting untuk hadir dalam UU Masyarakat Adat agar dapat memastikan tiap kelompok khususnya minoritas memiliki tempat dalam masyarakat dan untuk menjamin inklusifitas. Artinya tiap kelompok seperti perempuan, anak, pemuda, lansia, disabilitas, kelompok miskin dan lainnya harus terjamin haknya untuk berpartisipasi dan menyuarakan aspirasinya sebagai bagian dari masyarakat tanpa mengalami diskriminasi. RUU Masyarakat Adat seharunya mengenali keberadaan perempuan adat. Menurut Devi perempuan adat mempunyai hak sebagai warga negara, hak individu perempuan adat, hak kolektif perempuan adat dan hak kolektif sebagai bagian dari masyarakat adat termasuk hak kolektif dalam aspek ekspresi budaya. Bagi Devi hak perempuan adat bersifat indivisibility yang artinya dalam satu identitas perempuan adat terdapat keterhubungan hak yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hak kolektif perempuan adat dapat dilihat dari keseharian mereka yang erat dengan pengetahuan lokal, wilayah kelola dan otoritas. Perempuan adat menurut Devi memiliki peran kunci dalam menjamin berlangsungnya keberadaan masyarakat adat karena mereka memiliki pengetahuan soal tenun, benih, perladangan, ritual, pengobatan, persalinan dan lain sebagainya. Berdasarkan pengetahuan-pengetahuan tersebut, perempuan mengambil peran-peran tertentu di dalam masyarakat adat. Melalui peran inilah perempuan memastikan keberadaan dan juga kemandiriannya di dalam masyarakat adat juga negara. Ironis bahwa teradapat kebijakan negara yang alih-alih menjamin hak malah membuat rentan posisi perempuan. Lebih jauh, menurut Devi , peraturan Menteri Kesehatan RI yang mengatur tentang dukun beranak telah menyingkirkan dan bahkan berpotensi mengkriminalkan perempuan adat yang berperan sebagai dukun beranak. Permen Kesehatan RI No. 97 tahun 2014 menyatakan bahwa praktik dukun beranak harus dalam pendampingan bidan, artinya bila perempuan adat yang menjalankan fungsinya sebagai dukun beranak tanpa dampingan bidan maka ia dapat dikriminalisasi. Peraturan semacam ini merugikan perempuan adat yang memiliki pengetahuan, mereduksi peran-peran perempuan dari masyarakat adat di tingkat kampung dan membuat perempuan tercerabut dari pelibatan. Perempuan adat memiliki peran kunci dalam keberlangsungan masyarakat adat karena mereka adalah kelompok yang mampu merepresentasikan nilai adat, jembatan pengetahuan dan menjadi kunci untuk meneruskannya ke generasi mendatang. Perempuan Adat memiliki fungsi tidak hanya dalam kehidupan masyarakat adat tetapi juga dalam memaknai dan menjamin keberlangsungan kebinekaan sebagai identitas bangsa Indonesia. Muhammad Arman menekankan bahwa UU Masyarakat Adat nantinya harus dapat menata ulang hubungan antara Masyarat Adat dengan negara, dengan mengutamakan prinsib-prinsip keadilan, transparasi, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, perlakuan tanpa diskriminasi dan Pro lingkungan hidup. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |