Upaya penghapusan kekerasan pada perempuan hingga saat ini masih digalakkan. Dalam prosesnya, tentu membutuhkan kontribusi dari berbagai pihak, baik kontribusi dari perseorangan ataupun kelompok. Feminisme sebagai model usaha pendekatan interdisipliner dalam penghapusan kekerasan berbasis gender memerlukan bantuan dan peran laki-laki. Peran mereka diperlukan dalam usaha mendekonstruksi toxic masculinity di masyarakat. Maskulinitas menjadi suatu masalah yang mempersulit kesetaraan gender akibat adanya standar dan nilai-nilai terkait sifat, kuasa, atau peran yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki. Dalam edisi Desember 2022, kelas Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) yang rutin diadakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) mengajak peserta untuk berdiskusi mengenai upaya penghapusan kekerasan seksual yang dilakukan dengan meruntuhkan maskulinitas kuno. Tajuk utama diskusi online pada Selasa (13/12/2022) lalu adalah Feminis Laki-Laki dalam Kaitannya dengan Maskulinitas dan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Sosok pemantik pada kajian diskusi KAFFE Desember kali ini adalah seorang akademisi, politisi, dan intelektual yang menggeluti bidang filsafat, yakni Rocky Gerung. Diskusi KAFFE ini dipandu oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri selaku redaksi Jurnal Perempuan.
Rocky Gerung mengawali KAFFE dengan memaparkan penjelasan mengenai teori etika kepedulian serta dekonstruksi bahasa yang menjadi alat perpanjangan kuasa patriarki. Keduanya merupakan suatu bentuk dari upaya penyelesaian dari penghapusan kekerasan seksual. Keduanya juga menjadi batu pijakan dalam memahami dan membedah maskulinitas dan patriarki melalui kacamata feminis, sehingga kompatibel dan efektif menghapus kekerasan seksual. Rocky Gerung menyatakan bahwa setiap laki-laki berutang dari peradaban. Sebab, peradaban dibangun dengan patriarki. Hal ini dapat terlihat dari bahasa yang kita gunakan. Sebagai contoh, salah seorang peserta mengutarakan, dalam kata “female” selalu ada kata “male”. Juga, dalam kata “person” selalu ada kata “son”. Seakan-akan, selalu ada bagian laki-laki dari dalam diri perempuan. Melalui penggunaan bahasa yang digunakan dalam keseharian, tata bahasa berpihak pada kedirian laki-laki. Dengan kata lain, Rocky Gerung menegaskan bahwa konsep maskulinitas erat dalam kehidupan sosial masyarakat sebab bahasa mendukung maskulinitas tersebut. Laki-laki tanpa disadari telah memiliki arogansi yang dapat dilihat dari bagaimana mempertahankan argumen sesuai apa yang dilakukan. Rocky mengajak audiens untuk mengupas masukulinitas dengan mengupas perangkat yang digunakan oleh laki-laki pada untuk membangun peradaban dan hegemoni. Etika feminis berusaha mempersiapkan perempuan dalam melawan kekerasan bahasa dan menyatakan penolakannya. Pada pembahasan ini, terdapat pantikan pertanyaan dari salah satu audiens terkait tanggapan pengajar mengenai keberadaan laki-laki feminis. Rocky menanggapi, “Bahkan Aristoteles menyatakan, pada dasarnya perempuan adalah seorang anak kecil dengan tubuh besar.” Aristoteles berusaha menyatakan bahwa perempuan tidak akan pernah dewasa, hanya laki-lakilah yang akan dewasa. Ungkapannya ini menunjukkan, filsafat arus utama pun masih bias laki-laki. Selanjutnya, Rocky menyatakan bahwa untuk memahami konsep feminis kita perlu paham bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan dan perbedaan pada satu waktu yang sama. Perempuan hidup dengan emosi dan laki-laki pun sama, bedanya laki-laki enggan mengungkapkannya. Ini telah didukung dengan berbagai riset yang menunjukkan laki-laki sulit mengungkapkan emosi. Perbedaan yang terlihat antara laki-laki dan perempuan ada pada fakta bahwa perempuan telah mempelajari keadilan sejak awal, yaitu melalui rahim perempuan. Rahim perempuan adalah tempat pertama belajar tentang keadilan (tempat di mana keadilan didistribusikan pertama kali) berasal dari hormon-hormon yang ada dan terkait pembagian situasi yang ada pada kehidupan di rahim. Pembahasan selanjutnya menyinggung konsep perempuan dalam teologi Kristen, yang menyatakan perempuan adalah sekunder karena berasal dari tulang rusuk laki-laki. Hal ini dapat didekonstruksikan, tegas Rocky. Konsep laki-laki sebagai sosok superior berasal dari pernyataan tersebut, yang secara tidak langsung menunjukkan perempuan sebagai entitas yang eksis karena adanya laki-laki. Akibatnya, hendaknya perempuan tidak melawan laki-laki yang lebih superior. Atas hal ini, Rocky menegaskan, bila ditilik lebih jauh, konsep patriarki berumur lebih tua daripada konsep teologi-teologi agama. Demikian, konsep teologi pada akhirnya disesuaikan dengan konsep patriarki. Hal ini dapat dilihat melalui sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. Lebih jauh, perempuan tidak dapat menyampaikan pendapat karena adanya keterbatasan bahasa. Bahasa selalu menguntungkan laki-laki. Perempuan tidak dapat meluciti diri sendiri akibat adanya maskulinitas yang mengelilinginya. Rocky meminjam pernyataan bell hooks, seorang filsuf perempuan asal Amerika, bahwa “The Master's tools will never dismantle the Master's house.” Bahasa yang sudah tertata kini, tidak akan dapat digunakan dalam membongkar patriarki, sebab bahasa adalah perangkat patriarki. Beberapa filsuf, seperti bell hooks juga, pada akhirnya melawan hukum gramatika bahasa untuk menunjukkan perlawanan terhadap perkakas patriarki. Itulah sebabnya, bell hooks menolak namanya ditulis sebagai menggunakan huruf kapital. Pembahasan KAFFE berlanjut dengan topik patriarki dalam hubungan personal. Misalkan dalam kasus pemaksaan pil Keluarga Berencana (KB) yang cenderung ditekankan pada pihak perempuan. Dalam kasus tersebut, dengan menggunakan teori etika kepedulian, telihat bahwa hal itu tidak adil bagi perempuan yang harus menstruasi, mengandung, bahkan menggunakan KB pula. Perempuan, pada hal ini, lebih paham tentang teori-teori keadilan karena perempuan sudah paham akan konsep distribusi keadilan sejak lama. Keadilan lebih dekat dengan perempuan daripada laki-laki, karena dalam tubuh perempuan telah terdapat keadilan itu sendiri. Sedangkan laki-laki harus mempelajari keadilan melalui proses pembelajaran. Paparan materi dari Rocky Gerung memperlihatkan penekanan etika kepedulian pada upaya penanganan kekerasan seksual. Pada dasarnya, etika tidak diperbolehkan terdapat prinsip tukar tambah. Laki-laki yang merasa superior adalah sebuah kelanjutan dari belenggu sistem patriarki. Rocky melanjutkan dengan pembahasan terkait perbedaan afeksi dan hubungan manusia. Jika kita ingin melucuti patriarki secara sempurna, kita harus membedakan kedua hal tersebut. KAFFE ditutup oleh simpulan dari Daru selaku moderator, “Ketika berbicara mengenai peradaban, maka kita akan berujung pada satu kesimpulan, yaitu peradaban sudah ketinggalan zaman,” ujarnya. Disimpulkan juga bahwa patriarki dapat dimanfaatkan, dalam artian sebagai privilese, untuk mempromosikan keadilan feminisme. Selanjutnya, konsep atau hal-hal dalam keseharian dapat kita bedah kembali menggunakan kacamata etika kepedulian. Konsep ini dapat dijadikan acuan dalam memahami salah satu bentuk ketidaksetaraan dalam pembangunan pemerintah yang kurang memperhatikan nilai feminis dan mengunggulkan sisi maskulinitas. Melalui hal ini, dekonstruksi dibutuhkan guna menghapuskan kekerasan pada perempuan. Penghapusan kekerasan terhadap perempuan dapat dilaksanakan melalui serangkaian tindakan, salah satunya pendidikan yang membebaskan perempuan, pembagian tugas domestik yang adil, serta pelucutan bahasa patriarki dalam kehidupan bermasyarakat. (Esa Geniusa Religiswa Magistravia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |