Masyarakat adat berkontribusi atas pelestarian hutan, penyediaan bahan makanan, bahan obat-obatan dan praktik hidup yang berkelanjutan. Namun sayangnya masyarakat adat belum mendapatkan perlindungan hukum dan pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara, misalnya dalam penguasaan tanah dan kebebasan beribadah. Di sisi lain saat ini Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat masih dalam proses persetujuan di DPR dan dinilai perlu perbaikan secara substansi karena masih jauh dari semangat pengakuan dan perlindungan. Untuk itu sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Pendukung RUU Masyarakat Adat berdiskusi membahas substansi dan menyusun strategi pengawalan RUU Masyarakat Adat tersebut pada Rabu (1/8) di Jakarta. Devi Anggraini Ketua Umum PEREMPUAN AMAN mengungkapkan memasukkan perspektif gender dalam RUU Masyarakat Adat menjadi tantangan besar. Sejauh ini hak kolektif perempuan adat belum memiliki tempat di berbagai kebijakan mengingat peraturan yang ada lebih mengatur hak-hak individu sementara perempuan adat menghadapi situasi-situasi khusus. Persoalan ini bahkan belum diatur dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Untuk itu RUU Masyarakat Adat diharapkan dapat menjadi ruang hukum yang kuat untuk melindungi hak kolektif perempuan adat. Rukka Sombolinggi Sekretaris Jenderal AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mengatakan terdapat beberapa hal krusial di dalam RUU Masyarakat Adat yang perlu dikritisi. Pertama terkait evaluasi terhadap status masyarakat adat. Pengaturan tentang evaluasi keberadaan masyarakat adat ini dinilai bertentangan dengan semangat pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Hak asal-usul bukanlah pemberian negara, ia merupakan dasar bagi lahirnya hak untuk menentukan nasib sendiri yang kemudian memunculkan hak khusus yang dimiliki masyarakat adat yang disebut Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). FPIC memungkinkan masyarakat adat memberi atau menolak persetujuan atas proyek yang dapat memengaruhi mereka atau wilayah mereka. Kedua proses pendaftaran masyarakat adat dinilai berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat adat. Menurut Rukka proses pendaftaran masyarakat adat sebaiknya murah bagi APBN, mudah bagi masyarakat adat dan sah di mata hukum. Ketiga, persoalan kelembagaan mengingat urusan masyarakat adat sejauh ini ditangani secara sektoral. Untuk itu dibutuhkan sebuah lembaga negara di tingkat nasional untuk mengurusi masyarakat adat yang mempunyai kewenangan pengaturan dan eksekusi. Keempat, upaya pemulihan belum diatur dalam RUU tersebut. Mekanisme pemulihan dibutuhkan karena masyarakat adat telah dan masih mengalami diskriminasi, kekerasan, penggusuran, dan pengabaian hak-haknya. Untuk itu mereka berhak mendapatkan hak atas rehabilitasi dan restitusi. Kelima, terkait judul RUU tentang Masyarakat Adat. Draf awal yang diserahkan Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai inisiator setelah proses diskusi dengan AMAN menggunakan judul RUU tentang Masyarakat Adat dan bukan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat sebagaimana draf yang sedang dibahas pemerintah dan DPR. Sementara itu Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia menegaskan ada tiga hal utama yang perlu diatur secara jelas dalam RUU Masyarakat Adat. Pertama eksistensi perempuan adat, harus ada pengakuan secara eksplisit terhadap hak-hak perempuan adat. Hal ini penting diatur sehingga tidak ada ruang penafsiran dalam hal menghormati dan melindungi hak-hak khas perempuan adat. Kedua eksistensi kerajaan/kesultanan. Ketiga keberadaan organisasi yang lahir dengan berbasis adat. Arimbi menjelaskan RUU Masyarakat Adat perlu meletakkan dengan tegas perbedaan antara komunitas kesultanan, kerajaan dan organisasi adat dengan masyarakat adat. Menurutnya masyarakat Adat memiliki hubungan yang kuat dengan habitat dan wilayahnya sebagai sumber pengetahuan, ekspresi dan sumber penghidupan. Untuk itu definisi tentang masyarakat adat menjadi penting. Tiga hal yang harus tercakup dalam definisi adalah asal-usul leluhur, wilayah dan aturan tingkah laku yang mengatur mereka dan dihormati komunitas tersebut. Ketiga hal ini merupakan ciri khas masyarakat adat yang tidak dimiliki oleh komunitas kesultanan, kerajaan dan organisasi adat. Masukan dari Organisasi Masyarakat Sipil tersebut menunjukkan pemerintah dan DPR perlu membahas RUU Masyarakat Adat dengan jeli dan hati-hati agar semangat pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat benar-benar terwujud. Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan semata-mata untuk kepentingan masyarakat adat. Dengan menyadari keberadaan masyarakat adat sebagai komponen penting bangsa Indonesia yang berperan untuk menunjukkan identitas keberagaman bangsa, menjaga keberlangsungan lingkungan hidup, dan penyumbang pengetahuan dan ekonomi, maka masyarakat sipil perlu ikut mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |